Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Hingga hari ini Indonesia masih diliputi kehidupan yang suram; hidup
dalam sistem kapitalisme sekular yang jauh dari cahaya Islam, diselimuti
krisis multidimensi tanpa ada ketuntasan solusi. Kemurnian aqidah Islam
terancam dengan fenomena aliran sesat yang merajalela dan aktifitas
penistaan agama tidak ditindak tegas karena alasan HAM. Sementara itu,
perempuan yang seharusnya menjadi pilar baik buruknya negara telah
ditempatkan sebagai komoditas, jauh dari kemuliaan yang telah dilekatkan
syariat Islam pada dirinya.
Gemilangnya cahaya Islam tidak bisa
direalisasikan apabila petunjuk Islam tidak disampaikan oleh para
penyampai pesan yang ikhlas dan amanah. Sosok yang memahami kemuliaan
cahaya Islam dan tak kenal lelah mendidik umat untuk memahami cahaya
petunjuk tersebut. Panggung peradaban Islam tak hanya didominasi oleh
laki-laki. Perempuan muncul pula untuk memberi kontribusi. Mereka
menunjukkan kecemerlangan pemikirannya dalam berbagai bidang. Hal ini
telah bermula sejak zaman Nabi Muhammad saw dan para shahabatnya saat
merintis masyarakat berperadaban.
Jika Oxford dan Cambridge (Oxbridge) merupakan simbol penting pusat ilmu peradaban Inggris, maka Madinah dan Damaskus adalah butir mutiara sains yang banyak melahirkan cabang ilmu pula. Lebih jauh lagi, Madinah sungguh merupakan kota pendidikan yang lebih dahsyat dari Oxford dan Cambridge. Bukan karena fasilitasnya, tetapi karena pendidikan di Madinah menghasilkan peradaban ilmu yang menyatukan iman, ilmu, amal dan jihad.
Di Oxbridge seorang profesor bisa sangat pakar dalam ilmu fisika atau filsafat etika, pada saat yang sama dia bisa saja seorang homoseks, alcoholic dan meremehkan gereja. Namun, dia akan tetap dihormati karena penguasaan pengetahuannya. Sementara di Madinah, jika seorang ilmuwan memisahkan aqidah-akhlaq dengan ilmu yang dikuasainya, maka kealimannya batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul sanad bagi sebuah hadits, jika dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan tercatat sampai akhir zaman di kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak valid. Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat.
Madinah, sebuah kota pendidikan yang lengkap dan suci. Ada Rasul yang ma'shum dan cerdas, ada masyarakat shahabat yang militan dan berakhlaq mulia, ada masjid yang makmur dan buka 24 jam, dan yang terpenting ada wahyu Allah Swt yang turun terus-menerus selama 10 tahun. Kota Madinah yang sederhana itulah yang kemudian menginspirasi Damaskus, Baghdad, Cordova, dan Istambul menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad. Di mana lagi ada tempat sehebat itu?
Madinah juga merupakan sebuah kota di mana para ayah dengan tenang meninggalkan isteri-isteri dan anak-anaknya selama berbulan-bulan --bahkan tahunan untuk berdakwah, berdagang dan berjihad ke penjuru-penjuru benua. Para ayah itu yakin, Madinah akan mendidik isteri dan anaknya menjadi manusia-manusia unggulan. Coba kita bayangkan, di rumahnya anak-anak itu punya ibu yang hafizhah Qur'an dan hadits serta terjaga kehormatannya oleh syari'ah. Di masjid, anak-anak itu akan bertemu Rasulullah saw dan para shahabat utama. Adakah ustadz yang lebih baik dari mereka? Di pasar, di ladang, mereka berjumpa dengan para shahabat, juga kaum munafiq dan Yahudi sebagai bandingan nyata.
Madinah, Damaskus dan Baghdad bersuka cita memetik butir-butir mutiara sains yang diberikan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbagai cabang baru ilmu pengetahuan (new branches of knowledge) di bidang astronomi, fisika, kedokteran, biologi, matematika, ekonomi, sastra, teknologi perang, sampai filsafat dijabarkan terus tanpa henti oleh para ulama. Mereka hafal Al-Qur'an, hafal ribuan hadits, beribadah, berinfaq, dan berjihad seperti para shahabat, pada saat yang sama mereka mengembangkan ilmu-ilmu baru dari semua yang diimani dan diamalkan itu. Inilah yang disebut oleh para ulama, "Orang Barat bisa maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan Muslimin hanya akan maju jika ia mendalami agamanya." Semuanya berawal dari Madinah.
Allah Swt telah menjamin orang-orang yang berilmu dalam Al-Qur’an: “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS Al-Mujadilah [58]: 11). Oleh karena itu, dalam menilik pentingnya ilmu untuk diamalkan sekaligus peran muslimah sebagai pendidik dan pencetak generasi, maka gambaran muslimah hendaknya adalah: “Menjadi perempuan unggul sebagai ummun wa robbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) yang melahirkan generasi cerdas taqwa pejuang syariah dan khilafah serta sebagai mitra laki-laki dalam membangun masyarakat Islam.” Salim T S Al Hassani, profesor emiritus di University of Manchester, Inggris, dalam tulisannya, ‘Women’s Contribution to Classical Islamic Civilisation: Science, Medicine and Politics’, menyatakan, selain dalam bidang agama mereka juga berkiprah di bidang ilmu pengetahuan.
Beberapa Teladan Intelektual Muslimah
Rufayda al-Aslamiyyah
Perempuan
ini sering pula dipanggil dengan nama Rufayda binti Sa’ad. Ia dianggap
sebagai perawat pertama dalam lintasan sejarah Islam, yang hidup pada
zaman Nabi Muhammad. Dalam Perang Badar pada 13 Maret 624 Hijriyah, ia
bertugas merawat mereka yang terluka dan mengurus personel yang
meninggal dunia.
Rufayda belajar pengetahuan medis dari ayahnya, Saad Al Aslamy, yang juga seorang dokter. Ia sering membantu ayahnya mengobati pasien. Pada akhirnya, ia yang sarat pengalaman mengabdikan diri dalam bidang yang dikuasainya. Ia mewujud menjadi seseorang yang andal dalam bidangnya. Dalam praktiknya, ia sering menjalankan keahliannya di rumah sakit lapangan berbentuk sebuah tenda. Saat itu, Nabi Muhammad memerintahkan untuk membawa anggota pasukan yang terluka ke rumah sakit lapangan tersebut. Selain kepandaian dalam bidang medis, Rufayda dikenal sebagai sosok yang empatik.
Rufayda belajar pengetahuan medis dari ayahnya, Saad Al Aslamy, yang juga seorang dokter. Ia sering membantu ayahnya mengobati pasien. Pada akhirnya, ia yang sarat pengalaman mengabdikan diri dalam bidang yang dikuasainya. Ia mewujud menjadi seseorang yang andal dalam bidangnya. Dalam praktiknya, ia sering menjalankan keahliannya di rumah sakit lapangan berbentuk sebuah tenda. Saat itu, Nabi Muhammad memerintahkan untuk membawa anggota pasukan yang terluka ke rumah sakit lapangan tersebut. Selain kepandaian dalam bidang medis, Rufayda dikenal sebagai sosok yang empatik.
Tak hanya itu, Rufayda merupakan seorang organisatoris yang baik pula. Ia aktif mengajarkan keahliannya kepada perempuan lainnya dan menjadi seorang pekerja sosial. Biasanya, ia membantu memecahkan masalah-masalah sosial yang terkait dengan penyakit.
Shifa binti Abdullah
Lalu, muncul pula nama lain, Al Shifa binti Abdullah al Qurashiyah al’Adawiyah. Nama lain yang lekat pada dirinya adalah Laila. Kepiawaianya dalam bidang medis ditopang oleh kemampuannya dalam membaca. Sebab, saat itu banyak orang buta huruf dan tentu tak bisa mengakses pengetahuan.
Layaknya Rufayda, Al Shifa tak pelit dengan ilmu yang dimilikinya. Ia menebar ilmu medis yang ia kuasainya, meski dalam hal yang sangat sederhana. Misalnya, pengobatan terhadap gigitan semut. Kemudian, Rasulullah SAW memintanya untuk mengajarkan hal itu kepada perempuan lainnya. Al Shifa pun multitalenta. Ia tak hanya dominan pada bidang medis. Namun, ia pun sangat terampil dalam administrasi publik dan dikenal dengan kebijaksanaannya.
Demikianlah, gambaran beberapa teladan generasi muslimah dahulu. Di tengah arus globalisasi, selayaknya kita meninjau bahwa hendaknya ilmu disandingkan dengan iman dan amal. Sebagaimana Sabda Rasulullah: “Kami diperintah supaya berbicara kepada manusia menurut kadar akal (kecerdasan) mereka masing-masing.” (HR. Muslim).
Nusayba binti Harith
Nusayba binti Harith Al Ansari hadir sebagai sosok lain. Ia merawat para prajurit terluka. Ia juga seorang tabib khitan. Masa pun berjalan. Pada abad ke-15, seorang ahli bedah dari Turki, Serefeddin Sabuncuoglu (1385-1468), penulis karya tentang bedah, Cerrahiyyetu’l-Haniyye. Dia tak ragu menggambarkan secara terinci mengenai prosedur gineologi atau menggambarkan perawatan terhadap pasien perempuan.
Bukan hanya menggambarkan, namun Sabuncuoglu pun bekerja dengan para ahli bedah perempuan. Saat itu, dikabarkan rekan-rekannya di dunia Barat, malah menentang bekerja sama dengan para perempuan. Bahkan, dalam bukunya, ia menggambarkan bagaimana para ahli bedah perempuan menjalankan pekerjaannya.
Sutayta Al-Mahamli
Pakar matematika ini hidup pada paruh kedua abad ke-10. Ia berasal dari keluarga berpendidikan tinggi di Baghdad, Irak. Ayahnya, Abu Abdallah Al Hussein, menjabat sebagai seorang hakim yang juga penulis sejumlah buku, termasuk Kitab fi Al Fiqh dan Salat Al’idayn.
Sang ayah tak memandang sebelah mata Sutayta yang berjenis kelamin perempuan itu. Ia mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anaknya, bahkan mendatangkan sejumlah guru. Banyak hal yang diajarkan namun Sutayta terpikat hatinya pada matematika.
Sejumlah cendekiawan yang pernah menjadi gurunya adalah Abu Hamza bin Qasim, Omar bin Abdul-’Aziz Al Hashimi, Ismail bin Al Abbas Al Warraq, dan AbdulAlghafir bin Salamah Al Homsi. Sejumlah sejarawan, Ibnu Al Jawzi, Ibnu Al Khatib Baghdadi, dan Ibnu Katsir, memuji kemampuan Sutayta dalam matematika. Sutayta sangat menguasai hisab atau aritmatika dan perhitungan waris.
Kedua cabang matematika tersebut berkembang dengan baik di zamannya. Dalam aljabar, ia berhasil menemukan sebuah persamaan yang pada masa selanjutnya, sering dikutip oleh pakar matematika lainnya.
Bidang ilmu lain yang juga dikuasainya adalah sastra Arab, ilmu hadis, dan hukum. Setelah lama bergelut dengan angka dan memberikan kontribusinya dalam bangunan peradaban Islam, akhirnya Allah SWT memanggilnya. Ia mengembuskan napas terakhir pada 987 Masehi.
Labana dari Kordoba
Pada masa pemerintahan Islam, Kordoba menjadi salah satu pusat peradaban. Kota ini, bahkan menjadi salah satu lumbung orang-orang berotak cerdas. Salah satunya adalah perempuan yang bernama Labana. Matematika menjadi bidang kajian yang ia kuasai.
Labana dikenal dengan kemampuannya menyelesaikan beragam masalah matematika yang sangat pelik, baik aritmatika, geometri, maupun aljabar. Saat itu, tak banyak ilmuwan laki-laki yang mampu memecahkan masalah sepelik itu. Melalui kecerdasannya, ia menuai buah manis. Ia menjadi pegawai pemerintah.
Labana menjadi sekretaris Khalifah Al Hakam II dari Dinasti Bani Ummayah. Jatuhnya jabatan sekretaris ke tangan Labana, menunjukkan khalifah tak mempetimbangkan jenis kelamin. Namun, ia lebih mementingkan kepandaian dan kemampuan yang dimiliki Labana.
Pada masa itu, sejumlah perempuan bernasib sama dengan Labana. Para perempuan yang menguasai suatu bidang, akan mendapatkan penghargaan tinggi dari pemerintah. Kalau memang bersedia, para perempuan itu mendapatkan posisi di pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar