Jumat, 25 Desember 2015

Geliat Dukungan Intelektual IPB pada Kongres Ibu Nusantara ke-3

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si


Gempita Kongres Ibu Nusantara ke-3 (KIN-3) telah terasa sejak tanggal 19 Desember 2015 lalu. Berbagai kalangan bersiap dan di sebagian kota telah hadir menyuarakan urgensitas peran negara sebagai perisai hakiki bagi ibu dan anak, tema besar KIN-3. Tak kurang 60 kota menjadi tempat berhelatnya momen kolosal tahunan persembahan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia ini. Tiga puluh ribu kaum ibu dan tokoh perempuan dari seluruh Indonesia pun dikalkulasikan hadir dalam KIN. Puncak KIN-3 sendiri akan dilaksanakan di Balai Soedirman, Jakarta, pada tanggal 26 Desember 2015.

Tak ayal, IPB sebagai salah satu perguruan tinggi nasional, pun turut bergeliat. Muslimah HTI chapter kampus IPB memanaskan opini dengan menggelar agenda awalan menyambut KIN-3, bernama Jurnal Muslimah (20/12). Bertempat di RK Pinus 2, Fakultas Pertanian IPB, acara berbentuk talkshow ini cukup menyita perhatian publik kampus. Sekitar 50 orang civitas akademika IPB dari berbagai lapisan intelektual hadir. Mulai dari dosen, mahasiswi S1, mahasiswi pascasarjana (S2 dan S3), tak terkecuali para alumni IPB.

Mengangkat tema “Telaah Ilmiah Syariah Arah Riset Perguruan Tinggi Indonesia”, acara ini menghadirkan dua orang pembicara yang mumpuni di bidangnya. Pembicara pertama Dr. Desniar, S.Pi, M.Si, yaitu Koordinator Penelitian Institusi di IPB. Pembicara kedua Lily Viruly, S.TP, M.Si, yaitu Ketua Peneliti Nasional Sentra Pengkajian dan Pengobatan Tradisional Kep. Riau, yang juga seorang dosen dari Universitas Maritim Raja Ali Haji Kep. Riau, mahasiswi S3 IPB, dan aktivis MHTI.

Perguruan tinggi memiliki mandat untuk menjalankan tiga peran yang tertuang dalam Tridharma Perguruan Tinggi (PT), yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Optimalnya pelaksanaan Tridharma tentu diharapkan berkontribusi bagi masyarakat terutama dalam penyelesaian berbagai masalah yang dihadapinya. Namun realitasnya, PT dinilai masih jauh dari kondisi optimal. Meskipun berbagai PTN besar di Indonesia telah ‘digadang-gadang’ menjadi Universitas Riset termasuk IPB. Karena berbagai penelitian dan inovasi yang dilakukan di PT, jarang sekali sampai ke masyarakat secara mudah dan murah.

Di sisi lain tak jarang pula para akademisi merasa bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan tidak sesuai dengan idealisme mereka. Hal ini berakibat pada ketidaksinkronan antara PT dengan masyarakat. Maka yang kemudian perlu dipertanyakan adalah tujuan adanya status sebagai Universitas Riset yang dikejar oleh PT, termasuk sebab terjadinya ketidaksinkronan tersebut.

Dalam hal ini, Dr. Desniar menyatakan bahwa memang berbagai hasil penelitian PT harus ditangkap oleh pemerintah untuk dalam diadopsi sebagai kebijakan negara. Ini tidak bisa terealisasi, kecuali oleh pemerintah. Karena para peneliti di PT, juga berperan sebagai dosen yang berkewajiban melaksanakan kegiatan belajar mengajar kepada para mahasiswa. Dengan demikian, jelas tak bisa jika peran pengabdian hasil penelitian mereka di tengah-tengah masyarakat juga harus diemban oleh para peneliti secara langsung, dimana peneliti juga harus turun langsung ke lapangan.

“Jika hal semacam ini masih terus terjadi, maka tak heran jika para dosen yang notabene juga peneliti tersebut akhirnya lebih sibuk mengerjakan proyek di luar kampus dibandingkan mengajar dan mengurus para mahasiswanya,” tambah Dr. Desniar.

“Nah, lalu solusinya bagaimana? Para peneliti ini harus lantang menyuarakan bahwa kalangan intelektual bukanlah sekedar orang pintar yang melakukan penelitian, tapi mereka harus lantang menyatakan pentingnya proses adopsi secara politis oleh negara sebagai pemangku kebijakan untuk dapat menerapkan hasil penelitian mereka bagi masyarakat,” tandasnya.

Sementara itu, Bu Lily, menambahkan bahwa di sinilah pentingnya berbagai kalangan akademisi (dosen, peneliti, mahasiswa) termasuk negara, untuk memahami posisi ideologi dalam mengelola pendidikan dan penelitian. Hal ini dikaitkan dengan Islam sebagai aturan sempurna yang berasal dari Allah Swt, dimana Islam sendiri juga merupakan sumber ilmu. Yang tak kalah menarik, Islam juga memiliki seperangkat aturan tentang pengaturan dan pengelolaan ilmu, keilmuan, peneliti, pendidik, dan juga anak didik. Semua semata-mata dalam rangka mewujudkan negara yang maju, beradab, dan mulia.

“Karena dalam kacamata ideologi kapitalisme, pendidikan dan penelitian adalah komoditi ekonomi. Segala sesuatunya bisa dinilai dengan nominal uang. Bahkan tak sedikit kasus dimana peneliti begitu mudah disuap atas nama kepentingan korporasi. Atau ada juga peneliti yang melakukan kebohongan publik demi tetap menjaga kredibilitasnya sebagai peneliti, padahal penelitiannya tidak pernah dilakukan, atau penelitiannya hanya sekedar rekayasa imajinatif,” sambung Bu Lily.

“Demikianlah ketika seorang yang berilmu bukan orang yang beriman. Padahal Islam telah menegaskan bahwa orang yang berilmu (ulama) justru adalah kalangan yang paling takut berbuat dosa dan kemaksiatan. Mereka adalah kalangan yang paling takut kepada Allah Swt, karena mereka paham terhadap konsekuensi keilmuannya. Karakter intelektual yang seperti ini tidak lain hanya dapat ditemukan dalam negara dengan sistem pemerintahan Khilafah Islamiyyah,” pungkasnya.


Berakhir pukul 12.00, ramah tamah acara ditutup dengan sesi promosi KIN-3 dan pembacaan doa. []

Jumat, 02 Oktober 2015

Kongres Jaisy al-‘Usrah

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Muqodimah


Tak melewatkan momentum, Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) IPB akan menyelenggarakan gelaran akbar di bulannya pemuda. Acara yang diberi nama Kongres Pemuda Islam (KPI) itu sedianya dihelat tanggal 04 Oktober 2015. Kongres ini begitu luar biasa karena akan menghadirkan 1500 pemuda dari seluruh Indonesia. Bertempat di Grha Widya Wisuda (GWW), Kampus IPB Dramaga, Bogor, kongres ini mengangkat tema “Mahasiswa Mari Satukan Langkah Menuju Perubahan Gemilang”.

Target, jumlah peserta, dan biaya yang besar dalam penyelenggaraan kongres ini, menunjukkan komitmen BKIM sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tertua di IPB dalam memberikan pembinaan keislaman kepada civitas akademika IPB dan mahasiswa pada umumnya, sejak berdiri tahun 1976 hingga kini. Tak ayal, serba-serbi seputar penyelenggaraan kongres ini pun membuat penulis teringat satu kisah legendaris di masa Rasulullah saw, yaitu Perang Tabuk.

Perang Tabuk adalah perang besar yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. Besarnya perang ini dapat dilihat dari berbagai sisi. Tak hanya besar dari sisi jumlah pasukan kaum muslimin yang mencapai 30.000 orang, perang ini juga memerlukan biaya besar, jarak yang jauh, dan waktu tempuh yang lama.

Disamping itu, perang ini adalah perangnya kaum muslimin melawan bangsa yang tak kalah besar, yaitu bangsa Romawi. Terkait dengan strategi pun, Rasul saw yang biasanya merahasiakan dari pasukannya, kali ini beliau menyampaikan secara jelas. Diantaranya tentang kondisi musuh serta cuaca yang akan mereka hadapi selama perjalanan dan peperangan. Maka tak heran, pasukan kaum muslimin dalam perang ini dikenal dengan nama Jaisy al-‘Usrah (pasukan sengsara).

Perang Tabuk

Kala itu, telah sampai kepada Rasulullah saw berita dari negeri Romawi bahwa mereka sedang menyiapkan pasukan untuk memerangi negeri-negeri Arab bagian utara, dengan perang yang akan menjadikan manusia lupa tentang penarikan mundur pasukan kaum Muslim yang memperoleh keberhasilan di Mu’tah. Berita ini semakin lama semakin santer. Karena itu, beliau memutuskan untuk menghadapi kekuatan ini dengan memimpinnya secara langsung. Beliau telah menyiapkan strategi khusus menghadapi Romawi dengan pukulan yang mampu menghapus angan-angan mereka untuk menyerang kaum Muslim atau menghancurkannya.

Ketika itu bertepatan dengan akhir musim panas dan awal musim gugur. Kemarahan menambah panasnya udara yang memang sudah panas. Apalagi perjalanan dari Madinah ke wilayah Syam sangat panjang dan berat, membutuhkan kekuatan, kesabaran, dan persediaan bahan makanan dan air yang cukup. Maka, persoalan ini harus disampaikan kepada kaum Muslim dan tidak perlu disembunyikan. Disamping itu, harus disampaikan kepada mereka dengan jelas bahwa mereka harus teguh dalam perjalanan ke wilayah Romawi untuk berperang. Strategi ini berbeda dengan strategi beliau saw yang pernah disusun dalam peperangan sebelumnya. Beliau ketika itu menyembunyikan strateginya dan arah yang hendak ditempuhnya. Dalam banyak kesempatan, beliau sering mengarahkan pasukannya ke arah lain yang berbeda dengan arah sebenarnya yang beliau maksudkan untuk mengelabui musuh, sehingga berita perjalanannya tersebut tidak tersebar luas.

Namun kali ini, Rasul justru mengumumkan tujuannya sejak awal, yaitu hendak pergi untuk memerangi Romawi di daerah perbatasan negara mereka. Karena itu, beliau mengirimkan sejumlah utusan kepada beberapa kabilah untuk mengajak mereka mempersiapkan pasukan yang sangat besar yang mungkin dapat dipersiapkan. Beliau juga mengirimkan beberapa utusan untuk menemui para hartawan dari kaum Muslim dan memerintahkan mereka mengeluarkan infak dari rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka, untuk digunakan dalam mempersiapkan pasukan yang jumlah dan perbekalan yang dibutuhkannya sangat banyak. Beliau juga mendorong kaum Muslim untuk bergabung dengan pasukan ini.

Kaum Muslim menerima seruan ini dengan sikap yang jelas dan tegas. Orang-orang yang telah menerima Islam dengan hati yang dipenuhi petunjuk dan cahaya, menyambut seruan Rasulullah saw dengan lapang, ringan, dan gesit. Di antara mereka ada yang fakir, yang tidak memiliki tunggangan yang dapat membawa mereka ke kancah peperangan. Ada pula yang kaya dan menyumbangkan hartanya di jalan Allah dengan hati ridha dan mantap, sekaligus mengorbankan nyawanya dengan kerinduan yang mendalam untuk mati syahid di jalan Allah.

Adapun orang-orang yang masuk agama Allah dengan harapan besar hanya untuk memperoleh ghanimah perang dan takut pada kekuatan kaum Muslim, maka mereka merasa berat, berusaha mencari-cari alasan, saling melempar tugas di antara mereka dan tidak menghiraukan ajakan Rasul saw untuk berperang di medan yang sangat jauh itu dan di tengah cuaca panas yang membakar. Mereka ini adalah orang-orang munafik. Satu sama lain saling berbicara, “Janganlah kalian pergi perang dalam suasana yang panas membakar”. Kemudian turun firman Allah SWT: “Dan mereka berkata, “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah, “Api Neraka Jahanam itu jauh lebih panas, andai saja mereka memahaminya.” Maka, mereka tertawa sedikit sekali dan menangis banyak sekali sebagai balasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” (TQS. at-Taubah [09]: 81-82). Subhanallah, Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

Rasul saw berkata kepada Al-Jad bin Qais, salah seorang dari Bani Salamah, “Wahai Jad, apakah engkau memiliki keluarga di Bani Ashfar?” Dia menjawab, “Ya Rasulullah, berikanlah izin kepadaku dan janganlah menjerumuskanku dalam kebinasaan. Demi Allah, kaumku benar-benar telah mengetahui bahwa tidak ada laki-laki yang lebih kagum pada kaum wanita melebihi aku. Aku takut jika melihat wanita-wanita Bani Ashfar, aku menjadi tidak bersabar”. Rasulullah saw berpaling darinya lalu turunlah ayat sebagai berikut: “Diantara mereka ada yang berkata, ‘Berilah saya izin (untuk tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikanku terjerumus ke dalam kebinasaan.’ Ketahuilah, bahwa mereka benar-benar telah terjerumus ke dalam kebinasaan itu. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.” (TQS. at-Taubah [09]: 49).

Kaum munafik tidak hanya berlambat-lambat dan bermalas-malasan untuk pergi berperang, bahkan mereka terus-menerus mendorong kaum Muslim untuk mengundurkan diri dari perang. Rasul saw memandang perlu untuk mengambil tindakan tegas dan menghukum mereka dengan keras. Beliau menerima kabar bahwa sekelompok orang berkumpul di rumah Suwailam, seorang Yahudi, untuk merintangi masyarakat dan menghasutnya agar tidak memberi bantuan sekaligus tidak ikut berangkat perang. Beliau mengutus Thalhah bin ‘Ubaidillah dalam sekelompok kecil para sahabat untuk mendatangi mereka dan membakar rumah Suwailam. Sewaktu rumah itu dibakar, seseorang dari penghuninya berhasil lari melalui pintu belakang sehingga kakinya luka-luka, sementara sisanya terjebak ke dalam api dan lari meloloskan diri dengan luka bakar yang cukup parah. Tindakan tegas ini menjadi pelajaran bagi yang lainnya agar tidak seorang pun dari mereka berani melakukan tindakan bodoh seperti itu.

Keteguhan dan ketegasan Rasul saw ini membawa pengaruh cukup kuat dalam mempersiapkan pasukan, sehingga pasukan besar dapat terkumpul yang jumlahnya mencapai 30.000 orang kaum Muslim. Pasukan ini diberi nama Jaisy al-‘Usrah, karena ditugaskan dalam keadaan cuaca yang sangat panas untuk menghadapi musuh yang sangat besar, menyongsong pertempuran yang sangat jauh dari Madinah, dan pembiayaan yang sangat besar yang diperlukan untuk mempersiapkan pasukan tersebut.

Pasukan telah berkumpul dan Abu Bakar bertindak sebagai imam shalat jama’ah sambil menunggu kembalinya Rasul saw menyelesaikan pengaturan urusan di Madinah sepanjang kepergian beliau. Beliau telah mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai penguasa di Madinah. Beliau meninggalkan Ali bin Abi Thalib dengan keluarga beliau, dan memerintahkan untuk menjaganya, menetapkan jalan keluar dalam berbagai persoalan yang harus diselesaikan dan mengatur berbagai hal.

Kemudian Rasul saw kembali ke pasukannya untuk memimpin dan memerintahkannya bergerak. Debu-debu padang pasir pun berhamburan diterjang kaki-kaki kuda dan pasukan berderap maju di hadapan penduduk Madinah. Para wanita naik ke atas balkon-balkon rumah menyaksikan pasukan besar yang sedang bergerak menerobos padang pasir menuju Syam. Pasukan bergerak dengan ringan seolah-olah tanpa beban, padahal mereka sedang menuju peperangan di jalan Allah di tengah panas yang membakar, kehausan yang menusuk-nusuk tenggorokan, dan lapar yang melilit perut.

Pasukan terus bergerak menuju negeri musuh. Sepuluh ribu pasukan berkuda melesat lebih dulu. Penampakkan kekuatan yang menakutkan tersebut mampu menggerakkan sebagian jiwa yang ingin mundur dan enggan, untuk segera bergabung dengan pasukan itu. Orang-orang yang berangkat dengan setengah hati tersebut segera menyusul pasukan dan bergabung dengannya lalu berangkat bersama menuju Tabuk. Sementara itu, di pihak lain pasukan Romawi sudah berkemah di Tabuk dan siap memerangi kaum Muslim.

Ketika telah sampai kepada mereka keberadaan pasukan kaum Muslim, kekuatannya, dan jumlahnya yang banyak, maka mereka teringat kembali perang melawan kaum Muslim di Mu’tah. Dimana mereka pada waktu itu memiliki tekad dan keberanian yang tidak kenal menyerah, padahal pasukan mereka tidak sebesar dan sebegitu menakutkan seperti ini. Ketakutan mereka semakin bertambah ketika mengetahui Rasul saw sendiri yang memimpin pasukan itu. Mereka sangat takut hal itu, lalu segera menarik mundur pasukannya masuk ke kota Syam untuk berlindung di dalam benteng mereka. Mereka meninggalkan Tabuk dan semua batas teritorial Syam dari arah gurun pasir dan lebih memilih mengundurkan diri ke dalam negeri.

Pembenci Islam Tak Berkutik

Ketika Rasul saw mengetahui perihal mundurnya pasukan Romawi dan merebaknya kekhawatiran yang menimpa mereka, maka beliau terus bergerak maju hingga Tabuk, menguasainya dan berkemah di sana. Pada waktu itu beliau belum memandang perlu untuk mengejar pasukan Romawi hingga masuk kota Syam. Beliau tinggal di Tabuk sekitar satu bulan sambil meladeni siapa saja yang ingin berperang tanding untuk mengusir atau menyerang beliau dari kalangan penduduk daerah tersebut.

Beliau juga menggunakan kesempatan untuk mengirimkan surat kepada para pemimpin beberapa kabilah dan negara-negara bawahan Romawi. Beliau mengirim sepucuk surat kepada Yahnah bin Rukbah penguasa Ailah, penduduk Jirba’ dan penduduk Adzrah dengan menyampaikan dua pilihan, yaitu mereka menyerah atau beliau memerangi mereka. Mereka menerima tawaran pertama yaitu tunduk, bersedia taat dan berdamai dengan Rasul saw serta membayar jizyah.

Kemudian beliau kembali ke Madinah dan menemukan kaum munafik telah memanfaatkan kepergian Rasul saw dari Madinah untuk menyebarkan racun-racun kemunafikan dan mengkonsentrasikan kekuatan mereka untuk memperdaya kaum Muslim. Sekelompok dari mereka berhasil membangun sebuah masjid di Dzu Awan yang terletak di antara perkampungan mereka dan Madinah yang berjarak satu jam perjalanan. Di dalam masjid tersebut, kaum munafik berlindung dan berusaha untuk melakukan perubahan terhadap firman-firman Allah dari tempatnya semula. Mereka melakukan aksinya itu untuk memecah-belah kaum Mukmin dengan kedengkian dan kekufuran.

Kelompok yang telah membangun masjid itu sebelumnya pernah meminta kepada Rasul saw, sebelum beliau berangkat dalam perang Tabuk, agar shalat di masjid mereka. Namun beliau menunda-nundanya hingga beliau kembali. Ketika beliau kembali dan mengetahui sepak terjang kaum munafik, serta diwahyukan kepadanya tentang masjid dan hakikat tujuan pendiriannya, maka beliau memerintahkan para sahabat untuk membakar masjid itu, dan mengambil sikap yang lebih keras terhadap kaum munafik. Maka peristiwa ini pun menjadi pelajaran yang menggentarkan mereka, sehingga mereka takut dan tidak berani melakukannya lagi.

Dengan adanya perang Tabuk maka telah sempurna ketentuan Tuhanmu di seluruh Jazirah Arab. Rasul saw berhasil mengamankan setiap perlawanan dan serangan yang diarahkan ke wilayahnya. Delegasi-delegasi dari berbagai suku Arab menerima ketaatan kepada Rasul saw dan menyatakan keislaman karena Allah. Allaahu akbar.

Filosofi Kongres Pemuda Islam

Mahasiswa sebagai salah satu golongan pemuda, yang sekaligus menyandang gelar agent of change ini seyogyanya tak berlepas diri dari peran besarnya dalam melakukan perubahan. Hampir di setiap masa pergolakan negeri, mahasiswa turut andil menampilkan energi serta kepemimpinannya melalui gerakan perubahan yang berdampak besar bagi negeri ini. Keadaan Indonesia mendatang ditentukan oleh gerakan pemuda saat ini.

Namun sayangnya gerakan yang diharapkan mampu membawa perubahan besar bagi Indonesia ini hanyalah perubahan semu bukan perubahan hakiki. Secara faktual, Indonesia pasca reformasi tak lepas dari berbagai masalah. Indonesia saat ini makin bobrok dengan berbagai perundang-undangan yang menyengsarakan rakyat. Ini semua tak lain adalah bagian strategi besar bangsa asing dalam menghegemoni Indonesia, yaitu dengan cara ikut merancang kebijakan sebagai jalan mengencangkan perannya dalam mengeruk kekayaan alam Indonesia.

Sungguh karena itu, Indonesia butuh perubahan untuk hari ini dan masa depan. Satu-satunya harapan besar bagi perubahan Indonesia adalah mahasiswa. Mahasiswalah memiliki potensi besar melakukan perubahan besar Indonesia. Tak lain agar perubahan yang terjadi bukanlah perubahan semu, bukan parsial, melainkan perubahan menyeluruh. Mari sadari, bahwa perubahan hakiki itu hanya dengan Islam. Maka, mahasiswa hanya punya satu jalan, yaitu mengemban Islam.

Islam adalah satu-satunya solusi yang mampu menjawab problematika umat. Islam sebagai ideologi yang mampu melahirkan sistem kehidupan yang paripurna dalam berbagai aspek. Perubahan itu adalah niscaya. Namun kapan? Tak lain adalah ketika Islam diterapkan secara sempurna. Karena Islam akan menuntaskan segala kebobrokan negeri ini.

Kini saatnya mahasiswa mengganti mainstream perjuangan dengan seruan Islam. Tak ada alasan untuk terus berdiam diri atau bertahan dengan keadaan saat ini. Firman Allah Swt: “...Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (TQS Ar-Ra’du [13]: 11).

Khatimah

Sebagaimana kisah Perang Tabuk, dalam hal ini BKIM memiliki target acara, rencana jumlah peserta, dan juga anggaran biaya yang besar. Dan sekali lagi sebagai pelajaran dari kisah Perang Tabuk, cita-cita keberhasilan yang diinginkan pun semoga sepadan dengan korbanan yang diberikan. Karenanya, mari selipkan doa, agar acara Kongres Pemuda Islam ini diberi kemudahan segala sesuatunya oleh Allah Swt. Pun peserta maupun panitia yang hadir, makin tercerahkan dengan Islam hingga tak ragu untuk memperjuangkannya. Aamin. Allaahu akbar.

Wallaahu a’lam bish showab. []

Makkah, Tanah Haram yang Aman

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Muqodimah

Haji tahun ini sungguh bermakna, khususnya malah bagi yang sedang tidak melaksanakan ibadah haji. Banyak peringatan yang Allah Swt karuniakan semata-mata agar kita kembali kepada aturan-Nya. Musibah Crane, kebakaran hotel tempat jamaah haji menginap di Makkah, hingga tragedi Mina yang menyesakkan mata, bukan hanya satu atau dua kali Allah telah ingatkan. Subhanallaah. Tapi tunggu, tulisan ini sebenarnya ingin mengupas sisi lain kota Makkah. Semoga bisa menjadi sedikit penyegaran di tengah berbagai musibah tersebut.

Tulisan ini tak lain adalah bentuk keterusikan penulis terhadap suatu artikel tentang keamanan kota Makkah. Khususnya saat naik taksi. Memang siy sudah sejak lama menjadi selentingan dan juga kabar burung dari kerabat atau tetangga yang pernah ke Tanah Suci. Bahwa, jika jamaah haji yang kebetulan merupakan pasangan suami-istri ingin naik taksi di Makkah harus si suami harus lebih dahulu naik, sedangkan si istri belakangan. Tapi jujur, baru kali ini penulis menemukan artikel riil terkait hal tersebut.

Waspada Kejahatan di Makkah, Jangan Tinggalkan Istri Anda di Taksi Bersama Sopir

Dilansir dari Detik.com (19/09), demikian judul artikelnya disebutkan. Layanan bus shalawat yang mengantar jamaah ke Masjidil Haram dan sebaliknya dihentikan sementara. Ada nasihat agar jamaah hati-hati saat menggunakan angkutan umum, terutama bagi perempuan. “Harus hati-hati. Kalau suami-istri, suami naik duluan, istri belakangan, ketika turun istri duluan suami belakangan,” tutur Kepala Seksi Perlindungan Jamaah PPIH 2015 Letkol Jaetul Muchlis Basyir di Makkah, Sabtu (19/09).

Jamaah diminta jangan pergi sendiri-sendiri. Muchlis meminta agar selalu berkoordinasi dengan petugas. “Berangkat dengan kekuatan rombongan jangan sendiri-sendiri. Senantiasa menginformasikan kepada petugas kloter, baik kepala regu maupun kepala rombongan setiap kali akan bepergian,” pesannya.

“Jangan tertipu aksi licik sopir taksi yang hendak membawa kabur perempuan Indonesia. Jangan tinggalkan istri atau saudara perempuan Anda berdua saja dengan sopir di mobil. Jangan terprovokasi dengan trik berbau kriminal dari sopir taksi misalnya pura-pura mogok lalu minta tolong penumpang laki-lakinya untuk mendorong,” kata Muchlis. Muchlis mengatakan modus ini bukan barang baru di Arab Saudi. Perempuan yang dibawa kabur taksi bisa menjadi korban kejahatan. “Pelecehan seksual salah satunya,” ujar Muchlis (detik.com, 19/09).

Tak urung, isi artikel ini serta merta membuat penulis makin merasa sesak. Sesak dan geram lebih tepatnya. Betapa berbahaya dan tidak amannya kehidupan di Tanah Suci, Tanah Haram, salah satu bumi para nabi. Astaghfirullah. Padahal jamaah haji adalah para tamu Allah. Mereka adalah para musafir. Mereka adalah golongan kaum yang jika didzholimi dalam keadaan sebagai musafir, maka doanya tak tertolak oleh Allah. Lupakah dengan hal itu? Hingga kini entah sejauh mana bahayanya, tapi bagaimanapun ini membuktikan bahwa jaminan keamanan di Tanah Suci perlu ditingkatkan.

Peristiwa Futuh Makkah

Aman dan tidak amannya suatu wilayah, tak bisa dilepaskan dari sistem dan kebijakan pemerintahan yang mengelola keamanan di wilayah tersebut. Bicara keamanan di Makkah, penulis pun ingin sejenak kembali ke kisah masa silam, dimana pernah dicatat oleh sejarah Islam, bahwa Makkah adalah kota teraman.

Terkisah pada tahun ketujuh atau kedelapan hijriyah, peristiwa Futuh Makkah (pembebasan kota Makkah) terjadi. Saat itu, Rasulullaah saw telah beberapa tahun hijrah dari Makkah dan bermukim di Madinah. Beliau pun telah berhasil mengokohkan pasukannya. Masyarakat Islam serta Daulah Islam di Madinah menjadi suatu institusi yang makin hari makin berwibawa hingga ditakuti semua bangsa Arab. Setelah itu, beliau mulai memikirkan langkah lain. Langkah-langkah tersebut adalah cara untuk semakin menguatkan dakwah, Daulah Islam, dan melemahkan musuh-musuhnya. Beragam proses jihad dan futuhat ke wilayah-wilayah di sekitar Madinah makin masif dilakukan. Termasuk diantaranya dengan Perang Mu’tah dan Perjanjian Hudaibiyah.

Adanya Perjanjian Hudaibiyah membuat hubungan antara Quraisy dan Rasul saw menjadi tenang dan masing-masing juga mempertahankan kondisi itu. Perjanjian itu pun berlaku termasuk bagi sejumlah kabilah yang bersekutu, baik yang bersekutu dengan pihak Quraisy maupun Rasul saw. Dalam hal ini, Bani Khuza’ah adalah bani yang bersekutu dengan Rasul saw, sedangkan Bani Bakr adalah bani yang bersekutu dengan pihak Quraisy. Jika kedua pihak bertikai, maka perjanjian pun batal. Dan pihak yang diserang berhak memerangi pihak yang menyerang.

Namun semua berubah pascamomentum Perang Mu’tah, yang terjadi tak berselang lama setelah Perjanjian Hudaibiyah. Ketika kaum Muslim kembali dari perang Mu’tah, diantara mereka banyak yang gugur. Keadaan ini memunculkan dugaan bagi Quraisy bahwa kaum Muslim sudah hancur. Maka, mereka menghasut Bani Bakr agar menyerang Bani Khuza’ah dan berhasil membunuh sebagian mereka. Salah satu anggota Bani Khuza’ah, ‘Amru bin Salim al-Khuza’iy melarikan diri ke Madinah dan bercerita kepada Rasul saw tentang peristiwa yang menimpa mereka dan meminta bantuan kepada beliau. Rasulullah saw berkata kepadanya: “Aku pasti menolongmu, hai ‘Amru bin Salim!”

Rasul saw melihat bahwa pelanggaran perjanjian yang dilakukan Quraisy ini tidak bisa diimbangi kecuali dengan pembebasan Makkah. Quraisy sebenarnya sangat takut melanggar perjanjian. Mereka segera mengirim Abu Sufyan ke Madinah untuk mengokohkan lagi perjanjian yang telah dilanggarnya sendiri dan meminta periodenya diperpanjang. Abu Sufyan berangkat dan sebenarnya tidak ingin bertemu Rasul saw. Karena itu, dia menjadikan arah perjalanannya menuju rumah putrinya yaitu Ummu Habibah yang telah menjadi istri Nabi saw. Dia masuk ke rumah putrinya dan ketika hendak duduk di alas yang biasa ditempati Nabi saw, putrinya segera melipatnya. Ketika bapaknya bertanya kepadanya apakah dilipatnya alas itu karena ingin menjauhkan bapaknya dari alas itu atau karena ingin menjauhkan alas itu dari bapaknya? Jawaban putrinya adalah: “Justru (karena) itu adalah alas Rasulullah saw, sementara engkau laki-laki musyrik yang najis! Aku tidak suka engkau duduk di atasnya!” Abu Sufyan berkata lagi: “Demi Allah! Wahai Putriku, setelahku ini, sungguh keburukan pasti menimpamu.”

Abu Sufyan bergegas keluar dengan marah besar, kemudian dia menemui Muhammad saw dan berbicara kepadanya tentang perjanjian dan permintaannya untuk memperpanjang waktunya. Muhammad tidak bereaksi. Beliau tidak memberi jawaban apapun. Abu Sufyan lalu berbicara kepada Abu Bakar agar dia berbicara kepada Nabi saw, tetapi dia menolak. Abu Sufyan mencoba lagi berbicara kepada ‘Umar bin Khaththab, namun dia menjawabnya dengan kasar dan keras: “Apakah aku lebih condong menolong kalian daripada Rasulullah saw? Demi Allah, seandainya aku tidak menemukan apa-apa selain sebutir debu, pasti aku memerangi kalian!”

Abu Sufyan kemudian masuk ke rumah ‘Ali bin Abi Thalib saat itu Fathimah pun berada di samping suaminya. Dia kemudian mengutarakan alasannya mengapa datang ke Madinah dan akhirnya singgah di rumah ini. Abu Sufyan meminta ‘Ali supaya memohonkan ampun kepada Rasul saw. ‘Ali pun mengabarkan kepadanya bahwa tidak seorang pun yang mampu membujuk Muhammad saw dari suatu perkara jika dia sudah memegangnya dengan teguh. Lalu Abu Sufyan meminta tolong Fathimah supaya merayu anaknya, Hasan, agar bisa menyelamatkan dirinya karena dia terhitung masih kecil. Dia menjawab: “Demi Allah, tidaklah putraku itu menjadi penyelamat di antara manusia. Tidak seorang pun yang bisa selamat dari Rasulullah saw.”

Urusannya semakin sulit bagi Abu Sufyan dan akhirnya dia kembali ke Makkah dan menceritakan kepada kaumnya tentang apa yang ditemuinya di Madinah. Sementara Rasul saw segera memerintahkan para sahabatnya untuk bersiap-siap berangkat ke Makkah. Beliau berharap bisa mendatangi penduduk Makkah secara tiba-tiba, sehingga mereka tidak sempat memberikan perlawanan dan akhirnya mereka semua selamat tanpa pertumpahan darah. Pasukan kaum Muslim berangkat dari Madinah menuju Makkah.

Mereka tiba di Marra Zhahran, yang berjarak empat farsakh dari kota Makkah. Jumlah pasukan yang dibawanya genap 10.000 orang dan tidak satu pun informasi yang sempat terdengar oleh pihak Quraisy. Quraisy masih sibuk memperhitungkan akan adanya serangan Muhammad saw kepada mereka. Mereka pun berdebat tentang apa yang akan dilakukan menghadapi Muhammad. Abu Sufyan keluar untuk mengkaji mara bahaya yang mengancamnya. Lalu ‘Abbas bin Abdul Muthallib, paman Rasul saw yang saat itu telah masuk Islam, menemuinya, dengan menunggang bagal milik Nabi saw dan pergi ke Makkah untuk mengabarkan kepada Quraisy agar mereka meminta keamanan kepada Rasul saw. Hal itu karena beliau tidak menerima usulan mereka. Ketika ‘Abbas bertemu Abu Sufyan, dia berkata kepadanya: “Itu adalah Rasulullah di tengah-tengah kerumunan manusia. Demi waktu paginya kaum Quraisy, demi Allah, jika Rasulullah saw masuk kota Makkah dengan kekerasan, sebelum mereka mendatanginya dan memohon keamanan kepadanya, sungguh beliau pasti menghancurkan Quraisy hingga tak tersisa!” Maka Abu Sufyan bertanya: “Demi bapak dan ibuku sebagai tebusanmu, maka upaya apa yang harus kami lakukan?”

‘Abbas segera mengajak Abu Sufyan menaiki punggung bagal yang ditungganginya, lalu membawanya pergi. Ketika bagal itu lewat di depan pandangan membara ‘Umar bin Khaththab, maka ‘Umar memperhatikan bagal Nabi saw tersebut dan mengetahui ada Abu Sufyan di sana sekaligus memahami bahwa ‘Abbas hendak menyelamatkannya. Karena itu, ‘Umar bergegas pergi menuju kemah Nabi saw dan minta izin kepadanya untuk memenggal leher Abu Sufyan. Namun, ‘Abbas yang lebih dulu datang menemui Rasul, cepat berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah menyelamatkannya.” Akibatnya perdebatan sengit terjadi antara ‘Abbas dan ‘Umar. Nabi saw berkata: “Pergilah dengannya ke kendaraanmu, hai ‘Abbas! Bila subuh telah tiba, maka datanglah kepadaku”. Ketika pagi hari tiba, dia datang dengan membawa Abu Sufyan, lalu Abu Sufyan masuk Islam. ‘Abbas kemudian menghadap Nabi saw dan menyampaikan usul kepadanya: ”Ya Rasulullah, Abu Sufyan adalah laki-laki yang suka kebanggaan. Buatkanlah sesuatu untuknya.” Rasulullah saw berkata: “Tentu saja. Siapa saja yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia aman. Siapa saja menutup pintu rumahnya, maka dia aman. Siapa saja masuk Masjid (al-Haram), maka dia aman.”

Rasul saw akhirnya memerintahkan para sahabatnya untuk menahan Abu Sufyan di lembah sempit di mulut gunung yang menjadi tempat masuk ke arah Makkah, agar pasukan kaum Muslim yang lewat di depannya dilihat oleh Abu Sufyan. Lalu dia menceritakan kenyataan itu kepada kaumnya. Di samping itu, langkah tersebut ditempuh agar kedatangan pasukan yang begitu cepat tidak menimbulkan ketakutan yang membawa akibat kenekatan kafir Quraisy untuk mengadakan perlawanan. Rasul saw memasuki Makkah dengan segala dengan kewibawaan dan kekuatan yang beliau miliki. Setelah kabilah-kabilah dari pasukan Islam lewat di hadapan Abu Sufyan, segera dia menemui kaumnya dan berteriak di tengah-tengah mereka dengan suara lantang: “Hai orang-orang Quraisy, ini Muhammad datang kepada kalian dengan membawa kekuatan, yang kalian tidak memiliki kemampuan untuk menghadapinya. Maka siapa saja yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia pasti aman. Siapa saja menutup pintunya, maka dia pun aman. Siapa saja masuk masjid (Al-Haram), dia pasti aman.”

Kaum Quraisy mengurungkan perlawanan mereka, sementara Rasul saw melanjutkan perjalanannya dan memasuki Makkah dengan tetap waspada. Beliau memerintahkan pasukannya dipecah menjadi empat kelompok dan semua diintruksikan tidak boleh berperang dan tidak boleh menumpahkan darah, kecuali jika benar-benar terpaksa dan terancam bahaya. Pasukan memasuki Makkah dan tidak memperoleh perlawanan apa pun, kecuali pasukan Khalid bin Walid. Kelompok ini menemui perlawanan dari pasukan Quraisy, namun berhasil menundukkannya. Nabi saw turun dari tunggangannya dan berdiri sebentar dengan mengambil tempat yang tertinggi di Makkah. Kemudian berjalan hingga tiba di Ka’bah. Lalu thawaf di Baitullah sebanyak tujuh putaran. Beliau memanggil ‘Utsman bin Thalhah dan memintanya membukakan pintu Ka’bah. Beliau berdiri sejenak di pintu tersebut, sementara itu para sahabat berdiri mengelilinginya. Tidak lama kemudian, beliau berpidato di hadapan mereka: “Tidak ada Tuhan kecuali Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia menepati janji-Nya dan memenangkan hamba-Nya, serta menghancurkan Ahzab dengan sendiri-Nya. Ingatlah, setiap kemuliaan, darah atau harta seluruhnya berada di bawah dua telapak kakiku ini kecuali tabir Baitullah dan memberikan minum orang haji. Ingatlah, korban pembunuhan karena kekeliruan menyerupai pembunuhan yang disengaja dengan cemeti dan tongkat. Maka di dalamnya ada diat (tebusan) yang berat, yaitu seratus ekor unta, yang empat puluh di antaranya tengah bunting tua. Hai kaum Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian persaudaraan jahiliah, dan pengagungan karena nenek moyang. Manusia berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah.” Kemudian beliau melanjutkannya dengan membaca ayat: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (TQS. Al-Hujuraat [49]: 13).

Selanjutnya beliau bertanya kepada mereka: “Hai kaum Quraisy, apa pendapat kalian tentang perlakuanku terhadap kalian?” Mereka menjawab: “Sungguh baik, wahai saudara kami yang mulia dan putra seorang saudara kami yang mulia”. Beliau berkata lagi: “Pergilah! Kalian semua bebas.”

Ucapan tersebut merupakan pengampunan umum bagi kafir Quraisy dan penduduk Makkah. Rasul saw memasuki Ka’bah dan beliau menemukan dinding-dinding Ka’bah digambari malaikat-malaikat dan nabi-nabi, lalu beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menghapus gambar-gambar itu. Beliau juga melihat patung-patung wanita cantik dari kayu, lalu beliau memecahkannya dengan tangannya sendiri dan melemparkannya ke tanah. Kemudian beliau menunjuk semua patung dengan tongkat yang berada di tangannya seraya membaca firman Allah: “Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang batil pasti lenyap” (TQS. al-Israa’ [17]: 81).

Patung-patung itupun akhirnya dijungkalkan. Bait al-Haram disucikan dari seluruh patung dan gambar. Sedangkan beliau tinggal di Makkah selama lima belas hari. Selama itu, beliau meletakkan landasan sistem pengaturan berbagai persoalan di Makkah dan memahamkan penduduknya tentang agama Islam. Pembebasan kota Makkah telah sempurna dan dengan dasar pembebasan tersebut, beliau berhasil menghilangkan perlawanan terhadap Daulah Islam. Karena itu, kemenangan Islam yang nyata benar-benar telah sempurna.

Khatimah: Ibrah Futuh Makkah

Dari peristiwa Futuh Makkah, nampak jelas, bahwa di masa Rasul saw, Makkah adalah satu-satunya wilayah yang ditaklukan oleh Daulah Khilafah Islam tanpa peperangan. Makkah ditaklukan dengan kasih sayang. Kasih sayangnya seorang pemimpin besar sekelas Rasul saw kepada umat yang sudah sadar dan mau diatur oleh aturan Allah Swt. Dalam kisah ini juga nampak dengan gamblang, bahwa keamanan di Makkah hanya terwujud karena memang ada jaminan mutlak dari pemimpin yang berkuasa.

Jaminan keamanan dari Rasul saw yang disampaikan oleh Abu Sufyan kepada penduduk Makkah, pun kepada penduduk Madinah yang turut dalam peristiwa Futuh Makkah, bukan semata karena Rasul saw adalah menantu Abu Sufyan. Tapi jaminan keamanan itu diberikan oleh Rasul saw karena beliau adalah seorang penguasa yang mengatur wilayahnya dengan aturan Islam. Saat Futuh Makkah, Rasul saw dan kaum Muhajirin tak sekedar pulang kampung, tapi mereka punya misi politik dalam rangka mengokohkan dakwah Islam yang diemban oleh suatu negara, yaitu di Makkah. Masya Allah, sedemikian berwibawa dan mulianya suatu negara yang mengatur dan diatur dengan aturan dari Sang Pencipta.

Lalu, bagaimana dengan Makkah di abad 21 ini? Makkah kini tidak diatur dengan syariat Islam secara kaffah, sekalipun ia Tanah Haram, Tanah Suci. Karenanya, tak perlu heran jika di luar Masjidil Haram sangat mungkin terjadi kriminalitas, yang jelas-jelas itu mengancam keselamatan kaum muslimin, baik bagi yang sedang berhaji maupun yang tidak. Padahal, di dalam Masjidil Haram tengah terjadi yang sebaliknya, dimana para jamaah haji khusyuk beribadah, bermunajat kepada Allah.

Dalam Islam, keamanan bersifat mutlak. Keamanan bukan komoditi yang diperjualbelikan. Karena itu, memang tidak ada pilihan lain, demi keamanan dan bahkan kemashlahatan kaum muslimin dalam berbagai aspek, semua harus dikembalikan kepada aturan Islam. Tak hanya di dalam Masjidil Haram, tapi juga kehidupan di luar tembok megah Masjidil Haram. Hanya dengan Islam, segala yang bathil dapat dilenyapkan.

Wallaahu a’lam bish showab. []

Minggu, 27 September 2015

Peresmian Masjid Besar Moskwa, Islam Dienul Haq yang Tak Terbantahkan

Muqodimah

Kabar gembira bagi dunia Islam, khususnya umat Islam di Rusia. Sehari menjelang Hari Raya Idul Adha yang lalu, Presiden Vladimir Putin meresmikan masjid besar di Moskwa (Moskow). Putin, bahkan mengatakan Islam memainkan peran penting di Rusia. “Pemimpin Muslim selalu memberi kontribusi bagi pengembangan perdamaian dan akal sehat dalam melawan ekstremisme di Rusia," ujar Putin saat meresmikan Masjid Jami Moskwa, Rabu (23/09), dan dikutip kantor berita Sputnik.

Peresmian dihadiri Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas. Putin juga mengutuk ISIS, dengan menyebutnya sebagai kelompok yang mengorbankan kebesaran Islam, menyebarkan kebencian, pembunuhan, dan menghancurkan warisan dunia. “Ideologi ISIS tidak didasarkan pada Islam, tapi kebohongan dan penyimpangan nilai-nilai Islam,” kata Putin.

Erdogan pun memuji Putin sebagai penggagas pendirian Masjid Jami Moskwa. Putin membalas dengan mengucapkan terima kasih kepada Erdogan atas sumbangsih Turki dalam pembangunan masjid terbesar di ibu kota Rusia itu. “Sebuah karya yang indah di lokasi yang indah di Moskwa,” kata Erdogan.

Semula, Masjid Jami Moskwa sangat kecil dan tidak representatif. Empat tahun lalu masjid itu dibongkar, dibangun dengan ukuran lebih besar agar bisa menampung 10 ribu jamaah. Peresmian dilakukan malam hari. Usai peresmian, yang diwarnai peninjauan Putin ke bagian dalam masjid, takbir Idul Adha berkumandang. Tak ayal, masjid pun kali pertama digunakan untuk Shalat Idul Adha. Muslim Moskwa yang datang lebih dari 10 ribu orang (inilah.com, 24/09).

Tak hanya meresmikan, Putin pun mendesak para pemimpin Islam Rusia untuk menentang tindakan ekstrimis saat sekitar 2.400 warga Rusia ikut berperang bersama kelompok ISIS di Timur Tengah. Rusia, rumah bagi 20 juta umat Muslim, telah mengalami dua perang melawan separatis Chechen di kawasan Kaukasus Utara yang mayoritas umat Muslim, di mana pemberontakan Islam masih terus berlangsung dan beberapa pemberontak telah bersumpah setia kepada kelompok militan ISIS.

Saat meresmikan masjid baru yang dibangun dengan bebatuan berwarna terang, dengan kubah warna turquoise dan emas itu, Putin mengatakan Rusia harus mendidik pemuda Muslim agar tidak menjadi ekstremis berbasis agama. “Hal ini dibutuhkan saat ini karena semakin banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk mengeksploitasi perasaan keagamaan untuk tujuan politik,” kata Putin saat meresmikan masjid yang dikabarkan menghabiskan biaya sebesar $170 juta (atau hampir Rp 2,5 triliun).

“Kita melihat apa yang terjadi di Timur Tengah di mana para teroris yang menyebut diri mereka ISIS merusak nama baik agama hebat dunia, merusak nama baik Islam dengan menebarkan kebencian, membunuh orang-orang, merusak warisan budaya dunia dengan cara yang biadab,” kata Putin.
Masjid baru ini, yang bisa menampung hingga 10.000 orang, dibangun di lokasi masjid sebelumnya yang dibangun pada awal abad ke-20 oleh komunitas Tatar. Islam adalah agama terbesar kedua di Rusia setelah Kristen Ortodoks, dengan pemeluk sekitar 15 persen dari jumlah penduduk Rusia (suaramerdeka.com, 25/09).

Putin Meresmikan Masjid, Suprise Bagi Dunia Islam

Karier politik Putin cukup gemilang. Presiden Rusia saat itu, Boris Yeltsin menyatakan Putin kepada seluruh rakyat Rusia dengan berkata bahwa “Dia dapat mengulangi kejayaan Rusia yang baru pada abad 21”. Sergei Stepashin, pejabat yang digantikannya mengatakan bahwa dia seorang yang jujur. Mantan presiden Amerika Serikat Bill Clinton mengatakan dia mampu untuk menjadikan Rusia sebagai negara yang berprospek dan kuat. Sedangkan mantan presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev ketika bertemu dengan Putin pada bulan Agustus 2000 memastikan dia tidak akan merusak Demokrasi Rusia.

Terlepas dari itu semua, Putin memang bermaksud mengembalikan kejayaan Rusia yang masih dirindukan rakyat Rusia pada masa Uni Soviet. Beberapa media baik nasional Rusia maupun internasional menyebutkan bahwa Putin secara perlahan lahan memusatkan kekuasaannya di Kremlin sebagaimana Uni Soviet dahulu. Salah satu langkahnya dapat dibaca dari pernyataannya dengan mengatakan bahwa kejatuhan Uni Soviet adalah sebuah tragedi nasional.

Di masa pemerintahannya, Putin dikenal cukup represif terhadap umat Islam di Rusia. Tercatat oleh Hizbut Tahrir pada tahun 2012, pemerintah Rusia malah menolak bahkan menangkapi aktivis  Islam. Dalam keterangan pers Kementerian Dalam Negeri Rusia (12/11) mereka menyatakan menangkap 6 orang anggota Hizbut Tahrir Rusia dengan tuduhan terorisme dan memiliki sembilan granat dan senjata. Merespon tuduhan keji tersebut, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto menyatakan tudingan itu sebagai tudingan dusta yang sangat nyata.

“Semua orang tahu bahwa Hizbut Tahrir (HT) dimanapun termasuk di Rusia, sama sekali tidak pernah menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan tegaknya kembali kehidupan Islam dibawah naungan khilafah,” ujarnya saat aksi Kamis (29/11) di depan Kedubes Rusia, Rasuna Said, Jakarta. Bukan kali ini saja pemerintah Rusia bertindak semena-mena terhadap para aktivis dakwah dan umat Islam pada umumnya di Rusia. Seperti negara Eropa lainnya, rezim Rusia juga melarang hijab di sekolah-sekolah, diantaranya di Stavropol di bagian selatan Rusia. Tidak hanya itu, lanjut Ismail, pada 17 oktober lalu, aparat keamanan secara brutal juga telah melakukan pengeledahan terhadap masjid al-ikhlas di kota Kazan dan rumah imam masjid itu dengan tudingan berhubungan dengan Hizbut Tahrir.

“Mereka menangkap 20 orang aktivis HT Rusia dengan tuduhan melakukan aksi terorisme, pemilikan senjata dan amunisi,” pungkasnya. Berkenaan dengan itu, ujar Ismail, Hizbut Tahrir Indonesia menuntut pembebasan anggota Hizbut Tahrir Rusia yang ditangkap dan membersihkan mereka dari segala tudingan keji. Ia pun menyerukan kepada umat Islam, khususnya wilayah Rusia untuk berpegang teguh pada tali agama Allah Swt. “Tetap terikat dengan manhaj Islam, meneriakkan kebenaran dan lantang tanpa takut menentang rezim dzalim dan jahat, serta berjuang dengan sungguh-sungguh dan ikhlas menegakkan Khilafah Islamiyah,” serunya.

Delegasi Hizbut Tahrir Indonesia yang berusaha untuk masuk dan berdialog dengan Duta Besar Rusia, tidak diijinkan masuk ke dalam kantor Kedubes Rusia.”Kami datang tanpa kekerasan, tapi mereka tidak merespon niat baik kami, mereka penakut, mereka pengecut,” ujar Jubir HTI.

“Seharusnya mereka menerima seruan Hizbut Tahrir yang mengajak pada Islam dan menerapkan ideologi Islam,” ungkap Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia Rokhmat S. Labib kepada mediaumat.com di sela-sela aksi ‘Menuntut Pembebasan Aktivis HT Rusia’, menguatkan pernyataan Jubir HTI.

Atau setidaknya, lanjut Rokhmat, mau mendengar dan berdiskusi dengan aktivis HT agar mendapat pencerahan tentang betapa hebatnya idelogi Islam. Pasalnya, Rusia adalah negara bekas Uni Sovyet yang telah gagal menerapkan ideologi Sosialisme. Rusia juga bisa melihat dengan jelas bahwa ideologi kapitalisme yang diterapkan Amerika diambang kehancuran. “Kalau mau berfikir, mestinya Rusia sadar bahwa ideologi buatan manusia menyebabkan kehancuran, sebagaimana yang ditunjukkan sosialisme/komunisme dan kapitalisme,” pungkasnya di tengah-tengah sekitar 300 massa yang berdemo.

Dalam kesempatan itu, Kedubes Rusia menolak menerima delegasi HTI. Pemerintah Rusia berulang kali menangkapi aktivis Islam yang menyerukan pada Islam dan penerapan ideologi Islam, terakhir pada Sabtu (17/11) di Kota Kazan, pemerintah menangkap 20 aktivis (mediaumat.com).

Pun catatan terbaru 2014 lalu, ketika pengadilan distrik Kirovsky St. Petersburg telah menangkap enam anggota organisasi Hizbut Tahrir.  Mereka dijadikan tersangka dan ditahan oleh Dinas Keamanan Federal selama operasi pada Selasa pagi, 24 Juni 2014, tanpa bukti kejahatan yang jelas.

Para pejabat pengadilan mengatakan kepada Itar-Tass bahwa semua tersangka telah ditahan selama enam minggu. Anehnya, tuduhan mereka hanya berdasarkan artikel tentang pengendalian kegiatan organisasi teroris dalam kasus pidana yang diprakarsai oleh Departemen Layanan Keamanan Federal wilayah St. Petersburg pada bulan November 2011 (http://en.itar-tass.com/russia/737918/26/06/2014).

Tentu menggelikan jika mereka ditangkap hanya didasarkan pada tulisan pihak keamanan pemerintah, sementara para aktivis Hizbut Tahrir tidak pernah terbukti sedikit pun melakukan aksi-aksi kriminalitas, apalagi aksi-aksi yang menjurus pada tindakan terorisme. Ini karena, Hizbut Tahrir sejak berdirinya tahun 1953 sampai sekarang tak pernah sedikitpun menjadikan aksi kekerasan dan jihad sebagai metode untuk menegakkan syariah dan Khilafah yang sedang diperjuangkannya. Hal itu dilakukan semata-mata mengikuti manhaj dakwah Rasulullah saw. di Makkah sebelum berdirinya Daulah Islam di Madinah, yang memang tak pernah sedikit pun melakukan aksi-aksi kekerasan.

Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Pemerintahan Rusia dan sejumlah penguasa yang memerangi Hizbut Tahrir sesungguhnya menunjukkan kekalahan intelektual mereka sekaligus menunjukkan ketakutan mereka yang besar atas tegaknya syariah dan Khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir yang akan menghapus dan melenyapkan kekuasaan dan hegemoni mereka, khususnya atas Dunia Islam (hizbut-tahrir.or.id).

Kaitannya dengan peresmian masjid, sungguh peresmian masjid bagi umat Islam adalah suatu peristiwa biasa. Namun menjadi sangat luar biasa ketika yang meresmikan adalah Presiden Vladimir Putin. Seorang penganut Kristen Ortodoks, yang juga seorang presiden negara adidaya komunisme. Surprise bukan?

Apakah Putin Akan Menjadi Raja Najasyi Abad 21?

Memang tindakan Putin ini bisa disikapi oleh umat Islam dengan berbagai spekulasi. Pun dengan berbagai asumsi. Namun lepas dari semua itu, penulis hendak sedikit berbagi semangat terlebih dahulu. Karena bukan tidak mungkin, tindakan Putin ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Raja Najasyi belasan abad silam, saat menolong umat Islam dari Makkah, dengan memberi mereka suaka politik berupa penyelamatan akidah Islam, dan jaminan keamanan untuk tinggal di negerinya, Habsyah (Etiopia sekarang).

Di masa itu, kaum kafir Quraisy menyadari bahwa perlawanan terhadap dakwah dengan menggunakan cara penganiayaan terhadap kaum muslimin tidak membawa hasil. Maka mereka beralih dengan cara lain, yaitu dengan senjata propaganda memusuhi Islam dan kaum Muslim di mana-mana, baik di dalam kota Makkah maupun di luar Makkah, seperti di Habsyah. Saat mendengar bahwa sebagian kaum Muslim hijrah ke Habsyah, mereka segera mengirim dua orang utusan untuk menyebarkan isu menentang kaum Muslim di hadapan Raja Najasyi, sehingga dia akan mengusir dari negerinya. Dua orang utusan itu adalah ‘Amru bin ‘Ash dan ‘Abdullah bin Rabi’ah.

Keduanya tiba di Habsyah, dan segera mempersembahkan hadiah kepada pasukan pengawal Raja Najasyi agar mereka membantu keduanya untuk memulangkan kembali kaum Muslim ke Makkah. Kemudian keduanya menghadap Raja Najasyi dan berkata, “Wahai Paduka Raja, anak-anak bodoh dari golongan kami telah melarikan diri dan berlindung di negeri anda. Mereka adalah kaum pemecah belah agama kaum mereka sendiri. Mereka tidak akan masuk ke dalam agama anda. Mereka datang dengan membawa agama yang mereka buat-buat sendiri. Kami tidak mengetahuinya demikian juga anda. Orang-orang mulia dari kaum mereka, bapak-bapak mereka, paman-paman mereka, dan keluarga-keluarga mereka telah mengutus kami berdua menghadap anda, agar anda mengembalikan mereka kepada kaumnya. Kaum mereka lebih tinggi dan lebih mengetahui kekurangan-kekurangan mereka.”

Kemudian Raja Najasyi memutuskan untuk mendengar langsung dari kaum Muslim tentang pendapat mereka dalam hal tersebut. Dia meminta wakil dari kaum Muslim dan setelah wakil itu hadir, maka Raja Najasyi bertanya, “Agama apa ini yang telah memisahkan diri dari kaum kalian, dan dengan agama itu pula kalian tidak akan masuk ke dalam agamaku, juga ke dalam agama siapa pun dari berbagai milah yang ada?”

Ja’far bin Abi Thalib memberikan jawaban dengan menjelaskan keadaan mereka di masa Jahiliah beserta sifat-sifat mereka. Kemudian menjelaskan tentang hidayah yang dibawa Islam dan perubahan keadaan mereka setelah masuk Islam. Ja’far juga memaparkan bagaimana kejamnya siksaan kaum Quraisy kepada mereka, “Tatkala mereka menindas, menganiaya, membatasi ruang gerak, dan berusaha memisahkan kami dengan agama kami, maka kami keluar menuju ke negeri anda. Kami memilih anda dari pada yang lain, dan kami berharap dapat bertetangga dengan anda. Kami juga mengharap tidak mendapatkan penganiayaan dari sisi anda.” Raja Najasyi kembali bertanya kepada Ja’far, “Apakah engkau membawa sesuatu yang datang bersama Rasul kalian yang berasal dari Allah yang bisa kalian bacakan kepadaku?” “Ya ada,” jawab Ja’far.

Kemudian dia membacakan kepadanya surat Maryam dari bagian awal hingga firman Allah: “Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?’ [Tiba-tiba] Isa berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikanku seorang nabi. Dan Dia menjadikanku seorang yang diberkati di mana saja aku berada dan Dia memerintahkanku [mendirikan] salat dan [menunaikan] zakat selama aku hidup dan berbakti kepada ibuku. Dan Dia tidak menjadikanku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, serta pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.’” (TQS. Maryam [19]: 29-33).

Sewaktu para pembesar istana mendengar ayat ini, mereka berkata, “Ini adalah kata-kata yang keluar dari sumber yang sama, yang menjadi sumber kata-kata junjungan kita al-Masih.” Raja Najasyi lalu berkata, “Demi Dzat yang ‘Isa datang dengan kata-kata ini, sesungguhnya ini benar-benar keluar dari sumber yang satu.” Setelah itu Raja Najasyi menoleh kepada dua utusan kafir Quraisy dan berkata kepada keduanya, “Pulanglah kalian berdua! Demi Allah, saya tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua.”

Dua orang utusan itu keluar dari ruang pertemuan Najasyi dan keduanya berpikir untuk menggunakan cara lain, hingga pada hari kedua ‘Amru bin ‘Ash kembali menemui Najasyi dan berkata kepadanya, “Kaum Muslim benar-benar membicarakan ‘Isa bin Maryam dengan kata-kata buruk dan kotor!, maka kirimlah seseorang kepada mereka dan tanyakan kepada mereka apa yang akan mereka ungkapkan tentang hal itu”. Lalu Najasyi mengirim utusan kepada kaum Muslim dan menanyakan pendapat mereka mengenai ‘Isa. Maka Ja’far menjawab, “Kami berkata mengenai ‘Isa sesuai dengan apa yang kami peroleh dari Nabi kami. Beliau mengatakan bahwa ‘Isa adalah hamba Allah, utusan Allah, ruh Allah, dan kalimat Allah yang dihembuskan kepada Maryam, perawan suci.” Raja Najasyi kemudian mengambil sepotong kayu dan membuat garis di atas tanah seraya berkata kepada Ja’far, “Antara agama kalian dan agama kami (perbedaannya) tidak lebih dari garis ini.” Maka dua orang utusan kafir Quraisy keluar lalu pulang ke kota Makkah. Demikianlah, berbagai propaganda menemui kegagalan dan tenggelam. Kekuatan kebenaran yang diserukan Rasul saw dengan amat gamblang, dan tampak pada lidah beliau, mengungguli seluruh propaganda busuk. Cahaya Islam yang baru terbit mampu menceraiberaikan semua isu dan propaganda.

Khatimah: Peresmian Masjid, Euforia Sesaat

Demikian kisah Raja Najasyi. Bagi penulis, sebenarnya tak layak menyamakan peran Putin yang hanya meresmikan masjid dibandingkan peran penting Raja Najasyi dalam memberi suaka penyelamatan akidah umat Islam. Mengingat, Rusia kini bagaimanapun adalah sebuah Darul Kufur. Keselamatan dan keamanan kaum muslimin di Rusia bisa saja “disuap” dengan peresmian masjid. Artinya, keselamatan dan keamanan kaum muslimin Rusia tak semata bisa terandalkan hanya dengan peresmian masjid. Karena bukan tidak mungkin, ini menjadi langkah atau corak politik baru yang tengah diluncurkan, di tengah gelombang kencang masuk Islamnya masyarakat Eropa. Yang dengan kata lain, isu Islamphobia jelas gagal sudah, dan Islam sebagai dienul haq menjadi tak terbantahkan.

Firman Allah Swt berikut ini selayaknya kita pegang teguh: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridho kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (TQS Al-Baqarah [02]: 120).

Pun bisyarah dari Rasul saw tentang tegaknya Khilafah yang kedua: “Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam.” (HR Ahmad dan al-Bazar).

Wallaahu a’lam bish showab []

Rabu, 26 Agustus 2015

Mengiring Detak Pilkada Serentak (Bagian 3, terakhir)

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Peran Partai Mencetak Kader Pejuang

Setelah eksistensi Daulah Islam sirna, penjajah langsung menggantikan posisinya. Mereka memerintah negeri-negeri Arab secara langsung dan memperluas kekuasaannya ke seluruh negeri-negeri Islam. Secara praktis mereka benar-benar telah menduduki negeri-negeri Arab dan mulai menancapkan kekuasannya pada setiap jengkal wilayah ini dengan cara-cara yang tersembunyi dan kotor. Yang terpenting dari cara-cara itu adalah dengan menyebarluaskan tsaqafah asing penjajah, uang, dan agen-agen mereka.

Tsaqafah asing mempunyai pengaruh besar terhadap menguatnya kekufuran dan penjajahan, tidak berhasilnya kebangkitan umat, dan gagalnya gerakan-gerakan terorganisir baik gerakan sosial maupun gerakan politik. Sebab, sebuah tsaqafah memang berpengaruh besar terhadap pemikiran manusia, yang kemudian akan mempengaruhi perjalanan hidupnya. Akibatnya, umat terdidik dengan tsaqafah yang merusak. Pemikiran umat tidak lagi berhubungan dengan lingkungan, kepribadian, dan sejarah gemilang umat Islam, serta tidak lagi bersandar pada ideologi Islam. Pemikiran ini juga tidak bisa menghasilkan pemahaman yang benar tentang sebuah thoriqoh kebangkitan umat. Pemikiran semacam ini adalah pemikiran asing, yang dipunyai oleh seseorang yang memiliki perasaan Islam.

Pemikiran-pemikiran asing itu diterima dengan sepenuh hati hingga membuat mereka kagum dan hormat terhadap orang asing. Mereka berusaha mendekatkan diri dan bergaul erat dengan orang-orang asing, meskipun orang-orang asing ini adalah kaum penjajah. Mereka tak mungkin dapat memandang berbagai situasi yang ada di negerinya, kecuali dengan mengikuti orang asing tersebut dalam memandang situasi negerinya, tanpa memahami hakikat situasi sebenarnya. Mereka tidak lagi mengetahui apa yang dapat membangkitkan umat, kecuali dengan mengikuti orang asing tersebut ketika membicarakan kebangkitan. Hati nurani mereka tidak tergerak karena dorongan ideologi, tetapi tergerak karena sentimen patriotisme dan nasionalisme. Padahal emosi ini adalah emosi yang salah.

Ini mengakibatkan setiap upaya kebangkitan akan berubah menjadi gerakan yang kacau balau dan saling bertentangan -menyerupai gerakan binatang yang sedang disembelih- yang berakhir dengan kematian, keputusasaan, dan menyerah pada keadaan. Para penjajah asing berusaha sungguh-sungguh menjadikan kepribadian mereka sebagai mercusuar tsaqafah umat Islam, yang selalu digunakannya dalam aspek-aspek politik. Mereka juga berusaha agar kiblat kegiatan para politikus atau orang yang bergerak dalam bidang politik adalah meminta bantuan orang asing dan menyerahkan segala urusan kepadanya.

Lebih parah lagi, jika kaum muslimin yang mengemban tsaqofah asing ini pada akhirnya menjadi koruptor, penyuap, atau terlibat tindak pidana/kriminal, maka jelas-jelas pemikiran bukan Islam itu telah menjadi bagian dari pemahamannya, hingga terwujud dalam perilakunya. Nyatalah jika program Revolusi Mental malah jadi menemukan ‘lawan main’ yang tak sebanding. Karena target perubahan perilaku sejatinya hanya bisa dicapai dengan perubahan pijakan bagi cara pandang terhadap kehidupan. Jika sebelumnya berpijak pada paham demokrasi-sekularisme-liberalisme-kapitalisme, maka pijakan itu harus diganti menjadi akidah Islam, dimana standarnya adalah halal dan haram.

Dengan demikian, adalah wajar jika pemikiran asing ini tidak bisa membentuk suatu kelompok yang benar yang mempunyai pemahaman yang benar. Mereka akhirnya gagal, karena arah geraknya bertentangan dengan fitrah manusia dan menyalahi akidah Islam. Inilah yang terjadi di dunia Islam, di bawah bayang-bayang penerapan sistem demokrasi-sekuler arahan penjajah, termasuk yang terjadi di Indonesia.

Lihat saja, partai saat ini tidak ada yang berjuang demi negerinya dengan benar, dan tidak berkorban untuk kepentingan rakyat secara sempurna. Karena perasaannya dalam melihat situasi negerinya, tidak dilandasi oleh pemikiran Islam. Partai juga tidak menangkap kebutuhan-kebutuhan rakyatnya dengan perasaan yang dilandasi pemikiran Islam. Oleh karenanya, perjuangannya tidak akan bertahan lama, dan hanya akan berlangsung sampai halangan untuk merebut kepentingannya lenyap, yaitu dengan diangkatnya para kader menjadi pegawai atau dengan tercapainya apa yang menjadi ambisinya. Bisa juga perjuangannya itu akan luntur tatkala berbenturan dengan kepentingan pribadinya, atau tatkala ia dihambat dalam perjuangannya.

Perlu diketahui, bahwa kegagalan arah gerak partai ini juga terjadi karena faktor manusia atau individunya. Sebab di samping pembentukan kelompoknya bukan atas dasar pembentukan kelompok yang benar, karena tidak adanya fikroh dan thoriqoh, atau karena kesalahan dalam metode pengikatan orang-orang ke dalam kelompok-kelompok tersebut, juga tidak didasarkan pada kelayakan individunya itu sendiri, melainkan berdasarkan kedudukan orang tadi di masyarakat, serta dari peluang diperolehnya manfaat secara cepat dengan posisi strategisnya.

Penyelesaian semacam ini mengharuskan para kader menjadi seorang murid yang dibina untuk membentuk pemikirannya dengan suatu format yang baru. Setelah itu, beralih kepada penyerasian antara dia dan masyarakatnya. Dengan demikian, akan mudahlah kita menyelesaikan problem kebangkitan umat.

Dulu, pada awal dakwahnya, Nabi saw mengajak orang-orang telah siap menerima dakwahnya tanpa melihat usia, kedudukan, jenis kelamin, dan asal usulnya. Beliau tidak pernah memilih-milih orang yang akan diseru kepada Islam, tetapi mengajak semua umat manusia, dan menuntut kesiapan mereka untuk menerima Islam. Karena itu, banyak orang yang masuk Islam. Beliau sangat bersemangat membina semua orang yang memeluk Islam dengan hukum-hukum agama dan meminta mereka untuk menghapalkan al-Quran.

Kemudian mereka membentuk diri dalam sebuah kutlah (kelompok) dan bersama-sama mengemban dakwah (jumlah mereka saat diutusnya Rasul hingga turunnya perintah untuk menampakkan dakwahnya adalah lebih dari 40 orang). Kutlah ini terdiri dari kaum pria dan wanita dari berbagai daerah dan usia. Kebanyakan mereka dari kalangan pemuda. Di antara mereka ada yang lemah, kuat, kaya, dan miskin. Sejumlah orang telah mengimani Rasul saw, menaatinya, dan menekuni dakwah bersama-sama beliau.

Ketika tsaqafah para sahabat sudah matang, akal mereka telah terbentuk menjadi akal yang Islami (‘Aqliyah Islamiyah), dan jiwa mereka sudah menjadi jiwa yang Islami (Nafsiyah Islamiyah) dalam kurun waktu 3 tahun, maka Rasul saw merasa tenang dan meyakini kematangan pemikiran dan keluhuran jiwa mereka. Beliau menyaksikan kesadaran mereka atas hubungannya dengan Allah tampak menonjol pengaruhnya dalam perilaku mereka. Karena itu, perasaan beliau menjadi sangat senang karena kutlah kaum Muslim telah sangat kuat dan mampu menghadapi seluruh kekuatan yang ada dalam masyarakat, maka beliau menampakkan dakwah Islam saat Allah memerintahkannya.

Firman Allah Swt: “Maka sampaikanlah olehmu apa yang telah diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya Kami telah membalaskan bagimu kepada orang-orang yang suka memperolok-olok. Yaitu orang-orang yang menjadikan tuhan lain menyertai Allah. Maka nanti mereka akan mengetahuinya.“ (TQS. Al-Hijr [15]: 94-96). Setelah turun ayat tersebut, Rasul segera menyampaikan perintah Allah dan menampakkan keberadaan kutlah ini kepada seluruh masyarakat secara terang-terangan, yaitu dengan keluar bersama-sama para sahabat dalam dua kelompok. Pemimpin kelompok pertama adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muththallib ra, dan untuk kelompok kedua adalah ‘Umar bin al-Khaththab ra. Rasul pergi bersama mereka ke Ka’bah dengan (barisan yang) rapi, yang sebelumnya tidak diketahui oleh bangsa Arab.

Ini berarti Rasul saw bersama para sahabatnya telah berpindah dari tahap dakwah secara sembunyi-sembunyi (daur al-istikhfa’) kepada tahap dakwah secara terang-terangan (daur al-i’lan). Sejak saat itu mulai terjadi benturan antara keimanan dengan kekufuran di tengah-tengah masyarakat, dan terjadi gesekan antara pemikiran-pemikiran yang benar dengan yang rusak. Ini berarti dakwah mulai memasuki tahapan dakwah yang kedua, yaitu tahap interaksi dan perjuangan (marhalah al-tafa’ul wa al-kifah). Kaum kafir mulai memerangi dakwah dan menganiaya Rasul saw serta para sahabatnya dengan segala cara. Periode ini -yaitu tafa’ul dan kifah- adalah periode yang dikenal paling menakutkan di antara seluruh tahapan dakwah. Tanpa kematangan tsaqofah Islamnya, para shahabat mustahil tahan banting dengan berbagai cobaan pada marhalah ini.

Para shahabat sebagai produk unggulan kutlah Rasul saw, menunjukkan bahwa kutlah tersebut memenuhi empat kriteria partai shohih, yaitu:

1) shohih dari sisi fikrohnya
2) shohih dari sisi thoriqohnya
3) para kadernya adalah orang-orang yang terbina dengan tsaqofah Islam; hal ini juga dalam arti memiliki keseriusan, perhatian, dan keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan kepartaian (at-tabi’atul hizbiyah)
4) ikatan di antara kadernya tak lain adalah ikatan mabda’.

Format partai yang seperti inilah satu-satunya yang layak memimpin terjadinya perubahan yang shohih pula di tengah-tengah masyarakat. Pahit-getir perjuangan mengemban dakwah Islam dilalui dan dirasakan bersama, serta dipikirkan dan diupayakan solusinya.

Tak heran, jika Syaikh Taqiyuddin An-Nabhaniy kemudian memberikan pengibaratan bahwa pergerakan partai di tengah-tengah masyarakat laksana kompor yang memanaskan air dalam tempayan besar. Apabila di sekeliling tempayan besar itu diletakkan sesuatu yang membekukan, maka air di dalamnya akan membeku lalu mengeras (menjadi es). Begitu pula masyarakat, apabila dilontarkan berbagai mabda (ideologi) yang rusak, tentu masyarakat tersebut akan dikungkung kerusakan, dan akan terus merosot, serta terbelakang. Namun, jika di bawah tempayan itu diletakkan api yang membara dan berkobar, maka akan menghangatkan air, kemudian mendidih, lalu menguap menjadi tenaga yang menggerakkan. Begitu pula halnya jika di tengah-tengah masyarakat dilontarkan mabda yang benar, maka akan menghangatkan masyarakat dan kemudian membara, yang akhirnya mampu mengubah, menggerakkan serta mendorong masyarakat. Proses perubahannya dari satu kondisi ke kondisi lainnya hanya dapat diamati dan dirasakan oleh orang-orang yang sangat mengetahui keadaan masyarakat, dan percaya bahwa mabda yang diembannya itu ibarat api yang membakar dan cahaya yang menyinari, hingga suatu saat akan mencapai derajat mendidih/bergolak dan bergerak serta mendorong dan meledak. Karena itu, masyarakat harus senantiasa mendapatkan perhatian dari para pengemban dakwah.

Namun demikian, ada bahaya kelas yang harus diwaspadai oleh partai. Karena bahaya kelas ini terjadi ketika partai menjadi wakil umat atau mayoritas umat, ia akan mempunyai tempat terhormat, posisi yang mulia, serta mendapatkan penghormatan yang sempurna dari umat, khususnya dari masyarakat umum. Ini kadangkala dapat menghembuskan tipu daya ke dalam jiwa para aktivis partai, sehingga mereka merasa bahwa mereka lebih tinggi dari umat, bahwa yang menjadi tugas mereka adalah memimpin, sedang tugas umat adalah untuk dipimpin. Pada saat itulah mereka merasa lebih tinggi di atas individu-individu umat atau sebagian dari umat, tanpa mempertim-bangkan bahaya dari sikap ini.

Jika ini terjadi berulang-ulang, umat akan merasa bahwa partai adalah suatu lapisan ‘kelas’ yang lain. Demikian pula partai pun akan merasakan hal yang sama. Munculnya perasaan ini adalah awal dari kehancuran partai, karena ia akan melemahkan semangat partai untuk mempercayai orang-orang kebanyakan dari masyarakat, dan sebaliknya ia akan melemahkan kepercayaan masyarakat banyak terhadap partai. Pada saat itulah, umat akan mulai berpaling dari partai.

Apabila umat telah berpaling dari partai, berarti partai telah hancur. Dan ini membutuhkan usaha yang berlipat ganda untuk mengembalikan kepercayaan umat terhadap partai. Karena itulah, hendaknya para aktivis partai bersikap seperti individu-individu umat kebanyakan. Hendaklah mereka tidak mempunyai perasaan terhadap diri mereka, kecuali bahwa mereka adalah pelayan umat dan bahwa tugas mereka sebagai partai adalah melayani umat. Mereka harus berpandangan demikian, sebab ini akan memberi mereka kekuatan dan keuntungan lainnya, bukan hanya terpeliharanya kepercayaan mayoritas umat kepada mereka, melainkan juga akan sangat bermanfaat bagi mereka pada tahapan ketiga nanti, ketika partai menguasai pemerintahan untuk menerapkan ideologi. Karena pada saat itu -sebagai penguasa- mereka sebenarnya tetap menjadi pelayan umat, sehingga sikapnya tersebut akan memudahkan mereka dalam menerapkan ideologi.

Wali, Kepala Daerah Ideal dengan Standar Islam

Seorang pemimpin hendaknya adalah orang yang paling bersegera melayani umat, bukan yang paling segera minta dilayani umat. Dalam hal ini, Islam dengan segala kesempurnaannya telah memiliki referensi pasti tentang sosok pemimpin ideal. Berjuang untuk Islam, membutuhkan orang-orang yang mampu dan mau terjun dengan segala onak-durinya. Mengemban dakwah Islam pada dasarnya adalah proses inkubasi dan penggemblengan untuk mencetak orang-orang berkarakter pemimpin. Ini tak lain karena dengan Islam itulah cahaya kemuliaan pada diri mereka akan nampak, yang akan membedakannya dengan golongan orang yang tidak mengemban Islam. Sebagaimana firman Allah Swt: “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (TQS Muhammad [47]: 07).

Demikian pula sistem aturan kehidupan yang membidani kelahirannya, merupakan sistem shohih yang diwajibkan oleh Allah Swt Tuhan alam semesta, yakni Khilafah. Karenanya, seorang pemimpin seyogyanya adalah seorang pengemban dakwah Islam, hasil binaan partai bermabda Islam. Para pengemban dakwah adalah orang-orang yang telah memahami hakikat dakwah, termasuk di dalamnya mengkonsentrasikan kegiatannya terhadap masyarakat. Masyarakat itu sendiri dalam hal ini adalah sekumpulan orang yang dipersatukan oleh pemikiran, perasaan dan peraturan hidup yang sama. Karena itu penting untuk berpegang pada kaidah: “Perbaikilah masyarakat, niscaya individu akan menjadi baik, dan terus menerus dalam keadaan baik.”

Dalam sistem pemerintahan Islam, kepala suatu daerah disebut wali. Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi) serta menjadi amîr (pemimpin) wilayah itu. Karena para wali adalah penguasa, maka mereka harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa, yaitu: harus seorang laki-laki, merdeka, Muslim, balig, berakal, adil, dan termasuk orang yang memiliki kemampuan. Jabatan wali memerlukan adanya pengangkatan dari Khalifah atau orang yang mewakili Khalifah dalam melaksanakan pengangkatan itu. Wali tidak diangkat kecuali oleh Khalifah.

Rasulullah saw. dulu mengangkat para wali untuk berbagai negeri. Beliau menetapkan bagi mereka hak memutuskan persengketaan. Beliau telah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadhramaut, dan Abu Musa al-‘Asy‘ari di wilayah Zabid dan ‘Adn. Rasulullah saw. memilih para wali dari orang-orang yang memiliki kelayakan (kemampuan dan kecakapan) untuk memegang urusan pemerintahan, yang memiliki ilmu, dan yang dikenal ketakwaannya. Beliau memilih mereka dari kalangan orang-orang yang dapat melaksanakan tugas dengan baik dalam urusan yang menjadi kewenangannya dan yang dapat ‘mengairi’ hati rakyat dengan keimanan dan keagungan (kemuliaan) Negara. Imam Muslim menuturkan riwayat dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., bahwa Nabi saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Imam/Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).

Adapun berkaitan dengan pemberhentian wali, seorang wali diberhentikan jika Khalifah memandang perlu untuk memberhentikannya atau jika penduduk wilayah itu atau mereka yang menjadi wakil penduduk wilayah tersebut menampakkan ketidakridhaan dan ketidaksukaan mereka terhadap walinya. Bahkan, seorang Khalifah berhak memberhentikan wali tanpa suatu sebab apapun. Seorang wali tidak dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Akan tetapi, ia dapat diberhentikan dan diangkat kembali untuk kedua kalinya. Maksudnya, ia harus diberhentikan dari tempat semula dan boleh diangkat kembali menjadi wali untuk memegang kepemimpinan di tempat baru dengan akad pengangkatan yang baru.

Disamping itu, Khalifah wajib mengontrol aktivitas-aktivitas para wali. Khalifah juga harus senantiasa melakukan pengawasan secara ketat terhadap para wali, baik hal itu dilakukan oleh Khalifah sendiri atau Khalifah menunjuk orang yang mewakilinya untuk menyelidiki kondisi mereka dan melakukan audit atas mereka.

Khatimah

Demikianlah sosok kepala daerah dalam Islam. Syaratnya singkat, tapi mantap. Proses pemilihan dan pemberhentiannya juga sederhana, tanpa memboroskan anggaran sebagaimana Pilkada dalam sistem demokrasi, bahkan diyakini tanpa konflik karena semua urusan yang bersangkutan, diketahui dan diputuskan hanya oleh Khalifah. Semua ini tak lain karena memilih pemimpin umat bukanlah perkara remeh. Karenanya, saat memilihnya jangan sampai ibarat kalimat “Di bawah pemimpin yang baik, anak buah bodoh pun ada gunanya. Tapi di bawah pemimpin yang bodoh, pasukan terbaik pun kocar-kacir.” Idealitas sosoknya harus sesuai dengan aturan Islam, bukan yang lain. Firman Allah Swt: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raaf [07]: 96). Wallaahu a’lam bish showab [].

-- selesai --

Mengiring Detak Pilkada Serentak (Bagian 2)

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Sekolah Pamong Praja dan Revolusi Mental Aparat Pemerintahan, Cukupkah?

IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) adalah salah satu Lembaga Pendidikan Tinggi Kedinasan dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang bertujuan mempersiapkan kader pemerintah, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Dengan kata lain, IPDN adalah kawah candradimukanya Kemdagri untuk menggembleng kader-kader pemerintahan yang tangguh bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun, pada 10 Oktober 2007, dalam sebuah sidang kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk menggabungkan STPDN dengan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) menjadi IPDN menyusul terungkapnya kasus kekerasan yang terjadi di STPDN. Sebuah corengan, seperti inikah sepak terjang para taruna yang akan menjadi pamong praja dan pemimpin di tengah-tengah masyarakat? 

Mungkin ada benarnya jika Rektor IPDN yang baru dilantik, Ermaya Suradinata mengatakan bahwa sejak 1957 Bung Karno sudah membuat revolusi mental dalam hubungannya dengan perubahan mindset aparatur negara yang dulu itu ingin dilayani menjadi harus melayani masyarakat. Maka dari itu, seyogyanya harus dihidupkan lagi agar tetap relevan dengan saat ini dan masa depan. Bahkan menurutnya, sebagai wujud pemerhatian terhadap para taruna, sistem pendidikan di IPDN akan diubah. Nantinya, setiap barak akan ada pengasuh. Tadinya pengasuh hanya di satu tempat saja dan jauh dari barak. Nantinya, pengasuh akan ditempatkan dekat dengan barak dan bertanggungjawab dengan yang diasuh. Dan untuk menjadi pengasuh harus pula mengikuti tes serta mendapatkan pendidikan psikologis. 

Tak hanya itu, Ermaya pun ingin mengutamakan penempatan lulusan IPDN di kelurahan-kelurahan di seluruh Indonesia. Hal ini sebagai upaya penempaan diri para lulusan. Dan sebelum ditempatkan mereka akan dilakukan diklat profesional agar siap di lapangan (berita.suaramerdeka.com, 08/08).

Revolusi mental sendiri merupakan jargon besar pemerintahan Jokowi-JK. Tak main-main, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (saat itu), Andrinof Chaniago, pemerintah menganggarkan Rp 149 miliar untuk program Revolusi Mental yang sudah disetujui DPR. Rencanannya dana itu akan digunakan untuk membiayai program-program yang bisa mengubah perilaku masyarakat. untuk menyadarkan masyarakat, perlu dibuat program kampanye. Mulai dari iklan, film hingga dialog publik dari tokoh-tokoh yang berpengaruh. Anggaran Revolusi Mental itu akan digunakan untuk mendanai program tersebut. Rencanannya uang itu akan disebar di sejumlah kementerian, termasuk Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama dan Kementerian Sosial, dan Kementerian Kordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, yang kata Andrinof mengambil peran paling besar. Termasuk peran tokoh agama di sini adalah menjadi pembicara soal perubahan perilaku (tribunnews.com, 21/02).

Secara spesifik, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani pun menyatakan, aparat pemerintah mulai dari tingkat desa hingga tingkat pusat merupakan pelopor gerakan nasional Revolusi Mental. Menurut Puan, gerakan nasional Revolusi Mental yang digaungkan oleh pemerintahan Jokowi-JK merupakan gerakan segenap rakyat dan bangsa Indonesia. Revolusi Mental melalui Gerakan Hidup Baru akan menghidupkan kembali dan menggelorakan idealisme sebagai sebuah bangsa, menggelorakan kembali rasa keikhlasan dan gotong-royong sesama anak bangsa. Oleh karena itu, kata Puan, gerakan nasional Revolusi Mental sebagai gerakan hidup baru rakyat Indonesia membutuhkan keteladan dan kepeloporan. Keteladanan dan kepeloporan itu, lanjut Puan, harus dimulai dari aparatur pemerintahan dengan mengubah cara berfikir, kerja dan cara berperilaku.

Ini perlu disoroti, karena aparat pemerintah adalah sebagai agen perubahan, disamping sebagai pelopornya. Karenanya Puan berharap seluruh bangsa Indonesia mampu menginternalisasi tiga nilai strategis instrumental Revolusi Mental, yaitu integritas, kerja keras dan gotong royong (tribunnews.com, 30/04).

Namun, cukupkah demikian?

Partai Krisis Kader, Gagal Memberikan Pembelajaran

Partai politik adalah gerakan, sudah selayaknya selalu menjadi garda terdepan terhadap perubahan, yang otomatis menjadikannya pihak yang bertanggung jawab mencetak kader mumpuni. Kader perlu pembinaan (tatsqif), bukan sebatas sebagai simpul massa. Ironisnya, balon pilkada justru sering asal catut. Artis, pelawak, penyanyi, hingga mantan narapidana, punya kesempatan yang sama untuk masuk bursa. Belum lagi dengan santernya budaya mahar politik. Ini akan beralamat pada pemimpin-pemimpin yang nantinya mudah disuap, hingga potensial menjadi calon koruptor yang berkelanjutan. 

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan sejumlah partai politik gagal dalam proses kaderisasi. Kegagalan itu tercermin dari kebijakan sejumlah partai yang mencalonkan kepala daerah berlatar belakang bekas penjahat. Kini banyak eks narapidana diusung partai politik sebagai calon kepala daerah. Yang menjadi ukuran penjaringannya pun hanya survei politik, bukan kredibilitas calon. Menurutnya, parpol tidak punya konsep rekrutmen politik berbasis kaderisasi dan terkooptasi pengaruh elite yang punya modal kuat. Akibatnya, parpol sangat permisif pada korupsi.

Menurut Titi pula, partai politik mengedepankan prinsip popularitas dan finansial sebagai pertimbangan dalam pencalonan eks narapidana. Ia menilai partai sengaja mengesampingkan etika publik dan moralitas calon. Padahal, kata dia, kejahatan korupsi telah jelas-jelas mengkhianati masyarakat. Mereka semestinya tidak menjadi pejabat publik yang akan mempunyai kewenangan besar dan menjadi pengelola keuangan negara.

Kepesertaan eks narapidana semakin terbuka setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal pembatasan calon kepala daerah yang pernah menjalani masa pidana pada Juli 2015. Mahkamah Konstitusi menyatakan setiap eks narapidana berhak mencalonkan diri tanpa harus menunggu jeda lima tahun setelah masa tahanannya selesai seperti yang diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf g.

Namun MK mewajibkan mereka membuat pengumuman kepada publik terkait latar belakang pidana yang telah dijalaninya. Kata Titi lagi, publik harus mendapatkan riwayat dan latar belakang yang utuh dari kandidat agar bisa lebih obyektif menilai setiap calon.

Tempo mencatat sembilan nama calon kepala daerah yang pernah menjadi terpidana korupsi. Mereka adalah Elly Engelbert Lasut (calon Gubernur Sulawesi Utara), Jimmy Rimba Rogi (calon Wali Kota Manado), Vonny Panambunan (calon Bupati Minahasa Utara), Soemarmo Hadi Saputro (calon Wali Kota Semarang), Abu Bakar Ahmad (calon Bupati Dompu), Usman Ikhsan (calon Bupati Sidoarjo), Amdjad Lawas (calon Bupati Poso), Monang Sitorus (calon Bupati Toba), dan Azwar Chesputra (calon Calon Bupati Limapuluh Kota) (tempo.co, 04/08).

Tak heran, hasil dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun ini diprediksi akan sangat minimalis. Bisa dipastikan bahwa Pilkada 2015 tidak banyak melahirkan pemimpin daerah yang kapabel, punya kompetensi tinggi dan reputasi yang teruji. “Buktinya, tidak sedikit calon kepala daerah yang latar belakangnya bermasalah. Ada calon dengan latar belakang eks narapidana. Kendati kita meyakini yang bersangkutan telah insyaf. Ada juga calon yang berstatus eks narapidana kasus korupsi,” ujar anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo.

Politikus Partai Golkar ini juga mengkritisi partainya yang mencalonkan Jimmy Rimba sebagai calon Wali kota Manado. Jimmy merupakan terpidana kasus korupsi. Menurut Bambang, persiapan setiap pasangan calon Kepala daerah pasti hanya terfokus pada strategi pemenangan. Tetapi, kualitas dan kompetensi kepemimpinan justru belum dipersiapkan dengan matang. Inilah titik lemah dari proses menghadirkan pemimpin daerah. Dia menjelaskan, sedikitnya, ada dua aspek yang akan dipertaruhkan ketika pemerintah bersikukuh merealisasikan Pilkada serentak tahun ini. Pertama, apakah Pilkada di 269 daerah pemilihan (Dapil) akan berjalan dengan aman, lancar dan bersih, atau harus diwarnai kericuhan hingga konflik massa pendukung di akar rumput (suaramerdeka.com, 02/08).

Sementara menurut Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia), ini merupakan gambaran telanjang gagalnya partai menjalani fungsinya termasuk kaderisasi. Kaderisasi ini secara sistematis diabaikan partai demi menghindari tergerusnya wibawa ketum atau elit partai jika banyak kader menjadi cerdas dalam proses kaderisasi. Elit partai yang seolah-olah menjadi pemilik partai, menghendaki kader yang “cool” dan tidak terlampau kritis untuk memudahkan kontrol total elit partai terhadap para kader. Karena itu, mengingatkan publik jangan terlalu mudah percaya partai yang kelihatannya garang dalam memberantas korupsi. Cuap-cuap partai yang galak dalam hal pemberantasan korupsi hanya tipu muslihat saja agar dipercaya oleh publik. Sesungguhnya secara institusi tak ada keinginan kuat partai untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berintegritas. Pemilih masih terlalu mudah diperdaya oleh politisi dengan menggunakan uang untuk membeli hak suara mereka (sp.beritasatu.com, 03/08).

Lebih parah, pascapilkada adalah masa untuk bagi-bagi kekuasaan. Akibatnya, makin merosotlah krisis kepemimpinan, karena bertumpu pada arah simpang gerak partai sebagai pemilik kepentingan yang meluluskan tujuan para pemilik kapital. 

Ini sejalan dengan pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, Naning Wijaya bahwa perusahaan swasta boleh menyumbang dana kampanye calon bupati dan calon wakil bupati pada pilkada Desember 2015. Batasan maksimal dana kampanye kandidat bupati dibatasi Rp 11 miliar, gabungan dana sumbangan perorangan dan perusahaan swasta. Di samping itu para kandidat harus melaporkan dana dan sumber-sumber dana kampanye kepada KPU. Sesuai aturan yang ada sumbangan pribadi untuk dana kampanye maksimal Rp 50 juta. Sementara untuk sumbangan dana kampanye yang diberikan perusahaan kepada kandidat calon bupati atau calon wali kota sebesar Rp 500 juta. Ini berlaku untuk perusahaan swasta bukan BUMN, karena BUMN tidak diperbolehkan menyumbang dana kampanye (republika.co.id, 03/08).

Sementara itu, MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) disebut-sebut sebagai agenda mendesak di balik prematurnya kebijakan Pilkada serentak. Atas nama kacamata politik, agenda MEA jelas tak bisa diabaikan. Mulusnya MEA, takkan bisa lepas dari peran para pemangku kebijakan. Terlebih di daerah, tempat di mana proses pasar bebas ASEAN ini akan dieksekusi. Ini tentunya membutuhkan para kepala daerah yang manut dengan integralisasi agenda besar MEA.

Hal ini setali tiga uang dengan pernyataan pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah, yang menilai jika pilkada secara serentak di beberapa daerah ditunda pelaksanaannya akan mempengaruhi persiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan diberlakukan awal 2016. Menurutnya, daerah harus punya pemimpin yang tetap di akhir 2015, bukan pelaksana tugas atau plt, karena keputusan strategis dibutuhkan daerah dalam menghadapi MEA mulai 2016. Jika suasana politik tidak kondusif dalam satu tahun ini, ia meyakini pemerintah dan masyarakat di daerah yang belum memiliki kepala daerah definitif akan sulit untuk serius dan fokus dalam menghadapi tahun perdagangan tersebut.

Firmansyah menambahkan, masing-masing daerah perlu kebijakan distribusi ekonomi yang cepat dan kebijakan infrastruktur perdagangan yang memadai, serta kebijakan ekonomi lainnya. Hal itu tentu bisa dilakukan oleh seorang kepala daerah definitif yang memiliki kewenangan lebih luas dibandingkan seorang plt. Bahkan, jika sejumlah daerah belum memiliki kepala daerah definitif pada akhir 2015, maka daerah itu akan menjadi penonton perhelatan MEA. Penunjukan plt memiliki kelemahan karena tokoh yang ditunjuk bersumber dari gubernur yang juga tokoh politik, sehingga sulit tidak lepas dari kepentingan politik menempatkan seorang plt bupati dan wali kota. Seorang plt sulit untuk merencanakan dan memutuskan kebijakan strategis karena kewenangannya terbatas, tidak seperti kepala daerah definitif.

Ia pun mengingatkan politisi untuk memperhatikan perkembangan fakta, peluang dan tantangan ekonomi rakyat bila kegaduhan politik tetap terpelihara. Para politisi hendaknya tidak menjadikan ketidakpastian politik lebih lama karena itu juga akan menyebabkan ketidakstabilan ekonomi juga akan menjadi lama (nasional.republika.co.id, 03/08). Terkait masih ada sejumlah daerah yang terancam ditunda pelaksanaan pilkada, Firmansyah berpendapat, masalah tersebut bisa diselesaikan dengan ketegasan Presiden, baik dengan mengeluarkan peraturan pengganti perundang-undangan atau kebijakan politis lainnya (sp.beritasatu.com, 03/08).

Kini tengoklah, klaim pemerintah, akademisi, pengamat politik, aktivis LSM atau pihak lain yang menganggap Indonesia layak menjadi role model demokrasi bagi negeri muslim lain, nyatanya hanya ilusi. Belum dua dasawarsa sejak euforia reformasi mengharu biru pengusung kebebasan berpendapat, namun fenomena demokrasi Indonesia sungguh menyedihkan. Setiap kali berbicara tentang pilkada, publik selalu dihadapkan dengan ketidakmampuan pemerintah dalam penyelenggaraannya, praktiknya sarat kecurangan, termasuk kebobrokan parpol dan kontestannya.

Kali ini, menjelang Pilkada serentak pada 9 Desember 2015, media sudah memotret ketidakmampuan parpol untuk sekedar menghadirkan calon yang siap menjadi kontestan dalam pilkada. Seharusnya, untuk memenuhi persaingan one by one pada 51 pilkada hanya dibutuhkan 102 pasangan kontestan, namun hingga Senin 27/7 hanya ada 63 kontestan. Padahal pendaftaran ditutup pada Selasa 28/7. Begitulah demokrasi. Tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia, demokrasi tidak pernah mampu menyentuh persoalan mendasar yang ingin diwujudkannya: menjadikan rakyat sejahtera dengan terlibat dalam sistem pemerintahan.

Semua itu kian membuktikan bahwa demokrasi hanya sekedar permainan politik akomodatif yang digagas Barat untuk melanggengkan penjajahan dengan memaksakan nilai universal yang jelas-jelas berlawanan dengan akal dan fitrah kemanusiaan. Parpol yang dianggap sebagai kendaraan utama untuk melanggengkan demokrasi, memang tidak akan mampu mewujudkan ide utopis mewujudkan keterlibatan rakyat. Pemikir dan praktisis Barat pun banyak yang sepakat akan akal-akalan busuk, persekutuan keji antara korporasi, pemerintah dan elit parpol untuk merekayasa proses dan hasil demokratisasi.

Jadi, buat apa masih percaya bahkan menggunakan sarana ini untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, jika masyarakat terus dijejali dengan fakta-fakta buruk demokrasi. Sudahlah, buang demokrasi ke tempat sampah, ganti dengan sistem pemerintahan yang bersumberkan wahyu Allah yang mulia. Kembali pada sistem pemerintahan yang menjanjikan kemuliaan, tanpa keribetan dan kecurangan nafsu manusia (Kompol LS MHTI).

-- bersambung --