Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Hampir dua minggu pemberlakuan tarif THB (Tiket Harian Berjaminan) pada KRL Commuter Line (CL) Jabodetabek masih hangat menjadi perbincangan. Mulai dari keribetannya, penumpang mengeluh waktu yang terbuang, kerepotan harus bolak-balik ke loket untuk menukar uang jaminan, bahkan ada yang tak bisa menukar kembali uang jaminannya (liputan6.com, 27/08/2013), loket penjualan tiket yang tak semuanya buka padahal banyak loket di beberapa stasiun besar, hingga pembicaraan ibu-ibu di gerbong khusus wanita tentang AC yang tak manusiawi padahal mereka sebelum naik kereta sudah direpotkan dengan sistem tiket baru ini. Belum lagi saat mengularnya antrean tiap hari Senin pagi di Stasiun Besar Bogor, membuat para penumpang yang sebagian besar bekerja di Jakarta itu akhirnya mengomel tanda tak puas dengan pelayanan PT KAI Commuter Jabodetabek (PT KJC).
THB, Kebijakan Baru PT KJC
Ya, hilangnya sekitar 800 Ribu tiket KRL sekali jalan atau yang dikenal dengan Kartu Single Trip selama E-ticketing, menjadikan PT KAI membuat kebijakan baru. Dalam siaran pers-nya (www.krl.co.id), PT KJC menyatakan bahwa sistem THB ini diterapkan karena menjadi fokus penting pada evaluasi yang dilakukan oleh PT KJC. Selain terus melakukan penertiban dan menguatkan pengamanan di Stasiun, PT KCJ juga akan menerapkan sistem uang jaminan sebesar Rp 5.000,- pada Kartu sekali jalan tersebut.
Pada prinsipnya untuk mendapatkan THB seluruh penumpang tetap harus ke loket setiap akan melakukan perjalanan, namun ada dua biaya yang harus dibayarkan yakni harga tarif sesuai jumlah stasiun yang akan dilewati dan Uang Jaminan sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah). Uang jaminan tersebut tidak hilang atau hangus selama pengguna mengembalikan tiket tersebut (melakukan Refund) atau pembelian rute perjalanan berikutnya atau perjalanan baru di loket Stasiun sesuai aturan yang berlaku. Pada THB, jika tidak dikembalikan pada hari yang sama maka penumpang akan diberi masa tenggang selama 7 hari setelah hari pembelian terakhir, namun jika melewati masa 7 hari tersebut maka uang jaminan pada tiket hangus dan tidak dapat digunakan lagi untuk pembelian rute perjalanan berikutnya. Selain melewati masa tenggang, uang jaminan pada THB juga akan hangus jika penumpang tidak melakukan tapping out pada perangkat E-Ticketing di gate out (keluar tidak melalui pintu resmi).
Tata cara penggunaan THB di Gate out (Stasiun tujuan) juga berbeda dengan Kartu Single Trip. Saat ini di Stasiun tujuan kartu single trip harus dimasukkan pada Card Slot Gate out, namun pada THB di Stasiun tujuan penumpang hanya cukup melakukan tapping kembali pada perangkat gate out. Diharapkan penerapan THB ini dapat menjadi cara yang efektif pada penerapan E-Ticketing sehingga sirkulasi kartu dapat terjaga dengan baik.
Penerapan THB juga bersifat permanen. Artinya, itu akan terus diterapkan hingga seluruh ‘jalan tikus’ keluar stasiun ditutup dari capaian saat ini sudah 90%. Dengan begitu, tidak ada lagi celah bagi penumpang untuk tidak mengembalikan tiket. THB diterapkan guna mengurangi kehilangan tiket elektronik yang mencapai 20.000 per hari atau sekitar 700.000 dalam sebulan dengan kerugian mencapai Rp 3 miliar (www.investor.co.id, 28/08/2013).
THB, Kebijakan Bermotif Ekonomi
Penerapan THB mendongkrak 30% penjualan tiket elektronik multitrip menjadi total sekitar 200.000 dari sebelumnya berkisar 150.000-160.000 tiket. Namun begitu, penjualan tiket ini belum ideal untuk jumlah penumpang KRL CL yang mencapai sekitar 600.000 orang. Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, induk usaha KCJ, Ignatius Jonan menuturkan, jumlah tiket elektronik multitrip idealnya terjual sebanyak 250.000 tiket agar bisa meningkatkan pelayanan penumpang reguler KRL CL. Menurutnya, penambahan jumlah penjualan tiket multitrip terjadi dalam lima hari sejak diterapkan THB. Adapun sebelum THB diberlakukan, penjualan tiket multitrip sebanyak 150.000-160.000 dalam 1,5 bulan (www.investor.co.id, 28/08/2013).
Memang, harus disadari bahwa sebagian besar orang bekerja ke Jakarta memilih KRL karena memang lebih ekonomis dibandingkan naik angkutan umum bermotor. Namun, bagaimanapun keadaannya dan apapun alasan PT KJC, di lapangan nyata bahwa sistem pelayanan masyarakat mereka hanya bermotif ekonomi. Tak ada sedikitpun motif untuk memudahkan urusan atau keperluan masyarakat pengguna alat transportasi KRL. Konsep modernisasi E-Ticketing membuktikan bahwa teknologi justru mempersulit, bukan memudahkan.
Memang apa salahnya jika penjualan tiket dilakukan dengan cara yang lebih sederhana? Benarkah kesan high-tech itu selalu bernilai positif? Tidakkah ini hanya semacam lifestyle yang jika tak dilakukan akan membuat rakyat negeri ini sepertinya ketinggalan zaman? Padahal, kemudahan pelayanan itu tak harus berkesan high-tech. Dan, apakah benar bahwa hilangnya kartu single trip hanya karena terbawa oleh para penumpang yang mungkin lewat jalan tikus?
Harus disadari bahwa manajerial pelayanan publik itu memang harus punya paradigma. Jika paradigma bungkus high-tech secara fisik saja yang dikejar, maka wajar jika target utama pengambil kebijakan untuk memudahkan dan menyejahterakan masyarakat yang diurusnya jelas takkan pernah tercapai. Terlebih ketika motif ekonomi telah mendominasi. Akibatnya, berbagai urusan administratif dan birokratif seolah makin asyik jika dipersulit.
Akibat dari hilangnya kartu single trip pun harus ditanggung oleh penumpang dengan adanya sistem THB. Padahal sangat mungkin bahwa itu juga disebabkan oleh tak memadainya fasilitas Gate Out di sejumlah stasiun, apalagi stasiun yang kecil dan tak punya lahan lagi untuk memperluas area pelayanan karena sudah berdesakan dengan kepentingan pencaharian lain seperti tempat ngetem angkutan umum atau pangkalan ojek. Jadi ini bukan semata-mata kesalahan penumpang yang lupa tak memasukkan kartu single trip di Card Slot Gate Out stasiun.
Apalagi sebelum pemberlakuan THB, yaitu tarif progresif pada bulan Juli lalu, ternyata PT KAI belum mendapatkan keuntungan. Pendapatan PT KCJ justru menurun meskipun bertambah jumlah penumpang, karena penumpang yang sebelumnya pelanggan KRL Ekonomi berpindah ke CL. Dari data sepuluh hari menjelang dan setelah pemberlakukan tarif progresif menyebutkan, jumlah penumpang KRL CL melonjak drastis yakni 26,9% sedangkan secara keseluruhan penumpang KRL naik 9,4%. Kenaikan signifikan penumpang KRL CL ditunjang oleh penumpang KRL Ekonomi yang berpindah ke CL karena tarifnya turun. Jumlah penumpang KRL Ekonomi pun turun hampir 80% pada periode tersebut sebelum akhirnya KRL Ekonomi dihapuskan. Akhirnya, kondisi ini dapat dijadikan momentum pemerintah maupun PT KAI sebagai operator untuk meraup penumpang sehingga mendukung program nasional penghematan konsumsi BBM, antipolusi serta kemacetan. Dengan kata lain, keuntungan ekonomi memang menjadi target PT KAI (beritasatu.com, 15/07/2013).
Islam: Manajemen Bagian dari Urusan Politik
Islam, sebagai mabda (ideologi), selalu punya solusi tentang problematika sosial-kemasyarakatan. Islam mampu bicara tentang perkara umat karena disamping sebagai aqidah ruhiyah (agama), Islam juga merupakan aqidah siyasiyah (politik). Politik dalam Islam bermakna mengurusi urusan umat. Maka dalam Islam, perkara politik akan diurus secara integral oleh kepala negara (khalifah) sebagai penanggung jawab urusan umat yang hidup dalam negara yang dipimpinnya.
Kepala negara sebagai penanggung jawab urusan umat telah dicontohkan oleh Rasulullaah saw dan beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang imam (penguasa) itu (bagaikan) perisai. Orang-orang berperang di belakangnya, dan juga berlindung dengannya. Maka jika ia memerintah (berdasarkan) takwa kepada Allah ta’ala dan berlaku adil, maka baginya pahala. Akan tetapi jika ia memerintah tidak dengan (takwa pada Allah dan tidak berlaku adil) maka ia akan mendapatkan balasannya.” (HR. Muslim no.3428). Juga sabda beliau saw sebagai pengingat dan peringatan: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah kalian cinta kepada mereka, dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian ialah kalian benci kepada mereka, dan mereka pun benci kepada kalian. Kalian melaknat mereka, dan mereka pun melaknat kalian…” (HR. Muslim no. 3447).
Rasulullaah saw sebagai sebaik-baik teladan, sangat memperhatikan kemudahan urusan layanan publik. Dalam Kitab Struktur Negara Khilafah (2008) dinyatakan bahwa manajemen berbagai urusan negara dan berbagai kepentingan masyarakat ditangani oleh departemen, jawatan, serta unit-unit yang didirikan untuk menjalankan urusan-urusan negara dan memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat tersebut. Rasulullaah saw secara langsung mengatur departemen-departemen.
Departemen merupakan lembaga administratif tertinggi untuk satu kemaslahatan di antara berbagai kemaslahatan negara seperti kewarganegaraan, transportasi, pencetakan mata uang, pendidikan, kesehatan, pertanian, ketenagakerjaan, jalan, dan sebagainya. Departemen itu mengurusi manajemen departemen itu sendiri, jawatan-jawatan, dan unit-unit yang ada di bawahnya.
Beliau juga menunjuk para penulis untuk mengatur departemen-departemen itu. Rasulullaah saw secara langsung mengatur berbagai kepentingan masyarakat di Madinah. Beliau juga secara langsung memelihara urusan-urusan mereka, mengatasi berbagai permasalahan mereka, mengatur berbagai interaksi mereka, menjamin kebutuhan-kebutuhan mereka, serta mengarahkan mereka pada sesuatu yang menjadikan urusan mereka semakin baik. Semua ini termasuk dari perkara-perkara administratif yang memudahkan kehidupan mereka tanpa banyak problem dan kerumitan.
Beliau juga meminta bantuan kepada beberapa orang Sahabat untuk menjalankan hal itu. Dengan demikian, pengaturan berbagai kemaslahatan rakyat itu merupakan salah satu fungsi struktur negara yang ditangani oleh Khalifah, atau Khalifah dapat mengangkat direktur profesional untuk mengurusinya. Karena itu, hendaknya terdapat struktur departemen yang mengurusi kemaslahatan masyarakat. Setiap departemen dikepalai oleh seorang direktur profesional yang menguasai berbagai sarana dan cara untuk memudahkan kehidupan rakyat serta memberikan berbagai pelayanan yang dibutuhkan rakyat tanpa kerumitan, bahkan dengan penuh kemudahan dan kesederhanaan.
Khatimah
Subhanallaah, Islam sangat detil bicara strategi dalam mengatur kepentingan masyarakat dilandasi dengan kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas orang yang mengurusinya. Hal ini diambil dari realitas pelayanan kepentingan itu sendiri. Orang-orang yang memiliki kepentingan menginginkan kecepatan dan kesempurnaan pelayanan.
Rasulullaah saw pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh (melaksanakan qishâsh) maka lakukanlah pembunuhan itu secara ihsan (baik/sempurna). Jika kalian menyembelih maka lakukan penyembelihan itu secara baik/sempurna...” (HR Muslim dari Syadad bin Aus).
Ihsân (kebaikan, kesempurnaan) dalam melaksanakan pekerjaan jelas diperintahkan oleh syariah. Untuk merealisasikan kebaikan/kesempurnaan dalam melaksanakan pekerjaan, harus terpenuhi tiga hal berikut dalam manajemennya:
- Kesederhanaan aturan; karena kesederhanaan aturan itu akan memberikan kemudahan dan kepraktisan, sementara aturan yang rumit akan menyebabkan kesulitan.
- Kecepatan dalam pelayanan transaksi; karena hal itu akan mempermudah orang yang memiliki keperluan.
- Pekerjaan itu ditangani oleh orang yang mampu dan profesional.
Ketiga hal itu menjadi wajib bagi kesempurnaan pekerjaan sebagaimana juga dituntut oleh pelaksanaan pekerjaan itu sendiri.
Jadi, apakah pengaturan tarif THB sudah sesuai dengan strategi manajemen layanan publik yang dicontohkan oleh Rasulullaah saw? Wallaahu a’lam bish showab [].