Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Apa Sih LGBT?
Apakah LGBT itu kependekan dari ‘lagi bete’? Ternyata bukan. Dari makna katanya, berikut rinciannya. LGBT adalah singkatan dari lesbian, gay, biseks dan transgender. Lesbian adalah sebutan bagi perempuan yang mempunyai kecenderungan dan mencintai sesama perempuan. Gay adalah sebutan bagi laki-laki yang mempunyai kecenderungan dan mencintai sesama laki-laki. Biseks adalah sebutah bagi perempuan dan laki-laki yang mempunyai kecenderungan dan mencintai dua pasangan, sesama perempuan dan atau laki-laki. Transgender adalah sebutan bagi perempuan atau laki-laki yang menampilkan diri dengan sosok yang berbeda dengan gendernya.
Sejarah Munculnya LGBT
Sebelum revolusi seksual pada tahun 1960-an, tidak ada kosakata non-peyoratif untuk menyebut kaum yang bukan heteroseksual. Istilah terdekat, "gender ketiga", telah ada sejak tahun 1860-an, tetapi tidak banyak disetujui. Istilah pertama yang banyak digunakan, "homoseksual", dikatakan mengandung konotasi negatif dan cenderung digantikan oleh "homofil" pada era 1950-an dan 1960-an. Lalu gay pada tahun 1970-an.
Frase "gay dan lesbian" menjadi lebih umum setelah identitas kaum lesbian semakin terbentuk. Pada tahun 1970, Daughters of Bilitis menjadikan isu feminisme atau hak kaum gay sebagai prioritas. Maka, karena kesetaraan didahulukan, perbedaan peran antar laki-laki dan perempuan dipandang bersifat patriarkal oleh feminis lesbian. Banyak feminis lesbian yang menolak bekerja sama dengan kaum gay. Lesbian yang lebih berpandangan esensialis merasa bahwa pendapat feminis lesbian yang separatis dan beramarah itu merugikan hak-hak kaum gay.
Selanjutnya, kaum biseksual dan transgender juga meminta pengakuan dalam komunitas yang lebih besar. Setelah euforia kerusuhan Stonewall mereda, dimulai dari akhir 1970-an dan awal 1980-an, terjadi perubahan pandangan. Beberapa gay dan lesbian menjadi kurang menerima kaum biseksual dan transgender. Kaum transgender dituduh terlalu banyak membuat stereotip dan biseksual hanyalah gay atau lesbian yang takut untuk mengakui identitas seksual mereka.
Setiap komunitas yang disebut dalam akronim LGBT telah berjuang untuk mengembangkan identitasnya masing-masing, seperti apakah, dan bagaimana bersekutu dengan komunitas lain. Konflik tersebut terus berlanjut hingga kini. Akronim LGBT kadang-kadang digunakan di Amerika Serikat dimulai dari sekitar tahun 1988. Baru pada tahun 1990-an istilah ini banyak digunakan. Meskipun komunitas LGBT menuai kontroversi mengenai penerimaan universal atau kelompok anggota yang berbeda (biseksual dan transgender kadang-kadang dipinggirkan oleh komunitas LGBT), istilah ini dipandang positif. Walaupun singkatan LGBT tidak meliputi komunitas yang lebih kecil, akronim ini secara umum dianggap mewakili kaum yang tidak disebutkan. Secara keseluruhan, penggunaan istilah LGBT telah membantu mengantarkan orang-orang yang terpinggirkan ke komunitas umum. Aktris transgender Candis Cayne pada tahun 2009 menyebut komunitas LGBT sebagai "minoritas besar terakhir", dan menambahkan bahwa "Kita masih bisa diganggu secara terbuka" dan "disebut di televisi” (Wikipedia).
Kesalahan Teori LGBT
Kaum homoseksual yang didukung aktivis liberal di negeri ini sudah mulai berani unjuk diri di berbagai media guna memperjuangkan cita-citanya, yaitu pernikahan sesama jenis diakui secara hukum. Dengan dalih HAM dan alasan genetis bahwa orientasi homoseksual adalah karena faktor keturunan berdasarkan penelitian yang melahirkan teori ‘gen gay’ atau ‘born gay’ (sifat bawaan yang ada pada kalangan yang kemudian menjadi pembentuk karakter gay pada seseorang). Dari sini lahir propaganda yang sering kita dengar misalnya: “Adalah keputusan Tuhan untuk menjadikan kami gay” atau “Gay adalah akibat kelainan genetika, kami tidak akan bisa mengubah itu”. Sebenarnya, validkah teori ‘gen gay’ tersebut?
Ilmuwan pertama yang memperkenalkan teori “Gen Gay” adalah Magnus Hirscheld dari Jerman pada tahun 1899 yang menegaskan bahwa homoseksual adalah bawaan. Dia kemudian menyerukan persamaan hukum untuk kaum homoseksual.
Pada tahun 1991, peneliti Dr.Michael Bailey dan Dr.Richard Pillard melakukan penelitian untuk membuktikan teori tersebut. Mereka meneliti pasangan saudara : kembar identik, kembar tidak identik, saudara-saudara biologis dan saudara-saudara adopsi; salah satu di antaranya adalah seorang gay. Riset tersebut menyimpulkan adanya pengaruh genetik dalam homoseksualitas. Terdapat 52% pasangan kembar identik dari orang gay berkembang menjadi gay. Hanya 22% pasangan kembar biasa yang menunjukkan sifat itu. Saudara biologis mempunyai kecenderungan 9,2%, dan saudara adopsi 10,5%. Namun, gen di kromosom yang membawa sifat menurun itu tidak berhasil ditemukan.
Pada tahun 1993, riset dilanjutkan oleh Dean Hamer, seorang gay, yang meneliti 40 pasang kakak beradik homoseksual. Hamer mengklaim bahwa satu atau beberapa gen yang diturunkan oleh ibu dan terletak di kromosom Xq28 sangat berpengaruh pada orang yang menunjukkan sifat homoseksual. Hasil riset ini meneguhkan pendapat kaum homoseksual bahwa homoseksual adalah fitrah/bawaan, bukan penyimpangan sehingga mustahil bisa diluruskan. Hasil penelitian dari seorang gay inilah yang kemudian dipakai sebagai senjata kuat mereka untuk memperjuangkan hak-haknya. Lantas apakah para peneliti lainnya percaya begitu saja? Sampai 6 tahun kemudian, gen pembawa sifat homoseksual itu tidak juga diketemukan real-nya. Dean Hamer pun akhirnya mengakui bahwa risetnya tidak mendukung bahwa gen adalah faktor utama yang melahirkan homoseksualitas.
Hamer mengakui bahwa risetnya gagal memberi petunjuk bahwa homoseksual adalah bawaan. “Silsilah keluarga gagal menghasilkan apa yang kami harap temukan yaitu sebuah hukum warisan Mendelian yang sederhana. Faktanya, kami tidak pernah menemukan dalam sebuah keluarga bahwa homoseksualitas didistribusikan dalam rumus yang jelas seperti observasi Mendel dalam tumbuhan kacangnya,” jelasnya.
Pada tahun 1999, Prof. George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada, mengadaptasi riset Hamer dengan jumlah responden yang lebih banyak. Rice dan tim memeriksa 52 pasang kakak beradik homoseksual untuk melihat keberadaan empat penanda di daerah kromosom. Hasilnya menunjukkan, kakak beradik itu tidak memperlihatkan kesamaan penanda di gen Xq28 kecuali secara kebetulan. Para peneliti tersebut menyatakan bahwa segala kemungkinan adanya gen di Xq28 yang berpengaruh besar secara genetik terhadap timbulnya homoseksualitas dapat ditiadakan. Sehingga hasil penelitian mereka tidak mendukung adanya kaitan gen Xq28 yang dikatakan mendasari homoseksualitas pria.
Penelitian juga dilakukan oleh Prof. Alan Sanders dari Universitas Chicago di tahun 1998-1999. Hasil riset juga tidak mendukung teori hubungan genetik pada homoseksualitas. Penelitian Rice dan Sanders tersebut makin meruntuhkan teori “Gen Gay”.
Ruth Hubbard, seorang pengurus “The Council for Responsible Genetics” yang juga penulis buku “Exploding the Gene Myth” mengatakan, “Pencarian sebuah gen gay bukan suatu usaha pencarian yang bermanfaat. Saya tidak berpikir ada gen tunggal yang memerintah perilaku manusia yang sangat kompleks. Ada berbagai komponen genetik dalam semua yang kita lakukan, dan adalah suatu kebodohan untuk menyatakan gen-gen tidak terlibat. Tapi saya tidak berpikir gen-gen itu menentukan.”
Hasil riset-riset di atas, meski menemukan adanya link homoseksual secara genetika, namun menyatakan bahwa gen bukanlah faktor dominan dalam menentukan homoseksualitas. Sudah puluhan tahun dilakukan penelitian terhadap gen homoseksual tapi tidak ada fakta ilmiah yang bisa 100 persen mendukung klaim tersebut. Teori yang menyatakan bahwa gay adalah sifat genetis (ciptaan Allah) adalah propaganda palsu yang dirilis oleh peneliti yang gay. Teori Gen Gay sifatnya politis, sarat akan kepentingan kaum gay sendiri. Memang ada manusia yang terlahir hermaprodit alias kelamin ganda, tapi tidak ada manusia yang terlahir dengan kelamin normal namun punya kecenderungan homoseks.
Dalam dunia psikologi terdapat Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yang merupakan sebuah ‘kitab’ yang berisi mengenai kriteria gangguan mental. DSM diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA), yang selama ini dijadikan panduan bagi para psikolog dan psikiater untuk menentukan diagnosa seseorang jika terjadi kelainan, penyimpangan atau gangguan jiwa. Pada DSM I tahun 1952, homoseksual masih dikategorikan sebagai Gangguan Jiwa. Pada DSM selanjutnya, sedikit demi sedikit homoseksual semakin ‘dikaburkan’, dari gangguan kepribadian sosiopath, kemudian dikategorikan penyimpangan sex, hingga kemudian hilang, dikategorikan bukan gangguan jiwa pada DSM IV tahun 1994. Yang mengejutkan, lima dari tujuh orang tim task force DSM adalah gay dan lesbian, sisanya adalah aktivis LGBT.
Di Indonesia, ada buku saku yang merupakan rangkuman singkat DSM bernama Pedoman Penggolongan & Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ). Hanya saja, DSM selalu digunakan para aktivis LGBT dan aktivis HAM untuk dijadikan pembenaran bahwa perilaku para LGBT tidaklah menyimpang. Ingat, bayi yang terlahir di dunia adalah suci dan normalnya manusia menyukai lawan jenisnya. Tapi dalam perjalanan hidup tidak sedikit orang berperilaku homoseksual (gay). Apakah ini berarti perilaku gay bisa menular?
Paul Cameron Ph.D dari Family Research Institute telah melakukan penelitian dan menemukan bahwa di antara penyebab munculnya dorongan untuk berperilaku homoseksual adalah pernah disodomi waktu kecil. Penyebab lainnya adalah pengaruh lingkungan, yaitu sebagai berikut:
1. Sub-kultur homoseksual yang tampak dan diterima secara sosial, yang mengundang keingintahuan dan menumbuhkan rasa ingin mencoba.
2. Pendidikan yang pro-homoseksual (bayangkan bila di sekolah-sekolah kita –seandainya para pendukung homoseks berhasil menggolkan agenda politik mereka—ada kurikulum tentang kesetaraan seksual, setiap orang berhak jadi apa saja, heteroseksual atau homoseksual).
3. Toleransi sosial dan hukum terhadap perilaku homoseksual.
4. Adanya figur yang secara terbuka berperilaku homoseksual.
5. Penggambaran bahwa homoseksualitas adalah perilaku yang normal dan bisa diterima.
Penelitian Cameron menunjukkan bahwa kecenderungan homoseksualitas bisa disembuhkan karena perilaku seks manusia sebenarnya bisa dikendalikan (Fanpage “Suara Muslimah untuk Dunia”).
LGBT Bukan Fitrah
Dengan tegas Allah menyatakan, fitrah manusia diciptakan dengan dua jenis, laki [dzakar] dan perempuan [untsa] [Q.s. al-Hujurat: 13]. Allah pun memberikan kepada masing-masing syahwat kepada lawan jenisnya [Q.s. Ali ‘Imran: 14]. Karena itu, Allah menetapkan, bahwa mereka dijadikan hidup berpasangan dengan sesama manusia, pria dengan wanita. Tujuannya, agar nalurinya terpenuhi, sehingga hidupnya sakinah, mawaddah wa rahmah [Q.s. ar-Rum: 21]. Dari pasangan ini, kemudian lahir keturunan yang banyak, sehingga eksistensi manusia tidak punah [Q.s. an-Nisa’: 1].
Itulah mengapa Allah menjadikan perempuan sebagai ladang bagi pria, agar bisa ditanami, sehingga tumbuh subur dari rahimnya, dan melahirkan keturunan [Q.s. al-Baqarah: 223]. Itulah mengapa juga, Allah memerintahkan pria untuk menikahi wanita yang dicintainya [Q.s. an-Nisa’: 3]. Melarang berzina, apalagi menikah dengan sesama jenis. Karena itu, baik zina maupun sodomi, dan sejenisnya diharamkan dengan tegas. Pelakunya pun sama-sama dihukum dengan hukuman keras.
Itu artinya, LGBT ini bukan fitrah. Bukan takdir, bukan kudrat. Jika LGBT ini fitrah, takdir dan kudrat, tentu Allah tidak akan menghukum keras pelakunya. LGBT ini adalah penyimpangan perilaku. Jika ada yang menyebut LGBT ini fitrah, kudrat atau takdir, maka sama saja dengan lancang menuduh Allah yang menciptakannya. Ini jelas tuduhan bohong, dan sikap kurang ajar kepada Allah SWT (KH Hafidz Abdurrahman 2016).
Akar Masalah dan Bahaya LGBT
Pertama, LGBT ini ada karena faktor ideologis. Ketika negara Barat, Kafir penjajah, mengadopsi teori TR Malthus, yang menyatakan, bahwa pertumbuhan jumlah penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan pertumbuhan barang dan jasa mengikuti deret hitung. Selain jumlah pertambahan populasi dunia meningkat lebih cepat, kebutuhan manusia pun tak terbatas, sementara alat pemuasnya terbatas.
Terlebih, di saat ekonomi tidak tumbuh. Untuk mengatasi itu, maka pertumbuhan penduduk di dunia harus dihentikan, atau setidaknya dikurangi, dengan menganjurkan LGBT. Reasoning-nya, kebutuhan seksualnya terpenuhi, tetapi tidak menambah populasi, karena dilampiaskan kepada sesama jenis.
Selain itu, juga faktor ketidakyakinan tentang rizki di tangan Allah. Tidak yakin, bahwa setiap yang melata di muka bumi sudah dijamin rizkinya oleh Allah SWT. Tidak yakin, bahwa rizki yang ada di tangan-Nya tidak pernah habis. Ditambah, ketimpangan distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat, karena tidak diatur oleh sistem yang adil.
Kedua, LGBT bisa terjadi karena kesalahan pendidikan, baik di dalam maupun di luar rumah. Komunitas LGBT ini tidak sedikit yang diikuti orang Islam. Ini lebih disebabkan, karena kesalahan pendidikan, baik di dalam rumah, maupun di luar rumah.
Ketiga, LGBT juga bisa terjadi karena lingkungan, pergaulan, bacaan dan tontonan yang hadir di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga faktor ini secara simultan menjadi pemicu lahir, tumbuh dan berkembangnya LGBT di dunia. Karena LGBT ini bukan fitrah, tetapi penyimpangan perilaku, maka LGBT ini justru membahayakan individu, keluarga, masyarakat dan negara (KH Hafidz Abdurrahman 2016).
Kisah Kaum Nabi Luth as
Salah satu adzab Allah paling dahsyat yang dikisahkan dalam Al-Quran adalah tentang pemusnahan kaum Nabi Luth as. Mereka diadzab Allah karena melakukan praktek homoseksual. Kaum Nabi Luth ini tinggal di sebuah kota bernama Sodom. Karena itu praktik homoseksual kerap disebut juga sodomi.
Penelitian arkeologis menerangkan, kota Sodom semula berada di tepi Laut Mati (Danau Luth) yang terbentang memanjang di antara perbatasan Israel-Yordania. Dengan sebuah gempa vulkanis yang diikuti letusan lava, kota tersebut Allah runtuhkan, lalu jungkir-balik masuk ke dalam Laut Mati. Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al-Quran: “Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu (terjungkir-balik sehingga) yang di atas ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (TQS Huud [11]: 82).
Kaum Luth yang disebutkan Al-Quran memang pernah hidup di masa lalu, kemudian mereka punah diadzab Allah akibat kebejatan moral mereka. Bahwa hubungan kelamin sesama jenis sedemikian merajalela di kalangan mereka hingga belum pernah dijumpai hal serupa sebelumnya.
Ketika Nabi Luth menyuruh mereka meninggalkan perilaku maksiat dan menyampaikan perintah Allah, mereka ingkar, dan menolaknya sebagai seorang Nabi dan melanjutkan perilaku menyimpang mereka. Sebagai balasannya, mereka dihancurkan dengan bencana mengenaskan. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka)… (TQS. Al-Qamar [54]: 33-34).
Tragedi di balik Laut Mati kaum Luth akibat mereka telah mendustakan peringatan Nabinya. Ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertakwa?" Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (TQS. Asy Syu’araa’ [26]: 161-166).
Malaikat datang kepada Nabi Luth dan memperingatkan hal ini di malam sebelum terjadinya bencana. “Para utusan-utusan (malaikat) berkata: ‘Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa adzab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?’ Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi; yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (TQS. Huud [11]: 81-83).
Semua bukti terjadinya bencana itu kini telah terungkap dan sesuai benar dengan pemaparan Al-Quran. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasul saw: “Rasulullaah saw melaknat orang laki-laki yang menyerupai perempuan dan para perempuan yang menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari dari Ibnu Abbas ra); dan “Rasulullaah saw melaknat orang laki-laki yang memakai pakaian perempuan, dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki.” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah ra).
LGBT Mengancam Generasi
Masifnya kampanye legalisasi LGBT tak pelak sebagai buah penerapan sistem demokrasi-liberal dalam memfasilitasi kemungkaran atas nama kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia (HAM). Karena “nafas” dan “nyawa” bagi sistem demokrasi adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Artinya, tak perlu ada campur tangan aturan agama dalam kehidupan, padahal Islam sebagai agama sempurna telah jelas bicara keharaman LGBT.
Belum lagi dengan banyaknya sarana-sarana yang mengandung LGBT (anime, manga, tayangan komedi di televisi). Tak heran jika KPAI melarang televisi untuk menayangkan tayangan kebanci-bancian. Karena memang secara tidak langsung bisa menggiring anak/penonton dan melihat hal seperti itu (perilaku LGBT) seolah adalah sesuatu yang biasa.
Lebih ironis lagi dengan karakter Indonesia sebagai “pasar yang berkembang”, artinya apa pun laku dijual di sini. Atas alasan toleransi dan lagi-lagi HAM, LGBT sangat potensial meracuni pemikiran masyarakat dalam melakukan segala cara untuk mencapai legitimasi bagi kaum mereka.
Dukungan dana UNDP sebesar US$ 8 juta (Rp 108 miliar) untuk membiayai LGBT di China, Indonesia, Filipina dan Thailand makin meyakinkan bahwa LGBT telah menjelma menjadi kekuatan politis yang bersifat global di abad 21. Gerakannya semakin besar merambah negeri-negeri muslim. Satu-satunya tujuan mereka adalah menghancurkan generasi muslim di negerinya sendiri.
Menristekdikti dan FRI tentang LGBT di Kampus
Menristekdikti menyatakan bahwa dalam mengatasi LGBT di kampus, maka perlu dilakukan pendampingan secara intensif kepada mahasiswanya, karena lingkungan kampus akan sangat berpengaruh terhadap psikologi mahasiswa. Sementara FRI (Forum Rektor Indonesia) di awal tahun 2016 ini menyatakan bahwa meski praktik LGBT tidak diperbolehkan di lingkungan kampus, namun pengkajian secara gender dan ilmiah tetap diperbolehkan.
Sayangnya, pernyataan-pernyataan ini masih berstatus imbauan, bukan pernyataan yang mengandung sanksi atau konsekuensi. Seandainya ada pendampingan yang diberikan, seharusnya disertai penyadaran tentang keharaman LGBT. Karenanya, harus ada tindakan tegas. Jika tidak, justru dapat menyebabkan perguruan tinggi dan kaum intelektual kampus seakan-akan “berkontribusi” dalam legitimasi “kenormalan” LGBT. Tentu hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Sebagai civitas kampus, mahasiswa harus bersuara, harus peduli.
Bagaimanapun, di setiap masa, mahasiswa akan senantiasa menjadi garda generasi. Mereka terpelajar, tapi juga harus paham jati diri sebagai muslim. Penting bagi mahasiswa untuk punya prinsip dan sikap tegas. Ditambah label mahasiswa sebagai agent of change, posisi mahasiswa akan sangat tepat dalam menjelaskan bahaya jika kampus terserang pemikiran terkait dengan LGBT. Karena itu, jika mahasiswa sampai cuek dan tidak peduli dengan isu LGBT, dan bahkan mendukung yang mungkin itu sekedar mendukung, maka ini sama saja mendukung kemungkaran. Diri mereka sendiri bukan tidak mungkin menjadi sasaran buruan kaum LGBT. Jika demikian, karakter mahasiswa pun akan tergerus dan teraruskan melalui proses pergaulan.
Sebagaimana firman Allah dalam QS Ar-Ra’du [13] ayat 11: “...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” Maksud Allah tidak mengubah suatu kaum di sini adalah Allah tidak akan mengubah keadaan mereka, selama mereka tidak mengubah sebab-sebab kemunduran mereka. Jika mahasiswa tidak punya prinsip hidup, meski dari sisi akademik boleh jadi mereka berprestasi, tapi dari sisi sikap menyelesaikan permasalahan kehidupan mereka nol besar.
Generasi Muslim Jangan Jadi Pengekor
Memang miris, pemuda dan pemudi Muslim yang ikut heboh membela LGBT, kadang tanpa mengetahui sejarah dan hakikat apapun mengenai LGBT itu sendiri. Karena itu, seyogyanya tidak hanya berpegang pada “tidak tahu”, karena awal kehancuran adalah dari ketidaktahuan. Hendaklah kita kembali pada agama Islam untuk mengetahui banyak hal yang Haq (benar). Jangan malas untuk mengetahui banyak hal, terutama kalangan pemuda yang sekarang sudah sangat ahli berselancar di dunia maya. Manfaatkanlah keahlian berselancar tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat dan berguna bagi dirinya untuk menghindari dari kehancuran pribadi di masa yang akan datang.
Prinsipnya, generasi muslim harus punya jati diri yang bersumber dari Islam. Seluruh kaum Muslimin (yang baligh dan berakal) diperintahkan untuk melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam. Karena, memang kewajiban atas mereka untuk menyesuaikan perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt: “... apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (TQS Al-Hasyr [59]: 7). Oleh karena itu, telah menjadi sesuatu yang pasti bahwa apa pun yang dibawa Rasul saw tentang suatu hukum akan mencakup setiap perbuatan dan apa-apa yang dilarang olehnya juga mencakup setiap perbuatan.
Dengan ini, setiap muslim yang hendak melakukan suatu perbuatan, wajib baginya secara syar’iy mengetahui hukum Allah Swt tentang perbuatan tersebut sebelum ia melakukannya, sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum syara’. Pengekoran terhadap budaya yang bukan dari Islam (membela atau menjadi pelaku LGBT) adalah sesuatu yang menjadikan kaum Muslim terpuruk dan dalam kondisi yang cukup parah.
Menyimak sejarah LGBT, jelas ide tersebut berasal dari Barat, bukan dari Islam. Mengambil ide milik kaum Barat (sebagai pembela LGBT atas nama HAM maupun ide kebebasan) adalah kekeliruan yang besar. Karena ini yang menjadi akar permasalahan umat Islam saat ini. Kaum muslimin banyak yang tidak mengemban Islam sebagai ide, justru sebaliknya mengambil ide yang bukan dari Islam sebagai idenya.
Karena itu, generasi kaum muslimin tak boleh punya prinsip “suka-suka”. Melainkan segala aktivitasnya harus terikat dengan hukum syara’. Jadi bagaimana harus bersikap? Tak lain adalah “sami’naa wa ‘atho’naa”, kami mendengar dan kami taat, terhadap segala aturan Allah SWT sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullaah saw.
Islam, Solusi Holistik untuk Menghentikan Penyebaran LGBT
Islam sebagai sebuah ideologi, memiliki aturan kehidupan yang sempurna, yang datang dari Allah SWT. Setidaknya terdapat lima hal dalam rangka menghentikan penyebaran LGBT, dalam hal ini khususnya di kalangan civitas kampus.
Pertama, Islam mewajibkan negara berperan besar dalam memupuk ketakwaan individu rakyat agar memiliki benteng dari penyimpangan perilaku semisal LGBT yang terkategori dosa besar.
Kedua, melalui pola asuh di keluarga maupun kurikulum pendidikan, Islam memerintahkan untuk menguatkan identitas diri sebagai laki-laki dan perempuan. Laki-laki dilarang berperilaku menyerupai perempuan, juga sebaliknya.
Ketiga, Islam mencegah tumbuh dan berkembangnya benih perilaku menyimpang dengan memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan serta memberikan aturan pergaulan sesama dan antar jenis.
Keempat, secara sistemis, Islam memerintahkan negara menghilangkan rangsangan seksual dari publik termasuk pornografi dan pornoaksi. Begitu pula segala bentuk tayangan dan sejenisnya yang menampilkan perilaku LGBT atau mendekati ke arah itu juga akan dihilangkan.
Kelima, Islam juga menetapkan hukuman yang bersifat kuratif (menyembuhkan), menghilangkan LGBT dan memutus siklusnya dari masyarakat dengan menerapkan pidana mati bagi pelaku sodomi (LGBT) baik subyek maupun obyeknya.
Langkah terdekat dalam membendung maraknya ide LGBT adalah dengan tidak pernah berhenti mericek kuat atau lemahnya keterikatan diri terhadap aturan Allah SWT. Hal ini sembari mengamalkan sabda Rasul saw dari Abi Sa’id Al-Khudri ra yang telah berkata; Aku telah mendengar Rasulullaah saw bersabda: “Barangsiapa diantaramu melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya (mencegah) dengan tangannya (kekuasaan), jika ia tak sanggup maka dengan lidahnya (nasihat), dan jika tak sanggup juga maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju, tinggalkan!); dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).
Tak lupa, sebagai motivasi bagi seluruh mahasiswa, dan kaum muslimin pada umumnya, bahwa di antara pertanda yang Allah inginkan kebaikan dari makhluk-Nya adalah difaqihkan dalam agama. Kefaqihan merupakan pemahaman yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Pemahaman yang lurus terhadap Al Qur’an dan hadits berasal dari kebeningan hati dan aqidah yang shahih. Rasulullaah saw bersabda: “Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam agama.” (HR Al Bukhari dan Muslim). Karenanya, jangan ragu menyampaikan kebenaran.
Khatimah
Maka dari itu, kalangan kampus, civitas, jajaran, para alumni hingga masyarakat umum yang bermukim di sekitar wilayah kampus, harus tegas mengkritisi maraknya LGBT di kampus. Meski secara khusus keberadaan kaum LGBT adalah merusak pelestarian keturunan manusia, namun identitas mahasiswa sebagai agen perubahan sangat terancam jika dunia intelektualitas dan pergerakan mereka didekatkan dengan dunia kaum LGBT. Penyebaran LGBT adalah suatu kondisi sangat memprihatinkan, bahkan mengerikan. Ini bukan sesuatu yang boleh dibiarkan. Ini adalah sesuatu yang harus dihentikan penyebarannya.
Siapapun dari manusia, yang menghendaki masyarakat yang bersih, dipenuhi kesopanan, keluhuran, kehormatan, martabat dan ketenteraman, akan menuntut penerapan syariat di bawah naungan Khilafah hingga terwujud kehidupan manusia dalam peradaban yang gemilang.
Wallaahu a’lam bish showab [].
Apa Sih LGBT?
Apakah LGBT itu kependekan dari ‘lagi bete’? Ternyata bukan. Dari makna katanya, berikut rinciannya. LGBT adalah singkatan dari lesbian, gay, biseks dan transgender. Lesbian adalah sebutan bagi perempuan yang mempunyai kecenderungan dan mencintai sesama perempuan. Gay adalah sebutan bagi laki-laki yang mempunyai kecenderungan dan mencintai sesama laki-laki. Biseks adalah sebutah bagi perempuan dan laki-laki yang mempunyai kecenderungan dan mencintai dua pasangan, sesama perempuan dan atau laki-laki. Transgender adalah sebutan bagi perempuan atau laki-laki yang menampilkan diri dengan sosok yang berbeda dengan gendernya.
Sejarah Munculnya LGBT
Sebelum revolusi seksual pada tahun 1960-an, tidak ada kosakata non-peyoratif untuk menyebut kaum yang bukan heteroseksual. Istilah terdekat, "gender ketiga", telah ada sejak tahun 1860-an, tetapi tidak banyak disetujui. Istilah pertama yang banyak digunakan, "homoseksual", dikatakan mengandung konotasi negatif dan cenderung digantikan oleh "homofil" pada era 1950-an dan 1960-an. Lalu gay pada tahun 1970-an.
Frase "gay dan lesbian" menjadi lebih umum setelah identitas kaum lesbian semakin terbentuk. Pada tahun 1970, Daughters of Bilitis menjadikan isu feminisme atau hak kaum gay sebagai prioritas. Maka, karena kesetaraan didahulukan, perbedaan peran antar laki-laki dan perempuan dipandang bersifat patriarkal oleh feminis lesbian. Banyak feminis lesbian yang menolak bekerja sama dengan kaum gay. Lesbian yang lebih berpandangan esensialis merasa bahwa pendapat feminis lesbian yang separatis dan beramarah itu merugikan hak-hak kaum gay.
Selanjutnya, kaum biseksual dan transgender juga meminta pengakuan dalam komunitas yang lebih besar. Setelah euforia kerusuhan Stonewall mereda, dimulai dari akhir 1970-an dan awal 1980-an, terjadi perubahan pandangan. Beberapa gay dan lesbian menjadi kurang menerima kaum biseksual dan transgender. Kaum transgender dituduh terlalu banyak membuat stereotip dan biseksual hanyalah gay atau lesbian yang takut untuk mengakui identitas seksual mereka.
Setiap komunitas yang disebut dalam akronim LGBT telah berjuang untuk mengembangkan identitasnya masing-masing, seperti apakah, dan bagaimana bersekutu dengan komunitas lain. Konflik tersebut terus berlanjut hingga kini. Akronim LGBT kadang-kadang digunakan di Amerika Serikat dimulai dari sekitar tahun 1988. Baru pada tahun 1990-an istilah ini banyak digunakan. Meskipun komunitas LGBT menuai kontroversi mengenai penerimaan universal atau kelompok anggota yang berbeda (biseksual dan transgender kadang-kadang dipinggirkan oleh komunitas LGBT), istilah ini dipandang positif. Walaupun singkatan LGBT tidak meliputi komunitas yang lebih kecil, akronim ini secara umum dianggap mewakili kaum yang tidak disebutkan. Secara keseluruhan, penggunaan istilah LGBT telah membantu mengantarkan orang-orang yang terpinggirkan ke komunitas umum. Aktris transgender Candis Cayne pada tahun 2009 menyebut komunitas LGBT sebagai "minoritas besar terakhir", dan menambahkan bahwa "Kita masih bisa diganggu secara terbuka" dan "disebut di televisi” (Wikipedia).
Kesalahan Teori LGBT
Kaum homoseksual yang didukung aktivis liberal di negeri ini sudah mulai berani unjuk diri di berbagai media guna memperjuangkan cita-citanya, yaitu pernikahan sesama jenis diakui secara hukum. Dengan dalih HAM dan alasan genetis bahwa orientasi homoseksual adalah karena faktor keturunan berdasarkan penelitian yang melahirkan teori ‘gen gay’ atau ‘born gay’ (sifat bawaan yang ada pada kalangan yang kemudian menjadi pembentuk karakter gay pada seseorang). Dari sini lahir propaganda yang sering kita dengar misalnya: “Adalah keputusan Tuhan untuk menjadikan kami gay” atau “Gay adalah akibat kelainan genetika, kami tidak akan bisa mengubah itu”. Sebenarnya, validkah teori ‘gen gay’ tersebut?
Ilmuwan pertama yang memperkenalkan teori “Gen Gay” adalah Magnus Hirscheld dari Jerman pada tahun 1899 yang menegaskan bahwa homoseksual adalah bawaan. Dia kemudian menyerukan persamaan hukum untuk kaum homoseksual.
Pada tahun 1991, peneliti Dr.Michael Bailey dan Dr.Richard Pillard melakukan penelitian untuk membuktikan teori tersebut. Mereka meneliti pasangan saudara : kembar identik, kembar tidak identik, saudara-saudara biologis dan saudara-saudara adopsi; salah satu di antaranya adalah seorang gay. Riset tersebut menyimpulkan adanya pengaruh genetik dalam homoseksualitas. Terdapat 52% pasangan kembar identik dari orang gay berkembang menjadi gay. Hanya 22% pasangan kembar biasa yang menunjukkan sifat itu. Saudara biologis mempunyai kecenderungan 9,2%, dan saudara adopsi 10,5%. Namun, gen di kromosom yang membawa sifat menurun itu tidak berhasil ditemukan.
Pada tahun 1993, riset dilanjutkan oleh Dean Hamer, seorang gay, yang meneliti 40 pasang kakak beradik homoseksual. Hamer mengklaim bahwa satu atau beberapa gen yang diturunkan oleh ibu dan terletak di kromosom Xq28 sangat berpengaruh pada orang yang menunjukkan sifat homoseksual. Hasil riset ini meneguhkan pendapat kaum homoseksual bahwa homoseksual adalah fitrah/bawaan, bukan penyimpangan sehingga mustahil bisa diluruskan. Hasil penelitian dari seorang gay inilah yang kemudian dipakai sebagai senjata kuat mereka untuk memperjuangkan hak-haknya. Lantas apakah para peneliti lainnya percaya begitu saja? Sampai 6 tahun kemudian, gen pembawa sifat homoseksual itu tidak juga diketemukan real-nya. Dean Hamer pun akhirnya mengakui bahwa risetnya tidak mendukung bahwa gen adalah faktor utama yang melahirkan homoseksualitas.
Hamer mengakui bahwa risetnya gagal memberi petunjuk bahwa homoseksual adalah bawaan. “Silsilah keluarga gagal menghasilkan apa yang kami harap temukan yaitu sebuah hukum warisan Mendelian yang sederhana. Faktanya, kami tidak pernah menemukan dalam sebuah keluarga bahwa homoseksualitas didistribusikan dalam rumus yang jelas seperti observasi Mendel dalam tumbuhan kacangnya,” jelasnya.
Pada tahun 1999, Prof. George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada, mengadaptasi riset Hamer dengan jumlah responden yang lebih banyak. Rice dan tim memeriksa 52 pasang kakak beradik homoseksual untuk melihat keberadaan empat penanda di daerah kromosom. Hasilnya menunjukkan, kakak beradik itu tidak memperlihatkan kesamaan penanda di gen Xq28 kecuali secara kebetulan. Para peneliti tersebut menyatakan bahwa segala kemungkinan adanya gen di Xq28 yang berpengaruh besar secara genetik terhadap timbulnya homoseksualitas dapat ditiadakan. Sehingga hasil penelitian mereka tidak mendukung adanya kaitan gen Xq28 yang dikatakan mendasari homoseksualitas pria.
Penelitian juga dilakukan oleh Prof. Alan Sanders dari Universitas Chicago di tahun 1998-1999. Hasil riset juga tidak mendukung teori hubungan genetik pada homoseksualitas. Penelitian Rice dan Sanders tersebut makin meruntuhkan teori “Gen Gay”.
Ruth Hubbard, seorang pengurus “The Council for Responsible Genetics” yang juga penulis buku “Exploding the Gene Myth” mengatakan, “Pencarian sebuah gen gay bukan suatu usaha pencarian yang bermanfaat. Saya tidak berpikir ada gen tunggal yang memerintah perilaku manusia yang sangat kompleks. Ada berbagai komponen genetik dalam semua yang kita lakukan, dan adalah suatu kebodohan untuk menyatakan gen-gen tidak terlibat. Tapi saya tidak berpikir gen-gen itu menentukan.”
Hasil riset-riset di atas, meski menemukan adanya link homoseksual secara genetika, namun menyatakan bahwa gen bukanlah faktor dominan dalam menentukan homoseksualitas. Sudah puluhan tahun dilakukan penelitian terhadap gen homoseksual tapi tidak ada fakta ilmiah yang bisa 100 persen mendukung klaim tersebut. Teori yang menyatakan bahwa gay adalah sifat genetis (ciptaan Allah) adalah propaganda palsu yang dirilis oleh peneliti yang gay. Teori Gen Gay sifatnya politis, sarat akan kepentingan kaum gay sendiri. Memang ada manusia yang terlahir hermaprodit alias kelamin ganda, tapi tidak ada manusia yang terlahir dengan kelamin normal namun punya kecenderungan homoseks.
Dalam dunia psikologi terdapat Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yang merupakan sebuah ‘kitab’ yang berisi mengenai kriteria gangguan mental. DSM diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA), yang selama ini dijadikan panduan bagi para psikolog dan psikiater untuk menentukan diagnosa seseorang jika terjadi kelainan, penyimpangan atau gangguan jiwa. Pada DSM I tahun 1952, homoseksual masih dikategorikan sebagai Gangguan Jiwa. Pada DSM selanjutnya, sedikit demi sedikit homoseksual semakin ‘dikaburkan’, dari gangguan kepribadian sosiopath, kemudian dikategorikan penyimpangan sex, hingga kemudian hilang, dikategorikan bukan gangguan jiwa pada DSM IV tahun 1994. Yang mengejutkan, lima dari tujuh orang tim task force DSM adalah gay dan lesbian, sisanya adalah aktivis LGBT.
Di Indonesia, ada buku saku yang merupakan rangkuman singkat DSM bernama Pedoman Penggolongan & Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ). Hanya saja, DSM selalu digunakan para aktivis LGBT dan aktivis HAM untuk dijadikan pembenaran bahwa perilaku para LGBT tidaklah menyimpang. Ingat, bayi yang terlahir di dunia adalah suci dan normalnya manusia menyukai lawan jenisnya. Tapi dalam perjalanan hidup tidak sedikit orang berperilaku homoseksual (gay). Apakah ini berarti perilaku gay bisa menular?
Paul Cameron Ph.D dari Family Research Institute telah melakukan penelitian dan menemukan bahwa di antara penyebab munculnya dorongan untuk berperilaku homoseksual adalah pernah disodomi waktu kecil. Penyebab lainnya adalah pengaruh lingkungan, yaitu sebagai berikut:
1. Sub-kultur homoseksual yang tampak dan diterima secara sosial, yang mengundang keingintahuan dan menumbuhkan rasa ingin mencoba.
2. Pendidikan yang pro-homoseksual (bayangkan bila di sekolah-sekolah kita –seandainya para pendukung homoseks berhasil menggolkan agenda politik mereka—ada kurikulum tentang kesetaraan seksual, setiap orang berhak jadi apa saja, heteroseksual atau homoseksual).
3. Toleransi sosial dan hukum terhadap perilaku homoseksual.
4. Adanya figur yang secara terbuka berperilaku homoseksual.
5. Penggambaran bahwa homoseksualitas adalah perilaku yang normal dan bisa diterima.
Penelitian Cameron menunjukkan bahwa kecenderungan homoseksualitas bisa disembuhkan karena perilaku seks manusia sebenarnya bisa dikendalikan (Fanpage “Suara Muslimah untuk Dunia”).
LGBT Bukan Fitrah
Dengan tegas Allah menyatakan, fitrah manusia diciptakan dengan dua jenis, laki [dzakar] dan perempuan [untsa] [Q.s. al-Hujurat: 13]. Allah pun memberikan kepada masing-masing syahwat kepada lawan jenisnya [Q.s. Ali ‘Imran: 14]. Karena itu, Allah menetapkan, bahwa mereka dijadikan hidup berpasangan dengan sesama manusia, pria dengan wanita. Tujuannya, agar nalurinya terpenuhi, sehingga hidupnya sakinah, mawaddah wa rahmah [Q.s. ar-Rum: 21]. Dari pasangan ini, kemudian lahir keturunan yang banyak, sehingga eksistensi manusia tidak punah [Q.s. an-Nisa’: 1].
Itulah mengapa Allah menjadikan perempuan sebagai ladang bagi pria, agar bisa ditanami, sehingga tumbuh subur dari rahimnya, dan melahirkan keturunan [Q.s. al-Baqarah: 223]. Itulah mengapa juga, Allah memerintahkan pria untuk menikahi wanita yang dicintainya [Q.s. an-Nisa’: 3]. Melarang berzina, apalagi menikah dengan sesama jenis. Karena itu, baik zina maupun sodomi, dan sejenisnya diharamkan dengan tegas. Pelakunya pun sama-sama dihukum dengan hukuman keras.
Itu artinya, LGBT ini bukan fitrah. Bukan takdir, bukan kudrat. Jika LGBT ini fitrah, takdir dan kudrat, tentu Allah tidak akan menghukum keras pelakunya. LGBT ini adalah penyimpangan perilaku. Jika ada yang menyebut LGBT ini fitrah, kudrat atau takdir, maka sama saja dengan lancang menuduh Allah yang menciptakannya. Ini jelas tuduhan bohong, dan sikap kurang ajar kepada Allah SWT (KH Hafidz Abdurrahman 2016).
Akar Masalah dan Bahaya LGBT
Pertama, LGBT ini ada karena faktor ideologis. Ketika negara Barat, Kafir penjajah, mengadopsi teori TR Malthus, yang menyatakan, bahwa pertumbuhan jumlah penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan pertumbuhan barang dan jasa mengikuti deret hitung. Selain jumlah pertambahan populasi dunia meningkat lebih cepat, kebutuhan manusia pun tak terbatas, sementara alat pemuasnya terbatas.
Terlebih, di saat ekonomi tidak tumbuh. Untuk mengatasi itu, maka pertumbuhan penduduk di dunia harus dihentikan, atau setidaknya dikurangi, dengan menganjurkan LGBT. Reasoning-nya, kebutuhan seksualnya terpenuhi, tetapi tidak menambah populasi, karena dilampiaskan kepada sesama jenis.
Selain itu, juga faktor ketidakyakinan tentang rizki di tangan Allah. Tidak yakin, bahwa setiap yang melata di muka bumi sudah dijamin rizkinya oleh Allah SWT. Tidak yakin, bahwa rizki yang ada di tangan-Nya tidak pernah habis. Ditambah, ketimpangan distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat, karena tidak diatur oleh sistem yang adil.
Kedua, LGBT bisa terjadi karena kesalahan pendidikan, baik di dalam maupun di luar rumah. Komunitas LGBT ini tidak sedikit yang diikuti orang Islam. Ini lebih disebabkan, karena kesalahan pendidikan, baik di dalam rumah, maupun di luar rumah.
Ketiga, LGBT juga bisa terjadi karena lingkungan, pergaulan, bacaan dan tontonan yang hadir di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga faktor ini secara simultan menjadi pemicu lahir, tumbuh dan berkembangnya LGBT di dunia. Karena LGBT ini bukan fitrah, tetapi penyimpangan perilaku, maka LGBT ini justru membahayakan individu, keluarga, masyarakat dan negara (KH Hafidz Abdurrahman 2016).
Kisah Kaum Nabi Luth as
Salah satu adzab Allah paling dahsyat yang dikisahkan dalam Al-Quran adalah tentang pemusnahan kaum Nabi Luth as. Mereka diadzab Allah karena melakukan praktek homoseksual. Kaum Nabi Luth ini tinggal di sebuah kota bernama Sodom. Karena itu praktik homoseksual kerap disebut juga sodomi.
Penelitian arkeologis menerangkan, kota Sodom semula berada di tepi Laut Mati (Danau Luth) yang terbentang memanjang di antara perbatasan Israel-Yordania. Dengan sebuah gempa vulkanis yang diikuti letusan lava, kota tersebut Allah runtuhkan, lalu jungkir-balik masuk ke dalam Laut Mati. Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al-Quran: “Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu (terjungkir-balik sehingga) yang di atas ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (TQS Huud [11]: 82).
Kaum Luth yang disebutkan Al-Quran memang pernah hidup di masa lalu, kemudian mereka punah diadzab Allah akibat kebejatan moral mereka. Bahwa hubungan kelamin sesama jenis sedemikian merajalela di kalangan mereka hingga belum pernah dijumpai hal serupa sebelumnya.
Ketika Nabi Luth menyuruh mereka meninggalkan perilaku maksiat dan menyampaikan perintah Allah, mereka ingkar, dan menolaknya sebagai seorang Nabi dan melanjutkan perilaku menyimpang mereka. Sebagai balasannya, mereka dihancurkan dengan bencana mengenaskan. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka)… (TQS. Al-Qamar [54]: 33-34).
Tragedi di balik Laut Mati kaum Luth akibat mereka telah mendustakan peringatan Nabinya. Ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertakwa?" Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (TQS. Asy Syu’araa’ [26]: 161-166).
Malaikat datang kepada Nabi Luth dan memperingatkan hal ini di malam sebelum terjadinya bencana. “Para utusan-utusan (malaikat) berkata: ‘Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa adzab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?’ Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi; yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (TQS. Huud [11]: 81-83).
Semua bukti terjadinya bencana itu kini telah terungkap dan sesuai benar dengan pemaparan Al-Quran. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasul saw: “Rasulullaah saw melaknat orang laki-laki yang menyerupai perempuan dan para perempuan yang menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari dari Ibnu Abbas ra); dan “Rasulullaah saw melaknat orang laki-laki yang memakai pakaian perempuan, dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki.” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah ra).
LGBT Mengancam Generasi
Masifnya kampanye legalisasi LGBT tak pelak sebagai buah penerapan sistem demokrasi-liberal dalam memfasilitasi kemungkaran atas nama kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia (HAM). Karena “nafas” dan “nyawa” bagi sistem demokrasi adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Artinya, tak perlu ada campur tangan aturan agama dalam kehidupan, padahal Islam sebagai agama sempurna telah jelas bicara keharaman LGBT.
Belum lagi dengan banyaknya sarana-sarana yang mengandung LGBT (anime, manga, tayangan komedi di televisi). Tak heran jika KPAI melarang televisi untuk menayangkan tayangan kebanci-bancian. Karena memang secara tidak langsung bisa menggiring anak/penonton dan melihat hal seperti itu (perilaku LGBT) seolah adalah sesuatu yang biasa.
Lebih ironis lagi dengan karakter Indonesia sebagai “pasar yang berkembang”, artinya apa pun laku dijual di sini. Atas alasan toleransi dan lagi-lagi HAM, LGBT sangat potensial meracuni pemikiran masyarakat dalam melakukan segala cara untuk mencapai legitimasi bagi kaum mereka.
Dukungan dana UNDP sebesar US$ 8 juta (Rp 108 miliar) untuk membiayai LGBT di China, Indonesia, Filipina dan Thailand makin meyakinkan bahwa LGBT telah menjelma menjadi kekuatan politis yang bersifat global di abad 21. Gerakannya semakin besar merambah negeri-negeri muslim. Satu-satunya tujuan mereka adalah menghancurkan generasi muslim di negerinya sendiri.
Menristekdikti dan FRI tentang LGBT di Kampus
Menristekdikti menyatakan bahwa dalam mengatasi LGBT di kampus, maka perlu dilakukan pendampingan secara intensif kepada mahasiswanya, karena lingkungan kampus akan sangat berpengaruh terhadap psikologi mahasiswa. Sementara FRI (Forum Rektor Indonesia) di awal tahun 2016 ini menyatakan bahwa meski praktik LGBT tidak diperbolehkan di lingkungan kampus, namun pengkajian secara gender dan ilmiah tetap diperbolehkan.
Sayangnya, pernyataan-pernyataan ini masih berstatus imbauan, bukan pernyataan yang mengandung sanksi atau konsekuensi. Seandainya ada pendampingan yang diberikan, seharusnya disertai penyadaran tentang keharaman LGBT. Karenanya, harus ada tindakan tegas. Jika tidak, justru dapat menyebabkan perguruan tinggi dan kaum intelektual kampus seakan-akan “berkontribusi” dalam legitimasi “kenormalan” LGBT. Tentu hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Sebagai civitas kampus, mahasiswa harus bersuara, harus peduli.
Bagaimanapun, di setiap masa, mahasiswa akan senantiasa menjadi garda generasi. Mereka terpelajar, tapi juga harus paham jati diri sebagai muslim. Penting bagi mahasiswa untuk punya prinsip dan sikap tegas. Ditambah label mahasiswa sebagai agent of change, posisi mahasiswa akan sangat tepat dalam menjelaskan bahaya jika kampus terserang pemikiran terkait dengan LGBT. Karena itu, jika mahasiswa sampai cuek dan tidak peduli dengan isu LGBT, dan bahkan mendukung yang mungkin itu sekedar mendukung, maka ini sama saja mendukung kemungkaran. Diri mereka sendiri bukan tidak mungkin menjadi sasaran buruan kaum LGBT. Jika demikian, karakter mahasiswa pun akan tergerus dan teraruskan melalui proses pergaulan.
Sebagaimana firman Allah dalam QS Ar-Ra’du [13] ayat 11: “...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” Maksud Allah tidak mengubah suatu kaum di sini adalah Allah tidak akan mengubah keadaan mereka, selama mereka tidak mengubah sebab-sebab kemunduran mereka. Jika mahasiswa tidak punya prinsip hidup, meski dari sisi akademik boleh jadi mereka berprestasi, tapi dari sisi sikap menyelesaikan permasalahan kehidupan mereka nol besar.
Generasi Muslim Jangan Jadi Pengekor
Memang miris, pemuda dan pemudi Muslim yang ikut heboh membela LGBT, kadang tanpa mengetahui sejarah dan hakikat apapun mengenai LGBT itu sendiri. Karena itu, seyogyanya tidak hanya berpegang pada “tidak tahu”, karena awal kehancuran adalah dari ketidaktahuan. Hendaklah kita kembali pada agama Islam untuk mengetahui banyak hal yang Haq (benar). Jangan malas untuk mengetahui banyak hal, terutama kalangan pemuda yang sekarang sudah sangat ahli berselancar di dunia maya. Manfaatkanlah keahlian berselancar tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat dan berguna bagi dirinya untuk menghindari dari kehancuran pribadi di masa yang akan datang.
Prinsipnya, generasi muslim harus punya jati diri yang bersumber dari Islam. Seluruh kaum Muslimin (yang baligh dan berakal) diperintahkan untuk melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam. Karena, memang kewajiban atas mereka untuk menyesuaikan perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt: “... apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (TQS Al-Hasyr [59]: 7). Oleh karena itu, telah menjadi sesuatu yang pasti bahwa apa pun yang dibawa Rasul saw tentang suatu hukum akan mencakup setiap perbuatan dan apa-apa yang dilarang olehnya juga mencakup setiap perbuatan.
Dengan ini, setiap muslim yang hendak melakukan suatu perbuatan, wajib baginya secara syar’iy mengetahui hukum Allah Swt tentang perbuatan tersebut sebelum ia melakukannya, sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum syara’. Pengekoran terhadap budaya yang bukan dari Islam (membela atau menjadi pelaku LGBT) adalah sesuatu yang menjadikan kaum Muslim terpuruk dan dalam kondisi yang cukup parah.
Menyimak sejarah LGBT, jelas ide tersebut berasal dari Barat, bukan dari Islam. Mengambil ide milik kaum Barat (sebagai pembela LGBT atas nama HAM maupun ide kebebasan) adalah kekeliruan yang besar. Karena ini yang menjadi akar permasalahan umat Islam saat ini. Kaum muslimin banyak yang tidak mengemban Islam sebagai ide, justru sebaliknya mengambil ide yang bukan dari Islam sebagai idenya.
Karena itu, generasi kaum muslimin tak boleh punya prinsip “suka-suka”. Melainkan segala aktivitasnya harus terikat dengan hukum syara’. Jadi bagaimana harus bersikap? Tak lain adalah “sami’naa wa ‘atho’naa”, kami mendengar dan kami taat, terhadap segala aturan Allah SWT sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullaah saw.
Islam, Solusi Holistik untuk Menghentikan Penyebaran LGBT
Islam sebagai sebuah ideologi, memiliki aturan kehidupan yang sempurna, yang datang dari Allah SWT. Setidaknya terdapat lima hal dalam rangka menghentikan penyebaran LGBT, dalam hal ini khususnya di kalangan civitas kampus.
Pertama, Islam mewajibkan negara berperan besar dalam memupuk ketakwaan individu rakyat agar memiliki benteng dari penyimpangan perilaku semisal LGBT yang terkategori dosa besar.
Kedua, melalui pola asuh di keluarga maupun kurikulum pendidikan, Islam memerintahkan untuk menguatkan identitas diri sebagai laki-laki dan perempuan. Laki-laki dilarang berperilaku menyerupai perempuan, juga sebaliknya.
Ketiga, Islam mencegah tumbuh dan berkembangnya benih perilaku menyimpang dengan memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan serta memberikan aturan pergaulan sesama dan antar jenis.
Keempat, secara sistemis, Islam memerintahkan negara menghilangkan rangsangan seksual dari publik termasuk pornografi dan pornoaksi. Begitu pula segala bentuk tayangan dan sejenisnya yang menampilkan perilaku LGBT atau mendekati ke arah itu juga akan dihilangkan.
Kelima, Islam juga menetapkan hukuman yang bersifat kuratif (menyembuhkan), menghilangkan LGBT dan memutus siklusnya dari masyarakat dengan menerapkan pidana mati bagi pelaku sodomi (LGBT) baik subyek maupun obyeknya.
Langkah terdekat dalam membendung maraknya ide LGBT adalah dengan tidak pernah berhenti mericek kuat atau lemahnya keterikatan diri terhadap aturan Allah SWT. Hal ini sembari mengamalkan sabda Rasul saw dari Abi Sa’id Al-Khudri ra yang telah berkata; Aku telah mendengar Rasulullaah saw bersabda: “Barangsiapa diantaramu melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya (mencegah) dengan tangannya (kekuasaan), jika ia tak sanggup maka dengan lidahnya (nasihat), dan jika tak sanggup juga maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju, tinggalkan!); dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).
Tak lupa, sebagai motivasi bagi seluruh mahasiswa, dan kaum muslimin pada umumnya, bahwa di antara pertanda yang Allah inginkan kebaikan dari makhluk-Nya adalah difaqihkan dalam agama. Kefaqihan merupakan pemahaman yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Pemahaman yang lurus terhadap Al Qur’an dan hadits berasal dari kebeningan hati dan aqidah yang shahih. Rasulullaah saw bersabda: “Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam agama.” (HR Al Bukhari dan Muslim). Karenanya, jangan ragu menyampaikan kebenaran.
Khatimah
Maka dari itu, kalangan kampus, civitas, jajaran, para alumni hingga masyarakat umum yang bermukim di sekitar wilayah kampus, harus tegas mengkritisi maraknya LGBT di kampus. Meski secara khusus keberadaan kaum LGBT adalah merusak pelestarian keturunan manusia, namun identitas mahasiswa sebagai agen perubahan sangat terancam jika dunia intelektualitas dan pergerakan mereka didekatkan dengan dunia kaum LGBT. Penyebaran LGBT adalah suatu kondisi sangat memprihatinkan, bahkan mengerikan. Ini bukan sesuatu yang boleh dibiarkan. Ini adalah sesuatu yang harus dihentikan penyebarannya.
Siapapun dari manusia, yang menghendaki masyarakat yang bersih, dipenuhi kesopanan, keluhuran, kehormatan, martabat dan ketenteraman, akan menuntut penerapan syariat di bawah naungan Khilafah hingga terwujud kehidupan manusia dalam peradaban yang gemilang.
Wallaahu a’lam bish showab [].