Jumat, 21 Juni 2013

"Ayah, Saya Mohon Izin untuk Menikah"

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

[Catatan dari seorang saudara muslimah pada hari pernikahannya...]


Bismillaahirrohmaanirrohiim

Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan. Segala puji bagi Allah yang telah mengizinkan kita untuk berkumpul pada hari ini. Karena memang hari ini adalah hari bersejarah. Hari ini adalah hari yang sangat saya tunggu-tunggu. Lebih dari seperempat abad saya menunggunya. Bahkan saya menunggu hari ini dengan perasaan gelisah yang jauh lebih dahsyat dibandingkan di saat-saat yang lain.

Ini adalah hari yang jauh lebih saya nantikan dibandingkan ketika dulu kenaikan kelas, ketika pengumuman Lomba Siswa Teladan, pengumuman kelulusan sekolah, kelulusan SPMB, hari keberangkatan saya ke IPB, jatuh-bangunnya saya ketika studi di IPB hingga hari ketika saya menunggu keluarnya Surat Keterangan Lulus sarjana, hari ketika saya wisuda, pun ketika saya dilamar.

Namun bagaimanapun, alhamdulillaah, Allah telah mengizinkan agar penantian ini cukup hingga di sini, insya Allah. Mengapa demikian? Karena hari ini adalah momentum di mana saya bisa memiliki bapak saya sepenuhnya. Saya menantinya, dan selalu menantinya. Jika di saat yang lain saya menantinya namun beliau belum dapat hadir di hadapan saya, maka Allah telah mengizinkan beliau untuk dapat hadir hari ini. Subhanallah. Allah Yang Maha Membolak-balikkan hati hamba-Nya.

Oleh karena itu, hari ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk bersama bapak, termasuk untuk mohon doa restunya. Sehingga ketika pun selama ini beliau belum dapat saya miliki sepenuhnya, beliau tetap mengetahui bahwa  beliau senantiasa menemukan saya dalam keadaan sholihah. Karena sholihah itu mutlak. Sholihah itu bukan marga, bukan nama keluarga, melainkan cita-cita tertinggi seorang anak yang wajib ia usahakan. Karena jika tidak diusahakan, faktor dosa itu akan selalu membayang-bayangi seumur hidup. Pun tak lupa ia mohonkan dapat dikabulkan oleh Allah, dalam rangka menjadikan orang tuanya memiliki amal yang takkan pernah terputus meski maut menjemput. Semoga saya dapat menjadi pembela bapak di Yaumil Akhir, aamiin.

Nenek dan Kakek yang selama ini telah menjadi perisai bagi saya, tak perlu khawatir, karena sesungguhnya menuju sholihah itu adalah kerja keras Nenek dan Kakek berdua. Insya Allah, Nenek dan Kakek takkan terlupa. Yakinlah bahwa Allah Maha Mengetahui segala seluk-beluk hamba-Nya. Oleh karenanya, amalan yang tak terputus itu pun bukan khayalan semata, melainkan nyata.

Hari ini saya akan menjadi milik orang lain. Orang yang dengan kerelaan telah menjadi pilihan saya, demikian sebaliknya, insya Allah. Firman Allah dalam QS An-Nuur ayat 32, yang artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

Ia memang tidak semulia Rasulullaah saw, tidak selembut Abu Bakar Ash-Shidiq, tidak setegas Umar bin Khaththab, tidak se-pemalu Utsman bin Affan, tidak secerdas Ali bin Abi Thalib, tidak se-pemberani Abu Ubaidah bin Jarrah; pun tidak setajam Si Pedang Allah, Kholid bin Walid. Sungguh tidak sesempurna mereka, karena tak ada sedikitpun jaminan masuk surga sebagaimana mereka. Akan tetapi saya meyakini bahwa kesempurnaan seorang manusia itu semata-mata nampak dari kesungguhannya menyempurnakan tiap amal sholih meraih ridho Allah dengan meneladani para shahabat tersebut. Karena Allah menilai proses, bukan hasil.

Hari ini bukan hanya akan menjadi pengubah status saya. Tapi, akan ada konsekuensi baru dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, yang dengannya maka setengah dari agama ini akan sempurna. Maka dari itu, saya mohon doa restu, dari bapak, Nenek dan Kakek, ibu dan bapak calon mertua; beserta seluruh yang hadir di sini, agar kesempurnaan agama itu senantiasa istiqomah. Dan tentunya semoga berkah Allah pun tiada henti mengalir, insya Allah.

Jika dengan menikah itu memuliakan seorang muslimah, maka saya yakin bahwa firman Allah dalam QS. Hujuraat ayat 13 inilah gambaran kemuliaan itu, yang terjemahannya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Kemuliaan itu adalah taqwa, bukan harta atau tahta. Harta dan tahta adalah titipan, sementara taqwa adalah tiket masuk surga.

Apa yang kita semua saksikan dan laksanakan pada acara hari ini tidak lain adalah bagian dari syariat Islam yang jika bukan orang Islam yang mendahului untuk melaksanakan dengan sempurna, maka siapa lagi. Kami tidak ingin sendiri-sendiri untuk menuju surganya Allah. Mari kita menjadikan dan menjaga acara (akad nikah dan walimatul ‘ursy) hari ini sebagai peristiwa milik bersama, sehingga tetap terjaga sesuai dengan syariat Islam, yang dengannya kita juga dapat memasuki surga Allah bersama-sama, insya Allah. Menjadi seseorang yang sholih/sholihah itu tak bisa sendiri, melainkan harus bersama-sama. Karena sesungguhnya Islam itu adalah rahmatan lil ‘alamiin, bukan lil fardi, atau individual saja.

Akhir kata, semoga pelaksanaan acara hari ini menjadi tabungan pemberat timbangan amal sholih untuk kita semua di akhirat kelak, aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Minggu, 16 Juni 2013

Polwan Pakai Kerudung, So What Gitu Lho?

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si


Polwan (polisi wanita) Pakai Kerudung, So What Gitu Lho?

Ada yang aneh? Ya, isu ini memang tengah ramai menyusupi berbagai celah berita di media massa. Tak pelak, hal ini menimbulkan polemik di sejumlah kalangan. Mulai dari kalangan pendukung HAM hingga pengemban syariat Islam. Memang, Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/702/IX/2005 tentang penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri yang tidak bisa memakai jilbab dinilai perlu pengkajian kembali (republika.co.id, 08/06/2013).

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Edi Saputra Hasibuan mengatakan pihaknya memahami ada keinginan sejumlah polwan untuk mengenakan jilbab. Namun itu perlu kajian lebih mendalam karena terkait dengan aturan keputusan Kapolri, kata Edi. Menurut analisanya, polwan hanya dibolehkan mengenakan jilbab apabila mengenakan pakaian preman atau tidak berpakaian dinas dalam ketentuan surat keputusan tersebut (republika.co.id, 08/06/2013).

Terlebih, isu ini dikaitkan dengan pemberlakuan kebolehan menutup aurat bagi polwan di Aceh. Dibolehkannya polwan di Aceh mengenakan jilbab karena aturan di negeri Serambi Makkah tersebut polwan diharuskan berjilbab bagi yang muslim. Lantaran polwan yang beragama Islam wajib mengikuti hukum Islam lokal di sana (republika.co.id, 08/06/2013). Ini tentu aneh. Aneh karena seolah syariat Islam hanya berlaku untuk daerah tertentu dan orang-orang tertentu. 

Menutup Aurat, Kewajiban Muslimah

Menutup aurat adalah kewajiban kaum muslimah, sekaligus bagian dari kesempurnaan iman. Sebagaimana perintah Allah untuk masuk Islam secara kaffah. Artinya, iman akan berkonsekuensi untuk melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Firman Allah Swt: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (TQS. Al-Baqarah [02]: 208). Juga: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (TQS Adz-Dzariyat [51]: 56).

Dalam Islam, perintah menutup aurat tercantum dalam TQS. An-Nuur ayat 31 dan TQS. Al-Ahzab ayat 59 berikut ini:

Katakanlah kepada perempuan yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (TQS. An-Nuur [24]: 31).

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS. Al-Ahzab [33]: 59). -- [1232] Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

Ketahuilah bahwa di zaman Rasulullah saw, jika orang-orang fasik melihat seorang perempuan yang mengenakan jilbab, maka mereka mengatakan bahwa ini perempuan merdeka dan mereka tidak berani mengganggu perempuan itu.  Jika mereka melihat perempuan itu tidak mengenakan jilbab, maka mereka mengatakan bahwa ini budak perempuan, sehingga mereka menggodanya.  Perempuan berjilbab itu menjadi mulia karena diketahui bahwasanya mereka adalah perempuan merdeka sehingga orang-orang fasik itu tidak mengganggunya.  Orang-orang fasik tidak berani mengganggu muslimah, karena pelecehan terhadap muslimah akan menerima hukuman besar.  Disamping itu, segala gangguan dan pelecehan terhadap muslimah pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap kehormatan kaum muslimin secara keseluruhan (Buku “Jilbab, antara Trend dan Kewajiban”).

Pelarangan menutup aurat bagi polwan atas alasan aturan seragam dinas, jelas bertentangan dengan hukum Islam. Disamping itu, paham kedaerahan dan kesukuan seolah menguatkan dalih pembolehan menggunakan seragam dinas dengan berkerudung hanya di daerah tertentu. Pembolehan menutup aurat bagi polwan di Aceh bukanlah dalih pembenaran untuk hanya mengizinkan mereka saja yang menutup aurat, sementara Polwan muslimah di daerah lain dilarang. Aturan demikian jelas bernafaskan diskriminasi, pendiskreditan syariat sekaligus pengkerdilan jati diri muslimah.

Lihatlah, atas nama aturan dinas, kaum muslimah tidak bebas menutup aurat. Sebaliknya, kaum perempuan penjaja kemolekan fisik macam peserta ajang pemilihan Ratu Sejagad (Miss Universe, Miss World), diberi fasilitas untuk membuka auratnya. Bahkan tak jarang, para kontestan miss-miss-an semacam ini banyak juga yang berasal dari negeri muslim. Bukankah Indonesia telah sejak lama menjadi salah satu negeri muslim pengirim kontestan Miss Universe? Pun Miss World.

Sungguh ini adalah diskriminasi yang tak lagi bisa ditutup-tutupi. Beginilah wajah ganda demokrasi. Yang pasti, di salah satu sisi wajah tersebut takkan pernah ada ruang keberpihakan kepada aturan Islam. Padahal sudah jelas, para perempuan yang tidak memakai pakaian syar’iy di depan umum, berarti dia telah menyia-nyiakan payung hukum baginya. Dan perempuan yang mengobral auratnya sesungguhnya telah menjatuhkan martabat dan kehormatannya sendiri. Na’udzubillaah.

Dosa Kolektif, Argumentasi Bathil

Makin nyata, demokrasi telah mengotak-ngotakkan kaum muslimin. Jati diri muslim pun makin terkikis atas alasan profesi, disamping solidaritas suku dan asal daerah. Padahal, mereka muslim. Bagaimana bisa aturan Islam jadi berbeda-beda untuk daerah yang berbeda seperti ini? Memang tidak masuk akal.

Demokrasi sebagai sistem kehidupan kufur yang saat ini masih bisa pongah, memang takkan pernah sedikitpun memberikan ruang bagi kaum muslimin untuk melaksanakan aturan Islam secara kaffah. Menutup aurat secara sempurna adalah kewajiban, bukan hak. Konsekuensi tidak terlaksananya sebuah kewajiban adalah dosa. Karena pembuat aturan menutup aurat bukan atasan, melainkan Allah Swt, Sang Khaliq. Dan karena menutup aurat adalah kewajiban individu muslimah, maka dalih dosa kolektif yang ditanggung oleh pembuat kebijakan tidaklah bisa menjadi alasan. Itu jelas argumentasi bathil.

Firman Allah Swt terkait dengan hal ini: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (TQS al-Ahzab [33]: 36). Dalam ayat yang lain: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (TQS al-Qiyaamah [75]: 36). Serta ayat berikut ini: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (TQS al-Israa’ [17]: 36).

Khatimah

Dengan demikian, firman Allah Swt berikut ini seyogyanya harus senantiasa dilaksanakan: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (TQS al-Maa’idah [5]: 49).

Peliknya isu polwan menutup aurat ini makin nyata menunjukkan umat berada di titik nadir. Tidakkah para pelaku demokrasi itu khawatir, bahwa dengan sensitifnya isu ini, maka sangat mungkin menjadi bumerang bagi mereka? Bumerang untuk memutarbalikkan kekuatan yang akan menggempur mereka atas nama ketidakpuasan rakyat akibat kebijakan demokrasi yang tidak akan pernah sesuai dengan fitrah manusia.

Maka, satu catatan penting, bahwa kesempurnaan penerapan hukum Islam tidaklah ada, kecuali dengan Khilafah. Perempuan sangat membutuhkan Khilafah karena syariat Islam dalam Khilafah menghormati perempuan dengan menjaga kemuliaannya. Islam memandang perempuan sebagai suatu kehormatan yang wajib dijaga dan dipelihara. Islam mensyariatkan kerudung dan jilbab adalah untuk menjaga dan memelihara kehormatan itu. Nabi saw bersabda: “Perempuan itu adalah aurat.” Badan perempuan harus ditutupi sebagai aurat yang merupakan kehormatan baginya. Jika aurat itu dilihat orang yang tidak berhak, maka perempuan itu dilecehkan kehormatannya.

Wallaahu a’lam bish showab [].

Sabtu, 15 Juni 2013

Vasektomi Bukan Solusi Keluarga Berencana

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Kamis (13/06), NET (News and Entertainment Television) berkunjung ke Kantor DPP MHTI dalam rangka mewawancarai Ustadzah Iffah Ainur Rochmah, Juru Bicara MHTI. Berkenaan dengan Hari Keluarga Nasional akhir Juni nanti, maka tema yang diangkat dalam wawancara tersebut adalah pandangan Islam terhadap keluarga berencana dengan metode vasektomi. Hasil wawancara ini sendiri akan ditayangkan pada acara NET pada Jumat (14/06) siang.


Pada intinya, Ustadzah Iffah menyampaikan tentang dua hal. Pertama, penyikapan terhadapan kebijakan hukum boleh atau tidaknya vasektomi dalam Islam. Kedua, kritik MHTI tentang persoalan kependudukan. Bicara rencana keluarga melalui program KB, legalisasi kebijakan vasektomi oleh BKKBN dianggap sebagai solusi. Terkait dengan hal ini, Ustadzah Iffah mencontohkan berita vasektomi yang pernah terjadi di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu. Warga pria di kabupaten tersebut diusulkan mendapat hadiah Rp 1 juta dari Kepala Daerah, jika bersedia memasang alat kontrasepsi vasektomi.

Vasektomi dulu diharamkan karena dilakukan dengan cara memutuskan, memotong permanen saluran vas deferens (saluran sperma laki-laki dari buah zakar ke saluran keluarnya). Tapi sekarang, vasektomi hanya mengikat saluran vas deferens. Masalahnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru mengeluarkan fatwa menghalalkan praktik vasektomi untuk program KB atau menjarangkan kehamilan. Hal ini didukung oleh BKKBN. Bahkan, Nahdatul Ulama (NU) juga menyatakan dukungannya terhadap program KB yang digalakkan BKKBN. Maka bisa dibayangkan, bahwa dengan dukungan fatwa dari MUI, peserta pria program Keluarga Berencana (KB) dapat bertambah pesat.

Ustadzah Iffah juga menekankan bahwa vasektomi dan tubektomi adalah pemandulan tetap’ yang terlarang dalam hukum Islam. Secara singkat, dalam mengatasi pengendalian jumlah penduduk dengan konteks pengaturan jarak kelahiran, Islam telah menetapkan ‘azl (senggama terputus) sebagai solusinya.

Lebih jauh lagi, Ustadzah Iffah mengkritisi kebijakan BKKBN. Diantaranya, Pertama, bahwa problem kependudukan tidak semata karena besarnya pertumbuhan penduduk. Masalah kemiskinan, beratnya beban biaya pendidikan dan kesehatan adalah akibat salah pengelolaan SDA. Ironisnya, di tengah kekayaan SDA Indonesia, tak sedikit rakyatnya yang terbelenggu kemiskinan. Oleh karenanya, hal ini juga memerlukan alternatif sistem ekonomi. Islam memiliki sistem ekonomi yg menjamin pertumbuhan sekaligus pemerataan kekayaan.

Selanjutnya, Kedua, negara yang mengontrol populasi dengan pembatasan kelahiran sebagaimana di Eropa, juga Singapura, saat ini justru sedang resah karena minimnya pertumbuhan penduduk. Mereka malah sedang mendorong dan memberi insentif untuk perempuan yang bersedia hamil dan melahirkan. Artinya, dunia telah menyadari bahwa pertumbuhan penduduk adalah potensi demografi, bukan ancaman.

Ketiga, program BKKBN semestinya diarahkan untuk menyiapkan dan membantu orang tua mendidik anak sebaik mungkin. Tidak sedikit keluarga yang punya satu anak saja masih miskin, anaknya jadi pecandu narkoba dan seks bebas.

Keempat, fatwa MUI yang dulu mengharamkan sekarang menghalalkan patut dikritisi landasan nash-nya. Tidak boleh hukum berubah sekadar karena ada kemanfaatan. Alasan bisa dilakukan rekanalisasi tidak cukup kuat untuk menghilangkan fakta pemandulan yang menjadi dasar pengharaman vasektomi/MOP (Metode Operasi Pria). Jadi kembali lagi, meski MUI sekarang membolehkan, sejatinya vasektomi yang sekarang tetap sama merupakan pemandulan. Disamping itu, hanya bisa dilakukan oleh dokter khusus yang sangat mahal biayanya, tidak terjangkau masyarakat umum. Sementara pelaku program vasektomi justru kebanyakan masyarakat kelas bawah yang didorong melakukan vasektomi untuk mengatasi masalah ekonomi [nindira].

Original link: http://hizbut-tahrir.or.id/2013/06/15/vasektomi-bukan-solusi-keluarga-berencana/