Muqodimah
Mahasiswa, ikon intelektual dan insan
cendikia. Mereka adalah sekelompok individu yang memiliki akses pendidikan pada
jenjang tertinggi di negeri ini. Tak heran, mahasiswa pun bertaraf pikir yang relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain, khususnya yang tidak
mampu mengakses pendidikan serupa.
Seiring ketinggian berpikirnya, selayaknya mahasiswa
makin peka terhadap lingkungan sekitarnya. Terbukti, dari masa ke masa, pergerakan
intelektual/mahasiswa selalu menjadi pihak yang berada di garda terdepan untuk
mengawal perubahan. Titel mahasiswa pun tak hanya titel akademik, namun juga
sebagai the agent of change. Mahasiswa, akan
selalu menjadi pihak yang memiliki akses yang memadai untuk mengindera beragam ketidaksesuaian
yang terjadi, baik di lingkungan akademiknya maupun segala sesuatu yang terjadi
dalam lingkungan bangsa dan negaranya.
The Agent of
Change
The agent of change adalah
aktor utama perubahan yang senantiasa memegang teguh idealismenya sebagai motor
penggerak perubahan dan pembaharuan. Mereka juga peduli dan berpihak kepada rakyat.
Selama ini, hal tersebut ditunjang oleh kondisi politik kampus yang kondusif. Kampus
pun menjadi ‘pabrik pencetak para politisi’. Mereka kritis, namun tetap cerdas,
politis dan bukan generasi preman.
Mahasiswa seperti ini adalah orang-orang terpilih.
Mereka rela mencurahkan tenaga, waktu dan harta untuk memikirkan kondisi
bangsanya. Tapi mereka tidak melupakan kualitas akademis mereka (IPK) yang
tetap di atas rata-rata. Mereka adalah para organisatoris. Mereka kuat karena
mengalami pengkaderan yang berjenjang dan bertarget. Mereka bukan aktivis
instan yang hanya mengejar popularitas sesaat. Saat Jakarta pernah menjadi
barometer pergerakan mahasiswa nasional, di mana aksi mahasiswa banyak digelar
di sana, mahasiswa adalah golongan yang terus maju menerjang meskipun sanksi DO
(drop out) dari kampus menghadang.
Sebagai intelektual, mereka adalah orang-orang yang
santun dalam bertingkah, tangkas dalam berfikir, dan menjadi panutan mahasiswa pada
umumnya. Mereka mampu me-manage
(mengatur) waktu, bukan sebaliknya. Mereka juga mampu menuangkan gagasan ke dalam
tulisan hingga aksi jalanan yang mengguncang jagat kepemudaan.
Sejarah mencatat, sikap kritis mahasiswa terhadap
pemerintah tidak pernah berhenti. Berbagai jalur perjuangan pun ditempuh oleh
para aktivis mahasiswa dengan meleburkan diri dan aktif di organisasi
kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII
(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Gerakan Mahasiswa (GEMA) Pembebasan, dll.
Ciri-ciri ideal ini senantiasa mereka pelihara. Mereka
memegangnya dengan teguh serta mengintegrasikannya bersama potensi dan
semangatnya sebagai kaum muda. Semua demi menjaga label yang mereka sandang
sebagai the agent of change.
Mahasiswa Kini…’Pakar’ Tawuran
Namun tentunya tak dapat dipungkiri bahwa di balik
segala potensinya, mahasiswa tetaplah manusia yang tak mungkin sempurna. Coba
tengok mahasiswa saat ini.
Masih segar dalam ingatan di penghujung 2012, media
massa dihiasi berbagai berita tawuran mahasiswa. Ini jelas mencoreng dunia
mahasiswa sekaligus pendidikan tinggi negeri kita. Detiknews (17/10/2012)
bahkan mencatat bahwa beberapa mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan, tak
jera tawuran meski sering makan korban. Dalam kejadian terakhir, tawuran tersebut
menyebabkan dua mahasiswa tewas (kompas.com,
11/10/2012). Hal ini menunjukan bahwa tawuran itu sudah di luar batas
sifat-sifat manusia yang berpikir normal. Mahasiswa sebagai orang intelektual kok bisa sejahanam itu. Lantas, di mana
logika berpikir yang selama ini menonjol dari mereka?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh
mengatakan, civitas akademika harus mengedepankan nilai budaya dan akademik
merupakan salah satu pencegahan tawuran antar-pelajar dan antar-mahasiswa yang
marak terjadi belakangan ini. Tawuran dan hantam-hantaman itu ia sebut seperti
dalam kehidupan primitif. Nuh juga mengimbau agar para pimpinan perguruan
tinggi, dosen, dan mahasiswa sebaiknya tidak lagi menggunakan pendekatan fisik.
Kasus yang juga disoroti oleh Nuh karena berpotensi memicu aksi kekerasan
adalah senioritas di dalam kampus yang tampak pada kegiatan orientasi
pengenalan kampus atau ospek. Terkadang, maksud baik dalam kegiatan ini menjadi
beralih saat mahasiswa baru justru menjadi sasaran per-plonco-an (baca: kekerasan)
oleh para senior (kompas.com, 16/10/2012).
Maraknya kasus tawuran mahasiswa membuat negara
beraksi. Pemerintah akan membekukan izin atau mencabut izin program studi di
perguruan tinggi manapun, jika mahasiswanya terlibat tawuran. Sanksi itu dapat
berlaku untuk sementara atau selamanya. Alasan pemberian sanksi ini karena
pemerintah meragukan kemampuan perguruan tinggi dalam mendidik peserta didik. Perguruan
tinggi didorong memperketat sanksi. Bagi mahasiswa yang terlibat kekerasan,
akan dikenai sanksi diskors hingga drop
out (DO) (kompas.com, 15/10/2012).
Mahasiswa Kini…Minim Wawasan
Politik
Pada sisi lain kondisi mahasiswa, sejatinya sama
kacaunya. Jika bukan semangat bertarung (baca:
tawuran) yang dikedepankan, nyatanya tak sedikit dari mahasiswa yang minim wawasan
politik, bahkan apolitis.
Sebutlah imbas peristiwa pemilihan Presiden
Mahasiswa di sebuah perguruan tinggi pertanian di kawasan satelit ibukota.
Kisruhnya akhir tahun lalu sudah menjadi rahasia umum. Kondisinya, Sidang Umum I Keluarga Mahasiswa (KM) terpaksa
dibubarkan. Perdebatan sengit tak dapat dihindari saat sesi sosialisasi run down Sidang Umum yang mencantumkan pelantikan
pengurus baru KM. Pelantikan tersebut dilakukan sesuai dengan tuntunan action plan yang telah disusun oleh MPM
KM. Suasana sidang menegang ketika beberapa mahasiswa yang hadir mengajukan protes. Beberapa mahasiswa merasa bahwa ada
sebuah kesalahan dalam action plan
tersebut (korpus….com, 30/12/2012).
“Action plan ini tidak sah karena tidak dirumuskan
oleh tim perumus. Seharusnya dibuat dua action
plan dari masing-masing pihak yang mewakili tim perumus, baru setelah itu didiskusikan
oleh forum keterwakilan mahasiswa,” protes salah seorang mahasiswa di tengah
sidang. Hal ini mengingat bahwa pihak rektorat pernah menegaskan agar tim perumus
membuat draft action plan terlebih dahulu
yang mana di dalamnya mencakup aspirasi dari UKM, Himpro, dan pejabat KM. Setelah adanya draft, barulah pelantikan dilakukan (korpus….com, 30/12/2012).
Akibatnya, terjadi
protes yang berujung adu mulut. Suasana memanas. Beruntung ketegangan dapat
diredam oleh Unit Keamanan Kampus (UKK) yang merangsek masuk ke tengah-tengah
peserta sidang. Alhasil, pelantikan pejabat KM pun dibatalkan seiring dibubarkannya
sidang (korpus….com, 30/12/2012).
Memang, di awal
tahun 2013 ini sudah ada titik terang. Sidang Umum I KM akhirnya menemukan
kesepakatan. Pihak Kemahasiswaan kampus pun telah menjadi mediator untuk
mendiskusikan perbedaan pendapat yang terjadi. Hasil mediasi tersebut berupa draft
revitalisasi sistem kelembagaan KM. Semangat yang ada di dalam draft tersebut
merupakan semangat perubahan yang disepakati bersama. Semua mengharapkan kesepakatan
itu dapat diwujudkan sesuai dengan jalurnya. Jika jauh melenceng dari
perwujudannya, maka bukan tidak mungkin akan terjadi pergolakan lagi. Karena bagaimanapun,
civitas kampus pasti menginginkan apa pun yang terbaik bagi KM (korpus….com, 06/01/2013).
Jika Mahasiswa
Sadar…
Berdasarkan fakta di atas,
tentu dapat dinilai bahwa mahasiswa adalah golongan orang-orang kuat. Akan tetapi,
tak cukup hanya kuat fisik hingga menjadi ‘pakar’ tawuran. Melainkan kekuatan
fisik itu harus diiringi dengan kekuatan berpikir sehingga karakternya sebagai
kaum intelektual dapat ditampakkan. Disamping itu, kekuatan fisik tersebut juga
dapat dioptimalkan untuk melakukan pengkajian dan penelitian dalam rangka
pengamalan ilmunya dari bangku akademik, tentunya untuk kemashlahatan
masyarakat.
Namun demikian, bukan
berarti mahasiswa harus menjadi pekerja teknis. Karena jika demikian, maka
mahasiswa hanya akan sibuk dengan pekerjaan di depan mata. Tapi tak mampu
memandang secara visioner tentang perubahan yang ia emban sebagai the agent of change. Hal ini tentunya
juga tak boleh terjadi. Karena kondisi
ini menjelaskan bahwa ilmunya tidak untuk kemashlahatan umat sebagai objek yang
diurus oleh negara, di mana intelektual sebagai pihak atau staf ahli yang pasti
menjadi rujukan. Akan tetapi yang terjadi, pemanfaatan ilmu itu hanya untuk
kemashlahatan sejumlah pemilik kapital yang akan menggajinya, antara lain
melalui maraknya tawaran proyek penelitian. Bahkan, bukan tidak mungkin jika
posisi intelektual ini sebatas menjadi ‘pemanis’ dalam pengguliran sebuah
kebijakan/undang-undang negara, agar beralasan untuk dilegalkan meski isinya
sangat liberal-imperialistik. Ingatlah, karena mahasiswa
adalah kaum pemikir, bukan pembebek.
Sementara itu, dari kisah
KM juga dapat dilihat bahwa pihak yang mengawali ketidaksepakatan dalam Sidang
Umum KM tersebut adalah pihak yang merasa terdzolimi. Bagaimanapun, mereka tetap
berhak untuk diberi keadilan dan klarifikasi. Oleh karena itu, peristiwa ini
harus disikapi dengan wawasan politis taktis dan strategis sehingga diperoleh
solusi yang memuaskan akal dan menenteramkan jiwa.
Mahasiswa
Harus Punya Pegangan dan Jati Diri
Mahasiswa adalah
golongan intelektual penuntut
ilmu. Menuntut ilmu itu sendiri merupakan bagian dari aktivitas ibadah,
sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Dan Allah Swt telah menjamin orang-orang yang
berilmu dalam Al-Qur’an: “…niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS Al-Mujadilah [58]: 11). Juga
firman Allah Swt: “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu…” (TQS Al-Hujuraat [49]:
13).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, maka jelas bahwa ilmu itu akan
senantiasa bersanding dengan iman dan taqwa. Artinya, orang-orang yang menjadi
golongan pemikir adalah orang-orang yang makin besar kedekatan, ketaatan, ketundukan dan ketakutannya kepada Allah Swt. Bukan orang-orang
yang emosional, atau mudah menyepelekan sekecil apapun suatu urusan. Di dalam hadits penuturan Hudzaifah ra. disebutkan
bahwa Rasulullaah saw. pernah bersabda: “Barangsiapa yang tidak
memperhatikan kepentingan kaum Muslim, ia tidak termasuk di antara mereka.
Barangsiapa bangun pada pagi hari dan tidak memperhatikan urusan kaum Muslim,
ia bukanlah golongan mereka.” (HR ath-Thabari). Terlebih jika urusan yang dihadapi itu berkaitan
dengan kepentingan orang banyak, maka mahasiswa harus memiliki pegangan dan
jati diri agar tak mudah terombang-ambing dalam mengambil keputusan menuju
solusi.
Manusia akan
selalu mengatur tingkah-lakunya di dalam kehidupan ini, termasuk dalam
memecahkan permasalahan, sesuai dengan persepsinya terhadap kehidupan. Namun,
persepsi ini tidak akan mengantarkan kepada kebenaran, kecuali jika ditempuh
dengan jalan yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan memberikan
ketenangan hati. Maka tidak bisa tidak,
persepsi itu boleh terwujud hanya dengan landasan Islam. Aqidah Islam telah
menjelaskan bahwa di balik alam semesta, manusia dan kehidupan, terdapat Allah
Swt sebagai Sang Khaliq. Islam pun menjamin bahwa dalam Islam terdapat
penyelesaian permasalahan kehidupan berdasarkan penanganan potensi manusia,
yaitu kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) dan naluri (ghorizah)
(Kitab Nizhomul Islam Bab Thoriqul Iman).
Dalam
perbuatan seorang hamba harus ada keyakinan akan hubungannya dengan Allah Swt secara
mutlak sebagai bentuk ketaqwaannya. Kunci untuk menuju kebenaran
petunjuk Allah Swt ini berawal dari keikhlasan. Jika seorang manusia menemukan
bahwa dirinya melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah Swt, maka berarti
ia telah menjadi orang yang ikhlas. Hadits dari Abdullaah bin Mas’ud ra dari
Rasul saw: “Allah akan menerangi orang
yang mendengar perkataanku, kemudian ia menyadarinya, menjaganya dan
menyampaikannya. Terkadang ada orang yang membawa pengetahuan kepada orang yang
lebih tahu darinya. Ada tiga perkara yang menyebabkan hati seorang muslim tidak
dirasuki sifat dengki, yaitu ikhlas beramal karena Allah, menasihati para pemimpin
kaum Muslim dan senantiasa ada dalam jama’ah al- muslimin. Karena dakwah akan
menyelimuti dari belakang mereka.” (HR. Tirmidzi) (Kitab Mim Muqowimat).
Perbedaan pendapat di kalangan manusia adalah suatu fitrah. Akan tetapi,
jika perbedaan itu terjadi, maka harus diselesaikan dengan baik. Bukan dengan memperuncing
perbedaan itu sendiri, atau dengan memutus hak orang yang harus diberi
penyelesaian permasalahan, apalagi jika sampai tawuran. Islam telah memberikan
tuntunan tentang tata cara menghadapi pihak yang berbeda pendapat. Firman Allah Swt: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (TQS. An-Nahl [16]: 125).
Firman Allah Swt dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11 pun harus
menjadi landasan menuju perubahan: ”…Sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.”
Maka dalam bergerak, hendaknya mahasiswa memiliki
prinsip yang terdiri dari dasar pemikiran yang benar dengan batasan yang jelas,
metode gerak organisasi atau pergerakan yang lurus, bertumpu pada orang-orang
yang berkesadaran sempurna terhadap perubahan, serta memiliki ikatan yang benar
dengan sesama individu dalam sebuah pergerakan di mana ia terlibat di dalamnya.
Prinsip-prinsip ini kemudian menjadi penting, karena sudah bukan hal aneh jika
mahasiswa kembali pada karakter asalnya sebagai the agent of change, di mana mahasiswa akan selalu menjadi pihak
yang berada di garda terdepan dalam mengawal perubahan. Maka, kini saatnya
muatan dan arah perubahan itu senantiasa
dipenuhi dengan langkah mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Kisah Debat Cerdas Mush’ab bin ‘Umair ra
Ibnu Ishaq berkata,
“Ketika orang-orang Madinah itu hendak
kembali, Rasulullaah saw mengutus
Mush’ab bin ‘Umair menemani mereka. Mush’ab diperintahkan beliau agar
membacakan al-Quran, mengajarkan Islam, dan memberi pemahaman agama kepada
mereka. Sehingga dia dinamakan Muqarri’ Madinah: Mush’ab. Mush’ab tinggal di
rumah As’ad bin Zurarah.”
Mush’ab berkeliling
Madinah menemui orang-orang dan mengajak mereka masuk Islam serta mengajarkan
Islam pada mereka. Pada suatu hari, As’ad bin Zurarah keluar bersama Mush’ab
bin ‘Umair ke pemukiman Bani ‘Abdul Asyhal dan pemukiman Bani Zhafar. Keduanya
masuk ke sebuah kebun di antara kebun-kebun Bani Zhafar dan berada di dekat
sumur yang bernama sumur Muraq. Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair ketika
itu menjadi pemuka dari Bani Abdul Asyhal. Keduanya adalah orang musyrik
pemeluk agama kaumnya.
Tatkala
keduanya mendengarkan ucapan Mush’ab, Sa’ad bin Mu’adz berkata kepada Usaid bin
Hudhair: “Saya tidak benci padamu.
Temuilah dua orang itu yang datang ke tempat kita hanya untuk membodohi
orang-orang lemah di antara kita. Usirlah dan cegahlah keduanya karena keduanya
hendak datang ke tempat kita. Seandainya As’ad bin Zurarah tidak berasal dari
kaum saya sebagaimana yang telah kamu ketahui, tentu saya sendiri yang akan
melakukannya. Dia adalah anak bibi saya, dan saya tidak menemukan alasan untuk
mencegahnya.”
Usaid bin
Hudhair mengambil tombak pendeknya, kemudian berangkat menemui keduanya. Ketika
As’ad bin Zurarah melihatnya, maka dia berkata kepada Mush’ab, “Orang
itu adalah pemuka kaumnya yang datang kepadamu, mudah-mudahan dia membenarkan
Allah.” Mush’ab menjawab, “Jika dia bersedia duduk, aku akan berbicara
padanya.”
Usaid bin
Hudhair akhirnya duduk di depan keduanya dengan wajah cemberut sambil
menggerutu, lalu berkata, “Apa yang
kalian bawa kepada kami? Kalian hanya akan membodohi orang-orang lemah kami!
Menyingkirlah kalian dari kami, jika memang kalian memiliki kepentingan yang
berhubungan dengan diri kalian sendiri!” Mush’ab berkata: “Atau
sebaiknya engkau duduk dan mendengarkan dulu? Jika engkau menyukainya maka
engkau bisa menerimanya. Dan jika engkau membencinya, maka cukuplah bagimu apa
yang engkau benci.” Usaid menjawab: “Boleh juga.”
Kemudian dia
menancapkan tombak pendeknya dan duduk di hadapan keduanya. Lalu Mush’ab
menjelaskan Islam dan membacakan al-Quran kepadanya. Keduanya (Mush’ab dan
As’ad bin Zurarah) berkata –berkenaan dengan yang dibicarakan tentang
keduanya–: “Demi Allah, sungguh kami
telah mengetahui Islam ada di wajahnya, sebelum dia berkata untuk menerimanya
dengan suka cita.” Tidak berapa lama Usaid berkata, “Alangkah bagus dan indahnya kalimat ini! Apa yang kalian lakukan ketika
akan memeluk agama ini?” Keduanya menjelaskan kepadanya: “Mandi, lalu sucikan dirimu dan pakaianmu,
kemudian ucapkanlah syahadat, setelah itu shalatlah dua rakaat.” Usaid
berdiri, lalu mandi dan menyucikan pakaiannya. Dia membaca syahadat, kemudian
berdiri menunaikan shalat dua rakaat. Usaid berkata, “Bersamaku ada seorang laki-laki. Jika dia mengikuti kalian, maka tidak
seorang pun dari kaumnya yang akan menentangnya. Sekarang aku akan mengajak
Sa’ad bin Mu’adz menemui kalian berdua.”
Usaid mencabut
tombak pendeknya dan segera pergi menemui Sa’ad serta kaumnya. Ketika itu
mereka sedang duduk-duduk di tempat pertemuan, maka ketika Sa’ad bin Mu’adz
melihatnya segera menyambutnya dan berkata, “Aku bersumpah atas nama Allah. Sungguh Usaid bin Hudhair telah datang
pada kalian bukan dengan wajah seperti ketika dia pergi dari kalian.”
Ketika Usaid
telah duduk di hadapan orang yang menyambutnya itu, Sa’ad bertanya kepadanya, “Apa yang telah engkau lakukan?” Usaid
menjawab, “Aku memang telah berbicara
kepada dua orang laki-laki itu. Demi Allah, aku tidak melihat rencana jahat
pada keduanya.” Sa’ad spontan berdiri penuh amarah. Dia mengambil tombak pendek yang berada di tangan
Usaid, lalu berkata, “Demi Allah, aku
melihatmu sama sekali tidak berguna!” Kemudian dia segera keluar dan
menemui mereka berdua. Tatkala Sa’ad melihat keduanya dalam keadaan tenang, dia
menyadari bahwa Usaid hanya menginginkan dia mendengar perkataan dua orang yang
ada di hadapannya. Dia berdiri tegak menghadap keduanya dengan wajah memendam
kemarahan.
As’ad menoleh
kepada Mush’ab seraya berkata, “Wahai
Mush’ab, telah datang kepadamu seorang tokoh. Demi Allah, di belakangnya ada
kaumnya. Jika dia mengikutimu, maka tidak seorang pun dari mereka yang akan
menentangmu.”
Mush’ab berkata
kepada Sa’ad, “Lebih baik anda duduk dan dengarkan. Jika anda suka dan menginginkannya
maka anda bisa menerimanya. Namun, jika anda membencinya, kami akan menjauhkan
dari anda segala hal yang anda benci.” Sa’ad berkata, “Boleh
juga, aku terima.” Tombak
pendek di tangannya ditancapkan di tanah, lalu ia duduk. Lalu Mush’ab
menyampaikan Islam dan membacakan al-Quran kepadanya. Keduanya bergumam, “Demi Allah, kami melihat Islam di wajahnya
sebelum dia berbicara untuk menerimanya dengan suka cita.” Sa’ad bertanya
kepada keduanya, “Apa yang kalian lakukan
ketika kalian memeluk Islam dan masuk agama ini?” Keduanya menjawab, “Mandi dan sucikan diri dan pakainmu,
kemudian bacalah syahadat dan shalat dua rakaat.”
Sa’ad berdiri,
lalu mandi dan menyucikan pakaiannya, kemudian membaca syahadat dan shalat dua
rakaat. Setelah itu ia mencabut tombak pendeknya, dan segera menghampiri
kaumnya. Dia berjalan dengan tegap disertai oleh saudara sepupunya, Usaid bin
Hudhair. Ketika kaumnya melihat dia, mereka berkata, “Kami bersumpah dengan nama Allah, sungguh Sa’ad telah kembali kepada
kalian bukan dengan wajah seperti waktu dia pergi dari kalian!”
Tatkala Sa’ad
berdiri menghadap kaumnya, dia berkata, “Wahai
Bani ‘Abdul Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di
tengah-tengah kalian?” Mereka menjawab serentak, “Engkau adalah pemimpin kami dan yang paling cerdas di antara kami serta
memiliki pribadi paling baik”. Sa’ad kembali berkata, “Sesungguhnya ucapan kaum laki-laki dan wanita kalian kapadaku adalah
haram, hingga kalian semua beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Tidak berapa lama, keduanya (Usaid bin Hudhair dan
Sa’ad bin Muadz) berkata, “Demi Allah,
tidak akan ada seorang laki-laki maupun wanita, saat sore hari di pemukiman
Bani ‘Abdul Asyhal, kecuali dia akan jadi muslim dan muslimah.”
Setelah itu, Mush’ab
kembali ke rumah As’ad bin Zurarah dan tinggal bersamanya. Dia tidak pernah
berhenti mengajak orang-orang kepada Islam, sehingga tidak satu pun rumah kaum
Anshar kecuali di dalamnya dihuni laki-laki dan wanita-wanita Muslim. Mush’ab
tinggal di Madinah selama setahun. Dia hidup di tengah-tengah Bani Aus dan
Khazraj. Setiap waktu beliau mengajari mereka agama Islam; menyaksikan
perkembangan penolong-penolong agama Allah dan kalimat kebenaran yang tumbuh
dengan pesat. Dia tidak bosan mengetuk pintu masyarakat agar dapat berhubungan
dengan mereka dan menyampaikan dakwah Allah kepada mereka. Dengan demikian,
dalam waktu satu tahun, Mush’ab berhasil membalikkan pemikiran di Madinah dari
penyembahan berhala yang hina dan berbagai perasaan yang keliru menjadi wacana
tauhid dan keimanan, serta perasaan Islami (Kitab Ad-Daulah).
Khatimah
Mengaruskan perubahan memang tidak bisa sendiri
atau gerak individu. Rasulullaah saw pun ketika menegakkan Daulah Khilafah
Islamiyyah diawali dengan membentuk pergerakan bersama para shahabat untuk
menentang segala kekufuran di kalangan kaum kafir Quraisy dan kabilah-kabilah
di jazirah Arab. Demikian pula di masa kini, mahasiswa harus tergabung dalam
tim yang solid untuk memulai perubahan yang dicita-citakan. Dan bercermin dari sejumlah
kisah di atas, maka jelas bahwa perubahan hakiki hanyalah dengan syariat Islam.
Karena itu, mahasiswa harus
berkiprah dan berkontribusi untuk tegaknya syariah Islam dalam naungan
Khilafah. Jika penerapan
syariah Islam dalam Khilafah tidak dijadikan sebagai jalan dan target
perubahan, maka mereka akan merasa lelah dan sia-sia karena perubahan hakiki tidak
akan pernah terwujud. Allah Swt pun telah menyambut kiprah ini dalam QS Ali
‘Imran [3] ayat 195: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian
kamu adalah turunan dari sebagian yang lain...”
Wallaahu a’lam bish showab [].