Selasa, 15 Januari 2013

MELEJITKAN IKON INTELEKTUAL KRITIS DAN POLITIS

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si



Muqodimah
Mahasiswa, ikon intelektual dan  insan cendikia. Mereka adalah sekelompok individu yang memiliki akses pendidikan pada jenjang tertinggi di negeri ini. Tak heran, mahasiswa pun bertaraf pikir yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain, khususnya yang tidak mampu mengakses pendidikan serupa.

Seiring ketinggian berpikirnya, selayaknya mahasiswa makin peka terhadap lingkungan sekitarnya. Terbukti, dari masa ke masa, pergerakan intelektual/mahasiswa selalu menjadi pihak yang berada di garda terdepan untuk mengawal perubahan. Titel mahasiswa pun tak hanya titel akademik, namun juga sebagai the agent of change. Mahasiswa, akan selalu menjadi pihak yang memiliki akses yang memadai untuk mengindera beragam ketidaksesuaian yang terjadi, baik di lingkungan akademiknya maupun segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungan bangsa dan negaranya.

The Agent of Change
The agent of change adalah aktor utama perubahan yang senantiasa memegang teguh idealismenya sebagai motor penggerak perubahan dan pembaharuan. Mereka juga peduli dan berpihak kepada rakyat. Selama ini, hal tersebut ditunjang oleh kondisi politik kampus yang kondusif. Kampus pun menjadi ‘pabrik pencetak para politisi’. Mereka kritis, namun tetap cerdas, politis dan bukan generasi preman.

Mahasiswa seperti ini adalah orang-orang terpilih. Mereka rela mencurahkan tenaga, waktu dan harta untuk memikirkan kondisi bangsanya. Tapi mereka tidak melupakan kualitas akademis mereka (IPK) yang tetap di atas rata-rata. Mereka adalah para organisatoris. Mereka kuat karena mengalami pengkaderan yang berjenjang dan bertarget. Mereka bukan aktivis instan yang hanya mengejar popularitas sesaat. Saat Jakarta pernah menjadi barometer pergerakan mahasiswa nasional, di mana aksi mahasiswa banyak digelar di sana, mahasiswa adalah golongan yang terus maju menerjang meskipun sanksi DO (drop out) dari kampus menghadang.

Sebagai intelektual, mereka adalah orang-orang yang santun dalam bertingkah, tangkas dalam berfikir, dan menjadi panutan mahasiswa pada umumnya. Mereka mampu me-manage (mengatur) waktu, bukan sebaliknya. Mereka juga mampu menuangkan gagasan ke dalam tulisan hingga aksi jalanan yang mengguncang jagat kepemudaan.

Sejarah mencatat, sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintah tidak pernah berhenti. Berbagai jalur perjuangan pun ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan meleburkan diri dan aktif di organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Gerakan Mahasiswa (GEMA) Pembebasan, dll.

Ciri-ciri ideal ini senantiasa mereka pelihara. Mereka memegangnya dengan teguh serta mengintegrasikannya bersama potensi dan semangatnya sebagai kaum muda. Semua demi menjaga label yang mereka sandang sebagai the agent of change.

Mahasiswa Kini…’Pakar’ Tawuran
Namun tentunya tak dapat dipungkiri bahwa di balik segala potensinya, mahasiswa tetaplah manusia yang tak mungkin sempurna. Coba tengok mahasiswa saat ini.

Masih segar dalam ingatan di penghujung 2012, media massa dihiasi berbagai berita tawuran mahasiswa. Ini jelas mencoreng dunia mahasiswa sekaligus pendidikan tinggi negeri kita. Detiknews (17/10/2012) bahkan mencatat bahwa beberapa mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan, tak jera tawuran meski sering makan korban. Dalam kejadian terakhir, tawuran tersebut menyebabkan dua mahasiswa tewas (kompas.com, 11/10/2012). Hal ini menunjukan bahwa tawuran itu sudah di luar batas sifat-sifat manusia yang berpikir normal. Mahasiswa sebagai orang intelektual kok bisa sejahanam itu. Lantas, di mana logika berpikir yang selama ini menonjol dari mereka?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh mengatakan, civitas akademika harus mengedepankan nilai budaya dan akademik merupakan salah satu pencegahan tawuran antar-pelajar dan antar-mahasiswa yang marak terjadi belakangan ini. Tawuran dan hantam-hantaman itu ia sebut seperti dalam kehidupan primitif. Nuh juga mengimbau agar para pimpinan perguruan tinggi, dosen, dan mahasiswa sebaiknya tidak lagi menggunakan pendekatan fisik. Kasus yang juga disoroti oleh Nuh karena berpotensi memicu aksi kekerasan adalah senioritas di dalam kampus yang tampak pada kegiatan orientasi pengenalan kampus atau ospek. Terkadang, maksud baik dalam kegiatan ini menjadi beralih saat mahasiswa baru justru menjadi sasaran per-plonco-an (baca: kekerasan) oleh para senior (kompas.com, 16/10/2012).

Maraknya kasus tawuran mahasiswa membuat negara beraksi. Pemerintah akan membekukan izin atau mencabut izin program studi di perguruan tinggi manapun, jika mahasiswanya terlibat tawuran. Sanksi itu dapat berlaku untuk sementara atau selamanya. Alasan pemberian sanksi ini karena pemerintah meragukan kemampuan perguruan tinggi dalam mendidik peserta didik. Perguruan tinggi didorong memperketat sanksi. Bagi mahasiswa yang terlibat kekerasan, akan dikenai sanksi diskors hingga drop out (DO) (kompas.com, 15/10/2012).

Mahasiswa Kini…Minim Wawasan Politik
Pada sisi lain kondisi mahasiswa, sejatinya sama kacaunya. Jika bukan semangat bertarung (baca: tawuran) yang dikedepankan, nyatanya tak sedikit dari mahasiswa yang minim wawasan politik, bahkan apolitis. 

Sebutlah imbas peristiwa pemilihan Presiden Mahasiswa di sebuah perguruan tinggi pertanian di kawasan satelit ibukota. Kisruhnya akhir tahun lalu sudah menjadi rahasia umum. Kondisinya, Sidang Umum I Keluarga Mahasiswa (KM) terpaksa dibubarkan. Perdebatan sengit tak dapat dihindari saat sesi sosialisasi run down Sidang Umum yang mencantumkan pelantikan pengurus baru KM. Pelantikan tersebut dilakukan sesuai dengan tuntunan action plan yang telah disusun oleh MPM KM. Suasana sidang menegang ketika beberapa mahasiswa yang hadir mengajukan  protes. Beberapa mahasiswa merasa bahwa ada sebuah kesalahan dalam action plan tersebut (korpus….com, 30/12/2012).

Action plan ini tidak sah karena tidak dirumuskan oleh tim perumus. Seharusnya dibuat dua action plan dari masing-masing pihak yang mewakili tim perumus, baru setelah itu didiskusikan oleh forum keterwakilan mahasiswa,” protes salah seorang mahasiswa di tengah sidang. Hal ini mengingat bahwa pihak rektorat pernah menegaskan agar tim perumus membuat draft action plan terlebih dahulu yang mana di dalamnya mencakup aspirasi dari UKM, Himpro, dan pejabat KM. Setelah adanya draft, barulah pelantikan dilakukan (korpus….com, 30/12/2012).

Akibatnya, terjadi protes yang berujung adu mulut. Suasana memanas. Beruntung ketegangan dapat diredam oleh Unit Keamanan Kampus (UKK) yang merangsek masuk ke tengah-tengah peserta sidang. Alhasil, pelantikan pejabat KM pun dibatalkan seiring dibubarkannya sidang (korpus….com, 30/12/2012).

Memang, di awal tahun 2013 ini sudah ada titik terang. Sidang Umum I KM akhirnya menemukan kesepakatan. Pihak Kemahasiswaan kampus pun telah menjadi mediator untuk mendiskusikan perbedaan pendapat yang terjadi. Hasil mediasi tersebut berupa draft revitalisasi sistem kelembagaan KM. Semangat yang ada di dalam draft tersebut merupakan semangat perubahan yang disepakati bersama. Semua mengharapkan kesepakatan itu dapat diwujudkan sesuai dengan jalurnya. Jika jauh melenceng dari perwujudannya, maka bukan tidak mungkin akan terjadi pergolakan lagi. Karena bagaimanapun, civitas kampus pasti menginginkan apa pun yang terbaik bagi KM (korpus….com, 06/01/2013).

Jika Mahasiswa Sadar…
Berdasarkan fakta di atas, tentu dapat dinilai bahwa mahasiswa adalah golongan orang-orang kuat. Akan tetapi, tak cukup hanya kuat fisik hingga menjadi ‘pakar’ tawuran. Melainkan kekuatan fisik itu harus diiringi dengan kekuatan berpikir sehingga karakternya sebagai kaum intelektual dapat ditampakkan. Disamping itu, kekuatan fisik tersebut juga dapat dioptimalkan untuk melakukan pengkajian dan penelitian dalam rangka pengamalan ilmunya dari bangku akademik, tentunya untuk kemashlahatan masyarakat.

Namun demikian, bukan berarti mahasiswa harus menjadi pekerja teknis. Karena jika demikian, maka mahasiswa hanya akan sibuk dengan pekerjaan di depan mata. Tapi tak mampu memandang secara visioner tentang perubahan yang ia emban sebagai the agent of change. Hal ini tentunya juga tak boleh terjadi. Karena kondisi ini menjelaskan bahwa ilmunya tidak untuk kemashlahatan umat sebagai objek yang diurus oleh negara, di mana intelektual sebagai pihak atau staf ahli yang pasti menjadi rujukan. Akan tetapi yang terjadi, pemanfaatan ilmu itu hanya untuk kemashlahatan sejumlah pemilik kapital yang akan menggajinya, antara lain melalui maraknya tawaran proyek penelitian. Bahkan, bukan tidak mungkin jika posisi intelektual ini sebatas menjadi ‘pemanis’ dalam pengguliran sebuah kebijakan/undang-undang negara, agar beralasan untuk dilegalkan meski isinya sangat liberal-imperialistik. Ingatlah, karena mahasiswa adalah kaum pemikir, bukan pembebek.

Sementara itu, dari kisah KM juga dapat dilihat bahwa pihak yang mengawali ketidaksepakatan dalam Sidang Umum KM tersebut adalah pihak yang merasa terdzolimi. Bagaimanapun, mereka tetap berhak untuk diberi keadilan dan klarifikasi. Oleh karena itu, peristiwa ini harus disikapi dengan wawasan politis taktis dan strategis sehingga diperoleh solusi yang memuaskan akal dan menenteramkan jiwa.

Mahasiswa Harus Punya Pegangan dan Jati Diri
Mahasiswa adalah golongan intelektual penuntut ilmu. Menuntut ilmu itu sendiri merupakan bagian dari aktivitas ibadah, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Dan Allah Swt telah menjamin orang-orang yang berilmu dalam Al-Qur’an: “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS Al-Mujadilah [58]: 11). Juga firman Allah Swt: “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu…” (TQS Al-Hujuraat [49]: 13).

Berdasarkan ayat-ayat tersebut, maka jelas bahwa ilmu itu akan senantiasa bersanding dengan iman dan taqwa. Artinya, orang-orang yang menjadi golongan pemikir adalah orang-orang yang makin besar kedekatan, ketaatan, ketundukan dan ketakutannya kepada Allah Swt. Bukan orang-orang yang emosional, atau mudah menyepelekan sekecil apapun suatu urusan. Di dalam hadits penuturan Hudzaifah ra. disebutkan bahwa Rasulullaah saw. pernah bersabda: “Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan kaum Muslim, ia tidak termasuk di antara mereka. Barangsiapa bangun pada pagi hari dan tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, ia bukanlah golongan mereka.” (HR ath-Thabari). Terlebih jika urusan yang dihadapi itu berkaitan dengan kepentingan orang banyak, maka mahasiswa harus memiliki pegangan dan jati diri agar tak mudah terombang-ambing dalam mengambil keputusan menuju solusi.

Manusia akan selalu mengatur tingkah-lakunya di dalam kehidupan ini, termasuk dalam memecahkan permasalahan, sesuai dengan persepsinya terhadap kehidupan. Namun, persepsi ini tidak akan mengantarkan kepada kebenaran, kecuali jika ditempuh dengan jalan yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan memberikan ketenangan hati. Maka tidak bisa tidak, persepsi itu boleh terwujud hanya dengan landasan Islam. Aqidah Islam telah menjelaskan bahwa di balik alam semesta, manusia dan kehidupan, terdapat Allah Swt sebagai Sang Khaliq. Islam pun menjamin bahwa dalam Islam terdapat penyelesaian permasalahan kehidupan berdasarkan penanganan potensi manusia, yaitu kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) dan naluri (ghorizah) (Kitab Nizhomul Islam Bab Thoriqul Iman).

Dalam perbuatan seorang hamba harus ada keyakinan akan hubungannya dengan Allah Swt secara mutlak sebagai bentuk ketaqwaannya. Kunci untuk menuju kebenaran petunjuk Allah Swt ini berawal dari keikhlasan. Jika seorang manusia menemukan bahwa dirinya melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah Swt, maka berarti ia telah menjadi orang yang ikhlas. Hadits dari Abdullaah bin Mas’ud ra dari Rasul saw: “Allah akan menerangi orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia menyadarinya, menjaganya dan menyampaikannya. Terkadang ada orang yang membawa pengetahuan kepada orang yang lebih tahu darinya. Ada tiga perkara yang menyebabkan hati seorang muslim tidak dirasuki sifat dengki, yaitu ikhlas beramal karena Allah, menasihati para pemimpin kaum Muslim dan senantiasa ada dalam jama’ah al- muslimin. Karena dakwah akan menyelimuti dari belakang mereka.” (HR. Tirmidzi) (Kitab Mim Muqowimat).

Perbedaan pendapat di kalangan manusia adalah suatu fitrah. Akan tetapi, jika perbedaan itu terjadi, maka harus diselesaikan dengan baik. Bukan dengan memperuncing perbedaan itu sendiri, atau dengan memutus hak orang yang harus diberi penyelesaian permasalahan, apalagi jika sampai tawuran. Islam telah memberikan tuntunan tentang tata cara menghadapi pihak yang berbeda pendapat. Firman Allah Swt: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (TQS. An-Nahl [16]: 125).

Firman Allah Swt dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11 pun harus menjadi landasan menuju perubahan: ”…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” 

Maka dalam bergerak, hendaknya mahasiswa memiliki prinsip yang terdiri dari dasar pemikiran yang benar dengan batasan yang jelas, metode gerak organisasi atau pergerakan yang lurus, bertumpu pada orang-orang yang berkesadaran sempurna terhadap perubahan, serta memiliki ikatan yang benar dengan sesama individu dalam sebuah pergerakan di mana ia terlibat di dalamnya. Prinsip-prinsip ini kemudian menjadi penting, karena sudah bukan hal aneh jika mahasiswa kembali pada karakter asalnya sebagai the agent of change, di mana mahasiswa akan selalu menjadi pihak yang berada di garda terdepan dalam mengawal perubahan. Maka, kini saatnya muatan dan arah perubahan itu senantiasa dipenuhi dengan langkah mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Kisah Debat Cerdas Mush’ab bin ‘Umair ra
Ibnu Ishaq berkata, “Ketika orang-orang Madinah itu hendak kembali, Rasulullaah saw mengutus Mush’ab bin ‘Umair menemani mereka. Mush’ab diperintahkan beliau agar membacakan al-Quran, mengajarkan Islam, dan memberi pemahaman agama kepada mereka. Sehingga dia dinamakan Muqarri’ Madinah: Mush’ab. Mush’ab tinggal di rumah As’ad bin Zurarah.

Mush’ab berkeliling Madinah menemui orang-orang dan mengajak mereka masuk Islam serta mengajarkan Islam pada mereka. Pada suatu hari, As’ad bin Zurarah keluar bersama Mush’ab bin ‘Umair ke pemukiman Bani ‘Abdul Asyhal dan pemukiman Bani Zhafar. Keduanya masuk ke sebuah kebun di antara kebun-kebun Bani Zhafar dan berada di dekat sumur yang bernama sumur Muraq. Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair ketika itu menjadi pemuka dari Bani Abdul Asyhal. Keduanya adalah orang musyrik pemeluk agama kaumnya. 

Tatkala keduanya mendengarkan ucapan Mush’ab, Sa’ad bin Mu’adz berkata kepada Usaid bin Hudhair: “Saya tidak benci padamu. Temuilah dua orang itu yang datang ke tempat kita hanya untuk membodohi orang-orang lemah di antara kita. Usirlah dan cegahlah keduanya karena keduanya hendak datang ke tempat kita. Seandainya As’ad bin Zurarah tidak berasal dari kaum saya sebagaimana yang telah kamu ketahui, tentu saya sendiri yang akan melakukannya. Dia adalah anak bibi saya, dan saya tidak menemukan alasan untuk mencegahnya.

Usaid bin Hudhair mengambil tombak pendeknya, kemudian berangkat menemui keduanya. Ketika As’ad bin Zurarah melihatnya, maka dia berkata kepada Mush’ab,  Orang itu adalah pemuka kaumnya yang datang kepadamu, mudah-mudahan dia membenarkan Allah.” Mush’ab menjawab, “Jika dia bersedia duduk, aku akan berbicara padanya.

Usaid bin Hudhair akhirnya duduk di depan keduanya dengan wajah cemberut sambil menggerutu, lalu berkata, “Apa yang kalian bawa kepada kami? Kalian hanya akan membodohi orang-orang lemah kami! Menyingkirlah kalian dari kami, jika memang kalian memiliki kepentingan yang berhubungan dengan diri kalian sendiri!” Mush’ab berkata: “Atau sebaiknya engkau duduk dan mendengarkan dulu? Jika engkau menyukainya maka engkau bisa menerimanya. Dan jika engkau membencinya, maka cukuplah bagimu apa yang engkau benci.” Usaid menjawab: “Boleh juga.

Kemudian dia menancapkan tombak pendeknya dan duduk di hadapan keduanya. Lalu Mush’ab menjelaskan Islam dan membacakan al-Quran kepadanya. Keduanya (Mush’ab dan As’ad bin Zurarah) berkata –berkenaan dengan yang dibicarakan tentang keduanya–: “Demi Allah, sungguh kami telah mengetahui Islam ada di wajahnya, sebelum dia berkata untuk menerimanya dengan suka cita.” Tidak berapa lama Usaid berkata, “Alangkah bagus dan indahnya kalimat ini! Apa yang kalian lakukan ketika akan memeluk agama ini?” Keduanya menjelaskan kepadanya: “Mandi, lalu sucikan dirimu dan pakaianmu, kemudian ucapkanlah syahadat, setelah itu shalatlah dua rakaat.” Usaid berdiri, lalu mandi dan menyucikan pakaiannya. Dia membaca syahadat, kemudian berdiri menunaikan shalat dua rakaat. Usaid berkata, “Bersamaku ada seorang laki-laki. Jika dia mengikuti kalian, maka tidak seorang pun dari kaumnya yang akan menentangnya. Sekarang aku akan mengajak Sa’ad bin Mu’adz menemui kalian berdua.

Usaid mencabut tombak pendeknya dan segera pergi menemui Sa’ad serta kaumnya. Ketika itu mereka sedang duduk-duduk di tempat pertemuan, maka ketika Sa’ad bin Mu’adz melihatnya segera menyambutnya dan berkata, “Aku bersumpah atas nama Allah. Sungguh Usaid bin Hudhair telah datang pada kalian bukan dengan wajah seperti ketika dia pergi dari kalian.

Ketika Usaid telah duduk di hadapan orang yang menyambutnya itu, Sa’ad bertanya kepadanya, “Apa yang telah engkau lakukan?” Usaid menjawab, “Aku memang telah berbicara kepada dua orang laki-laki itu. Demi Allah, aku tidak melihat rencana jahat pada keduanya. Sa’ad spontan berdiri penuh amarah. Dia mengambil tombak pendek yang berada di tangan Usaid, lalu berkata, “Demi Allah, aku melihatmu sama sekali tidak berguna!” Kemudian dia segera keluar dan menemui mereka berdua. Tatkala Sa’ad melihat keduanya dalam keadaan tenang, dia menyadari bahwa Usaid hanya menginginkan dia mendengar perkataan dua orang yang ada di hadapannya. Dia berdiri tegak menghadap keduanya dengan wajah memendam kemarahan.

As’ad menoleh kepada Mush’ab seraya berkata, “Wahai Mush’ab, telah datang kepadamu seorang tokoh. Demi Allah, di belakangnya ada kaumnya. Jika dia mengikutimu, maka tidak seorang pun dari mereka yang akan menentangmu.

Mush’ab berkata kepada Sa’ad, “Lebih baik anda duduk dan dengarkan. Jika anda suka dan menginginkannya maka anda bisa menerimanya. Namun, jika anda membencinya, kami akan menjauhkan dari anda segala hal yang anda benci.” Sa’ad berkata, “Boleh juga, aku terima.” Tombak pendek di tangannya ditancapkan di tanah, lalu ia duduk. Lalu Mush’ab menyampaikan Islam dan membacakan al-Quran kepadanya. Keduanya bergumam, “Demi Allah, kami melihat Islam di wajahnya sebelum dia berbicara untuk menerimanya dengan suka cita.” Sa’ad bertanya kepada keduanya, “Apa yang kalian lakukan ketika kalian memeluk Islam dan masuk agama ini?” Keduanya menjawab, “Mandi dan sucikan diri dan pakainmu, kemudian bacalah syahadat dan shalat dua rakaat.

Sa’ad berdiri, lalu mandi dan menyucikan pakaiannya, kemudian membaca syahadat dan shalat dua rakaat. Setelah itu ia mencabut tombak pendeknya, dan segera menghampiri kaumnya. Dia berjalan dengan tegap disertai oleh saudara sepupunya, Usaid bin Hudhair. Ketika kaumnya melihat dia, mereka berkata, “Kami bersumpah dengan nama Allah, sungguh Sa’ad telah kembali kepada kalian bukan dengan wajah seperti waktu dia pergi dari kalian!

Tatkala Sa’ad berdiri menghadap kaumnya, dia berkata, “Wahai Bani ‘Abdul Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di tengah-tengah kalian?” Mereka menjawab serentak, “Engkau adalah pemimpin kami dan yang paling cerdas di antara kami serta memiliki pribadi paling baik”. Sa’ad kembali berkata, “Sesungguhnya ucapan kaum laki-laki dan wanita kalian kapadaku adalah haram, hingga kalian semua beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak berapa lama, keduanya (Usaid bin Hudhair dan Sa’ad bin Muadz) berkata, “Demi Allah, tidak akan ada seorang laki-laki maupun wanita, saat sore hari di pemukiman Bani ‘Abdul Asyhal, kecuali dia akan jadi muslim dan muslimah.”

Setelah itu, Mush’ab kembali ke rumah As’ad bin Zurarah dan tinggal bersamanya. Dia tidak pernah berhenti mengajak orang-orang kepada Islam, sehingga tidak satu pun rumah kaum Anshar kecuali di dalamnya dihuni laki-laki dan wanita-wanita Muslim. Mush’ab tinggal di Madinah selama setahun. Dia hidup di tengah-tengah Bani Aus dan Khazraj. Setiap waktu beliau mengajari mereka agama Islam; menyaksikan perkembangan penolong-penolong agama Allah dan kalimat kebenaran yang tumbuh dengan pesat. Dia tidak bosan mengetuk pintu masyarakat agar dapat berhubungan dengan mereka dan menyampaikan dakwah Allah kepada mereka. Dengan demikian, dalam waktu satu tahun, Mush’ab berhasil membalikkan pemikiran di Madinah dari penyembahan berhala yang hina dan berbagai perasaan yang keliru menjadi wacana tauhid dan keimanan, serta perasaan Islami (Kitab Ad-Daulah).

Khatimah
Mengaruskan perubahan memang tidak bisa sendiri atau gerak individu. Rasulullaah saw pun ketika menegakkan Daulah Khilafah Islamiyyah diawali dengan membentuk pergerakan bersama para shahabat untuk menentang segala kekufuran di kalangan kaum kafir Quraisy dan kabilah-kabilah di jazirah Arab. Demikian pula di masa kini, mahasiswa harus tergabung dalam tim yang solid untuk memulai perubahan yang dicita-citakan. Dan bercermin dari sejumlah kisah di atas, maka jelas bahwa perubahan hakiki hanyalah dengan syariat Islam.

Karena itu, mahasiswa harus berkiprah dan berkontribusi untuk tegaknya syariah Islam dalam naungan Khilafah. Jika penerapan syariah Islam dalam Khilafah tidak dijadikan sebagai jalan dan target perubahan, maka mereka akan merasa lelah dan sia-sia karena perubahan hakiki tidak akan pernah terwujud. Allah Swt pun telah menyambut kiprah ini dalam QS Ali ‘Imran [3] ayat 195: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain...”

Wallaahu a’lam bish showab [].