“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal…” (QS. Al-Hujuraat [49]:13).
Ayat ini turun sebagai
penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, karena yang
paling mulia adalah yang paling bertaqwa (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang
bersumber dari Ibnu Abi Mulaikah). Perbedaan etnis, suku maupun agama adalah
niscaya. Namun, Allah Swt tidak menjadikannya sebagai derajat
kemuliaan manusia. Demikianlah Islam
menjamin pluralitas, karena ini adalah bagian dari sunnatullaah.
Kini,
jaminan pluralitas dari Islam ini
tak berlaku. Penerapan sistem demokrasi yang memisahkan agama dari kehidupan (sekular), telah menyingkirkan Islam
dari panggung kehidupan. Tak jarang, berbagai peristiwa membuktikan bahwa
justru umat Islam-lah yang mengalami diskriminasi. Padahal Islam-lah
satu-satunya agama yang mengatur pluralitas.
Kisah kaum muslimin Rohingya di Myanmar,
Pattani di Thailand, Moro di Filipina, Xinjiang, Kashmir hingga Poso dan Ambon,
hanya menyisakan opini bahwa mereka adalah pemberontak. Sesungguhnya, mereka membela diri karena mereka ditindas dan dibantai. Bukan karena memberontak. Namun,
pedulikah dunia? Minimal, mana suara dari Dunia Islam? Semua diam. Beda sekali
dengan reaktifnya Barat saat satu orang tentara Israel berhasil dibunuh oleh
para mujahidin Palestina. Jelas,
inilah
akibatnya jika umat Islam tak punya perisai yang membelanya. Diskriminasi umat
Islam pun berulang.
Racun demokrasi-sekular
telah membuat kaum muslimin dunia lupa dengan jatidirinya sebagai satu tubuh. Inilah
yang membuat kita terbelenggu dan mengekor pada para pemimpin sistem taghut. Kaum muslimin
di daerah lain dianggap bangsa lain, bukan
saudara. Padahal mereka juga umat Islam. Tanpa sadar, paham nasionalisme dan kedaerahan telah memecah belah
kita.
Sejak tanggal
3 Maret 1924, kaum muslimin telah
kehilangan naungan Islam akibat keruntuhan Khilafah di Turki. Bicara
tentang Turki, ada bagian
sejarahnya yang barangkali tidak pernah disangka oleh banyak orang. Khususnya setelah
Turki berpindah status dari kekhilafahan menjadi negara republik. Jika pun
tetap ingin disebut sebagai sejarah Turki, maka sejatinya ini dianggap sejarah kelam. Karena
deklarasi republik ini tidak lain adalah nama lain bagi keruntuhan kekhilafahan
Islam yang saat itu beribukota di Istanbul. Bahkan, nama
Kekhilafahan Utsmaniy sendiri telah didiskreditkan sebagai Kekaisaran Utsmaniy
(Ottoman, dalam bahasa Turki) saja. Tanpa sedikitpun diketahui bahwa identitas
aslinya adalah negara pelindung utama kaum muslimin di dunia dalam rangka
menerapkan syariat Islam, yaitu sebagai Daulah Khilafah Islamiyyah.
Keberadaan
Daulah Khilafah Islamiyyah telah
resmi berawal saat Rasulullaah saw hijrah ke Madinah. Berlanjut
hingga kurang lebih selama 13 abad kemudian. Sabda Rasul saw: “Dahulu Bani Israil selalu dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap
kali Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak
akan ada Nabi lagi sesudahku. (Tetapi) akan ada banyak Khalifah…” (HR
Bukhari no. 3196).
Rasulullaah saw wafat setelah seluruh Jazirah
Arab masuk Islam dan menghilangkan kemusyrikan di
dalamnya. Yaitu setelah
Allah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya kepada kaum Muslim dan meridhai Islam
sebagai agama mereka. Maka,
Daulah Khilafah memerintah dengan Islam, baik dari segi
akidah maupun aturan (Kitab
Daulah Islam).
Kemudian, datang Khulafa Rasyidun dan para khalifah setelahnya.
Pembebasan pun terus berlanjut. Khilafah
menemukan
sejumlah etnis manusia. Penduduk Irak merupakan campuran dari Nasrani, Mazdak, dan Zoroaster
baik dari etnis Arab maupun Persia. Penduduk Persia terdiri dari orang-orang ‘ajam
dan sedikit Yahudi serta Romawi dan seluruhnya beragama bangsa Persia. Penduduk
Syam beragama Nasrani dengan penduduknya yang terdiri dari bangsa Suriah,
Armenia, Yahudi, sebagian beretnis Romawi dan sebagian beretnis Arab. Penduduk Mesir
adalah bangsa Mesir, sebagian
Yahudi dan sebagian Romawi. Dan penduduk Afrika Utara adalah bangsa Barbar (Kitab Daulah Islam).
Berbagai negeri itu memiliki beragam suku
bangsa, bahasa, agama, kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat,
undang-undang dan kebudayaan. Keberhasilan upaya peleburan antara yang satu dengan
lainnya, membentuk umat
yang satu sehingga terjadi kesatuan agama, bahasa, tsaqafah, dan undang-undang
merupakan hal yang luar biasa dan tidak pernah terjadi untuk selain Islam, juga
tidak pernah terealisasi kecuali
dalam Khilafah Islam (Kitab Daulah Islam).
Interaksi kaum muslimin sebagai pembebas dengan penduduk
yang dibebaskan, adalah faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap masuknya
mereka ke dalam Islam dan peleburan mereka dengan seluruh kaum muslimin. Mereka bekerja sama dalam
semua urusan kehidupan. Mereka menjadi penduduk satu negeri yang diterapkan kepada
mereka hukum-hukum yang satu. Kedudukan mereka
yang nonmuslim di mata sistem Islam adalah
sama dengan kaum muslimin. Pembauran ini tentunya menjadi
pendorong bagi mereka untuk memeluk Islam, karena mereka melihat pengaruh Islam
beserta
cahayanya
dalam penerapan semua sistem. Demikianlah, bangsa-bangsa ini saling
meleburkan diri dan akhirnya menjadi umat yang satu, di bawah naungan panji negara Khilafah (Kitab Daulah Islam).
Wallaahu a'lam bish showab [].