Sabtu, 02 Maret 2013

Islam Menjamin Pluralitas

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si



Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…” (QS. Al-Hujuraat [49]:13).

Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, karena yang paling mulia adalah yang paling bertaqwa (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abi Mulaikah). Perbedaan etnis, suku maupun agama adalah niscaya. Namun, Allah Swt tidak menjadikannya sebagai derajat kemuliaan manusia. Demikianlah Islam menjamin pluralitas, karena ini adalah bagian dari sunnatullaah.
Kini, jaminan pluralitas dari Islam ini tak berlaku. Penerapan sistem demokrasi yang memisahkan agama dari kehidupan (sekular), telah menyingkirkan Islam dari panggung kehidupan. Tak jarang, berbagai peristiwa membuktikan bahwa justru umat Islam-lah yang mengalami diskriminasi. Padahal Islam-lah satu-satunya agama yang mengatur pluralitas.
Kisah kaum muslimin Rohingya di Myanmar, Pattani di Thailand, Moro di Filipina, Xinjiang, Kashmir hingga Poso dan Ambon, hanya menyisakan opini bahwa mereka adalah pemberontak. Sesungguhnya, mereka membela diri karena mereka ditindas dan dibantai. Bukan karena memberontak. Namun, pedulikah dunia? Minimal, mana suara dari Dunia Islam? Semua diam. Beda sekali dengan reaktifnya Barat saat satu orang tentara Israel berhasil dibunuh oleh para mujahidin Palestina. Jelas, inilah akibatnya jika umat Islam tak punya perisai yang membelanya. Diskriminasi umat Islam pun berulang.
Racun demokrasi-sekular telah membuat kaum muslimin dunia lupa dengan jatidirinya sebagai satu tubuh. Inilah yang membuat kita terbelenggu dan mengekor pada para pemimpin sistem taghut. Kaum muslimin di daerah lain dianggap bangsa lain, bukan saudara. Padahal mereka juga umat Islam. Tanpa sadar, paham nasionalisme dan kedaerahan telah memecah belah kita.
Sejak tanggal 3 Maret 1924, kaum muslimin telah kehilangan naungan Islam akibat keruntuhan Khilafah di Turki. Bicara tentang Turki, ada bagian sejarahnya yang barangkali tidak pernah disangka oleh banyak orang. Khususnya setelah Turki berpindah status dari kekhilafahan menjadi negara republik. Jika pun tetap ingin disebut sebagai sejarah Turki, maka sejatinya ini dianggap sejarah kelam. Karena deklarasi republik ini tidak lain adalah nama lain bagi keruntuhan kekhilafahan Islam yang saat itu beribukota di Istanbul. Bahkan, nama Kekhilafahan Utsmaniy sendiri telah didiskreditkan sebagai Kekaisaran Utsmaniy (Ottoman, dalam bahasa Turki) saja. Tanpa sedikitpun diketahui bahwa identitas aslinya adalah negara pelindung utama kaum muslimin di dunia dalam rangka menerapkan syariat Islam, yaitu sebagai Daulah Khilafah Islamiyyah.
Keberadaan Daulah Khilafah Islamiyyah telah resmi berawal saat Rasulullaah saw hijrah ke Madinah. Berlanjut hingga kurang lebih selama 13 abad kemudian. Sabda Rasul saw: “Dahulu Bani Israil selalu dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak akan ada Nabi lagi sesudahku. (Tetapi) akan ada banyak Khalifah…” (HR Bukhari no. 3196).
Rasulullaah saw wafat setelah seluruh Jazirah Arab masuk Islam dan menghilangkan kemusyrikan di dalamnya. Yaitu setelah Allah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya kepada kaum Muslim dan meridhai Islam sebagai agama mereka. Maka, Daulah Khilafah memerintah dengan Islam, baik dari segi akidah maupun aturan (Kitab Daulah Islam).
Kemudian, datang Khulafa Rasyidun dan para khalifah setelahnya. Pembebasan pun terus berlanjut. Khilafah menemukan sejumlah etnis manusia. Penduduk Irak merupakan campuran dari Nasrani, Mazdak, dan Zoroaster baik dari etnis Arab maupun Persia. Penduduk Persia terdiri dari orang-orang ‘ajam dan sedikit Yahudi serta Romawi dan seluruhnya beragama bangsa Persia. Penduduk Syam beragama Nasrani dengan penduduknya yang terdiri dari bangsa Suriah, Armenia, Yahudi, sebagian beretnis Romawi dan sebagian beretnis Arab. Penduduk Mesir adalah bangsa Mesir, sebagian Yahudi dan sebagian Romawi. Dan penduduk Afrika Utara adalah bangsa Barbar (Kitab Daulah Islam).
Berbagai negeri itu memiliki beragam suku bangsa, bahasa, agama, kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat, undang-undang dan kebudayaan. Keberhasilan upaya peleburan antara yang satu dengan lainnya, membentuk umat yang satu sehingga terjadi kesatuan agama, bahasa, tsaqafah, dan undang-undang merupakan hal yang luar biasa dan tidak pernah terjadi untuk selain Islam, juga tidak pernah terealisasi kecuali dalam Khilafah Islam (Kitab Daulah Islam). 
Interaksi kaum muslimin sebagai pembebas dengan penduduk yang dibebaskan, adalah faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap masuknya mereka ke dalam Islam dan peleburan mereka dengan seluruh kaum muslimin. Mereka bekerja sama dalam semua urusan kehidupan. Mereka menjadi penduduk satu negeri yang diterapkan kepada mereka hukum-hukum yang satu. Kedudukan mereka yang nonmuslim di mata sistem Islam adalah sama dengan kaum muslimin. Pembauran ini tentunya menjadi pendorong bagi mereka untuk memeluk Islam, karena mereka melihat pengaruh Islam beserta cahayanya dalam penerapan semua sistem. Demikianlah, bangsa-bangsa ini saling meleburkan diri dan akhirnya menjadi umat yang satu, di bawah naungan panji negara Khilafah (Kitab Daulah Islam).
 Wallaahu a'lam bish showab [].