Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Peran Partai Mencetak Kader Pejuang
Setelah eksistensi Daulah Islam sirna, penjajah langsung menggantikan posisinya. Mereka memerintah negeri-negeri Arab secara langsung dan memperluas kekuasaannya ke seluruh negeri-negeri Islam. Secara praktis mereka benar-benar telah menduduki negeri-negeri Arab dan mulai menancapkan kekuasannya pada setiap jengkal wilayah ini dengan cara-cara yang tersembunyi dan kotor. Yang terpenting dari cara-cara itu adalah dengan menyebarluaskan tsaqafah asing penjajah, uang, dan agen-agen mereka.
Tsaqafah asing mempunyai pengaruh besar terhadap menguatnya kekufuran dan penjajahan, tidak berhasilnya kebangkitan umat, dan gagalnya gerakan-gerakan terorganisir baik gerakan sosial maupun gerakan politik. Sebab, sebuah tsaqafah memang berpengaruh besar terhadap pemikiran manusia, yang kemudian akan mempengaruhi perjalanan hidupnya. Akibatnya, umat terdidik dengan tsaqafah yang merusak. Pemikiran umat tidak lagi berhubungan dengan lingkungan, kepribadian, dan sejarah gemilang umat Islam, serta tidak lagi bersandar pada ideologi Islam. Pemikiran ini juga tidak bisa menghasilkan pemahaman yang benar tentang sebuah thoriqoh kebangkitan umat. Pemikiran semacam ini adalah pemikiran asing, yang dipunyai oleh seseorang yang memiliki perasaan Islam.
Pemikiran-pemikiran asing itu diterima dengan sepenuh hati hingga membuat mereka kagum dan hormat terhadap orang asing. Mereka berusaha mendekatkan diri dan bergaul erat dengan orang-orang asing, meskipun orang-orang asing ini adalah kaum penjajah. Mereka tak mungkin dapat memandang berbagai situasi yang ada di negerinya, kecuali dengan mengikuti orang asing tersebut dalam memandang situasi negerinya, tanpa memahami hakikat situasi sebenarnya. Mereka tidak lagi mengetahui apa yang dapat membangkitkan umat, kecuali dengan mengikuti orang asing tersebut ketika membicarakan kebangkitan. Hati nurani mereka tidak tergerak karena dorongan ideologi, tetapi tergerak karena sentimen patriotisme dan nasionalisme. Padahal emosi ini adalah emosi yang salah.
Ini mengakibatkan setiap upaya kebangkitan akan berubah menjadi gerakan yang kacau balau dan saling bertentangan -menyerupai gerakan binatang yang sedang disembelih- yang berakhir dengan kematian, keputusasaan, dan menyerah pada keadaan. Para penjajah asing berusaha sungguh-sungguh menjadikan kepribadian mereka sebagai mercusuar tsaqafah umat Islam, yang selalu digunakannya dalam aspek-aspek politik. Mereka juga berusaha agar kiblat kegiatan para politikus atau orang yang bergerak dalam bidang politik adalah meminta bantuan orang asing dan menyerahkan segala urusan kepadanya.
Lebih parah lagi, jika kaum muslimin yang mengemban tsaqofah asing ini pada akhirnya menjadi koruptor, penyuap, atau terlibat tindak pidana/kriminal, maka jelas-jelas pemikiran bukan Islam itu telah menjadi bagian dari pemahamannya, hingga terwujud dalam perilakunya. Nyatalah jika program Revolusi Mental malah jadi menemukan ‘lawan main’ yang tak sebanding. Karena target perubahan perilaku sejatinya hanya bisa dicapai dengan perubahan pijakan bagi cara pandang terhadap kehidupan. Jika sebelumnya berpijak pada paham demokrasi-sekularisme-liberalisme-kapitalisme, maka pijakan itu harus diganti menjadi akidah Islam, dimana standarnya adalah halal dan haram.
Dengan demikian, adalah wajar jika pemikiran asing ini tidak bisa membentuk suatu kelompok yang benar yang mempunyai pemahaman yang benar. Mereka akhirnya gagal, karena arah geraknya bertentangan dengan fitrah manusia dan menyalahi akidah Islam. Inilah yang terjadi di dunia Islam, di bawah bayang-bayang penerapan sistem demokrasi-sekuler arahan penjajah, termasuk yang terjadi di Indonesia.
Lihat saja, partai saat ini tidak ada yang berjuang demi negerinya dengan benar, dan tidak berkorban untuk kepentingan rakyat secara sempurna. Karena perasaannya dalam melihat situasi negerinya, tidak dilandasi oleh pemikiran Islam. Partai juga tidak menangkap kebutuhan-kebutuhan rakyatnya dengan perasaan yang dilandasi pemikiran Islam. Oleh karenanya, perjuangannya tidak akan bertahan lama, dan hanya akan berlangsung sampai halangan untuk merebut kepentingannya lenyap, yaitu dengan diangkatnya para kader menjadi pegawai atau dengan tercapainya apa yang menjadi ambisinya. Bisa juga perjuangannya itu akan luntur tatkala berbenturan dengan kepentingan pribadinya, atau tatkala ia dihambat dalam perjuangannya.
Perlu diketahui, bahwa kegagalan arah gerak partai ini juga terjadi karena faktor manusia atau individunya. Sebab di samping pembentukan kelompoknya bukan atas dasar pembentukan kelompok yang benar, karena tidak adanya fikroh dan thoriqoh, atau karena kesalahan dalam metode pengikatan orang-orang ke dalam kelompok-kelompok tersebut, juga tidak didasarkan pada kelayakan individunya itu sendiri, melainkan berdasarkan kedudukan orang tadi di masyarakat, serta dari peluang diperolehnya manfaat secara cepat dengan posisi strategisnya.
Penyelesaian semacam ini mengharuskan para kader menjadi seorang murid yang dibina untuk membentuk pemikirannya dengan suatu format yang baru. Setelah itu, beralih kepada penyerasian antara dia dan masyarakatnya. Dengan demikian, akan mudahlah kita menyelesaikan problem kebangkitan umat.
Dulu, pada awal dakwahnya, Nabi saw mengajak orang-orang telah siap menerima dakwahnya tanpa melihat usia, kedudukan, jenis kelamin, dan asal usulnya. Beliau tidak pernah memilih-milih orang yang akan diseru kepada Islam, tetapi mengajak semua umat manusia, dan menuntut kesiapan mereka untuk menerima Islam. Karena itu, banyak orang yang masuk Islam. Beliau sangat bersemangat membina semua orang yang memeluk Islam dengan hukum-hukum agama dan meminta mereka untuk menghapalkan al-Quran.
Kemudian mereka membentuk diri dalam sebuah kutlah (kelompok) dan bersama-sama mengemban dakwah (jumlah mereka saat diutusnya Rasul hingga turunnya perintah untuk menampakkan dakwahnya adalah lebih dari 40 orang). Kutlah ini terdiri dari kaum pria dan wanita dari berbagai daerah dan usia. Kebanyakan mereka dari kalangan pemuda. Di antara mereka ada yang lemah, kuat, kaya, dan miskin. Sejumlah orang telah mengimani Rasul saw, menaatinya, dan menekuni dakwah bersama-sama beliau.
Ketika tsaqafah para sahabat sudah matang, akal mereka telah terbentuk menjadi akal yang Islami (‘Aqliyah Islamiyah), dan jiwa mereka sudah menjadi jiwa yang Islami (Nafsiyah Islamiyah) dalam kurun waktu 3 tahun, maka Rasul saw merasa tenang dan meyakini kematangan pemikiran dan keluhuran jiwa mereka. Beliau menyaksikan kesadaran mereka atas hubungannya dengan Allah tampak menonjol pengaruhnya dalam perilaku mereka. Karena itu, perasaan beliau menjadi sangat senang karena kutlah kaum Muslim telah sangat kuat dan mampu menghadapi seluruh kekuatan yang ada dalam masyarakat, maka beliau menampakkan dakwah Islam saat Allah memerintahkannya.
Firman Allah Swt: “Maka sampaikanlah olehmu apa yang telah diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya Kami telah membalaskan bagimu kepada orang-orang yang suka memperolok-olok. Yaitu orang-orang yang menjadikan tuhan lain menyertai Allah. Maka nanti mereka akan mengetahuinya.“ (TQS. Al-Hijr [15]: 94-96). Setelah turun ayat tersebut, Rasul segera menyampaikan perintah Allah dan menampakkan keberadaan kutlah ini kepada seluruh masyarakat secara terang-terangan, yaitu dengan keluar bersama-sama para sahabat dalam dua kelompok. Pemimpin kelompok pertama adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muththallib ra, dan untuk kelompok kedua adalah ‘Umar bin al-Khaththab ra. Rasul pergi bersama mereka ke Ka’bah dengan (barisan yang) rapi, yang sebelumnya tidak diketahui oleh bangsa Arab.
Ini berarti Rasul saw bersama para sahabatnya telah berpindah dari tahap dakwah secara sembunyi-sembunyi (daur al-istikhfa’) kepada tahap dakwah secara terang-terangan (daur al-i’lan). Sejak saat itu mulai terjadi benturan antara keimanan dengan kekufuran di tengah-tengah masyarakat, dan terjadi gesekan antara pemikiran-pemikiran yang benar dengan yang rusak. Ini berarti dakwah mulai memasuki tahapan dakwah yang kedua, yaitu tahap interaksi dan perjuangan (marhalah al-tafa’ul wa al-kifah). Kaum kafir mulai memerangi dakwah dan menganiaya Rasul saw serta para sahabatnya dengan segala cara. Periode ini -yaitu tafa’ul dan kifah- adalah periode yang dikenal paling menakutkan di antara seluruh tahapan dakwah. Tanpa kematangan tsaqofah Islamnya, para shahabat mustahil tahan banting dengan berbagai cobaan pada marhalah ini.
Para shahabat sebagai produk unggulan kutlah Rasul saw, menunjukkan bahwa kutlah tersebut memenuhi empat kriteria partai shohih, yaitu:
1) shohih dari sisi fikrohnya
2) shohih dari sisi thoriqohnya
3) para kadernya adalah orang-orang yang terbina dengan tsaqofah Islam; hal ini juga dalam arti memiliki keseriusan, perhatian, dan keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan kepartaian (at-tabi’atul hizbiyah)
4) ikatan di antara kadernya tak lain adalah ikatan mabda’.
Format partai yang seperti inilah satu-satunya yang layak memimpin terjadinya perubahan yang shohih pula di tengah-tengah masyarakat. Pahit-getir perjuangan mengemban dakwah Islam dilalui dan dirasakan bersama, serta dipikirkan dan diupayakan solusinya.
Tak heran, jika Syaikh Taqiyuddin An-Nabhaniy kemudian memberikan pengibaratan bahwa pergerakan partai di tengah-tengah masyarakat laksana kompor yang memanaskan air dalam tempayan besar. Apabila di sekeliling tempayan besar itu diletakkan sesuatu yang membekukan, maka air di dalamnya akan membeku lalu mengeras (menjadi es). Begitu pula masyarakat, apabila dilontarkan berbagai mabda (ideologi) yang rusak, tentu masyarakat tersebut akan dikungkung kerusakan, dan akan terus merosot, serta terbelakang. Namun, jika di bawah tempayan itu diletakkan api yang membara dan berkobar, maka akan menghangatkan air, kemudian mendidih, lalu menguap menjadi tenaga yang menggerakkan. Begitu pula halnya jika di tengah-tengah masyarakat dilontarkan mabda yang benar, maka akan menghangatkan masyarakat dan kemudian membara, yang akhirnya mampu mengubah, menggerakkan serta mendorong masyarakat. Proses perubahannya dari satu kondisi ke kondisi lainnya hanya dapat diamati dan dirasakan oleh orang-orang yang sangat mengetahui keadaan masyarakat, dan percaya bahwa mabda yang diembannya itu ibarat api yang membakar dan cahaya yang menyinari, hingga suatu saat akan mencapai derajat mendidih/bergolak dan bergerak serta mendorong dan meledak. Karena itu, masyarakat harus senantiasa mendapatkan perhatian dari para pengemban dakwah.
Namun demikian, ada bahaya kelas yang harus diwaspadai oleh partai. Karena bahaya kelas ini terjadi ketika partai menjadi wakil umat atau mayoritas umat, ia akan mempunyai tempat terhormat, posisi yang mulia, serta mendapatkan penghormatan yang sempurna dari umat, khususnya dari masyarakat umum. Ini kadangkala dapat menghembuskan tipu daya ke dalam jiwa para aktivis partai, sehingga mereka merasa bahwa mereka lebih tinggi dari umat, bahwa yang menjadi tugas mereka adalah memimpin, sedang tugas umat adalah untuk dipimpin. Pada saat itulah mereka merasa lebih tinggi di atas individu-individu umat atau sebagian dari umat, tanpa mempertim-bangkan bahaya dari sikap ini.
Jika ini terjadi berulang-ulang, umat akan merasa bahwa partai adalah suatu lapisan ‘kelas’ yang lain. Demikian pula partai pun akan merasakan hal yang sama. Munculnya perasaan ini adalah awal dari kehancuran partai, karena ia akan melemahkan semangat partai untuk mempercayai orang-orang kebanyakan dari masyarakat, dan sebaliknya ia akan melemahkan kepercayaan masyarakat banyak terhadap partai. Pada saat itulah, umat akan mulai berpaling dari partai.
Apabila umat telah berpaling dari partai, berarti partai telah hancur. Dan ini membutuhkan usaha yang berlipat ganda untuk mengembalikan kepercayaan umat terhadap partai. Karena itulah, hendaknya para aktivis partai bersikap seperti individu-individu umat kebanyakan. Hendaklah mereka tidak mempunyai perasaan terhadap diri mereka, kecuali bahwa mereka adalah pelayan umat dan bahwa tugas mereka sebagai partai adalah melayani umat. Mereka harus berpandangan demikian, sebab ini akan memberi mereka kekuatan dan keuntungan lainnya, bukan hanya terpeliharanya kepercayaan mayoritas umat kepada mereka, melainkan juga akan sangat bermanfaat bagi mereka pada tahapan ketiga nanti, ketika partai menguasai pemerintahan untuk menerapkan ideologi. Karena pada saat itu -sebagai penguasa- mereka sebenarnya tetap menjadi pelayan umat, sehingga sikapnya tersebut akan memudahkan mereka dalam menerapkan ideologi.
Wali, Kepala Daerah Ideal dengan Standar Islam
Seorang pemimpin hendaknya adalah orang yang paling bersegera melayani umat, bukan yang paling segera minta dilayani umat. Dalam hal ini, Islam dengan segala kesempurnaannya telah memiliki referensi pasti tentang sosok pemimpin ideal. Berjuang untuk Islam, membutuhkan orang-orang yang mampu dan mau terjun dengan segala onak-durinya. Mengemban dakwah Islam pada dasarnya adalah proses inkubasi dan penggemblengan untuk mencetak orang-orang berkarakter pemimpin. Ini tak lain karena dengan Islam itulah cahaya kemuliaan pada diri mereka akan nampak, yang akan membedakannya dengan golongan orang yang tidak mengemban Islam. Sebagaimana firman Allah Swt: “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (TQS Muhammad [47]: 07).
Demikian pula sistem aturan kehidupan yang membidani kelahirannya, merupakan sistem shohih yang diwajibkan oleh Allah Swt Tuhan alam semesta, yakni Khilafah. Karenanya, seorang pemimpin seyogyanya adalah seorang pengemban dakwah Islam, hasil binaan partai bermabda Islam. Para pengemban dakwah adalah orang-orang yang telah memahami hakikat dakwah, termasuk di dalamnya mengkonsentrasikan kegiatannya terhadap masyarakat. Masyarakat itu sendiri dalam hal ini adalah sekumpulan orang yang dipersatukan oleh pemikiran, perasaan dan peraturan hidup yang sama. Karena itu penting untuk berpegang pada kaidah: “Perbaikilah masyarakat, niscaya individu akan menjadi baik, dan terus menerus dalam keadaan baik.”
Dalam sistem pemerintahan Islam, kepala suatu daerah disebut wali. Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi) serta menjadi amîr (pemimpin) wilayah itu. Karena para wali adalah penguasa, maka mereka harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa, yaitu: harus seorang laki-laki, merdeka, Muslim, balig, berakal, adil, dan termasuk orang yang memiliki kemampuan. Jabatan wali memerlukan adanya pengangkatan dari Khalifah atau orang yang mewakili Khalifah dalam melaksanakan pengangkatan itu. Wali tidak diangkat kecuali oleh Khalifah.
Rasulullah saw. dulu mengangkat para wali untuk berbagai negeri. Beliau menetapkan bagi mereka hak memutuskan persengketaan. Beliau telah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadhramaut, dan Abu Musa al-‘Asy‘ari di wilayah Zabid dan ‘Adn. Rasulullah saw. memilih para wali dari orang-orang yang memiliki kelayakan (kemampuan dan kecakapan) untuk memegang urusan pemerintahan, yang memiliki ilmu, dan yang dikenal ketakwaannya. Beliau memilih mereka dari kalangan orang-orang yang dapat melaksanakan tugas dengan baik dalam urusan yang menjadi kewenangannya dan yang dapat ‘mengairi’ hati rakyat dengan keimanan dan keagungan (kemuliaan) Negara. Imam Muslim menuturkan riwayat dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., bahwa Nabi saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Imam/Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).
Adapun berkaitan dengan pemberhentian wali, seorang wali diberhentikan jika Khalifah memandang perlu untuk memberhentikannya atau jika penduduk wilayah itu atau mereka yang menjadi wakil penduduk wilayah tersebut menampakkan ketidakridhaan dan ketidaksukaan mereka terhadap walinya. Bahkan, seorang Khalifah berhak memberhentikan wali tanpa suatu sebab apapun. Seorang wali tidak dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Akan tetapi, ia dapat diberhentikan dan diangkat kembali untuk kedua kalinya. Maksudnya, ia harus diberhentikan dari tempat semula dan boleh diangkat kembali menjadi wali untuk memegang kepemimpinan di tempat baru dengan akad pengangkatan yang baru.
Disamping itu, Khalifah wajib mengontrol aktivitas-aktivitas para wali. Khalifah juga harus senantiasa melakukan pengawasan secara ketat terhadap para wali, baik hal itu dilakukan oleh Khalifah sendiri atau Khalifah menunjuk orang yang mewakilinya untuk menyelidiki kondisi mereka dan melakukan audit atas mereka.
Khatimah
Demikianlah sosok kepala daerah dalam Islam. Syaratnya singkat, tapi mantap. Proses pemilihan dan pemberhentiannya juga sederhana, tanpa memboroskan anggaran sebagaimana Pilkada dalam sistem demokrasi, bahkan diyakini tanpa konflik karena semua urusan yang bersangkutan, diketahui dan diputuskan hanya oleh Khalifah. Semua ini tak lain karena memilih pemimpin umat bukanlah perkara remeh. Karenanya, saat memilihnya jangan sampai ibarat kalimat “Di bawah pemimpin yang baik, anak buah bodoh pun ada gunanya. Tapi di bawah pemimpin yang bodoh, pasukan terbaik pun kocar-kacir.” Idealitas sosoknya harus sesuai dengan aturan Islam, bukan yang lain. Firman Allah Swt: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raaf [07]: 96). Wallaahu a’lam bish showab [].
-- selesai --