Rabu, 26 Agustus 2015

Mengiring Detak Pilkada Serentak (Bagian 3, terakhir)

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Peran Partai Mencetak Kader Pejuang

Setelah eksistensi Daulah Islam sirna, penjajah langsung menggantikan posisinya. Mereka memerintah negeri-negeri Arab secara langsung dan memperluas kekuasaannya ke seluruh negeri-negeri Islam. Secara praktis mereka benar-benar telah menduduki negeri-negeri Arab dan mulai menancapkan kekuasannya pada setiap jengkal wilayah ini dengan cara-cara yang tersembunyi dan kotor. Yang terpenting dari cara-cara itu adalah dengan menyebarluaskan tsaqafah asing penjajah, uang, dan agen-agen mereka.

Tsaqafah asing mempunyai pengaruh besar terhadap menguatnya kekufuran dan penjajahan, tidak berhasilnya kebangkitan umat, dan gagalnya gerakan-gerakan terorganisir baik gerakan sosial maupun gerakan politik. Sebab, sebuah tsaqafah memang berpengaruh besar terhadap pemikiran manusia, yang kemudian akan mempengaruhi perjalanan hidupnya. Akibatnya, umat terdidik dengan tsaqafah yang merusak. Pemikiran umat tidak lagi berhubungan dengan lingkungan, kepribadian, dan sejarah gemilang umat Islam, serta tidak lagi bersandar pada ideologi Islam. Pemikiran ini juga tidak bisa menghasilkan pemahaman yang benar tentang sebuah thoriqoh kebangkitan umat. Pemikiran semacam ini adalah pemikiran asing, yang dipunyai oleh seseorang yang memiliki perasaan Islam.

Pemikiran-pemikiran asing itu diterima dengan sepenuh hati hingga membuat mereka kagum dan hormat terhadap orang asing. Mereka berusaha mendekatkan diri dan bergaul erat dengan orang-orang asing, meskipun orang-orang asing ini adalah kaum penjajah. Mereka tak mungkin dapat memandang berbagai situasi yang ada di negerinya, kecuali dengan mengikuti orang asing tersebut dalam memandang situasi negerinya, tanpa memahami hakikat situasi sebenarnya. Mereka tidak lagi mengetahui apa yang dapat membangkitkan umat, kecuali dengan mengikuti orang asing tersebut ketika membicarakan kebangkitan. Hati nurani mereka tidak tergerak karena dorongan ideologi, tetapi tergerak karena sentimen patriotisme dan nasionalisme. Padahal emosi ini adalah emosi yang salah.

Ini mengakibatkan setiap upaya kebangkitan akan berubah menjadi gerakan yang kacau balau dan saling bertentangan -menyerupai gerakan binatang yang sedang disembelih- yang berakhir dengan kematian, keputusasaan, dan menyerah pada keadaan. Para penjajah asing berusaha sungguh-sungguh menjadikan kepribadian mereka sebagai mercusuar tsaqafah umat Islam, yang selalu digunakannya dalam aspek-aspek politik. Mereka juga berusaha agar kiblat kegiatan para politikus atau orang yang bergerak dalam bidang politik adalah meminta bantuan orang asing dan menyerahkan segala urusan kepadanya.

Lebih parah lagi, jika kaum muslimin yang mengemban tsaqofah asing ini pada akhirnya menjadi koruptor, penyuap, atau terlibat tindak pidana/kriminal, maka jelas-jelas pemikiran bukan Islam itu telah menjadi bagian dari pemahamannya, hingga terwujud dalam perilakunya. Nyatalah jika program Revolusi Mental malah jadi menemukan ‘lawan main’ yang tak sebanding. Karena target perubahan perilaku sejatinya hanya bisa dicapai dengan perubahan pijakan bagi cara pandang terhadap kehidupan. Jika sebelumnya berpijak pada paham demokrasi-sekularisme-liberalisme-kapitalisme, maka pijakan itu harus diganti menjadi akidah Islam, dimana standarnya adalah halal dan haram.

Dengan demikian, adalah wajar jika pemikiran asing ini tidak bisa membentuk suatu kelompok yang benar yang mempunyai pemahaman yang benar. Mereka akhirnya gagal, karena arah geraknya bertentangan dengan fitrah manusia dan menyalahi akidah Islam. Inilah yang terjadi di dunia Islam, di bawah bayang-bayang penerapan sistem demokrasi-sekuler arahan penjajah, termasuk yang terjadi di Indonesia.

Lihat saja, partai saat ini tidak ada yang berjuang demi negerinya dengan benar, dan tidak berkorban untuk kepentingan rakyat secara sempurna. Karena perasaannya dalam melihat situasi negerinya, tidak dilandasi oleh pemikiran Islam. Partai juga tidak menangkap kebutuhan-kebutuhan rakyatnya dengan perasaan yang dilandasi pemikiran Islam. Oleh karenanya, perjuangannya tidak akan bertahan lama, dan hanya akan berlangsung sampai halangan untuk merebut kepentingannya lenyap, yaitu dengan diangkatnya para kader menjadi pegawai atau dengan tercapainya apa yang menjadi ambisinya. Bisa juga perjuangannya itu akan luntur tatkala berbenturan dengan kepentingan pribadinya, atau tatkala ia dihambat dalam perjuangannya.

Perlu diketahui, bahwa kegagalan arah gerak partai ini juga terjadi karena faktor manusia atau individunya. Sebab di samping pembentukan kelompoknya bukan atas dasar pembentukan kelompok yang benar, karena tidak adanya fikroh dan thoriqoh, atau karena kesalahan dalam metode pengikatan orang-orang ke dalam kelompok-kelompok tersebut, juga tidak didasarkan pada kelayakan individunya itu sendiri, melainkan berdasarkan kedudukan orang tadi di masyarakat, serta dari peluang diperolehnya manfaat secara cepat dengan posisi strategisnya.

Penyelesaian semacam ini mengharuskan para kader menjadi seorang murid yang dibina untuk membentuk pemikirannya dengan suatu format yang baru. Setelah itu, beralih kepada penyerasian antara dia dan masyarakatnya. Dengan demikian, akan mudahlah kita menyelesaikan problem kebangkitan umat.

Dulu, pada awal dakwahnya, Nabi saw mengajak orang-orang telah siap menerima dakwahnya tanpa melihat usia, kedudukan, jenis kelamin, dan asal usulnya. Beliau tidak pernah memilih-milih orang yang akan diseru kepada Islam, tetapi mengajak semua umat manusia, dan menuntut kesiapan mereka untuk menerima Islam. Karena itu, banyak orang yang masuk Islam. Beliau sangat bersemangat membina semua orang yang memeluk Islam dengan hukum-hukum agama dan meminta mereka untuk menghapalkan al-Quran.

Kemudian mereka membentuk diri dalam sebuah kutlah (kelompok) dan bersama-sama mengemban dakwah (jumlah mereka saat diutusnya Rasul hingga turunnya perintah untuk menampakkan dakwahnya adalah lebih dari 40 orang). Kutlah ini terdiri dari kaum pria dan wanita dari berbagai daerah dan usia. Kebanyakan mereka dari kalangan pemuda. Di antara mereka ada yang lemah, kuat, kaya, dan miskin. Sejumlah orang telah mengimani Rasul saw, menaatinya, dan menekuni dakwah bersama-sama beliau.

Ketika tsaqafah para sahabat sudah matang, akal mereka telah terbentuk menjadi akal yang Islami (‘Aqliyah Islamiyah), dan jiwa mereka sudah menjadi jiwa yang Islami (Nafsiyah Islamiyah) dalam kurun waktu 3 tahun, maka Rasul saw merasa tenang dan meyakini kematangan pemikiran dan keluhuran jiwa mereka. Beliau menyaksikan kesadaran mereka atas hubungannya dengan Allah tampak menonjol pengaruhnya dalam perilaku mereka. Karena itu, perasaan beliau menjadi sangat senang karena kutlah kaum Muslim telah sangat kuat dan mampu menghadapi seluruh kekuatan yang ada dalam masyarakat, maka beliau menampakkan dakwah Islam saat Allah memerintahkannya.

Firman Allah Swt: “Maka sampaikanlah olehmu apa yang telah diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya Kami telah membalaskan bagimu kepada orang-orang yang suka memperolok-olok. Yaitu orang-orang yang menjadikan tuhan lain menyertai Allah. Maka nanti mereka akan mengetahuinya.“ (TQS. Al-Hijr [15]: 94-96). Setelah turun ayat tersebut, Rasul segera menyampaikan perintah Allah dan menampakkan keberadaan kutlah ini kepada seluruh masyarakat secara terang-terangan, yaitu dengan keluar bersama-sama para sahabat dalam dua kelompok. Pemimpin kelompok pertama adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muththallib ra, dan untuk kelompok kedua adalah ‘Umar bin al-Khaththab ra. Rasul pergi bersama mereka ke Ka’bah dengan (barisan yang) rapi, yang sebelumnya tidak diketahui oleh bangsa Arab.

Ini berarti Rasul saw bersama para sahabatnya telah berpindah dari tahap dakwah secara sembunyi-sembunyi (daur al-istikhfa’) kepada tahap dakwah secara terang-terangan (daur al-i’lan). Sejak saat itu mulai terjadi benturan antara keimanan dengan kekufuran di tengah-tengah masyarakat, dan terjadi gesekan antara pemikiran-pemikiran yang benar dengan yang rusak. Ini berarti dakwah mulai memasuki tahapan dakwah yang kedua, yaitu tahap interaksi dan perjuangan (marhalah al-tafa’ul wa al-kifah). Kaum kafir mulai memerangi dakwah dan menganiaya Rasul saw serta para sahabatnya dengan segala cara. Periode ini -yaitu tafa’ul dan kifah- adalah periode yang dikenal paling menakutkan di antara seluruh tahapan dakwah. Tanpa kematangan tsaqofah Islamnya, para shahabat mustahil tahan banting dengan berbagai cobaan pada marhalah ini.

Para shahabat sebagai produk unggulan kutlah Rasul saw, menunjukkan bahwa kutlah tersebut memenuhi empat kriteria partai shohih, yaitu:

1) shohih dari sisi fikrohnya
2) shohih dari sisi thoriqohnya
3) para kadernya adalah orang-orang yang terbina dengan tsaqofah Islam; hal ini juga dalam arti memiliki keseriusan, perhatian, dan keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan kepartaian (at-tabi’atul hizbiyah)
4) ikatan di antara kadernya tak lain adalah ikatan mabda’.

Format partai yang seperti inilah satu-satunya yang layak memimpin terjadinya perubahan yang shohih pula di tengah-tengah masyarakat. Pahit-getir perjuangan mengemban dakwah Islam dilalui dan dirasakan bersama, serta dipikirkan dan diupayakan solusinya.

Tak heran, jika Syaikh Taqiyuddin An-Nabhaniy kemudian memberikan pengibaratan bahwa pergerakan partai di tengah-tengah masyarakat laksana kompor yang memanaskan air dalam tempayan besar. Apabila di sekeliling tempayan besar itu diletakkan sesuatu yang membekukan, maka air di dalamnya akan membeku lalu mengeras (menjadi es). Begitu pula masyarakat, apabila dilontarkan berbagai mabda (ideologi) yang rusak, tentu masyarakat tersebut akan dikungkung kerusakan, dan akan terus merosot, serta terbelakang. Namun, jika di bawah tempayan itu diletakkan api yang membara dan berkobar, maka akan menghangatkan air, kemudian mendidih, lalu menguap menjadi tenaga yang menggerakkan. Begitu pula halnya jika di tengah-tengah masyarakat dilontarkan mabda yang benar, maka akan menghangatkan masyarakat dan kemudian membara, yang akhirnya mampu mengubah, menggerakkan serta mendorong masyarakat. Proses perubahannya dari satu kondisi ke kondisi lainnya hanya dapat diamati dan dirasakan oleh orang-orang yang sangat mengetahui keadaan masyarakat, dan percaya bahwa mabda yang diembannya itu ibarat api yang membakar dan cahaya yang menyinari, hingga suatu saat akan mencapai derajat mendidih/bergolak dan bergerak serta mendorong dan meledak. Karena itu, masyarakat harus senantiasa mendapatkan perhatian dari para pengemban dakwah.

Namun demikian, ada bahaya kelas yang harus diwaspadai oleh partai. Karena bahaya kelas ini terjadi ketika partai menjadi wakil umat atau mayoritas umat, ia akan mempunyai tempat terhormat, posisi yang mulia, serta mendapatkan penghormatan yang sempurna dari umat, khususnya dari masyarakat umum. Ini kadangkala dapat menghembuskan tipu daya ke dalam jiwa para aktivis partai, sehingga mereka merasa bahwa mereka lebih tinggi dari umat, bahwa yang menjadi tugas mereka adalah memimpin, sedang tugas umat adalah untuk dipimpin. Pada saat itulah mereka merasa lebih tinggi di atas individu-individu umat atau sebagian dari umat, tanpa mempertim-bangkan bahaya dari sikap ini.

Jika ini terjadi berulang-ulang, umat akan merasa bahwa partai adalah suatu lapisan ‘kelas’ yang lain. Demikian pula partai pun akan merasakan hal yang sama. Munculnya perasaan ini adalah awal dari kehancuran partai, karena ia akan melemahkan semangat partai untuk mempercayai orang-orang kebanyakan dari masyarakat, dan sebaliknya ia akan melemahkan kepercayaan masyarakat banyak terhadap partai. Pada saat itulah, umat akan mulai berpaling dari partai.

Apabila umat telah berpaling dari partai, berarti partai telah hancur. Dan ini membutuhkan usaha yang berlipat ganda untuk mengembalikan kepercayaan umat terhadap partai. Karena itulah, hendaknya para aktivis partai bersikap seperti individu-individu umat kebanyakan. Hendaklah mereka tidak mempunyai perasaan terhadap diri mereka, kecuali bahwa mereka adalah pelayan umat dan bahwa tugas mereka sebagai partai adalah melayani umat. Mereka harus berpandangan demikian, sebab ini akan memberi mereka kekuatan dan keuntungan lainnya, bukan hanya terpeliharanya kepercayaan mayoritas umat kepada mereka, melainkan juga akan sangat bermanfaat bagi mereka pada tahapan ketiga nanti, ketika partai menguasai pemerintahan untuk menerapkan ideologi. Karena pada saat itu -sebagai penguasa- mereka sebenarnya tetap menjadi pelayan umat, sehingga sikapnya tersebut akan memudahkan mereka dalam menerapkan ideologi.

Wali, Kepala Daerah Ideal dengan Standar Islam

Seorang pemimpin hendaknya adalah orang yang paling bersegera melayani umat, bukan yang paling segera minta dilayani umat. Dalam hal ini, Islam dengan segala kesempurnaannya telah memiliki referensi pasti tentang sosok pemimpin ideal. Berjuang untuk Islam, membutuhkan orang-orang yang mampu dan mau terjun dengan segala onak-durinya. Mengemban dakwah Islam pada dasarnya adalah proses inkubasi dan penggemblengan untuk mencetak orang-orang berkarakter pemimpin. Ini tak lain karena dengan Islam itulah cahaya kemuliaan pada diri mereka akan nampak, yang akan membedakannya dengan golongan orang yang tidak mengemban Islam. Sebagaimana firman Allah Swt: “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (TQS Muhammad [47]: 07).

Demikian pula sistem aturan kehidupan yang membidani kelahirannya, merupakan sistem shohih yang diwajibkan oleh Allah Swt Tuhan alam semesta, yakni Khilafah. Karenanya, seorang pemimpin seyogyanya adalah seorang pengemban dakwah Islam, hasil binaan partai bermabda Islam. Para pengemban dakwah adalah orang-orang yang telah memahami hakikat dakwah, termasuk di dalamnya mengkonsentrasikan kegiatannya terhadap masyarakat. Masyarakat itu sendiri dalam hal ini adalah sekumpulan orang yang dipersatukan oleh pemikiran, perasaan dan peraturan hidup yang sama. Karena itu penting untuk berpegang pada kaidah: “Perbaikilah masyarakat, niscaya individu akan menjadi baik, dan terus menerus dalam keadaan baik.”

Dalam sistem pemerintahan Islam, kepala suatu daerah disebut wali. Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi) serta menjadi amîr (pemimpin) wilayah itu. Karena para wali adalah penguasa, maka mereka harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa, yaitu: harus seorang laki-laki, merdeka, Muslim, balig, berakal, adil, dan termasuk orang yang memiliki kemampuan. Jabatan wali memerlukan adanya pengangkatan dari Khalifah atau orang yang mewakili Khalifah dalam melaksanakan pengangkatan itu. Wali tidak diangkat kecuali oleh Khalifah.

Rasulullah saw. dulu mengangkat para wali untuk berbagai negeri. Beliau menetapkan bagi mereka hak memutuskan persengketaan. Beliau telah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadhramaut, dan Abu Musa al-‘Asy‘ari di wilayah Zabid dan ‘Adn. Rasulullah saw. memilih para wali dari orang-orang yang memiliki kelayakan (kemampuan dan kecakapan) untuk memegang urusan pemerintahan, yang memiliki ilmu, dan yang dikenal ketakwaannya. Beliau memilih mereka dari kalangan orang-orang yang dapat melaksanakan tugas dengan baik dalam urusan yang menjadi kewenangannya dan yang dapat ‘mengairi’ hati rakyat dengan keimanan dan keagungan (kemuliaan) Negara. Imam Muslim menuturkan riwayat dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., bahwa Nabi saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Imam/Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).

Adapun berkaitan dengan pemberhentian wali, seorang wali diberhentikan jika Khalifah memandang perlu untuk memberhentikannya atau jika penduduk wilayah itu atau mereka yang menjadi wakil penduduk wilayah tersebut menampakkan ketidakridhaan dan ketidaksukaan mereka terhadap walinya. Bahkan, seorang Khalifah berhak memberhentikan wali tanpa suatu sebab apapun. Seorang wali tidak dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Akan tetapi, ia dapat diberhentikan dan diangkat kembali untuk kedua kalinya. Maksudnya, ia harus diberhentikan dari tempat semula dan boleh diangkat kembali menjadi wali untuk memegang kepemimpinan di tempat baru dengan akad pengangkatan yang baru.

Disamping itu, Khalifah wajib mengontrol aktivitas-aktivitas para wali. Khalifah juga harus senantiasa melakukan pengawasan secara ketat terhadap para wali, baik hal itu dilakukan oleh Khalifah sendiri atau Khalifah menunjuk orang yang mewakilinya untuk menyelidiki kondisi mereka dan melakukan audit atas mereka.

Khatimah

Demikianlah sosok kepala daerah dalam Islam. Syaratnya singkat, tapi mantap. Proses pemilihan dan pemberhentiannya juga sederhana, tanpa memboroskan anggaran sebagaimana Pilkada dalam sistem demokrasi, bahkan diyakini tanpa konflik karena semua urusan yang bersangkutan, diketahui dan diputuskan hanya oleh Khalifah. Semua ini tak lain karena memilih pemimpin umat bukanlah perkara remeh. Karenanya, saat memilihnya jangan sampai ibarat kalimat “Di bawah pemimpin yang baik, anak buah bodoh pun ada gunanya. Tapi di bawah pemimpin yang bodoh, pasukan terbaik pun kocar-kacir.” Idealitas sosoknya harus sesuai dengan aturan Islam, bukan yang lain. Firman Allah Swt: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raaf [07]: 96). Wallaahu a’lam bish showab [].

-- selesai --

Mengiring Detak Pilkada Serentak (Bagian 2)

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Sekolah Pamong Praja dan Revolusi Mental Aparat Pemerintahan, Cukupkah?

IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) adalah salah satu Lembaga Pendidikan Tinggi Kedinasan dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang bertujuan mempersiapkan kader pemerintah, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Dengan kata lain, IPDN adalah kawah candradimukanya Kemdagri untuk menggembleng kader-kader pemerintahan yang tangguh bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun, pada 10 Oktober 2007, dalam sebuah sidang kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk menggabungkan STPDN dengan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) menjadi IPDN menyusul terungkapnya kasus kekerasan yang terjadi di STPDN. Sebuah corengan, seperti inikah sepak terjang para taruna yang akan menjadi pamong praja dan pemimpin di tengah-tengah masyarakat? 

Mungkin ada benarnya jika Rektor IPDN yang baru dilantik, Ermaya Suradinata mengatakan bahwa sejak 1957 Bung Karno sudah membuat revolusi mental dalam hubungannya dengan perubahan mindset aparatur negara yang dulu itu ingin dilayani menjadi harus melayani masyarakat. Maka dari itu, seyogyanya harus dihidupkan lagi agar tetap relevan dengan saat ini dan masa depan. Bahkan menurutnya, sebagai wujud pemerhatian terhadap para taruna, sistem pendidikan di IPDN akan diubah. Nantinya, setiap barak akan ada pengasuh. Tadinya pengasuh hanya di satu tempat saja dan jauh dari barak. Nantinya, pengasuh akan ditempatkan dekat dengan barak dan bertanggungjawab dengan yang diasuh. Dan untuk menjadi pengasuh harus pula mengikuti tes serta mendapatkan pendidikan psikologis. 

Tak hanya itu, Ermaya pun ingin mengutamakan penempatan lulusan IPDN di kelurahan-kelurahan di seluruh Indonesia. Hal ini sebagai upaya penempaan diri para lulusan. Dan sebelum ditempatkan mereka akan dilakukan diklat profesional agar siap di lapangan (berita.suaramerdeka.com, 08/08).

Revolusi mental sendiri merupakan jargon besar pemerintahan Jokowi-JK. Tak main-main, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (saat itu), Andrinof Chaniago, pemerintah menganggarkan Rp 149 miliar untuk program Revolusi Mental yang sudah disetujui DPR. Rencanannya dana itu akan digunakan untuk membiayai program-program yang bisa mengubah perilaku masyarakat. untuk menyadarkan masyarakat, perlu dibuat program kampanye. Mulai dari iklan, film hingga dialog publik dari tokoh-tokoh yang berpengaruh. Anggaran Revolusi Mental itu akan digunakan untuk mendanai program tersebut. Rencanannya uang itu akan disebar di sejumlah kementerian, termasuk Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama dan Kementerian Sosial, dan Kementerian Kordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, yang kata Andrinof mengambil peran paling besar. Termasuk peran tokoh agama di sini adalah menjadi pembicara soal perubahan perilaku (tribunnews.com, 21/02).

Secara spesifik, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani pun menyatakan, aparat pemerintah mulai dari tingkat desa hingga tingkat pusat merupakan pelopor gerakan nasional Revolusi Mental. Menurut Puan, gerakan nasional Revolusi Mental yang digaungkan oleh pemerintahan Jokowi-JK merupakan gerakan segenap rakyat dan bangsa Indonesia. Revolusi Mental melalui Gerakan Hidup Baru akan menghidupkan kembali dan menggelorakan idealisme sebagai sebuah bangsa, menggelorakan kembali rasa keikhlasan dan gotong-royong sesama anak bangsa. Oleh karena itu, kata Puan, gerakan nasional Revolusi Mental sebagai gerakan hidup baru rakyat Indonesia membutuhkan keteladan dan kepeloporan. Keteladanan dan kepeloporan itu, lanjut Puan, harus dimulai dari aparatur pemerintahan dengan mengubah cara berfikir, kerja dan cara berperilaku.

Ini perlu disoroti, karena aparat pemerintah adalah sebagai agen perubahan, disamping sebagai pelopornya. Karenanya Puan berharap seluruh bangsa Indonesia mampu menginternalisasi tiga nilai strategis instrumental Revolusi Mental, yaitu integritas, kerja keras dan gotong royong (tribunnews.com, 30/04).

Namun, cukupkah demikian?

Partai Krisis Kader, Gagal Memberikan Pembelajaran

Partai politik adalah gerakan, sudah selayaknya selalu menjadi garda terdepan terhadap perubahan, yang otomatis menjadikannya pihak yang bertanggung jawab mencetak kader mumpuni. Kader perlu pembinaan (tatsqif), bukan sebatas sebagai simpul massa. Ironisnya, balon pilkada justru sering asal catut. Artis, pelawak, penyanyi, hingga mantan narapidana, punya kesempatan yang sama untuk masuk bursa. Belum lagi dengan santernya budaya mahar politik. Ini akan beralamat pada pemimpin-pemimpin yang nantinya mudah disuap, hingga potensial menjadi calon koruptor yang berkelanjutan. 

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan sejumlah partai politik gagal dalam proses kaderisasi. Kegagalan itu tercermin dari kebijakan sejumlah partai yang mencalonkan kepala daerah berlatar belakang bekas penjahat. Kini banyak eks narapidana diusung partai politik sebagai calon kepala daerah. Yang menjadi ukuran penjaringannya pun hanya survei politik, bukan kredibilitas calon. Menurutnya, parpol tidak punya konsep rekrutmen politik berbasis kaderisasi dan terkooptasi pengaruh elite yang punya modal kuat. Akibatnya, parpol sangat permisif pada korupsi.

Menurut Titi pula, partai politik mengedepankan prinsip popularitas dan finansial sebagai pertimbangan dalam pencalonan eks narapidana. Ia menilai partai sengaja mengesampingkan etika publik dan moralitas calon. Padahal, kata dia, kejahatan korupsi telah jelas-jelas mengkhianati masyarakat. Mereka semestinya tidak menjadi pejabat publik yang akan mempunyai kewenangan besar dan menjadi pengelola keuangan negara.

Kepesertaan eks narapidana semakin terbuka setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal pembatasan calon kepala daerah yang pernah menjalani masa pidana pada Juli 2015. Mahkamah Konstitusi menyatakan setiap eks narapidana berhak mencalonkan diri tanpa harus menunggu jeda lima tahun setelah masa tahanannya selesai seperti yang diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf g.

Namun MK mewajibkan mereka membuat pengumuman kepada publik terkait latar belakang pidana yang telah dijalaninya. Kata Titi lagi, publik harus mendapatkan riwayat dan latar belakang yang utuh dari kandidat agar bisa lebih obyektif menilai setiap calon.

Tempo mencatat sembilan nama calon kepala daerah yang pernah menjadi terpidana korupsi. Mereka adalah Elly Engelbert Lasut (calon Gubernur Sulawesi Utara), Jimmy Rimba Rogi (calon Wali Kota Manado), Vonny Panambunan (calon Bupati Minahasa Utara), Soemarmo Hadi Saputro (calon Wali Kota Semarang), Abu Bakar Ahmad (calon Bupati Dompu), Usman Ikhsan (calon Bupati Sidoarjo), Amdjad Lawas (calon Bupati Poso), Monang Sitorus (calon Bupati Toba), dan Azwar Chesputra (calon Calon Bupati Limapuluh Kota) (tempo.co, 04/08).

Tak heran, hasil dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun ini diprediksi akan sangat minimalis. Bisa dipastikan bahwa Pilkada 2015 tidak banyak melahirkan pemimpin daerah yang kapabel, punya kompetensi tinggi dan reputasi yang teruji. “Buktinya, tidak sedikit calon kepala daerah yang latar belakangnya bermasalah. Ada calon dengan latar belakang eks narapidana. Kendati kita meyakini yang bersangkutan telah insyaf. Ada juga calon yang berstatus eks narapidana kasus korupsi,” ujar anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo.

Politikus Partai Golkar ini juga mengkritisi partainya yang mencalonkan Jimmy Rimba sebagai calon Wali kota Manado. Jimmy merupakan terpidana kasus korupsi. Menurut Bambang, persiapan setiap pasangan calon Kepala daerah pasti hanya terfokus pada strategi pemenangan. Tetapi, kualitas dan kompetensi kepemimpinan justru belum dipersiapkan dengan matang. Inilah titik lemah dari proses menghadirkan pemimpin daerah. Dia menjelaskan, sedikitnya, ada dua aspek yang akan dipertaruhkan ketika pemerintah bersikukuh merealisasikan Pilkada serentak tahun ini. Pertama, apakah Pilkada di 269 daerah pemilihan (Dapil) akan berjalan dengan aman, lancar dan bersih, atau harus diwarnai kericuhan hingga konflik massa pendukung di akar rumput (suaramerdeka.com, 02/08).

Sementara menurut Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia), ini merupakan gambaran telanjang gagalnya partai menjalani fungsinya termasuk kaderisasi. Kaderisasi ini secara sistematis diabaikan partai demi menghindari tergerusnya wibawa ketum atau elit partai jika banyak kader menjadi cerdas dalam proses kaderisasi. Elit partai yang seolah-olah menjadi pemilik partai, menghendaki kader yang “cool” dan tidak terlampau kritis untuk memudahkan kontrol total elit partai terhadap para kader. Karena itu, mengingatkan publik jangan terlalu mudah percaya partai yang kelihatannya garang dalam memberantas korupsi. Cuap-cuap partai yang galak dalam hal pemberantasan korupsi hanya tipu muslihat saja agar dipercaya oleh publik. Sesungguhnya secara institusi tak ada keinginan kuat partai untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berintegritas. Pemilih masih terlalu mudah diperdaya oleh politisi dengan menggunakan uang untuk membeli hak suara mereka (sp.beritasatu.com, 03/08).

Lebih parah, pascapilkada adalah masa untuk bagi-bagi kekuasaan. Akibatnya, makin merosotlah krisis kepemimpinan, karena bertumpu pada arah simpang gerak partai sebagai pemilik kepentingan yang meluluskan tujuan para pemilik kapital. 

Ini sejalan dengan pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, Naning Wijaya bahwa perusahaan swasta boleh menyumbang dana kampanye calon bupati dan calon wakil bupati pada pilkada Desember 2015. Batasan maksimal dana kampanye kandidat bupati dibatasi Rp 11 miliar, gabungan dana sumbangan perorangan dan perusahaan swasta. Di samping itu para kandidat harus melaporkan dana dan sumber-sumber dana kampanye kepada KPU. Sesuai aturan yang ada sumbangan pribadi untuk dana kampanye maksimal Rp 50 juta. Sementara untuk sumbangan dana kampanye yang diberikan perusahaan kepada kandidat calon bupati atau calon wali kota sebesar Rp 500 juta. Ini berlaku untuk perusahaan swasta bukan BUMN, karena BUMN tidak diperbolehkan menyumbang dana kampanye (republika.co.id, 03/08).

Sementara itu, MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) disebut-sebut sebagai agenda mendesak di balik prematurnya kebijakan Pilkada serentak. Atas nama kacamata politik, agenda MEA jelas tak bisa diabaikan. Mulusnya MEA, takkan bisa lepas dari peran para pemangku kebijakan. Terlebih di daerah, tempat di mana proses pasar bebas ASEAN ini akan dieksekusi. Ini tentunya membutuhkan para kepala daerah yang manut dengan integralisasi agenda besar MEA.

Hal ini setali tiga uang dengan pernyataan pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah, yang menilai jika pilkada secara serentak di beberapa daerah ditunda pelaksanaannya akan mempengaruhi persiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan diberlakukan awal 2016. Menurutnya, daerah harus punya pemimpin yang tetap di akhir 2015, bukan pelaksana tugas atau plt, karena keputusan strategis dibutuhkan daerah dalam menghadapi MEA mulai 2016. Jika suasana politik tidak kondusif dalam satu tahun ini, ia meyakini pemerintah dan masyarakat di daerah yang belum memiliki kepala daerah definitif akan sulit untuk serius dan fokus dalam menghadapi tahun perdagangan tersebut.

Firmansyah menambahkan, masing-masing daerah perlu kebijakan distribusi ekonomi yang cepat dan kebijakan infrastruktur perdagangan yang memadai, serta kebijakan ekonomi lainnya. Hal itu tentu bisa dilakukan oleh seorang kepala daerah definitif yang memiliki kewenangan lebih luas dibandingkan seorang plt. Bahkan, jika sejumlah daerah belum memiliki kepala daerah definitif pada akhir 2015, maka daerah itu akan menjadi penonton perhelatan MEA. Penunjukan plt memiliki kelemahan karena tokoh yang ditunjuk bersumber dari gubernur yang juga tokoh politik, sehingga sulit tidak lepas dari kepentingan politik menempatkan seorang plt bupati dan wali kota. Seorang plt sulit untuk merencanakan dan memutuskan kebijakan strategis karena kewenangannya terbatas, tidak seperti kepala daerah definitif.

Ia pun mengingatkan politisi untuk memperhatikan perkembangan fakta, peluang dan tantangan ekonomi rakyat bila kegaduhan politik tetap terpelihara. Para politisi hendaknya tidak menjadikan ketidakpastian politik lebih lama karena itu juga akan menyebabkan ketidakstabilan ekonomi juga akan menjadi lama (nasional.republika.co.id, 03/08). Terkait masih ada sejumlah daerah yang terancam ditunda pelaksanaan pilkada, Firmansyah berpendapat, masalah tersebut bisa diselesaikan dengan ketegasan Presiden, baik dengan mengeluarkan peraturan pengganti perundang-undangan atau kebijakan politis lainnya (sp.beritasatu.com, 03/08).

Kini tengoklah, klaim pemerintah, akademisi, pengamat politik, aktivis LSM atau pihak lain yang menganggap Indonesia layak menjadi role model demokrasi bagi negeri muslim lain, nyatanya hanya ilusi. Belum dua dasawarsa sejak euforia reformasi mengharu biru pengusung kebebasan berpendapat, namun fenomena demokrasi Indonesia sungguh menyedihkan. Setiap kali berbicara tentang pilkada, publik selalu dihadapkan dengan ketidakmampuan pemerintah dalam penyelenggaraannya, praktiknya sarat kecurangan, termasuk kebobrokan parpol dan kontestannya.

Kali ini, menjelang Pilkada serentak pada 9 Desember 2015, media sudah memotret ketidakmampuan parpol untuk sekedar menghadirkan calon yang siap menjadi kontestan dalam pilkada. Seharusnya, untuk memenuhi persaingan one by one pada 51 pilkada hanya dibutuhkan 102 pasangan kontestan, namun hingga Senin 27/7 hanya ada 63 kontestan. Padahal pendaftaran ditutup pada Selasa 28/7. Begitulah demokrasi. Tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia, demokrasi tidak pernah mampu menyentuh persoalan mendasar yang ingin diwujudkannya: menjadikan rakyat sejahtera dengan terlibat dalam sistem pemerintahan.

Semua itu kian membuktikan bahwa demokrasi hanya sekedar permainan politik akomodatif yang digagas Barat untuk melanggengkan penjajahan dengan memaksakan nilai universal yang jelas-jelas berlawanan dengan akal dan fitrah kemanusiaan. Parpol yang dianggap sebagai kendaraan utama untuk melanggengkan demokrasi, memang tidak akan mampu mewujudkan ide utopis mewujudkan keterlibatan rakyat. Pemikir dan praktisis Barat pun banyak yang sepakat akan akal-akalan busuk, persekutuan keji antara korporasi, pemerintah dan elit parpol untuk merekayasa proses dan hasil demokratisasi.

Jadi, buat apa masih percaya bahkan menggunakan sarana ini untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, jika masyarakat terus dijejali dengan fakta-fakta buruk demokrasi. Sudahlah, buang demokrasi ke tempat sampah, ganti dengan sistem pemerintahan yang bersumberkan wahyu Allah yang mulia. Kembali pada sistem pemerintahan yang menjanjikan kemuliaan, tanpa keribetan dan kecurangan nafsu manusia (Kompol LS MHTI).

-- bersambung --

Mengiring Detak Pilkada Serentak (Bagian 1)

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Muqodimah

Pemerintah dan DPR sepakat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan digelar pada Desember 2015 mendatang. Kesepakatan itu tercipta setelah pihak penyelenggara, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyanggupinya (hukumonline.com, 30/04). KPU menyampaikan bahwa 827 pasang calon kepala daerah telah mendaftar: 20 pasangan calon gubernur/wakil gubernur, 691 pasangan calon bupati/wakil bupati, dan 116 pasangan calon wali kota/ wakil wali kota. Di antara mereka ada 28 pasangan dari jalur perseorangan yang maju bermodalkan bundel-bundel kartu tanda penduduk calon pemilih (kompas.com, 12/08).

Menurut Ketua Fraksi Golkar di MPR, Rambe Kamarulzaman, serentaknya Pilkada juga dilatarbelakangi oleh UU No.1 Tahun 2015 tentang Pilkada mengamanatkan terhadap pejabat kepala daerah yang habis pada 2015 dan masa jabatan Januari hingga Juli 2016 ditarik pemilihan pejabat baru pada Desember 2015. Meski DPR khususnya Komisi II mengusulkan agar dilakukan proses Pilkada pada 2016, namun kesepakatan dilakukan pada 9 Desember 2015.

Pilkada serentak dilaksanakan melalui tiga gelombang. Gelombang kedua akan digelar pada Februari 2017 diperuntukan bagi mereka pejabat kepala daerah yang habis masanya pada Juli hingga Desember 2017. Sedangkan gelombang tiga bakal digelar pada Juni 2018 bagi pejabat yang habis masa tugasnya pada 2018 dan 2019 (hukumonline.com, 30/04).

Mengapa Pilkada 2015 Harus Serentak?

Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan, Pilkada serentak ini menjadi penting dan sebagai momen bersejarah bagi Indonesia. Hal ini karena jadi momentum bangsa Indonesia untuk memilih kepala daerah secara masif yang terorganisir dan terstruktur. Demikian menurut Husni dalam pidato peresmian pilkada serentak di Kantor KPU Pusat, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (17/04).

Tahapan pilkada serentak 2015 ini diawali dan ditandai‎ dengan penerimaan Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2) secara serentak pada hari ini. DAK2 ini untuk pertama kali digunakan sebagai dasar bagi penentuan prosentase syarat dukungan calon perseorangan, agar para calon perseorang lebih awal dapat mempersiapkan diri.

Husni menambahkan, ‎model pemilihan serentak ini merupakan yang pertama kali di Indonesia, bahkan di dunia. Indonesia harus dicatat dalam sejarah demokrasi dunia karena tercatat ada 269 daerah terdiri atas 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten yang serentak memilih kepala daerah. Artinya, sekitar 53 persen dari total 537 jumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia akan melaksanakan Pilkada serentak gelombang pertama. Namun tentu bukan hal mudah untuk melakukan itu semua. Karena banyak tantangan yang akan dihadapi, demikian ucap Husni. Peresmian Pilkada serentak ini dihadiri sejumlah pihak terkait. Di antaranya Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo (news.liputan6.com, 17/04).

Rencana Pilkada serentak ini tak mulus benar. Pada batas akhir pendaftaran calon, masih ada beberapa ganjalan, terutama adanya tujuh daerah yang calon kepala daerahnya hanya sepasang. Di saat yang sama, rezim pengaturan pemilihan kepala daerah mensyaratkan adanya minimal dua pasangan calon. Jika tidak, pemilihan kepala daerah akan diundur hingga ke tahun 2017 (kompas.com, 12/08).

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, berpandangan dalam melaksanakan Pilkada serentak mesti dipertimbangkan dampak terhadap rakyat. Tak saja efisiensi anggaran, tapi juga kesiapan masyarakat dan partai politik. Terlebih, masih adanya perseteruan internal partai dengan dualisme kepengurusan yang tak kunjung rampung. Menurutnya, pilkada serentak yang akan digelat Desember perlu diundur.

Kendati pun tetap bakal digelar akhir tahun 2015, toh perlu menilik kesiapan birokrasi dan administrasi, termasuk Pemda setempat di masing-masing daerah. Selain itu, kesiapan penyelanggara seperti KPU dan Bawaslu secara administratif, substantif dan anggaran perlu persiapkan matang. Dengan kata lain, kata Zuhro, kesiapan seluruh stakeholder dalam melaksanakan Pilkada serentak perlu mempertimbangkan beberapa hak krusial dan dampaknya terhadap masyarakat luas. Ia menilai Pilkada serentak seolah dipaksakan. Ia berpendapat melaksanakan Pilkada serentak di 269 daerah bukan perkara mudah. Ia menyarankan sebaiknya Pilkada serentak dilakukan di satu provinsi dengan beberapa kabupaten sebagai uji coba. Nah, jika ternyata berjalan lancar tanpa adanya kerusuhan dan sengketa, maka dapat digelar di provinsi lain. Di tahun berikutnya, dapat digelar serentak nasional. Sepatutnya rencana diselenggarakan Desember direview agar hasilnya berkualitas dan korelasinya terhadap pemerintahan daerah dan rakyatnya positif dan signifikan (hukumonline.com, 30/04).

Pendaftaran calon kepala daerah telah dibuka mulai Ahad (26/7) hingga Selasa (28/7) di 269 kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang terbagi di sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun memutuskan memperpanjang waktu pendaftaran calon kepala daerah selama tiga hari di 7 Kabupaten/Kota. Namun, hal itu dianggap tidak akan mampu mengatasi masalah calon tunggal (beritasatu.com, 08/08).

Calon Tunggal Jadi Fenomena, Bukti Sulitnya Menentukan Kandidat Pemimpin

Fenomena calon tunggal ini sebenarnya terjadi karena partai politik juga. Jamak kita ketahui, para calon yang bakal diusung oleh partai politik disyaratkan untuk membayar uang mahar kepada partai pengusung. Maka, secara rasional, jika ada calon petahana yang kuat, misalnya Wali Kota Surabaya (sekarang) Tri Rismaharini, calon lain pasti akan berkalkulasi rasional. Daripada hilang segalanya, lebih baik mengurungkan niat untuk jadi calon. Masalahnya, baru jadi calon, mereka sudah harus membayar pintu masuk. Belum lagi dana untuk kampanye serta dana ini-dana itu. Mahar untuk pintu masuk yang disyaratkan oleh partai pengusung inilah yang, antara lain, jadi biang munculnya calon tunggal.

Di sejumlah negara yang telah lama mempraktikkan pemilihan umum, seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, India, Malaysia, dan Filipina, masalah calon tunggal bukan hal baru dan aneh. Jika ada negara-negara yang memiliki tradisi demokrasi yang mapan, ada mekanisme mengatasi soal calon tunggal ini. Jika dalam sebuah pemilihan kepala daerah hanya ada calon tunggal, calon tersebut langsung disahkan sebagai pemenang. Di Amerika Serikat, ini disebut WO (walkover), sementara di Kanada disebut aklamasi (kompas.com, 12/08).

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 12/2015 merupakan perubahan atas PKPU No. 9 tahun 2015 tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau walikota dan wakil walikota, khususnya terkait tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2015 (solopos.com, 21/07). PKPU 12/2015 yang baru saja diterbitkan pada 16 Juli 2015 itu menyebutkan jika calon kepala daerah tetap hanya satu (calon tunggal) setelah perpanjangan pendaftaran tiga hari, maka seluruh tahapan dihentikan dan ditunda pada pilkada serentak berikutnya pada 2017 (kpu.kebumenkab.go.id, 16/07). 

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria meminta pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pemilu untuk mengantisipasi kemungkinan tetap adanya calon tunggal Kepala Daerah di beberapa daerah, kendati KPU telah menambah masa waktu pendaftaran. Namun Riza menawarkan tiga opsi apabila nanti pemerintah pada akhirnya tidak mengeluarkan Perppu dan memilih menerapkan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang menyatakan daerah tersebut harus mengikuti pemilu pada periode selanjutnya yang telah ditetapkan oleh KPU di tahun 2017. Opsi pertama, untuk melawan kemungkinan kemenangan mutlak dari calon tunggal, Riza menyarankan KPU memberi syarat-syarat untuk dipenuhi oleh para calon, misalnya syarat dukungan dari masyarakat tempat pemilihannya mencapai 70-80%. Sehingga diharapkan ada keseriusan dalam proses pencalonannya sebagai kepala daerah. Kedua, langsung dijadikan sebagai kepala daerah dengan dikeluarkan Surat Keterangan termasuk dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi pula. Ketiga, KPU diminta untuk membuka kembali pendaftaran bagi daerah yang masih bercalon pasangan tunggal. Namun konsekuensinya apabila ada penambahan waktu, sang calon akan terkurangi masa kampanyenya (cnnindonesia.com, 12/08).

Tak ayal, peneliti senior LIPI, Siti Zuhro pun mengaku pesimis bahwa persoalan calon tunggal di 7 Kabupaten/Kota akan tuntas dengan perpanjangan waktu tiga hari. Menurutnya, persoalan pada pilkada serentak tidak hanya karena munculnya calon tunggal. Tetapi, akan ada banyak masalah yang akan timbul, seperti sebelumnya dualisme kepengurusan Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). "Ini memang pilkada yang tidak ideal, di mana undang-undang (Pilkada) baru disahkan langsung tahapan pilkada dimulai. Ada semacam urgensi yang mendesak sehingga harus segera mungkin pilkada serentak," kata Siti (beritasatu.com, 08/08).

Untuk mengatasinya, Zuhro mengatakan jalan yang harus diambil bukanlah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tetapi merevisi UU No. 8 tahun 2015 tentang Pilkada secepatnya. Hanya saja, lanjutnya, revisi juga bukan hal yang mudah. Sebab, harus jelas dan mampu dipastikan tidak menjadi sarana tarik-menarik kepentingan politik. Mengingat, ada dua kubu di DPR, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). "Ada kesalahan juga dari DPR yang mengesahkan pilkada serentak 9 Desember. Kemudian, tidak antisipatif," ujarnya.

Seperti diketahui, hingga batas akhir pendaftaran calon kepala daerah, 7 Kabupaten/Kota masih memiliki calon tunggal, yaitu Kota Mataram (Provinsi NTB), Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), dan Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kota Surabaya, dan Kabupaten Pacitan (Jawa Timur). Kemudian, 83 daerah dinyatakan hanya memiliki dua pasangan calon. Tak ayal, ini pun berpotensi untuk menjadi calon tunggal. Menyikapi hal tersebut, Presiden menggelar pertemuan dengan sejumlah pimpinan lembaga negara terkait, guna mencari solusi di Istana Kepresidenan Bogor, pada Rabu (05/08).

Kemudian, atas keputusan rapat, Bawaslu memberikan rekomendasi kepada KPU agar proses pendaftaran calon kepala daerah di 7 Kabupaten/Kota tersebut diperpanjang kembali. Akhirnya, KPU menyetujui rekomendasi Bawaslu untuk menambah waktu pendaftaran di 7 wilayah yang hanya memiliki satu pasangan calon, selama 3 hari. Tetapi, akan melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat dan partai selama tiga hari perihal perpanjangan pendaftaran. Karenanya, pendaftaran baru akan dibuka tanggal 9 Agustus sampai 11 Agustus 2015. Hanya saja, terkait potensi calon tunggal di 83 daerah, pemerintah belum mengambil sikap (beritasatu.com, 08/08).

Revisi UU Pilkada awalnya merupakan niat DPR, namun telah ditolak oleh pemerintah. Meski belum bersifat resmi, DPR akan tetap mengusulkan revisi ini dan menunggu jawaban pemerintah di badan legislasi. Persoalan revisi UU Pilkada ini bermula dari keputusan KPU yang telah menyetujui draft peraturan KPU mengenai parpol yang bersengketa. KPU memberikan syarat untuk parpol yang bersengketa di pengadilan harus sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau sudah islah sebelum pendaftaran pilkada.

Pada rapat antara pimpinan DPR, Komisi II DPR, KPU, dan Kemdagri (04/05), DPR meminta KPU untuk menyertakan putusan sementara pengadilan sebagai syarat untuk mengikuti pilkada. Namun, KPU menolak karena tidak ada payung hukum yang mengatur hal itu. Akhirnya, DPR berupaya untuk merevisi UU Parpol dan UU Pilkada untuk menciptakan payung hukum baru (kompas.com, 20/05).

Sementara terkait Perppu, sebelumnya Kementerian Hukum dan HAM telah menyiapkan draft-nya untuk mengatur calon tunggal dalam penyelenggaraan Pilkada pada Desember 2015 mendatang. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly, mengaku telah mengajukan draft tersebut kepada Presiden Joko Widodo (10/08). Presiden akan menilai dalam tujuh hari. Meski Perppu sudah ada, Yasonna mengatakan presiden memiliki kewenangan penuh untuk menandatanganinya atau tidak. Jika ditandatangani, maka Perppu akan diajukan ke DPR untuk pengesahan (cnnindonesia.com, 12/08).

Dalam hal ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla di kemudian hari telah menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menerbitkan Perppu untuk mengantisipasi munculnya calon tunggal. Pemerintah hanya menjalankan amanat undang-undang yang mengatur bahwa pemilihan kepala daerah harus ditunda jika tidak memenuhi syarat minimal dua pasangan calon. Wapres juga menegaskan bahwa pilkada di empat daerah yang tidak memenuhi syarat jumlah calon pasangan, terpaksa ditunda hingga 2017. Hal ini berdasarkan hasil rapat terbatas Presiden Jokowi bersama Wapres, Selasa (11/08). Salah satu pembahasan dalam rapat itu berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak dengan menunda pilkada di empat kabupaten sesuai keputusan KPU. Penundaan ini setelah batas akhir perpanjangan pendaftaran usai pada 11 Agustus 2015 (kompas.com, 12/08).

Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, pemilihan kepala daerah (pilkada) pada era Orde Baru (Orba) jauh lebih stabil. Meskipun pilkada saat itu dilakukan oleh DPRD. Ini karena kalau dari PNS (pegawai negeri sipil), minimal sudah sekda (sekretaris daerah). Kalau unsur TNI minimal komandan Kodim atau panglima Kodam. Itu merata hampir seluruh daerah.

Sementara pada era Reformasi, pilkada dilaksanakan secara langsung. Prosesnya terbuka. Orang yang punya uang bisa masuk, didukung partai bisa masuk, lewat independen bisa masuk. Latar belakang apapun terserah, ujarnya. Tjahjo pun mengungkapkan, pejabat struktural di provinsi, kabupaten/kota kerap mengeluh karena beragamnya latar belakang kepala daerah, yang berasal dari berbagai disiplin ilmu dan pengalaman yang beragam. Maka dari itu, Lemhanas dan Kemdagri punya inisiatif, bahwa kepala daerah yang terpilih harus ikut pendidikan dan latihan di Kemdagri selama dua minggu, pungkasnya (sp.beritasatu.com, 04/08).

-- bersambung --