Kamis, 04 Juli 2013

Tarif Progresif Bikin Sensitif

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si



PT KAI Commuter Jabodetabek (KJC) akan menerapkan sistem tarif progresif sesuai dengan jarak tempuh (republika.co.id, 23/05/2013). Namun, realisasinya tak semulus rencana.

Faktanya, ribuan penumpang kereta rel listrik (KRL) commuter line dari Stasiun Besar Bogor antre 30 menit hingga 1 jam untuk membeli tiket pada hari pertama pemberlakuan tarif progresif, Senin (01/07). Mereka mengeluhkan persiapan penjualan tiket elektronik yang buruk (kompas.com, 01/07/2013a).

Antrean para pembeli tiket terlihat mengular hingga 40 meter dari depan loket. Sebagian penumpang sudah mengantre sejak pintu penghubung area parkir sepeda motor dan koridor masuk menuju loket dibuka. Beberapa penumpang terlihat kesal. Beberapa di antaranya menggerutu kepada petugas loket. Ada yang sudah antre sejak pukul 06.30, tapi baru bisa mencapai loket penjualan tiket pukul 07.50 WIB. Sementara itu,  panjang antrean calon penumpang di sembilan loket penjualan tiket terlihat sekitar 10 meter (kompas.com, 01/07/2013).

Yang lebih fantastis, antrean penumpang di Stasiun Depok Baru mencapai 500 meter. Dari loket stasiun mengular dua baris sampai ke gerbang belakang mal ITC. Dua baris penumpang harus antre hingga ke pelataran parkir yang belum tertata rapi dan melingkar. Jika dihitung, panjang antrean melingkarnya bisa mencapai hampir 1 kilometer (tempo.co, 01/07/2013a).

Para calon penumpang mengantre lebih dari satu jam untuk mendapatkan tiket. Mereka juga sangat menyayangkan PT KCJ yang tidak mengantisipasi lonjakan penumpang hingga terjadi antrean panjang. Padahal, antrean panjang biasanya hanya terjadi sampai pukul 09.00. Tapi pemberlakuan tarif progresif dan e-ticketing secara menyeluruh berdampak terlambatnya pelayanan. Hingga pukul 11.30, antrean masih terlihat (tempo.co, 01/07/2013).

Perempuan Bekerja, Jadi Korban

Pada faktanya, sebagian besar penumpang kereta commuter line adalah para perempuan bekerja. Dengan penerapan tarif progresif, secara nominal harga tiket memang bisa lebih murah. Akan tetapi, pelayanan yang diberikan pun murahan.

Kondisi penumpang yang berdesakan di dalam gerbong pun makin heboh. Terlebih di gerbong khusus perempuan. Ibu-ibu jadi sensitif. Mereka tak henti mengomel, menyayangkan ketidaksiapan pelayanan PT KAI. Oleh karenanya, setidaknya fakta ini dapat ditinjau dari dua sisi.

Pertama, dari sisi ketersediaan pelayanan kereta. Nominal harga tiket di sini menunjukkan kualitas pelayanan. Padahal pelayanan bagus tak wajib mahal. Jika memang misi pelayanan publik ini untuk menjamin kemashlahatan dan kemudahan urusan umat, maka landasan penetapan harga tentu bukan dari sisi nominal yang akan diperoleh. Melainkan, segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada kemudahan urusan itulah yang akan menjadi fokus. Hanya saja, karena negeri ini bersistem kapitalistik, maka wajar jika segala sesuatu yang baik harus diberi nominal tinggi, termasuk pelayanan publik. Sebaliknya, sesuatu yang tidak baik (baca: buruk) harus diberi nominal rendah. Karena landasannya adalah mencari laba. Akibatnya, pemerintah seperti penjual jasa.

Buktinya saat penerapan tarif progresif. Semua orang tentu ingin menikmati fasilitas harga yang sesuai jarak tempuh itu. Terlebih, karena KRL ekonomi lambat laun ditiadakan. Saat ini saja, jumlah KRL ekonomi sudah dikurangi. Padahal, KRL ekonomi itu disebut sebagai alat transportasi bersubsidi pemerintah. Artinya, jumlah penumpang yang seharusnya diberi fasilitas harga murah itu sangat banyak. Malangnya, kebijakan pemerintah membuat harapan rakyat bertepuk sebelah tangan. Sementara secara fisik, fasilitas KRL ekonomi juga sangat mengenaskan.

Kedua, dari sisi perempuan bekerja. Sejatinya, tak seharusnya nasib perempuan demikian. Pergi pagi pulang petang, ditambah harus berdesakan saat naik kereta. Lihatlah, hal ini menunjukkan bahwa sebagian kecil implementasi abad partisipasi penuh perempuan (full participation age) telah dimainkan.

Pasalnya, KRL adalah sarana transportasi paling praktis dan ekonomis di Jabodetabek, jika dibandingkan dengan sarana transportasi yang lain. Tapi saksikan saat penerapan tarif progresif. Tarif yang terbilang murah untuk kereta listrik ber-AC membuat penumpang commuter line membludak. Untuk tujuan Stasiun Kebayoran dari Stasiun Serpong atau Rawa Buntu, hanya membayar Rp 2.000,- dari harga biasa sebesar Rp 8.000,-, tapi diragukan kenyamanannya. Commuter line pukul 07.48, yang biasanya agak lengang, pagi itu sangat padat. Terutama ketika berhenti di Stasiun Sudimara dengan jumlah penumpang naik terbanyak untuk KRL tujuan Serpong-Tanah Abang. Di gerbong khusus perempuan, para penumpang mengeluh dan berteriak kesakitan karena dorongan dari penumpang yang memaksa untuk masuk (tempo.co, 01/07/2013b).

Hari pertama tarif progresif ternyata tidak seluruhnya direspon positif. Suasana penumpang commuter line pagi itu dipenuhi dengan keluhan dan teriakan karena jumlah penumpang melebihi kapasitas. Belum lagi, gerbong yang disediakan pendek, hanya enam. Ada seorang ibu yang rela membayar lebih mahal asal tidak naik kereta sepadat itu. Karena memang penumpang KRL ekonomi semuanya lari ke commuter line (tempo.co, 01/07/2013b).

Wajar kiranya jika jumlah perempuan bekerja yang dulu menjadi penumpang KRL ekonomi, tak sedikit yang berpindah ke KRL commuter line. Karena secara jumlah, KRL ekonomi berkurang. Artinya, sedikit demi sedikit penggunaan KRL ekonomi sebagai fasilitas yang tersubsidi itu dikurangi oleh pemerintah.

Ditambah, kesempatan bekerja bagi para perempuan ini menjadi ada karena mereka harus menyokong perekonomian keluarga. Mereka harus ikut banting tulang demi tetap mengepulnya asap dapur. Padahal dalam Islam, hukumnya mubah (boleh) bagi perempuan untuk bekerja. Karena mereka adalah pihak yang wajib diberi nafkah, bukan mencari nafkah. Sementara itu, yang tidak boleh diabaikan namun ternyata terabaikan, adalah peran mereka sebagai ibu, pengatur rumah tangga dan pendidik generasi. Semua peran itu jelas dipertaruhkan demi sejumput gaji.

Pemimpin adalah Perisai

Rasulullaah saw bersabda: Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai, rakyat akan berperang di belakangnya serta berlindung dengannya. Apabila ia memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta bertindak adil, maka ia akan mendapat pahala. Tetapi jika ia memerintahkan dengan selain itu, maka ia akan mendapat akibat buruk hasil perbuatannya.” [HR Muslim, 9/376, no. 3428].

Imam an-Nawawi rahimahullah (Wafat: 676 H) menjelaskan: Maksud menjadi perisai di sini adalah sebagai tabir yang menghalang musuh dari mengganggu umat Islam, juga menjaga perhubungan (perpaduan) dalam kalangan masyarakat, menjaga kehormatan Islam, menjadi yang ditakuti (dihormati) rakyatnya, dan mereka berlindung kepadanya. Berperang di belakangnya pula, maksudnya adalah berperang bersama pemimpin melawan orang-orang kafir, pembangkang (atau pemberontak), kaum khawarij, setiap orang yang melakukan kerosakan (ahli fasad), dan mereka yang melakukan kezaliman secara umum.” [Syarah Shahih Muslim, 12/230].

Juga hadits Rasulullaah saw: Seorang imam (khalifah atau kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat  dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Fakta KRL commuter line di atas hanyalah secuil fenomena di tengah rusaknya sistem demokrasi-kapitalisme. Telah banyak peristiwa yang menunjukkan demokrasi-kapitalisme adalah sistem timpang. Jadi memang sudah tak layak jadi pilihan. Sosok pemimpinnya saja sudah terdegradasi, jauh dari perannya sebagai perisai, apalagi penanggung jawab. Bagaimana mau berperan lebih luas untuk rakyat jika pemimpin hanya ibarat makelar penjual pelayanan publik, bukan pelayan publik itu sendiri?

Pemerintah seharusnya menyediakan sarana transportasi publik yang lebih memadai. Penumpukan penumpang terutama pada jam-jam sibuk harus diatasi dengan penambahan armada transportasi publik dan pengintensifan jadwal perjalanannya. Bahkan mungkin menambah jalur alternatif agar tidak menambah kemacetan. Tapi  selama ini pemerintah selalu beralasan tidak ada dana.

Selanjutnya, sebagian besar penumpang perempuan adalah perempuan bekerja. Maka patut ditelaah lebih lanjut, tentang latar belakang begitu banyaknya perempuan yang terlibat dalam aktivitas industri atau ekonomi di luar rumah. Apa yang menuntut kaum perempuan  berlomba-lomba menerjunkan diri dalam dunia kerja?

Ternyata sebagian besar karena dorongan membantu ekonomi keluarga. Pemiskinan struktural akibat penerapan ekonomi kapitalisme adalah penyebab utamanya. Banyak kepala rumah tangga yang tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok keluarga. Sementara, lapangan kerja yang tersedia bagi perempuan lebih banyak di luar rumah. Maka terpaksa kaum perempuan meninggalkan fungsi ke-ibuannya demi kelangsungan ekonomi keluarga. Mereka bekerja di sektor industri dan manufaktur, di pabrik-pabrik, mulai pagi sampai petang, tanpa jam istirahat yang cukup. Ini sudah tidak manusiawi.

Sebagian lainnya, alasan perempuan bekerja adalah aktualisasi diri dan prestige. Ini juga tidak lepas dari sistem nilai yang salah. Perempuan dianggap lebih terhormat jika memiliki pendidikan tinggi, karir dan pekerjaan bagus dan seterusnya.  Inilah ciri khas kapitalisme. Kebaikan dan kebahagiaan diukur dengan materi dan kenikmatan fisik (hizbut-tahrir.or.id).

Islam Punya Solusi

Kita sepatutnya membuang sistem ekonomi kapitalisme yang sudah terbukti gagal. Kapitalisme gagal mewujudkan kemampuan negara untuk memberikan fasilitas umum yang memadai bagi seluruh rakyat. Tidak adanya dana untuk menyediakan sarana transportasi publik yang aman, nyaman dan terjangkau  disebabkan pengelolaan aset-aset kepemilikan umum diserahkan kepada swasta sesuai kaidah kapitalisme. Kemiskinan yang mendera hampir separo penduduk Indonesia, mendorong perempuan ikut membanting tulang bekerja di luar rumah juga menjadi bukti lain kegagalan kapitalisme menyejahterakan masyarakat.

Syariat Islam mewajibkan penerapan sistem ekonomi Islam (an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam). Sistem ekonomi Islam menetapkan negara tidak boleh menyerahkan aset-aset umat kepada swasta. Dengan strategi inilah maka kebutuhan-kebutuhan publik berupa sarana transportasi yang aman dan nyaman, berbagai fasilitas umum, bahkan layanan pendidikan dan kesehatan serta keamanan bisa diperoleh umat secara memadai dan murah, bahkan gratis.

Allah SWT telah menganugerahkan kekayaan alam di laut, hutan, barang tambang dan sebagainya yang lebih dari cukup untuk melayani kebutuhan umat.  Kepemilikan sarana dan pengelolaan alat transportasi semisal Kereta Api harus dikembalikan menjadi jawatan milik negara, tidak sebagai perseroan publik seperti sekarang (PT KAI). Jawatan ini mendapatkan pembiayaan penuh dari negara agar bisa meningkatkan jumlah dan mutu layanannya. Juga agar memperoleh bahan bakar batu bara secara murah,  layanan KRL bisa memiliki pembangkit sendiri agar tidak sering  macet akibat kurangnya pasokan listrik, peremajaan rel, jumlah kereta dan gerbong-gerbongnya memadai. Semua bisa dilakukan agar selalu menjadi sarana transportasi publik yang aman, nyaman dan terjangkau bagi masyarakat baik perempuan maupun laki-laki.

Selanjutnya, perlindungan terhadap perempuan harus dimulai dari pandangan yang shahih terhadap kedudukan perempuan di tengah masyarakat. Selain memiliki tanggung jawab sebagai manusia sama seperti laki-laki untuk bertaqwa, beribadah, termasuk berdakwah amar ma’ruf nahyi munkar, Islam menetapkan tanggung jawab utama perempuan dalam pembangunan masyarakat adalah di dalam rumah tangganya. Peran utama perempuan adalah menjadi ibu dan  istri. Mengatur rumah tangga dan mendidik generasi adalah tanggung jawab yang amat berat dan juga mulia yang tidak bisa dikonversikan dengan materi sebanyak apa pun. Pelaksanaan peran ini bisa berpengaruh besar pada baik atau buruknya bangunan masyarakat. Maka negara akan memfasilitasi perempuan dengan pendidikan yang membangun kepribadian Islaminya (asy-syakhshiyah al-Islamiyah), menuntunnya melaksanakan syariat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk memberi perhatian besar pada peningkatan kualitas ibu. Negara juga mengambil tindakan ketika ada pengabaian terhadap posisi perempuan yang telah digariskan oleh Islam.

Meskipun Islam membolehkan perempuan bekerja, tanggung jawab menyediakan nafkah bagi seluruh anggota keluarga tidak pernah berada di pundak perempuan namun berada di pundak suami. Jika suami tidak mampu, tanggung jawabnya berpindah kepada kerabat terdekat yang mampu. Dan bila tetap tidak sanggup, maka negara yang berkewajiban menyediakan nafkah.

Dengan pandangan mendasar inilah kita bisa menyaksikan bagaimana terhormatnya kedudukan perempuan di masa Khilafah Islamiyah. Syariat Islam diterapkan, negara  menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi tiap ayah, suami, atau wali, sehingga mereka bisa menafkahi istri, anak-anak dan keluarganya.  Negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi janda dan perempuan yang walinya tidak mampu menafkahi mereka. Selain itu negara menjamin pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan yang terjangkau dan berkualitas untuk setiap warga negara. Tidak ada pelimpahan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok kepada perempuan, yang menyebabkan perempuan memasuki peran publiknya di sektor ekonomi dalam posisi tawar yang sangat rendah, yang membuatnya lemah dalam menghadapi masalah pelecehan seksual, tindak kekerasan, dan hal-hal buruk lain di tempat kerjanya (hizbut-tahrir.or.id).

Wallaahu a'lam bish showab [].