Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
PT KAI Commuter Jabodetabek (KJC) akan menerapkan
sistem tarif progresif sesuai dengan jarak tempuh (republika.co.id,
23/05/2013). Namun, realisasinya tak semulus rencana.
Faktanya,
ribuan penumpang kereta rel listrik (KRL) commuter line
dari Stasiun Besar Bogor antre 30 menit hingga 1 jam untuk membeli tiket pada
hari pertama pemberlakuan tarif progresif, Senin (01/07). Mereka
mengeluhkan persiapan penjualan tiket elektronik yang buruk (kompas.com,
01/07/2013a).
Antrean para pembeli tiket terlihat mengular hingga
40 meter dari depan loket. Sebagian
penumpang sudah mengantre sejak pintu penghubung area parkir sepeda motor dan
koridor masuk menuju loket dibuka. Beberapa penumpang terlihat kesal. Beberapa
di antaranya menggerutu kepada petugas loket. Ada yang sudah antre sejak pukul 06.30,
tapi baru bisa mencapai loket penjualan tiket pukul 07.50 WIB.
Sementara itu, panjang antrean
calon penumpang di sembilan loket penjualan tiket terlihat sekitar 10 meter (kompas.com, 01/07/2013).
Yang
lebih fantastis, antrean penumpang di Stasiun Depok Baru mencapai 500
meter. Dari loket stasiun mengular dua baris sampai
ke gerbang belakang mal ITC. Dua
baris penumpang harus antre hingga ke pelataran parkir yang belum tertata rapi
dan melingkar. Jika dihitung, panjang antrean melingkarnya bisa mencapai hampir
1 kilometer (tempo.co, 01/07/2013a).
Para
calon penumpang mengantre lebih dari satu jam untuk mendapatkan tiket. Mereka juga sangat
menyayangkan PT KCJ yang tidak mengantisipasi lonjakan penumpang hingga terjadi
antrean panjang. Padahal, antrean
panjang biasanya hanya terjadi sampai pukul 09.00. Tapi pemberlakuan tarif
progresif dan e-ticketing secara menyeluruh
berdampak terlambatnya pelayanan. Hingga pukul 11.30, antrean masih terlihat (tempo.co, 01/07/2013).
Perempuan Bekerja, Jadi Korban
Pada
faktanya, sebagian besar penumpang kereta commuter line adalah para perempuan
bekerja. Dengan penerapan tarif progresif, secara nominal harga tiket memang bisa
lebih murah. Akan tetapi, pelayanan yang diberikan pun murahan.
Kondisi
penumpang yang berdesakan di dalam gerbong pun makin heboh. Terlebih di gerbong
khusus perempuan. Ibu-ibu jadi sensitif. Mereka tak henti mengomel,
menyayangkan ketidaksiapan pelayanan PT KAI. Oleh karenanya, setidaknya fakta
ini dapat ditinjau dari dua sisi.
Pertama, dari sisi ketersediaan pelayanan kereta. Nominal
harga tiket di sini menunjukkan kualitas pelayanan. Padahal pelayanan bagus tak
wajib mahal. Jika memang misi pelayanan publik ini untuk menjamin kemashlahatan
dan kemudahan urusan umat, maka landasan penetapan harga tentu bukan dari sisi
nominal yang akan diperoleh. Melainkan, segala sesuatu yang dapat mengantarkan
pada kemudahan urusan itulah yang akan menjadi fokus. Hanya saja, karena negeri
ini bersistem kapitalistik, maka wajar jika segala sesuatu yang baik harus
diberi nominal tinggi, termasuk pelayanan publik. Sebaliknya, sesuatu yang
tidak baik (baca: buruk) harus diberi nominal rendah. Karena landasannya adalah
mencari laba. Akibatnya, pemerintah seperti penjual jasa.
Buktinya
saat penerapan tarif progresif. Semua orang tentu ingin menikmati fasilitas
harga yang sesuai jarak tempuh itu. Terlebih, karena KRL ekonomi lambat laun
ditiadakan. Saat ini saja, jumlah KRL ekonomi sudah dikurangi. Padahal, KRL
ekonomi itu disebut sebagai alat transportasi bersubsidi pemerintah. Artinya,
jumlah penumpang yang seharusnya diberi fasilitas harga murah itu sangat banyak.
Malangnya, kebijakan pemerintah membuat harapan rakyat bertepuk sebelah tangan.
Sementara secara fisik, fasilitas KRL ekonomi juga sangat mengenaskan.
Kedua, dari sisi perempuan bekerja. Sejatinya, tak
seharusnya nasib perempuan demikian. Pergi pagi pulang petang, ditambah harus
berdesakan saat naik kereta. Lihatlah, hal ini menunjukkan bahwa sebagian kecil
implementasi abad partisipasi penuh perempuan (full participation age) telah dimainkan.
Pasalnya,
KRL adalah sarana transportasi paling praktis dan ekonomis di Jabodetabek, jika
dibandingkan dengan sarana transportasi yang lain. Tapi saksikan saat penerapan
tarif progresif. Tarif yang terbilang murah untuk kereta listrik ber-AC
membuat penumpang commuter line
membludak. Untuk tujuan Stasiun Kebayoran dari Stasiun Serpong atau Rawa Buntu,
hanya membayar Rp 2.000,-
dari harga biasa sebesar Rp 8.000,-, tapi diragukan kenyamanannya. Commuter line
pukul 07.48, yang biasanya agak lengang, pagi itu sangat padat. Terutama ketika
berhenti di Stasiun Sudimara dengan jumlah penumpang naik terbanyak untuk KRL
tujuan Serpong-Tanah Abang. Di
gerbong khusus perempuan,
para penumpang mengeluh dan berteriak kesakitan karena
dorongan dari penumpang yang memaksa untuk masuk (tempo.co,
01/07/2013b).
Hari pertama tarif progresif ternyata tidak
seluruhnya direspon positif. Suasana penumpang commuter
line pagi itu dipenuhi dengan keluhan dan teriakan karena jumlah
penumpang melebihi kapasitas. Belum lagi, gerbong yang disediakan pendek, hanya enam. Ada seorang ibu yang rela membayar
lebih mahal asal tidak naik kereta sepadat itu. Karena memang penumpang KRL ekonomi semuanya lari ke commuter line (tempo.co, 01/07/2013b).
Wajar
kiranya jika jumlah perempuan bekerja yang dulu menjadi penumpang KRL ekonomi, tak
sedikit yang berpindah ke KRL commuter
line. Karena secara jumlah, KRL ekonomi berkurang. Artinya, sedikit demi
sedikit penggunaan KRL ekonomi sebagai fasilitas yang tersubsidi itu dikurangi
oleh pemerintah.
Ditambah,
kesempatan bekerja bagi para perempuan ini menjadi ada karena mereka harus menyokong
perekonomian keluarga. Mereka harus ikut banting tulang demi tetap mengepulnya
asap dapur. Padahal dalam Islam, hukumnya mubah (boleh) bagi perempuan untuk
bekerja. Karena mereka adalah pihak yang wajib diberi nafkah, bukan mencari
nafkah. Sementara itu, yang tidak boleh diabaikan namun ternyata terabaikan, adalah
peran mereka sebagai ibu, pengatur rumah tangga dan pendidik generasi. Semua peran
itu jelas dipertaruhkan demi sejumput gaji.
Pemimpin adalah Perisai
Rasulullaah
saw bersabda: “Sesungguhnya seorang pemimpin
itu adalah perisai, rakyat akan berperang di belakangnya serta berlindung dengannya. Apabila
ia memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta bertindak
adil, maka ia akan mendapat pahala. Tetapi jika ia memerintahkan dengan selain
itu, maka ia akan mendapat akibat buruk hasil perbuatannya.” [HR Muslim,
9/376, no. 3428].
Imam an-Nawawi
rahimahullah (Wafat: 676 H) menjelaskan: “Maksud menjadi perisai di sini adalah
sebagai tabir yang menghalang musuh dari mengganggu umat Islam, juga menjaga perhubungan (perpaduan) dalam
kalangan masyarakat, menjaga
kehormatan Islam, menjadi yang ditakuti (dihormati) rakyatnya, dan
mereka berlindung kepadanya. Berperang di belakangnya pula, maksudnya adalah berperang bersama pemimpin melawan
orang-orang kafir, pembangkang (atau pemberontak), kaum khawarij, setiap orang
yang melakukan kerosakan (ahli fasad), dan mereka yang melakukan kezaliman
secara umum.” [Syarah Shahih Muslim, 12/230].
Juga hadits Rasulullaah saw: “Seorang imam (khalifah atau kepala negara)
adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai
pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Fakta KRL commuter
line di atas hanyalah secuil fenomena di tengah rusaknya sistem demokrasi-kapitalisme.
Telah banyak peristiwa yang menunjukkan demokrasi-kapitalisme adalah sistem
timpang. Jadi memang sudah tak layak jadi pilihan. Sosok pemimpinnya saja sudah
terdegradasi, jauh dari perannya sebagai perisai, apalagi penanggung jawab. Bagaimana
mau berperan lebih luas untuk rakyat jika pemimpin hanya ibarat makelar penjual
pelayanan publik, bukan pelayan publik itu sendiri?
Pemerintah seharusnya
menyediakan sarana transportasi publik yang lebih memadai. Penumpukan penumpang terutama pada
jam-jam sibuk harus diatasi dengan penambahan armada transportasi publik dan
pengintensifan jadwal perjalanannya. Bahkan mungkin menambah jalur alternatif agar
tidak menambah kemacetan. Tapi
selama ini pemerintah selalu beralasan tidak ada dana.
Selanjutnya,
sebagian besar penumpang perempuan
adalah perempuan bekerja.
Maka patut ditelaah lebih
lanjut, tentang latar belakang
begitu banyaknya
perempuan yang terlibat dalam aktivitas industri atau ekonomi di luar rumah. Apa yang menuntut kaum perempuan
berlomba-lomba menerjunkan diri dalam dunia kerja?
Ternyata sebagian besar karena dorongan membantu
ekonomi keluarga. Pemiskinan struktural akibat penerapan ekonomi kapitalisme
adalah penyebab utamanya. Banyak kepala rumah tangga yang tidak mampu mencukupi
kebutuhan pokok keluarga. Sementara,
lapangan kerja yang tersedia bagi perempuan lebih banyak di luar rumah. Maka terpaksa kaum perempuan
meninggalkan fungsi ke-ibuannya demi kelangsungan ekonomi keluarga. Mereka
bekerja di sektor industri dan manufaktur, di pabrik-pabrik, mulai pagi sampai
petang, tanpa jam istirahat yang cukup. Ini sudah tidak manusiawi.
Sebagian lainnya, alasan perempuan bekerja adalah aktualisasi diri dan prestige. Ini juga tidak lepas dari sistem nilai yang salah. Perempuan dianggap lebih terhormat jika memiliki
pendidikan tinggi, karir dan pekerjaan bagus dan seterusnya. Inilah ciri
khas kapitalisme. Kebaikan dan kebahagiaan diukur dengan materi dan kenikmatan
fisik (hizbut-tahrir.or.id).
Islam Punya Solusi
Kita sepatutnya membuang sistem ekonomi kapitalisme
yang sudah terbukti gagal. Kapitalisme gagal mewujudkan kemampuan negara untuk
memberikan fasilitas umum yang memadai bagi seluruh rakyat. Tidak adanya dana
untuk menyediakan sarana transportasi publik yang aman, nyaman dan terjangkau
disebabkan pengelolaan aset-aset kepemilikan umum diserahkan kepada
swasta sesuai kaidah kapitalisme. Kemiskinan yang mendera hampir separo
penduduk Indonesia, mendorong perempuan ikut membanting tulang bekerja di luar
rumah juga menjadi bukti lain kegagalan kapitalisme menyejahterakan masyarakat.
Syariat Islam mewajibkan penerapan sistem ekonomi
Islam (an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam). Sistem ekonomi Islam
menetapkan negara tidak boleh menyerahkan aset-aset umat kepada swasta. Dengan
strategi inilah maka kebutuhan-kebutuhan publik berupa sarana transportasi yang
aman dan nyaman, berbagai fasilitas umum, bahkan layanan pendidikan dan
kesehatan serta keamanan bisa diperoleh umat secara memadai dan murah, bahkan
gratis.
Allah SWT telah menganugerahkan kekayaan alam di
laut, hutan, barang tambang dan sebagainya yang lebih dari cukup untuk melayani
kebutuhan umat. Kepemilikan sarana dan pengelolaan alat transportasi
semisal Kereta Api harus dikembalikan menjadi jawatan milik negara, tidak
sebagai perseroan publik seperti sekarang (PT KAI). Jawatan ini mendapatkan
pembiayaan penuh dari negara agar bisa meningkatkan jumlah dan mutu layanannya.
Juga agar memperoleh bahan bakar batu bara secara murah, layanan KRL bisa
memiliki pembangkit sendiri agar tidak sering macet akibat kurangnya
pasokan listrik, peremajaan rel, jumlah kereta dan gerbong-gerbongnya memadai.
Semua bisa dilakukan agar selalu menjadi sarana transportasi publik yang aman,
nyaman dan terjangkau bagi masyarakat baik perempuan maupun laki-laki.
Selanjutnya,
perlindungan terhadap perempuan harus dimulai dari pandangan yang shahih terhadap kedudukan perempuan
di tengah masyarakat. Selain memiliki tanggung jawab sebagai manusia sama
seperti laki-laki untuk bertaqwa, beribadah, termasuk berdakwah amar ma’ruf
nahyi munkar, Islam menetapkan tanggung jawab utama perempuan dalam pembangunan
masyarakat adalah di dalam rumah tangganya. Peran utama perempuan adalah menjadi ibu dan istri.
Mengatur rumah tangga dan mendidik generasi adalah tanggung jawab yang amat
berat dan juga mulia yang tidak bisa dikonversikan dengan materi sebanyak apa
pun. Pelaksanaan peran ini bisa berpengaruh besar pada baik atau buruknya
bangunan masyarakat. Maka negara akan memfasilitasi perempuan dengan pendidikan
yang membangun kepribadian Islaminya (asy-syakhshiyah al-Islamiyah), menuntunnya
melaksanakan syariat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk memberi perhatian besar pada peningkatan kualitas ibu. Negara
juga mengambil tindakan ketika ada pengabaian terhadap posisi perempuan yang
telah digariskan oleh Islam.
Meskipun Islam membolehkan perempuan bekerja, tanggung jawab menyediakan nafkah bagi
seluruh anggota keluarga tidak pernah berada di pundak perempuan namun berada
di pundak suami. Jika suami tidak mampu, tanggung jawabnya berpindah kepada
kerabat terdekat yang mampu. Dan bila tetap tidak sanggup, maka negara yang
berkewajiban menyediakan nafkah.
Dengan pandangan mendasar inilah kita bisa menyaksikan bagaimana
terhormatnya kedudukan perempuan di masa Khilafah Islamiyah. Syariat Islam
diterapkan, negara menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi tiap
ayah, suami, atau wali, sehingga mereka bisa menafkahi istri, anak-anak dan
keluarganya. Negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi janda dan
perempuan yang walinya tidak mampu menafkahi mereka. Selain itu negara menjamin
pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan yang terjangkau dan berkualitas
untuk setiap warga negara. Tidak ada pelimpahan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan
pokok kepada perempuan, yang menyebabkan perempuan memasuki peran publiknya di
sektor ekonomi dalam posisi tawar yang sangat rendah, yang membuatnya lemah
dalam menghadapi masalah pelecehan seksual, tindak kekerasan, dan hal-hal buruk
lain di tempat kerjanya (hizbut-tahrir.or.id).
Wallaahu a'lam bish showab [].