Jumat, 02 Oktober 2015

Kongres Jaisy al-‘Usrah

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Muqodimah


Tak melewatkan momentum, Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) IPB akan menyelenggarakan gelaran akbar di bulannya pemuda. Acara yang diberi nama Kongres Pemuda Islam (KPI) itu sedianya dihelat tanggal 04 Oktober 2015. Kongres ini begitu luar biasa karena akan menghadirkan 1500 pemuda dari seluruh Indonesia. Bertempat di Grha Widya Wisuda (GWW), Kampus IPB Dramaga, Bogor, kongres ini mengangkat tema “Mahasiswa Mari Satukan Langkah Menuju Perubahan Gemilang”.

Target, jumlah peserta, dan biaya yang besar dalam penyelenggaraan kongres ini, menunjukkan komitmen BKIM sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tertua di IPB dalam memberikan pembinaan keislaman kepada civitas akademika IPB dan mahasiswa pada umumnya, sejak berdiri tahun 1976 hingga kini. Tak ayal, serba-serbi seputar penyelenggaraan kongres ini pun membuat penulis teringat satu kisah legendaris di masa Rasulullah saw, yaitu Perang Tabuk.

Perang Tabuk adalah perang besar yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. Besarnya perang ini dapat dilihat dari berbagai sisi. Tak hanya besar dari sisi jumlah pasukan kaum muslimin yang mencapai 30.000 orang, perang ini juga memerlukan biaya besar, jarak yang jauh, dan waktu tempuh yang lama.

Disamping itu, perang ini adalah perangnya kaum muslimin melawan bangsa yang tak kalah besar, yaitu bangsa Romawi. Terkait dengan strategi pun, Rasul saw yang biasanya merahasiakan dari pasukannya, kali ini beliau menyampaikan secara jelas. Diantaranya tentang kondisi musuh serta cuaca yang akan mereka hadapi selama perjalanan dan peperangan. Maka tak heran, pasukan kaum muslimin dalam perang ini dikenal dengan nama Jaisy al-‘Usrah (pasukan sengsara).

Perang Tabuk

Kala itu, telah sampai kepada Rasulullah saw berita dari negeri Romawi bahwa mereka sedang menyiapkan pasukan untuk memerangi negeri-negeri Arab bagian utara, dengan perang yang akan menjadikan manusia lupa tentang penarikan mundur pasukan kaum Muslim yang memperoleh keberhasilan di Mu’tah. Berita ini semakin lama semakin santer. Karena itu, beliau memutuskan untuk menghadapi kekuatan ini dengan memimpinnya secara langsung. Beliau telah menyiapkan strategi khusus menghadapi Romawi dengan pukulan yang mampu menghapus angan-angan mereka untuk menyerang kaum Muslim atau menghancurkannya.

Ketika itu bertepatan dengan akhir musim panas dan awal musim gugur. Kemarahan menambah panasnya udara yang memang sudah panas. Apalagi perjalanan dari Madinah ke wilayah Syam sangat panjang dan berat, membutuhkan kekuatan, kesabaran, dan persediaan bahan makanan dan air yang cukup. Maka, persoalan ini harus disampaikan kepada kaum Muslim dan tidak perlu disembunyikan. Disamping itu, harus disampaikan kepada mereka dengan jelas bahwa mereka harus teguh dalam perjalanan ke wilayah Romawi untuk berperang. Strategi ini berbeda dengan strategi beliau saw yang pernah disusun dalam peperangan sebelumnya. Beliau ketika itu menyembunyikan strateginya dan arah yang hendak ditempuhnya. Dalam banyak kesempatan, beliau sering mengarahkan pasukannya ke arah lain yang berbeda dengan arah sebenarnya yang beliau maksudkan untuk mengelabui musuh, sehingga berita perjalanannya tersebut tidak tersebar luas.

Namun kali ini, Rasul justru mengumumkan tujuannya sejak awal, yaitu hendak pergi untuk memerangi Romawi di daerah perbatasan negara mereka. Karena itu, beliau mengirimkan sejumlah utusan kepada beberapa kabilah untuk mengajak mereka mempersiapkan pasukan yang sangat besar yang mungkin dapat dipersiapkan. Beliau juga mengirimkan beberapa utusan untuk menemui para hartawan dari kaum Muslim dan memerintahkan mereka mengeluarkan infak dari rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka, untuk digunakan dalam mempersiapkan pasukan yang jumlah dan perbekalan yang dibutuhkannya sangat banyak. Beliau juga mendorong kaum Muslim untuk bergabung dengan pasukan ini.

Kaum Muslim menerima seruan ini dengan sikap yang jelas dan tegas. Orang-orang yang telah menerima Islam dengan hati yang dipenuhi petunjuk dan cahaya, menyambut seruan Rasulullah saw dengan lapang, ringan, dan gesit. Di antara mereka ada yang fakir, yang tidak memiliki tunggangan yang dapat membawa mereka ke kancah peperangan. Ada pula yang kaya dan menyumbangkan hartanya di jalan Allah dengan hati ridha dan mantap, sekaligus mengorbankan nyawanya dengan kerinduan yang mendalam untuk mati syahid di jalan Allah.

Adapun orang-orang yang masuk agama Allah dengan harapan besar hanya untuk memperoleh ghanimah perang dan takut pada kekuatan kaum Muslim, maka mereka merasa berat, berusaha mencari-cari alasan, saling melempar tugas di antara mereka dan tidak menghiraukan ajakan Rasul saw untuk berperang di medan yang sangat jauh itu dan di tengah cuaca panas yang membakar. Mereka ini adalah orang-orang munafik. Satu sama lain saling berbicara, “Janganlah kalian pergi perang dalam suasana yang panas membakar”. Kemudian turun firman Allah SWT: “Dan mereka berkata, “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah, “Api Neraka Jahanam itu jauh lebih panas, andai saja mereka memahaminya.” Maka, mereka tertawa sedikit sekali dan menangis banyak sekali sebagai balasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” (TQS. at-Taubah [09]: 81-82). Subhanallah, Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

Rasul saw berkata kepada Al-Jad bin Qais, salah seorang dari Bani Salamah, “Wahai Jad, apakah engkau memiliki keluarga di Bani Ashfar?” Dia menjawab, “Ya Rasulullah, berikanlah izin kepadaku dan janganlah menjerumuskanku dalam kebinasaan. Demi Allah, kaumku benar-benar telah mengetahui bahwa tidak ada laki-laki yang lebih kagum pada kaum wanita melebihi aku. Aku takut jika melihat wanita-wanita Bani Ashfar, aku menjadi tidak bersabar”. Rasulullah saw berpaling darinya lalu turunlah ayat sebagai berikut: “Diantara mereka ada yang berkata, ‘Berilah saya izin (untuk tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikanku terjerumus ke dalam kebinasaan.’ Ketahuilah, bahwa mereka benar-benar telah terjerumus ke dalam kebinasaan itu. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.” (TQS. at-Taubah [09]: 49).

Kaum munafik tidak hanya berlambat-lambat dan bermalas-malasan untuk pergi berperang, bahkan mereka terus-menerus mendorong kaum Muslim untuk mengundurkan diri dari perang. Rasul saw memandang perlu untuk mengambil tindakan tegas dan menghukum mereka dengan keras. Beliau menerima kabar bahwa sekelompok orang berkumpul di rumah Suwailam, seorang Yahudi, untuk merintangi masyarakat dan menghasutnya agar tidak memberi bantuan sekaligus tidak ikut berangkat perang. Beliau mengutus Thalhah bin ‘Ubaidillah dalam sekelompok kecil para sahabat untuk mendatangi mereka dan membakar rumah Suwailam. Sewaktu rumah itu dibakar, seseorang dari penghuninya berhasil lari melalui pintu belakang sehingga kakinya luka-luka, sementara sisanya terjebak ke dalam api dan lari meloloskan diri dengan luka bakar yang cukup parah. Tindakan tegas ini menjadi pelajaran bagi yang lainnya agar tidak seorang pun dari mereka berani melakukan tindakan bodoh seperti itu.

Keteguhan dan ketegasan Rasul saw ini membawa pengaruh cukup kuat dalam mempersiapkan pasukan, sehingga pasukan besar dapat terkumpul yang jumlahnya mencapai 30.000 orang kaum Muslim. Pasukan ini diberi nama Jaisy al-‘Usrah, karena ditugaskan dalam keadaan cuaca yang sangat panas untuk menghadapi musuh yang sangat besar, menyongsong pertempuran yang sangat jauh dari Madinah, dan pembiayaan yang sangat besar yang diperlukan untuk mempersiapkan pasukan tersebut.

Pasukan telah berkumpul dan Abu Bakar bertindak sebagai imam shalat jama’ah sambil menunggu kembalinya Rasul saw menyelesaikan pengaturan urusan di Madinah sepanjang kepergian beliau. Beliau telah mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai penguasa di Madinah. Beliau meninggalkan Ali bin Abi Thalib dengan keluarga beliau, dan memerintahkan untuk menjaganya, menetapkan jalan keluar dalam berbagai persoalan yang harus diselesaikan dan mengatur berbagai hal.

Kemudian Rasul saw kembali ke pasukannya untuk memimpin dan memerintahkannya bergerak. Debu-debu padang pasir pun berhamburan diterjang kaki-kaki kuda dan pasukan berderap maju di hadapan penduduk Madinah. Para wanita naik ke atas balkon-balkon rumah menyaksikan pasukan besar yang sedang bergerak menerobos padang pasir menuju Syam. Pasukan bergerak dengan ringan seolah-olah tanpa beban, padahal mereka sedang menuju peperangan di jalan Allah di tengah panas yang membakar, kehausan yang menusuk-nusuk tenggorokan, dan lapar yang melilit perut.

Pasukan terus bergerak menuju negeri musuh. Sepuluh ribu pasukan berkuda melesat lebih dulu. Penampakkan kekuatan yang menakutkan tersebut mampu menggerakkan sebagian jiwa yang ingin mundur dan enggan, untuk segera bergabung dengan pasukan itu. Orang-orang yang berangkat dengan setengah hati tersebut segera menyusul pasukan dan bergabung dengannya lalu berangkat bersama menuju Tabuk. Sementara itu, di pihak lain pasukan Romawi sudah berkemah di Tabuk dan siap memerangi kaum Muslim.

Ketika telah sampai kepada mereka keberadaan pasukan kaum Muslim, kekuatannya, dan jumlahnya yang banyak, maka mereka teringat kembali perang melawan kaum Muslim di Mu’tah. Dimana mereka pada waktu itu memiliki tekad dan keberanian yang tidak kenal menyerah, padahal pasukan mereka tidak sebesar dan sebegitu menakutkan seperti ini. Ketakutan mereka semakin bertambah ketika mengetahui Rasul saw sendiri yang memimpin pasukan itu. Mereka sangat takut hal itu, lalu segera menarik mundur pasukannya masuk ke kota Syam untuk berlindung di dalam benteng mereka. Mereka meninggalkan Tabuk dan semua batas teritorial Syam dari arah gurun pasir dan lebih memilih mengundurkan diri ke dalam negeri.

Pembenci Islam Tak Berkutik

Ketika Rasul saw mengetahui perihal mundurnya pasukan Romawi dan merebaknya kekhawatiran yang menimpa mereka, maka beliau terus bergerak maju hingga Tabuk, menguasainya dan berkemah di sana. Pada waktu itu beliau belum memandang perlu untuk mengejar pasukan Romawi hingga masuk kota Syam. Beliau tinggal di Tabuk sekitar satu bulan sambil meladeni siapa saja yang ingin berperang tanding untuk mengusir atau menyerang beliau dari kalangan penduduk daerah tersebut.

Beliau juga menggunakan kesempatan untuk mengirimkan surat kepada para pemimpin beberapa kabilah dan negara-negara bawahan Romawi. Beliau mengirim sepucuk surat kepada Yahnah bin Rukbah penguasa Ailah, penduduk Jirba’ dan penduduk Adzrah dengan menyampaikan dua pilihan, yaitu mereka menyerah atau beliau memerangi mereka. Mereka menerima tawaran pertama yaitu tunduk, bersedia taat dan berdamai dengan Rasul saw serta membayar jizyah.

Kemudian beliau kembali ke Madinah dan menemukan kaum munafik telah memanfaatkan kepergian Rasul saw dari Madinah untuk menyebarkan racun-racun kemunafikan dan mengkonsentrasikan kekuatan mereka untuk memperdaya kaum Muslim. Sekelompok dari mereka berhasil membangun sebuah masjid di Dzu Awan yang terletak di antara perkampungan mereka dan Madinah yang berjarak satu jam perjalanan. Di dalam masjid tersebut, kaum munafik berlindung dan berusaha untuk melakukan perubahan terhadap firman-firman Allah dari tempatnya semula. Mereka melakukan aksinya itu untuk memecah-belah kaum Mukmin dengan kedengkian dan kekufuran.

Kelompok yang telah membangun masjid itu sebelumnya pernah meminta kepada Rasul saw, sebelum beliau berangkat dalam perang Tabuk, agar shalat di masjid mereka. Namun beliau menunda-nundanya hingga beliau kembali. Ketika beliau kembali dan mengetahui sepak terjang kaum munafik, serta diwahyukan kepadanya tentang masjid dan hakikat tujuan pendiriannya, maka beliau memerintahkan para sahabat untuk membakar masjid itu, dan mengambil sikap yang lebih keras terhadap kaum munafik. Maka peristiwa ini pun menjadi pelajaran yang menggentarkan mereka, sehingga mereka takut dan tidak berani melakukannya lagi.

Dengan adanya perang Tabuk maka telah sempurna ketentuan Tuhanmu di seluruh Jazirah Arab. Rasul saw berhasil mengamankan setiap perlawanan dan serangan yang diarahkan ke wilayahnya. Delegasi-delegasi dari berbagai suku Arab menerima ketaatan kepada Rasul saw dan menyatakan keislaman karena Allah. Allaahu akbar.

Filosofi Kongres Pemuda Islam

Mahasiswa sebagai salah satu golongan pemuda, yang sekaligus menyandang gelar agent of change ini seyogyanya tak berlepas diri dari peran besarnya dalam melakukan perubahan. Hampir di setiap masa pergolakan negeri, mahasiswa turut andil menampilkan energi serta kepemimpinannya melalui gerakan perubahan yang berdampak besar bagi negeri ini. Keadaan Indonesia mendatang ditentukan oleh gerakan pemuda saat ini.

Namun sayangnya gerakan yang diharapkan mampu membawa perubahan besar bagi Indonesia ini hanyalah perubahan semu bukan perubahan hakiki. Secara faktual, Indonesia pasca reformasi tak lepas dari berbagai masalah. Indonesia saat ini makin bobrok dengan berbagai perundang-undangan yang menyengsarakan rakyat. Ini semua tak lain adalah bagian strategi besar bangsa asing dalam menghegemoni Indonesia, yaitu dengan cara ikut merancang kebijakan sebagai jalan mengencangkan perannya dalam mengeruk kekayaan alam Indonesia.

Sungguh karena itu, Indonesia butuh perubahan untuk hari ini dan masa depan. Satu-satunya harapan besar bagi perubahan Indonesia adalah mahasiswa. Mahasiswalah memiliki potensi besar melakukan perubahan besar Indonesia. Tak lain agar perubahan yang terjadi bukanlah perubahan semu, bukan parsial, melainkan perubahan menyeluruh. Mari sadari, bahwa perubahan hakiki itu hanya dengan Islam. Maka, mahasiswa hanya punya satu jalan, yaitu mengemban Islam.

Islam adalah satu-satunya solusi yang mampu menjawab problematika umat. Islam sebagai ideologi yang mampu melahirkan sistem kehidupan yang paripurna dalam berbagai aspek. Perubahan itu adalah niscaya. Namun kapan? Tak lain adalah ketika Islam diterapkan secara sempurna. Karena Islam akan menuntaskan segala kebobrokan negeri ini.

Kini saatnya mahasiswa mengganti mainstream perjuangan dengan seruan Islam. Tak ada alasan untuk terus berdiam diri atau bertahan dengan keadaan saat ini. Firman Allah Swt: “...Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (TQS Ar-Ra’du [13]: 11).

Khatimah

Sebagaimana kisah Perang Tabuk, dalam hal ini BKIM memiliki target acara, rencana jumlah peserta, dan juga anggaran biaya yang besar. Dan sekali lagi sebagai pelajaran dari kisah Perang Tabuk, cita-cita keberhasilan yang diinginkan pun semoga sepadan dengan korbanan yang diberikan. Karenanya, mari selipkan doa, agar acara Kongres Pemuda Islam ini diberi kemudahan segala sesuatunya oleh Allah Swt. Pun peserta maupun panitia yang hadir, makin tercerahkan dengan Islam hingga tak ragu untuk memperjuangkannya. Aamin. Allaahu akbar.

Wallaahu a’lam bish showab. []

Makkah, Tanah Haram yang Aman

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Muqodimah

Haji tahun ini sungguh bermakna, khususnya malah bagi yang sedang tidak melaksanakan ibadah haji. Banyak peringatan yang Allah Swt karuniakan semata-mata agar kita kembali kepada aturan-Nya. Musibah Crane, kebakaran hotel tempat jamaah haji menginap di Makkah, hingga tragedi Mina yang menyesakkan mata, bukan hanya satu atau dua kali Allah telah ingatkan. Subhanallaah. Tapi tunggu, tulisan ini sebenarnya ingin mengupas sisi lain kota Makkah. Semoga bisa menjadi sedikit penyegaran di tengah berbagai musibah tersebut.

Tulisan ini tak lain adalah bentuk keterusikan penulis terhadap suatu artikel tentang keamanan kota Makkah. Khususnya saat naik taksi. Memang siy sudah sejak lama menjadi selentingan dan juga kabar burung dari kerabat atau tetangga yang pernah ke Tanah Suci. Bahwa, jika jamaah haji yang kebetulan merupakan pasangan suami-istri ingin naik taksi di Makkah harus si suami harus lebih dahulu naik, sedangkan si istri belakangan. Tapi jujur, baru kali ini penulis menemukan artikel riil terkait hal tersebut.

Waspada Kejahatan di Makkah, Jangan Tinggalkan Istri Anda di Taksi Bersama Sopir

Dilansir dari Detik.com (19/09), demikian judul artikelnya disebutkan. Layanan bus shalawat yang mengantar jamaah ke Masjidil Haram dan sebaliknya dihentikan sementara. Ada nasihat agar jamaah hati-hati saat menggunakan angkutan umum, terutama bagi perempuan. “Harus hati-hati. Kalau suami-istri, suami naik duluan, istri belakangan, ketika turun istri duluan suami belakangan,” tutur Kepala Seksi Perlindungan Jamaah PPIH 2015 Letkol Jaetul Muchlis Basyir di Makkah, Sabtu (19/09).

Jamaah diminta jangan pergi sendiri-sendiri. Muchlis meminta agar selalu berkoordinasi dengan petugas. “Berangkat dengan kekuatan rombongan jangan sendiri-sendiri. Senantiasa menginformasikan kepada petugas kloter, baik kepala regu maupun kepala rombongan setiap kali akan bepergian,” pesannya.

“Jangan tertipu aksi licik sopir taksi yang hendak membawa kabur perempuan Indonesia. Jangan tinggalkan istri atau saudara perempuan Anda berdua saja dengan sopir di mobil. Jangan terprovokasi dengan trik berbau kriminal dari sopir taksi misalnya pura-pura mogok lalu minta tolong penumpang laki-lakinya untuk mendorong,” kata Muchlis. Muchlis mengatakan modus ini bukan barang baru di Arab Saudi. Perempuan yang dibawa kabur taksi bisa menjadi korban kejahatan. “Pelecehan seksual salah satunya,” ujar Muchlis (detik.com, 19/09).

Tak urung, isi artikel ini serta merta membuat penulis makin merasa sesak. Sesak dan geram lebih tepatnya. Betapa berbahaya dan tidak amannya kehidupan di Tanah Suci, Tanah Haram, salah satu bumi para nabi. Astaghfirullah. Padahal jamaah haji adalah para tamu Allah. Mereka adalah para musafir. Mereka adalah golongan kaum yang jika didzholimi dalam keadaan sebagai musafir, maka doanya tak tertolak oleh Allah. Lupakah dengan hal itu? Hingga kini entah sejauh mana bahayanya, tapi bagaimanapun ini membuktikan bahwa jaminan keamanan di Tanah Suci perlu ditingkatkan.

Peristiwa Futuh Makkah

Aman dan tidak amannya suatu wilayah, tak bisa dilepaskan dari sistem dan kebijakan pemerintahan yang mengelola keamanan di wilayah tersebut. Bicara keamanan di Makkah, penulis pun ingin sejenak kembali ke kisah masa silam, dimana pernah dicatat oleh sejarah Islam, bahwa Makkah adalah kota teraman.

Terkisah pada tahun ketujuh atau kedelapan hijriyah, peristiwa Futuh Makkah (pembebasan kota Makkah) terjadi. Saat itu, Rasulullaah saw telah beberapa tahun hijrah dari Makkah dan bermukim di Madinah. Beliau pun telah berhasil mengokohkan pasukannya. Masyarakat Islam serta Daulah Islam di Madinah menjadi suatu institusi yang makin hari makin berwibawa hingga ditakuti semua bangsa Arab. Setelah itu, beliau mulai memikirkan langkah lain. Langkah-langkah tersebut adalah cara untuk semakin menguatkan dakwah, Daulah Islam, dan melemahkan musuh-musuhnya. Beragam proses jihad dan futuhat ke wilayah-wilayah di sekitar Madinah makin masif dilakukan. Termasuk diantaranya dengan Perang Mu’tah dan Perjanjian Hudaibiyah.

Adanya Perjanjian Hudaibiyah membuat hubungan antara Quraisy dan Rasul saw menjadi tenang dan masing-masing juga mempertahankan kondisi itu. Perjanjian itu pun berlaku termasuk bagi sejumlah kabilah yang bersekutu, baik yang bersekutu dengan pihak Quraisy maupun Rasul saw. Dalam hal ini, Bani Khuza’ah adalah bani yang bersekutu dengan Rasul saw, sedangkan Bani Bakr adalah bani yang bersekutu dengan pihak Quraisy. Jika kedua pihak bertikai, maka perjanjian pun batal. Dan pihak yang diserang berhak memerangi pihak yang menyerang.

Namun semua berubah pascamomentum Perang Mu’tah, yang terjadi tak berselang lama setelah Perjanjian Hudaibiyah. Ketika kaum Muslim kembali dari perang Mu’tah, diantara mereka banyak yang gugur. Keadaan ini memunculkan dugaan bagi Quraisy bahwa kaum Muslim sudah hancur. Maka, mereka menghasut Bani Bakr agar menyerang Bani Khuza’ah dan berhasil membunuh sebagian mereka. Salah satu anggota Bani Khuza’ah, ‘Amru bin Salim al-Khuza’iy melarikan diri ke Madinah dan bercerita kepada Rasul saw tentang peristiwa yang menimpa mereka dan meminta bantuan kepada beliau. Rasulullah saw berkata kepadanya: “Aku pasti menolongmu, hai ‘Amru bin Salim!”

Rasul saw melihat bahwa pelanggaran perjanjian yang dilakukan Quraisy ini tidak bisa diimbangi kecuali dengan pembebasan Makkah. Quraisy sebenarnya sangat takut melanggar perjanjian. Mereka segera mengirim Abu Sufyan ke Madinah untuk mengokohkan lagi perjanjian yang telah dilanggarnya sendiri dan meminta periodenya diperpanjang. Abu Sufyan berangkat dan sebenarnya tidak ingin bertemu Rasul saw. Karena itu, dia menjadikan arah perjalanannya menuju rumah putrinya yaitu Ummu Habibah yang telah menjadi istri Nabi saw. Dia masuk ke rumah putrinya dan ketika hendak duduk di alas yang biasa ditempati Nabi saw, putrinya segera melipatnya. Ketika bapaknya bertanya kepadanya apakah dilipatnya alas itu karena ingin menjauhkan bapaknya dari alas itu atau karena ingin menjauhkan alas itu dari bapaknya? Jawaban putrinya adalah: “Justru (karena) itu adalah alas Rasulullah saw, sementara engkau laki-laki musyrik yang najis! Aku tidak suka engkau duduk di atasnya!” Abu Sufyan berkata lagi: “Demi Allah! Wahai Putriku, setelahku ini, sungguh keburukan pasti menimpamu.”

Abu Sufyan bergegas keluar dengan marah besar, kemudian dia menemui Muhammad saw dan berbicara kepadanya tentang perjanjian dan permintaannya untuk memperpanjang waktunya. Muhammad tidak bereaksi. Beliau tidak memberi jawaban apapun. Abu Sufyan lalu berbicara kepada Abu Bakar agar dia berbicara kepada Nabi saw, tetapi dia menolak. Abu Sufyan mencoba lagi berbicara kepada ‘Umar bin Khaththab, namun dia menjawabnya dengan kasar dan keras: “Apakah aku lebih condong menolong kalian daripada Rasulullah saw? Demi Allah, seandainya aku tidak menemukan apa-apa selain sebutir debu, pasti aku memerangi kalian!”

Abu Sufyan kemudian masuk ke rumah ‘Ali bin Abi Thalib saat itu Fathimah pun berada di samping suaminya. Dia kemudian mengutarakan alasannya mengapa datang ke Madinah dan akhirnya singgah di rumah ini. Abu Sufyan meminta ‘Ali supaya memohonkan ampun kepada Rasul saw. ‘Ali pun mengabarkan kepadanya bahwa tidak seorang pun yang mampu membujuk Muhammad saw dari suatu perkara jika dia sudah memegangnya dengan teguh. Lalu Abu Sufyan meminta tolong Fathimah supaya merayu anaknya, Hasan, agar bisa menyelamatkan dirinya karena dia terhitung masih kecil. Dia menjawab: “Demi Allah, tidaklah putraku itu menjadi penyelamat di antara manusia. Tidak seorang pun yang bisa selamat dari Rasulullah saw.”

Urusannya semakin sulit bagi Abu Sufyan dan akhirnya dia kembali ke Makkah dan menceritakan kepada kaumnya tentang apa yang ditemuinya di Madinah. Sementara Rasul saw segera memerintahkan para sahabatnya untuk bersiap-siap berangkat ke Makkah. Beliau berharap bisa mendatangi penduduk Makkah secara tiba-tiba, sehingga mereka tidak sempat memberikan perlawanan dan akhirnya mereka semua selamat tanpa pertumpahan darah. Pasukan kaum Muslim berangkat dari Madinah menuju Makkah.

Mereka tiba di Marra Zhahran, yang berjarak empat farsakh dari kota Makkah. Jumlah pasukan yang dibawanya genap 10.000 orang dan tidak satu pun informasi yang sempat terdengar oleh pihak Quraisy. Quraisy masih sibuk memperhitungkan akan adanya serangan Muhammad saw kepada mereka. Mereka pun berdebat tentang apa yang akan dilakukan menghadapi Muhammad. Abu Sufyan keluar untuk mengkaji mara bahaya yang mengancamnya. Lalu ‘Abbas bin Abdul Muthallib, paman Rasul saw yang saat itu telah masuk Islam, menemuinya, dengan menunggang bagal milik Nabi saw dan pergi ke Makkah untuk mengabarkan kepada Quraisy agar mereka meminta keamanan kepada Rasul saw. Hal itu karena beliau tidak menerima usulan mereka. Ketika ‘Abbas bertemu Abu Sufyan, dia berkata kepadanya: “Itu adalah Rasulullah di tengah-tengah kerumunan manusia. Demi waktu paginya kaum Quraisy, demi Allah, jika Rasulullah saw masuk kota Makkah dengan kekerasan, sebelum mereka mendatanginya dan memohon keamanan kepadanya, sungguh beliau pasti menghancurkan Quraisy hingga tak tersisa!” Maka Abu Sufyan bertanya: “Demi bapak dan ibuku sebagai tebusanmu, maka upaya apa yang harus kami lakukan?”

‘Abbas segera mengajak Abu Sufyan menaiki punggung bagal yang ditungganginya, lalu membawanya pergi. Ketika bagal itu lewat di depan pandangan membara ‘Umar bin Khaththab, maka ‘Umar memperhatikan bagal Nabi saw tersebut dan mengetahui ada Abu Sufyan di sana sekaligus memahami bahwa ‘Abbas hendak menyelamatkannya. Karena itu, ‘Umar bergegas pergi menuju kemah Nabi saw dan minta izin kepadanya untuk memenggal leher Abu Sufyan. Namun, ‘Abbas yang lebih dulu datang menemui Rasul, cepat berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah menyelamatkannya.” Akibatnya perdebatan sengit terjadi antara ‘Abbas dan ‘Umar. Nabi saw berkata: “Pergilah dengannya ke kendaraanmu, hai ‘Abbas! Bila subuh telah tiba, maka datanglah kepadaku”. Ketika pagi hari tiba, dia datang dengan membawa Abu Sufyan, lalu Abu Sufyan masuk Islam. ‘Abbas kemudian menghadap Nabi saw dan menyampaikan usul kepadanya: ”Ya Rasulullah, Abu Sufyan adalah laki-laki yang suka kebanggaan. Buatkanlah sesuatu untuknya.” Rasulullah saw berkata: “Tentu saja. Siapa saja yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia aman. Siapa saja menutup pintu rumahnya, maka dia aman. Siapa saja masuk Masjid (al-Haram), maka dia aman.”

Rasul saw akhirnya memerintahkan para sahabatnya untuk menahan Abu Sufyan di lembah sempit di mulut gunung yang menjadi tempat masuk ke arah Makkah, agar pasukan kaum Muslim yang lewat di depannya dilihat oleh Abu Sufyan. Lalu dia menceritakan kenyataan itu kepada kaumnya. Di samping itu, langkah tersebut ditempuh agar kedatangan pasukan yang begitu cepat tidak menimbulkan ketakutan yang membawa akibat kenekatan kafir Quraisy untuk mengadakan perlawanan. Rasul saw memasuki Makkah dengan segala dengan kewibawaan dan kekuatan yang beliau miliki. Setelah kabilah-kabilah dari pasukan Islam lewat di hadapan Abu Sufyan, segera dia menemui kaumnya dan berteriak di tengah-tengah mereka dengan suara lantang: “Hai orang-orang Quraisy, ini Muhammad datang kepada kalian dengan membawa kekuatan, yang kalian tidak memiliki kemampuan untuk menghadapinya. Maka siapa saja yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia pasti aman. Siapa saja menutup pintunya, maka dia pun aman. Siapa saja masuk masjid (Al-Haram), dia pasti aman.”

Kaum Quraisy mengurungkan perlawanan mereka, sementara Rasul saw melanjutkan perjalanannya dan memasuki Makkah dengan tetap waspada. Beliau memerintahkan pasukannya dipecah menjadi empat kelompok dan semua diintruksikan tidak boleh berperang dan tidak boleh menumpahkan darah, kecuali jika benar-benar terpaksa dan terancam bahaya. Pasukan memasuki Makkah dan tidak memperoleh perlawanan apa pun, kecuali pasukan Khalid bin Walid. Kelompok ini menemui perlawanan dari pasukan Quraisy, namun berhasil menundukkannya. Nabi saw turun dari tunggangannya dan berdiri sebentar dengan mengambil tempat yang tertinggi di Makkah. Kemudian berjalan hingga tiba di Ka’bah. Lalu thawaf di Baitullah sebanyak tujuh putaran. Beliau memanggil ‘Utsman bin Thalhah dan memintanya membukakan pintu Ka’bah. Beliau berdiri sejenak di pintu tersebut, sementara itu para sahabat berdiri mengelilinginya. Tidak lama kemudian, beliau berpidato di hadapan mereka: “Tidak ada Tuhan kecuali Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia menepati janji-Nya dan memenangkan hamba-Nya, serta menghancurkan Ahzab dengan sendiri-Nya. Ingatlah, setiap kemuliaan, darah atau harta seluruhnya berada di bawah dua telapak kakiku ini kecuali tabir Baitullah dan memberikan minum orang haji. Ingatlah, korban pembunuhan karena kekeliruan menyerupai pembunuhan yang disengaja dengan cemeti dan tongkat. Maka di dalamnya ada diat (tebusan) yang berat, yaitu seratus ekor unta, yang empat puluh di antaranya tengah bunting tua. Hai kaum Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian persaudaraan jahiliah, dan pengagungan karena nenek moyang. Manusia berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah.” Kemudian beliau melanjutkannya dengan membaca ayat: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (TQS. Al-Hujuraat [49]: 13).

Selanjutnya beliau bertanya kepada mereka: “Hai kaum Quraisy, apa pendapat kalian tentang perlakuanku terhadap kalian?” Mereka menjawab: “Sungguh baik, wahai saudara kami yang mulia dan putra seorang saudara kami yang mulia”. Beliau berkata lagi: “Pergilah! Kalian semua bebas.”

Ucapan tersebut merupakan pengampunan umum bagi kafir Quraisy dan penduduk Makkah. Rasul saw memasuki Ka’bah dan beliau menemukan dinding-dinding Ka’bah digambari malaikat-malaikat dan nabi-nabi, lalu beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menghapus gambar-gambar itu. Beliau juga melihat patung-patung wanita cantik dari kayu, lalu beliau memecahkannya dengan tangannya sendiri dan melemparkannya ke tanah. Kemudian beliau menunjuk semua patung dengan tongkat yang berada di tangannya seraya membaca firman Allah: “Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang batil pasti lenyap” (TQS. al-Israa’ [17]: 81).

Patung-patung itupun akhirnya dijungkalkan. Bait al-Haram disucikan dari seluruh patung dan gambar. Sedangkan beliau tinggal di Makkah selama lima belas hari. Selama itu, beliau meletakkan landasan sistem pengaturan berbagai persoalan di Makkah dan memahamkan penduduknya tentang agama Islam. Pembebasan kota Makkah telah sempurna dan dengan dasar pembebasan tersebut, beliau berhasil menghilangkan perlawanan terhadap Daulah Islam. Karena itu, kemenangan Islam yang nyata benar-benar telah sempurna.

Khatimah: Ibrah Futuh Makkah

Dari peristiwa Futuh Makkah, nampak jelas, bahwa di masa Rasul saw, Makkah adalah satu-satunya wilayah yang ditaklukan oleh Daulah Khilafah Islam tanpa peperangan. Makkah ditaklukan dengan kasih sayang. Kasih sayangnya seorang pemimpin besar sekelas Rasul saw kepada umat yang sudah sadar dan mau diatur oleh aturan Allah Swt. Dalam kisah ini juga nampak dengan gamblang, bahwa keamanan di Makkah hanya terwujud karena memang ada jaminan mutlak dari pemimpin yang berkuasa.

Jaminan keamanan dari Rasul saw yang disampaikan oleh Abu Sufyan kepada penduduk Makkah, pun kepada penduduk Madinah yang turut dalam peristiwa Futuh Makkah, bukan semata karena Rasul saw adalah menantu Abu Sufyan. Tapi jaminan keamanan itu diberikan oleh Rasul saw karena beliau adalah seorang penguasa yang mengatur wilayahnya dengan aturan Islam. Saat Futuh Makkah, Rasul saw dan kaum Muhajirin tak sekedar pulang kampung, tapi mereka punya misi politik dalam rangka mengokohkan dakwah Islam yang diemban oleh suatu negara, yaitu di Makkah. Masya Allah, sedemikian berwibawa dan mulianya suatu negara yang mengatur dan diatur dengan aturan dari Sang Pencipta.

Lalu, bagaimana dengan Makkah di abad 21 ini? Makkah kini tidak diatur dengan syariat Islam secara kaffah, sekalipun ia Tanah Haram, Tanah Suci. Karenanya, tak perlu heran jika di luar Masjidil Haram sangat mungkin terjadi kriminalitas, yang jelas-jelas itu mengancam keselamatan kaum muslimin, baik bagi yang sedang berhaji maupun yang tidak. Padahal, di dalam Masjidil Haram tengah terjadi yang sebaliknya, dimana para jamaah haji khusyuk beribadah, bermunajat kepada Allah.

Dalam Islam, keamanan bersifat mutlak. Keamanan bukan komoditi yang diperjualbelikan. Karena itu, memang tidak ada pilihan lain, demi keamanan dan bahkan kemashlahatan kaum muslimin dalam berbagai aspek, semua harus dikembalikan kepada aturan Islam. Tak hanya di dalam Masjidil Haram, tapi juga kehidupan di luar tembok megah Masjidil Haram. Hanya dengan Islam, segala yang bathil dapat dilenyapkan.

Wallaahu a’lam bish showab. []