Jumat, 02 Oktober 2015

Makkah, Tanah Haram yang Aman

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Muqodimah

Haji tahun ini sungguh bermakna, khususnya malah bagi yang sedang tidak melaksanakan ibadah haji. Banyak peringatan yang Allah Swt karuniakan semata-mata agar kita kembali kepada aturan-Nya. Musibah Crane, kebakaran hotel tempat jamaah haji menginap di Makkah, hingga tragedi Mina yang menyesakkan mata, bukan hanya satu atau dua kali Allah telah ingatkan. Subhanallaah. Tapi tunggu, tulisan ini sebenarnya ingin mengupas sisi lain kota Makkah. Semoga bisa menjadi sedikit penyegaran di tengah berbagai musibah tersebut.

Tulisan ini tak lain adalah bentuk keterusikan penulis terhadap suatu artikel tentang keamanan kota Makkah. Khususnya saat naik taksi. Memang siy sudah sejak lama menjadi selentingan dan juga kabar burung dari kerabat atau tetangga yang pernah ke Tanah Suci. Bahwa, jika jamaah haji yang kebetulan merupakan pasangan suami-istri ingin naik taksi di Makkah harus si suami harus lebih dahulu naik, sedangkan si istri belakangan. Tapi jujur, baru kali ini penulis menemukan artikel riil terkait hal tersebut.

Waspada Kejahatan di Makkah, Jangan Tinggalkan Istri Anda di Taksi Bersama Sopir

Dilansir dari Detik.com (19/09), demikian judul artikelnya disebutkan. Layanan bus shalawat yang mengantar jamaah ke Masjidil Haram dan sebaliknya dihentikan sementara. Ada nasihat agar jamaah hati-hati saat menggunakan angkutan umum, terutama bagi perempuan. “Harus hati-hati. Kalau suami-istri, suami naik duluan, istri belakangan, ketika turun istri duluan suami belakangan,” tutur Kepala Seksi Perlindungan Jamaah PPIH 2015 Letkol Jaetul Muchlis Basyir di Makkah, Sabtu (19/09).

Jamaah diminta jangan pergi sendiri-sendiri. Muchlis meminta agar selalu berkoordinasi dengan petugas. “Berangkat dengan kekuatan rombongan jangan sendiri-sendiri. Senantiasa menginformasikan kepada petugas kloter, baik kepala regu maupun kepala rombongan setiap kali akan bepergian,” pesannya.

“Jangan tertipu aksi licik sopir taksi yang hendak membawa kabur perempuan Indonesia. Jangan tinggalkan istri atau saudara perempuan Anda berdua saja dengan sopir di mobil. Jangan terprovokasi dengan trik berbau kriminal dari sopir taksi misalnya pura-pura mogok lalu minta tolong penumpang laki-lakinya untuk mendorong,” kata Muchlis. Muchlis mengatakan modus ini bukan barang baru di Arab Saudi. Perempuan yang dibawa kabur taksi bisa menjadi korban kejahatan. “Pelecehan seksual salah satunya,” ujar Muchlis (detik.com, 19/09).

Tak urung, isi artikel ini serta merta membuat penulis makin merasa sesak. Sesak dan geram lebih tepatnya. Betapa berbahaya dan tidak amannya kehidupan di Tanah Suci, Tanah Haram, salah satu bumi para nabi. Astaghfirullah. Padahal jamaah haji adalah para tamu Allah. Mereka adalah para musafir. Mereka adalah golongan kaum yang jika didzholimi dalam keadaan sebagai musafir, maka doanya tak tertolak oleh Allah. Lupakah dengan hal itu? Hingga kini entah sejauh mana bahayanya, tapi bagaimanapun ini membuktikan bahwa jaminan keamanan di Tanah Suci perlu ditingkatkan.

Peristiwa Futuh Makkah

Aman dan tidak amannya suatu wilayah, tak bisa dilepaskan dari sistem dan kebijakan pemerintahan yang mengelola keamanan di wilayah tersebut. Bicara keamanan di Makkah, penulis pun ingin sejenak kembali ke kisah masa silam, dimana pernah dicatat oleh sejarah Islam, bahwa Makkah adalah kota teraman.

Terkisah pada tahun ketujuh atau kedelapan hijriyah, peristiwa Futuh Makkah (pembebasan kota Makkah) terjadi. Saat itu, Rasulullaah saw telah beberapa tahun hijrah dari Makkah dan bermukim di Madinah. Beliau pun telah berhasil mengokohkan pasukannya. Masyarakat Islam serta Daulah Islam di Madinah menjadi suatu institusi yang makin hari makin berwibawa hingga ditakuti semua bangsa Arab. Setelah itu, beliau mulai memikirkan langkah lain. Langkah-langkah tersebut adalah cara untuk semakin menguatkan dakwah, Daulah Islam, dan melemahkan musuh-musuhnya. Beragam proses jihad dan futuhat ke wilayah-wilayah di sekitar Madinah makin masif dilakukan. Termasuk diantaranya dengan Perang Mu’tah dan Perjanjian Hudaibiyah.

Adanya Perjanjian Hudaibiyah membuat hubungan antara Quraisy dan Rasul saw menjadi tenang dan masing-masing juga mempertahankan kondisi itu. Perjanjian itu pun berlaku termasuk bagi sejumlah kabilah yang bersekutu, baik yang bersekutu dengan pihak Quraisy maupun Rasul saw. Dalam hal ini, Bani Khuza’ah adalah bani yang bersekutu dengan Rasul saw, sedangkan Bani Bakr adalah bani yang bersekutu dengan pihak Quraisy. Jika kedua pihak bertikai, maka perjanjian pun batal. Dan pihak yang diserang berhak memerangi pihak yang menyerang.

Namun semua berubah pascamomentum Perang Mu’tah, yang terjadi tak berselang lama setelah Perjanjian Hudaibiyah. Ketika kaum Muslim kembali dari perang Mu’tah, diantara mereka banyak yang gugur. Keadaan ini memunculkan dugaan bagi Quraisy bahwa kaum Muslim sudah hancur. Maka, mereka menghasut Bani Bakr agar menyerang Bani Khuza’ah dan berhasil membunuh sebagian mereka. Salah satu anggota Bani Khuza’ah, ‘Amru bin Salim al-Khuza’iy melarikan diri ke Madinah dan bercerita kepada Rasul saw tentang peristiwa yang menimpa mereka dan meminta bantuan kepada beliau. Rasulullah saw berkata kepadanya: “Aku pasti menolongmu, hai ‘Amru bin Salim!”

Rasul saw melihat bahwa pelanggaran perjanjian yang dilakukan Quraisy ini tidak bisa diimbangi kecuali dengan pembebasan Makkah. Quraisy sebenarnya sangat takut melanggar perjanjian. Mereka segera mengirim Abu Sufyan ke Madinah untuk mengokohkan lagi perjanjian yang telah dilanggarnya sendiri dan meminta periodenya diperpanjang. Abu Sufyan berangkat dan sebenarnya tidak ingin bertemu Rasul saw. Karena itu, dia menjadikan arah perjalanannya menuju rumah putrinya yaitu Ummu Habibah yang telah menjadi istri Nabi saw. Dia masuk ke rumah putrinya dan ketika hendak duduk di alas yang biasa ditempati Nabi saw, putrinya segera melipatnya. Ketika bapaknya bertanya kepadanya apakah dilipatnya alas itu karena ingin menjauhkan bapaknya dari alas itu atau karena ingin menjauhkan alas itu dari bapaknya? Jawaban putrinya adalah: “Justru (karena) itu adalah alas Rasulullah saw, sementara engkau laki-laki musyrik yang najis! Aku tidak suka engkau duduk di atasnya!” Abu Sufyan berkata lagi: “Demi Allah! Wahai Putriku, setelahku ini, sungguh keburukan pasti menimpamu.”

Abu Sufyan bergegas keluar dengan marah besar, kemudian dia menemui Muhammad saw dan berbicara kepadanya tentang perjanjian dan permintaannya untuk memperpanjang waktunya. Muhammad tidak bereaksi. Beliau tidak memberi jawaban apapun. Abu Sufyan lalu berbicara kepada Abu Bakar agar dia berbicara kepada Nabi saw, tetapi dia menolak. Abu Sufyan mencoba lagi berbicara kepada ‘Umar bin Khaththab, namun dia menjawabnya dengan kasar dan keras: “Apakah aku lebih condong menolong kalian daripada Rasulullah saw? Demi Allah, seandainya aku tidak menemukan apa-apa selain sebutir debu, pasti aku memerangi kalian!”

Abu Sufyan kemudian masuk ke rumah ‘Ali bin Abi Thalib saat itu Fathimah pun berada di samping suaminya. Dia kemudian mengutarakan alasannya mengapa datang ke Madinah dan akhirnya singgah di rumah ini. Abu Sufyan meminta ‘Ali supaya memohonkan ampun kepada Rasul saw. ‘Ali pun mengabarkan kepadanya bahwa tidak seorang pun yang mampu membujuk Muhammad saw dari suatu perkara jika dia sudah memegangnya dengan teguh. Lalu Abu Sufyan meminta tolong Fathimah supaya merayu anaknya, Hasan, agar bisa menyelamatkan dirinya karena dia terhitung masih kecil. Dia menjawab: “Demi Allah, tidaklah putraku itu menjadi penyelamat di antara manusia. Tidak seorang pun yang bisa selamat dari Rasulullah saw.”

Urusannya semakin sulit bagi Abu Sufyan dan akhirnya dia kembali ke Makkah dan menceritakan kepada kaumnya tentang apa yang ditemuinya di Madinah. Sementara Rasul saw segera memerintahkan para sahabatnya untuk bersiap-siap berangkat ke Makkah. Beliau berharap bisa mendatangi penduduk Makkah secara tiba-tiba, sehingga mereka tidak sempat memberikan perlawanan dan akhirnya mereka semua selamat tanpa pertumpahan darah. Pasukan kaum Muslim berangkat dari Madinah menuju Makkah.

Mereka tiba di Marra Zhahran, yang berjarak empat farsakh dari kota Makkah. Jumlah pasukan yang dibawanya genap 10.000 orang dan tidak satu pun informasi yang sempat terdengar oleh pihak Quraisy. Quraisy masih sibuk memperhitungkan akan adanya serangan Muhammad saw kepada mereka. Mereka pun berdebat tentang apa yang akan dilakukan menghadapi Muhammad. Abu Sufyan keluar untuk mengkaji mara bahaya yang mengancamnya. Lalu ‘Abbas bin Abdul Muthallib, paman Rasul saw yang saat itu telah masuk Islam, menemuinya, dengan menunggang bagal milik Nabi saw dan pergi ke Makkah untuk mengabarkan kepada Quraisy agar mereka meminta keamanan kepada Rasul saw. Hal itu karena beliau tidak menerima usulan mereka. Ketika ‘Abbas bertemu Abu Sufyan, dia berkata kepadanya: “Itu adalah Rasulullah di tengah-tengah kerumunan manusia. Demi waktu paginya kaum Quraisy, demi Allah, jika Rasulullah saw masuk kota Makkah dengan kekerasan, sebelum mereka mendatanginya dan memohon keamanan kepadanya, sungguh beliau pasti menghancurkan Quraisy hingga tak tersisa!” Maka Abu Sufyan bertanya: “Demi bapak dan ibuku sebagai tebusanmu, maka upaya apa yang harus kami lakukan?”

‘Abbas segera mengajak Abu Sufyan menaiki punggung bagal yang ditungganginya, lalu membawanya pergi. Ketika bagal itu lewat di depan pandangan membara ‘Umar bin Khaththab, maka ‘Umar memperhatikan bagal Nabi saw tersebut dan mengetahui ada Abu Sufyan di sana sekaligus memahami bahwa ‘Abbas hendak menyelamatkannya. Karena itu, ‘Umar bergegas pergi menuju kemah Nabi saw dan minta izin kepadanya untuk memenggal leher Abu Sufyan. Namun, ‘Abbas yang lebih dulu datang menemui Rasul, cepat berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah menyelamatkannya.” Akibatnya perdebatan sengit terjadi antara ‘Abbas dan ‘Umar. Nabi saw berkata: “Pergilah dengannya ke kendaraanmu, hai ‘Abbas! Bila subuh telah tiba, maka datanglah kepadaku”. Ketika pagi hari tiba, dia datang dengan membawa Abu Sufyan, lalu Abu Sufyan masuk Islam. ‘Abbas kemudian menghadap Nabi saw dan menyampaikan usul kepadanya: ”Ya Rasulullah, Abu Sufyan adalah laki-laki yang suka kebanggaan. Buatkanlah sesuatu untuknya.” Rasulullah saw berkata: “Tentu saja. Siapa saja yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia aman. Siapa saja menutup pintu rumahnya, maka dia aman. Siapa saja masuk Masjid (al-Haram), maka dia aman.”

Rasul saw akhirnya memerintahkan para sahabatnya untuk menahan Abu Sufyan di lembah sempit di mulut gunung yang menjadi tempat masuk ke arah Makkah, agar pasukan kaum Muslim yang lewat di depannya dilihat oleh Abu Sufyan. Lalu dia menceritakan kenyataan itu kepada kaumnya. Di samping itu, langkah tersebut ditempuh agar kedatangan pasukan yang begitu cepat tidak menimbulkan ketakutan yang membawa akibat kenekatan kafir Quraisy untuk mengadakan perlawanan. Rasul saw memasuki Makkah dengan segala dengan kewibawaan dan kekuatan yang beliau miliki. Setelah kabilah-kabilah dari pasukan Islam lewat di hadapan Abu Sufyan, segera dia menemui kaumnya dan berteriak di tengah-tengah mereka dengan suara lantang: “Hai orang-orang Quraisy, ini Muhammad datang kepada kalian dengan membawa kekuatan, yang kalian tidak memiliki kemampuan untuk menghadapinya. Maka siapa saja yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia pasti aman. Siapa saja menutup pintunya, maka dia pun aman. Siapa saja masuk masjid (Al-Haram), dia pasti aman.”

Kaum Quraisy mengurungkan perlawanan mereka, sementara Rasul saw melanjutkan perjalanannya dan memasuki Makkah dengan tetap waspada. Beliau memerintahkan pasukannya dipecah menjadi empat kelompok dan semua diintruksikan tidak boleh berperang dan tidak boleh menumpahkan darah, kecuali jika benar-benar terpaksa dan terancam bahaya. Pasukan memasuki Makkah dan tidak memperoleh perlawanan apa pun, kecuali pasukan Khalid bin Walid. Kelompok ini menemui perlawanan dari pasukan Quraisy, namun berhasil menundukkannya. Nabi saw turun dari tunggangannya dan berdiri sebentar dengan mengambil tempat yang tertinggi di Makkah. Kemudian berjalan hingga tiba di Ka’bah. Lalu thawaf di Baitullah sebanyak tujuh putaran. Beliau memanggil ‘Utsman bin Thalhah dan memintanya membukakan pintu Ka’bah. Beliau berdiri sejenak di pintu tersebut, sementara itu para sahabat berdiri mengelilinginya. Tidak lama kemudian, beliau berpidato di hadapan mereka: “Tidak ada Tuhan kecuali Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia menepati janji-Nya dan memenangkan hamba-Nya, serta menghancurkan Ahzab dengan sendiri-Nya. Ingatlah, setiap kemuliaan, darah atau harta seluruhnya berada di bawah dua telapak kakiku ini kecuali tabir Baitullah dan memberikan minum orang haji. Ingatlah, korban pembunuhan karena kekeliruan menyerupai pembunuhan yang disengaja dengan cemeti dan tongkat. Maka di dalamnya ada diat (tebusan) yang berat, yaitu seratus ekor unta, yang empat puluh di antaranya tengah bunting tua. Hai kaum Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian persaudaraan jahiliah, dan pengagungan karena nenek moyang. Manusia berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah.” Kemudian beliau melanjutkannya dengan membaca ayat: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (TQS. Al-Hujuraat [49]: 13).

Selanjutnya beliau bertanya kepada mereka: “Hai kaum Quraisy, apa pendapat kalian tentang perlakuanku terhadap kalian?” Mereka menjawab: “Sungguh baik, wahai saudara kami yang mulia dan putra seorang saudara kami yang mulia”. Beliau berkata lagi: “Pergilah! Kalian semua bebas.”

Ucapan tersebut merupakan pengampunan umum bagi kafir Quraisy dan penduduk Makkah. Rasul saw memasuki Ka’bah dan beliau menemukan dinding-dinding Ka’bah digambari malaikat-malaikat dan nabi-nabi, lalu beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menghapus gambar-gambar itu. Beliau juga melihat patung-patung wanita cantik dari kayu, lalu beliau memecahkannya dengan tangannya sendiri dan melemparkannya ke tanah. Kemudian beliau menunjuk semua patung dengan tongkat yang berada di tangannya seraya membaca firman Allah: “Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang batil pasti lenyap” (TQS. al-Israa’ [17]: 81).

Patung-patung itupun akhirnya dijungkalkan. Bait al-Haram disucikan dari seluruh patung dan gambar. Sedangkan beliau tinggal di Makkah selama lima belas hari. Selama itu, beliau meletakkan landasan sistem pengaturan berbagai persoalan di Makkah dan memahamkan penduduknya tentang agama Islam. Pembebasan kota Makkah telah sempurna dan dengan dasar pembebasan tersebut, beliau berhasil menghilangkan perlawanan terhadap Daulah Islam. Karena itu, kemenangan Islam yang nyata benar-benar telah sempurna.

Khatimah: Ibrah Futuh Makkah

Dari peristiwa Futuh Makkah, nampak jelas, bahwa di masa Rasul saw, Makkah adalah satu-satunya wilayah yang ditaklukan oleh Daulah Khilafah Islam tanpa peperangan. Makkah ditaklukan dengan kasih sayang. Kasih sayangnya seorang pemimpin besar sekelas Rasul saw kepada umat yang sudah sadar dan mau diatur oleh aturan Allah Swt. Dalam kisah ini juga nampak dengan gamblang, bahwa keamanan di Makkah hanya terwujud karena memang ada jaminan mutlak dari pemimpin yang berkuasa.

Jaminan keamanan dari Rasul saw yang disampaikan oleh Abu Sufyan kepada penduduk Makkah, pun kepada penduduk Madinah yang turut dalam peristiwa Futuh Makkah, bukan semata karena Rasul saw adalah menantu Abu Sufyan. Tapi jaminan keamanan itu diberikan oleh Rasul saw karena beliau adalah seorang penguasa yang mengatur wilayahnya dengan aturan Islam. Saat Futuh Makkah, Rasul saw dan kaum Muhajirin tak sekedar pulang kampung, tapi mereka punya misi politik dalam rangka mengokohkan dakwah Islam yang diemban oleh suatu negara, yaitu di Makkah. Masya Allah, sedemikian berwibawa dan mulianya suatu negara yang mengatur dan diatur dengan aturan dari Sang Pencipta.

Lalu, bagaimana dengan Makkah di abad 21 ini? Makkah kini tidak diatur dengan syariat Islam secara kaffah, sekalipun ia Tanah Haram, Tanah Suci. Karenanya, tak perlu heran jika di luar Masjidil Haram sangat mungkin terjadi kriminalitas, yang jelas-jelas itu mengancam keselamatan kaum muslimin, baik bagi yang sedang berhaji maupun yang tidak. Padahal, di dalam Masjidil Haram tengah terjadi yang sebaliknya, dimana para jamaah haji khusyuk beribadah, bermunajat kepada Allah.

Dalam Islam, keamanan bersifat mutlak. Keamanan bukan komoditi yang diperjualbelikan. Karena itu, memang tidak ada pilihan lain, demi keamanan dan bahkan kemashlahatan kaum muslimin dalam berbagai aspek, semua harus dikembalikan kepada aturan Islam. Tak hanya di dalam Masjidil Haram, tapi juga kehidupan di luar tembok megah Masjidil Haram. Hanya dengan Islam, segala yang bathil dapat dilenyapkan.

Wallaahu a’lam bish showab. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar