Minggu, 01 Februari 2015

Liberalisasi Bertopeng Kontaminasi, Ironi Euforia Hari Gizi

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Muqodimah

Hari Gizi, 25 Januari, baru saja lewat. Optimis, karena tema yang diusung adalah Bersama Membangun Gizi Menuju Bangsa Sehat Berprestasi (litbang.depkes.go.id, 24/01/2015). Dengungnya pun tak ayal masih nyaring terdengar. Namun demikian, ironi justru menerjang. Ya, belakangan diberitakan Kementerian Perdagangan melarang peredaran buah apel jenis Granny Smith dan Gala produksi Bidart Bros., Bakersfield, California, Amerika Serikat (AS). Kedua jenis apel, yang biasa dijual dengan merk Granny’s Best dan Big B itu, diduga terkontaminasi bakteri Listeria monocytogenes (dream.co.id, 27/01/2015).

“Apel jenis Granny Smith dan Gala produksi Bidart Bros, California, diduga terkontaminasi bakteri Listeria monocytogenes yang bisa menyebabkan infeksi serius. Fatal pada bayi, anak-anak, dan orang dengan sistim kekebalan tubuh yang lemah,” ujar Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Widodo, sebagaimana dikutip dari laman Kemendag, Selasa 27 Januari 2015.

Menurut Widodo, keputusan ini diambil berdasarkan surat Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, yang menyatakan adanya kontaminasi produk apel di Amerika Serikat. Kemendag juga menerima pemberitahuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) dan juga Kedubes AS terkait kontaminasi bakteri Listeria pada apel-apel jenis Granny Smith dan Gala itu.

“Atas dasar itu, Kemendag melarang impor atau mendistribusikan apel Granny Smith dan Gala produksi Bidart Bros, California, yang telah diimpor kepada distributor ataupun pengecer, serta menarik dari peredaran untuk apel yang telah diperdagangkan oleh pengecer,” tegasnya. Kemendag juga meminta masyarakat tidak membeli apel-apel jenis Granny Smith dan Gala itu. “Bagi konsumen yang telah terlanjur membeli apel tersebut, dimohon untuk tidak dikonsumsi,” imbau Widodo (dream.co.id, 27/01/2015).

Seputar Listeria monocytogenes (foodreview.co.id, 27/01/2015)

Ulasan Prof. Ratih Dewanti-Hariyadi --Peneliti pada SEAFAST (Southeast Asian Food Agricultural Science and Technology Center), Ketua Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, serta anggota International Commission on Microbiological Specification for Foods-- di laman FOODREVIEW INDONESIA berikut ini, setidaknya dapat meredakan ramainya isu keamanan pangan seputar kontaminasi pada produk apel asal Amerika Serikat.

Listeria monocytogenes adalah bakteri patogen yang banyak ditemukan di tanah, debu, tanaman, lingkungan dan sebagainya. Hewan dapat membawa L. monocytogenes tanpa menunjukkan gejala penyakit dan apabila mengontaminasi pangan bisa menjadi sumber L. monocytogenes. Bakteri ini memerlukan zat gizi lebih untuk pertumbuhannya, juga bersifat tidak tahan panas, mampu tumbuh dengan atau tanpa oksigen, tumbuh dan berkembangbiak pada suhu ruang sampai suhu tubuh (30-37ºC), bahkan bisa berkembang biak pada suhu refrigerasi (4ºC) lebih baik dimana mikroorganisme lain umumnya tidak berkembangbiak.

Dua galur Listeria monocytogenes yang diisolasi di lingkungan produsen pengepakan apel Bidart Bros di California ternyata memiliki DNA fingerprint yang sama dengan yang diisolasi dari korban KLB (Kejadian Luar Biasa) di AS maupun 2 kasus di Kanada yang dilaporkan oleh Public Health Agency of Canada. Dari investigasi ini, CDC (Centers for Disease Control) menghimbau masyarakat untuk tidak mengonsumsi apel Granny Smith dan Gala yang berasal dari Bidart Bros.
Listeria monocytogenes yang hidup, jika tertelan dapat menyebabkan infeksi pada anak-anak maupun orang dewasa. Meskipun sudah diketahui dapat menyebabkan penyakit zoonosis, tetapi penetapan Listeria monocytogenes sebagai patogen bawaan pangan baru terjadi pada tahun 1983 ketika terjadi KLB besar terkait konsumsi coleslaw (salad kubis dan mayones) di Kanada.  Rupanya bakteri yang tertinggal pada kubis, terus tumbuh dan berkembang biak karena kubis yang sudah diberi mayones ini kemudian disimpan dalam suhu lemari es selama penjajaaannya sampai dikonsumsi.
Listeriosis, penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan atau minuman yang mengandung Listeria monocytogenes, relatif jarang terjadi tetapi dapat berakibat serius bagi penderita/korbannya.  Gejala umum listeriosis pada orang dewasa menyerupai flu yaitu demam dan pegal otot dan kadang didahului dengan diare atau gejala sakit perut lainnya. Fatalnya Listeriosis khususnya bagi kelompok risiko tinggi seperti lansia, orang yang sistem imunnya terkompromi atau pun orang dengan penyakit kronis (kanker).

Listeriosis terutama sangat berbahaya bagi ibu hamil, yang umumnya hanya menunjukkan gejala flu ketika terinfeksi, tetapi bakteri yang menginfeksinya dapat menembus tali plasenta dan menginfeksi janin yang sedang berkembang.  Infeksi Listeria monocytogenes pada janin dapat berakibat pada keguguran, bayi lahir dalam keadaan meninggal (stillbirth), lahir prematur dan kelainan lain pada bayi baru lahir seperti radang selaput otak. Dari 7 kasus caramel apple, satu diantara 7 kematian adalah kematian janin dalam kandungan ibu yang mengonsumsi caramel apple.
Karena itu, pencegahan harus dilakukan mulai dari tingkat produsen, yaitu dengan penerapan good hygienic practices yang baik agar menghindarkan pangan selama produksi (from farm to table) tidak tercemar oleh tanah, air yang bermutu rendah, udara yang tercemar, orang sakit dsb.  Praktik-praktik sanitasi pekerja, sanitasi bahan baku, sanitasi air harus dipertahankan dengan baik sejak dari lahan pertanian sampai konsumsi. Ini karena penyimpanan dingin bukan metode yang bisa menghambat pertumbuhan L. monocytogenes.

Meski kasus listeriosis relatif jarang, tapi bisa berakibat fatal. Namun demikian, masyarakat tidak perlu panik. Sebagai pencegahan, untuk sementara sebaiknya tidak mengonsumsi apel dari jenis Granny Smith dan Gala jika diragukan asal usulnya. L. monocytogenes bisa saja mengontaminasi sayur dan buah yang dimakan mentah. Oleh karena itu disarankan untuk selalu mencuci sayur dan buah dengan air berstandar air minum.  Listeria juga berkembangbiak di dalam suhu lemari es, karena itu lemari es yang kotor dapat menjadi penyebab pencemaran bakteri ini.

Ironi Hari Gizi

Sehubungan dengan berita kontaminasi bakteri Listeria, tak ayal menjadi ironi tersendiri bagi peringatan Hari Gizi Nasional (HGN) 2015. Target paradigma dari tema tahunan HGN bahwa makanan bergizi tak selalu mahal (litbang.depkes.go.id, 24/01/2015), nyatanya harus segera ditinjau ulang.
Makanan yang baik tentunya harus kaya zat gizi dan juga aman (tidak mengandung bahan-bahan cemaran berbahaya). Apel sudah sejak zaman dulu diketahui kebaikan nilai gizinya. Namun berkaca dari kasus ini, para penggemar apel, khususnya apel impor, seyogyanya lebih berhati-hati. Karena apel yang seharusnya bergizi tinggi itu, kali ini tak layak konsumsi, alias apel murahan. Jadi lagi-lagi, masyarakat akhirnya mau tidak mau jadi tergiring pada paradigma lain, bahwa makanan yang bergizi tetaplah harus yang mahal.

Terkait gaya hidup, tak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan di tengah masyarakat untuk mengkonsumsi makanan cepat saji, makanan pabrikan, jajanan yang mungkin tidak aman, minuman kurang sehat (un-healthy drink), atau juga makanan yang kandungan zat gizinya rendah.

Tapi tak hanya itu. Masih ada faktor lain yang juga harus diperhatikan, yaitu faktor ekonomi. Secara logika, keadaan ekonomi jelas mempengaruhi daya beli. Faktanya, daya beli akan mempengaruhi ketersediaan makanan bergizi di keluarga. Kesejahteraan ekonomi jelas membuat masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah, tak jarang harus hidup mengirit, bahkan sampai taraf pailit. Padahal itu baru untuk makan, belum termasuk kebutuhan hidup lainnya. Karenanya, untuk mengatasi masalah ini pun tak cukup hanya dengan pemberdayaan masyarakat, seperti perbaikan ekonomi keluarga atau program warung hidup di pedesaan. Tidak pula hanya cukup dengan peningkatan pengetahuan masyarakat melalui KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi), dengan tujuan masyarakat mampu memilih makanan yang bergizi namun murah (terjangkau). Karena toh daya beli itu bisa dengan sangat ekstrim mencapai titik terendah, dimana masyarakat hanya mampu membeli bahan pangan/makanan yang memang “murahan”.

Selanjutnya, jangan lupa menengok sisi kelam penyakit kurang gizi. Meski memang benar, hubungan antara gizi dan penyakit tentunya tidak hanya kekurangan gizi (under-nutrition), tapi juga kelebihan gizi (obesitas) (litbang.depkes.go.id, 24/01/2015). Namun masalah gizi buruk di Tanah Air sungguh memprihatinkan. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, kasus gizi buruk selalu meningkat tiap tahun. Pada 2010 misalnya, jumlah balita gizi buruk sebesar 17,9 persen, meningkat menjadi 19,9 persen hingga kini (berita.suaramerdeka.com, 26/01/2015).

Kampanye “Ayo Melek Gizi” yang dilontarkan PT Sarihusada Generasi Mahardika (Sarihusada), perusahaan penghasil nutrisi ibu dan anak, memang bertujuan agar kasus kurang gizi di negeri ini bisa berkurang (berita.suaramerdeka.com, 26/01/2015). Tapi tanpa kebijakan yang berpijak pada faktor kebutuhan pangan sebagai kebutuhan asasi, rasanya momentum ini pun hanya akan habis sebagi euforia saja.

Gizi dan Keamanan Pangan, Perkara Sistemik

Sungguh aneh sebenarnya, jika terdapat produk yang tak layak konsumsi di hadapan konsumen. Artinya, di sini terdapat masalah dari sisi QC (quality control). Aneh juga rasanya jika pada sebuah produsen eksportir buah yang cukup besar, ternyata terjadi sesuatu yang terlewatkan oleh QC. Demikian pula di pihak negara importir, aneh juga jika ada QC ‘berani’ melegalkan begitu saja suatu produk buah impor untuk dilempar ke pasar konsumen. Karena, kasus Listeria bukan semata suatu musibah, melainkan ada potensi kelalaian QC saat memeriksa produk. Bagaimanapun, suatu mikroorganisme pasti memiliki kurva pertumbuhan. Ada fase-fase tertentu yang menjadi titik kritis untuk dapat menentukan waktu terbaik bagi suatu produk, agar ketika sampai di tangan konsumen produk tersebut masih dalam keadaan layak konsumsi.

Dari sini, harus diakui, gizi dan keamanan pangan adalah perkara sistemik. Dan hendaknya dipahami bersama bahwa asupan gizi yang benar adalah asupan yang tepat sesuai dengan kebutuhan tubuh, disamping harus aman bagi tubuh. Hal ini tidak bisa dicapai dengan sempurna tanpa payung besar keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, pertanggungjawaban terhadap kasus Listeria maupun kisah gizi buruk di atas, merupakan bagian dari kemampuan pemerintah mengurusi kebutuhan asasi rakyatnya, yaitu tentang makanan. Jika saat sampai di tangan konsumen suatu produk makanan sudah tidak layak konsumsi, maka harus ada kebijakan tegas tentang keamanan pangan.

Amankan Pangan Dunia, Liberalisasi Pangan Makin Lancar

Di sisi lain kasus Listeria dan peringatan HGN 2015, Indonesia justru ditunjuk menjadi mitra strategis World Economic Forum (WEF) untuk mendukung keamanan pangan. Tak hanya untuk di negeri sendiri, tapi juga bagi dunia. “Ini merupakan dukungan nyata kita untuk keamanan pangan dunia. Hal ini kita tindak lanjuti dengan pertemuan pemangku kepentingan setiap dua tahun sekali,” ujar G. Sulistiyanto, Managing Director Sinar Mas, di sela-sela pertemuan tahunan pemimpin bisnis global World Economic Forum di Davos Switzerland, seperti dikutip dalam siaran persnya, Sabtu (24/01). Sinar Mas melalui Sinar Mas Agribusiness & Food yang dipimpin Franky O Widjaja menjadi anggota industrial partner di WEF dengan nomor urut ke 39 sejak Januari 2012. Franky, yang juga Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Pertanian dan Pangan memanfaatkan keanggotaannya untuk menyuarakan kepentingan Indonesia terkait keamanan pangan (berita.suaramerdeka.com, 24/01/2015).

Indonesia memiliki Partnership for Indonesia Agriculture Sustainable (PISAgro) di bawah WEF New Vision for Agriculture (NVA). WEF New Vision for Agriculture (NVA) merupakan lembaga yang segera menggelar Jakarta Food Security Summit (JFSS) 12-13 Februari 2015. Agenda ini akan dihadiri Presiden Joko Widodo (Jokowi), serta para pemangku kepentingan lainnya, termasuk pebisnis global anggota WEF, seperti Nestle dan Unilever.

“Ada delapan komoditas strategis yang akan dibahas pada Jakarta Food Security Summit, yaitu beras, gula, jagung, singkong, sagu, cabe dan bawang, serta kedelai, dan daging sapi,” tambah Sulistiyanto, di sela-sela pertemuan tahunan pemimpin bisnis global WEF di Davos, Swiss, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (24/1/2015).

Selain itu, juga akan didiskusikan komoditas unggulan ekspor seperti kelapa sawit, kopi, kakao, teh, tuna, dan udang, serta komoditas perbaikan gizi seperti susu, buah tropis (manggis, salak, mangga), daging sapi, dan daging ayam. “Pertemuan ini (JFSS) menjadi kegiatan pengantar sebelum WEF-East Asia di Nusa Dua, Bali pada April 2015,” katanya. JFSS diharapkan mampu menghasilkan solusi dari isu utama di bidang pertanian yang terkait dengan pembiayaan, ketersediaan lahan/tata ruang wilayah, infrastruktur, pascapanen, diversifikasi pangan, dan pemasaran (economy.okezone.com, 24/01/2015).

Agenda internasional ini tentunya tak ujug-ujug terjadi. Sudah ada sejarah panjang yang mendahului hingga akhirnya liberalisasi pangan di Indonesia makin mulus. Kondisi saat ini tak lain adalah derivat dari liberalisasi perdagangan. Terlebih sejak Indonesia menjadi anggota WTO (World Trade Organization). Ketua Koalisi Anti Utang Dani Setiawan menjelaskan, WTO adalah organisasi yang mengatur perdagangan dunia dengan menuntut negara-negara anggotanya membuka pasar secara luas melalui penghapusan berbagai hambatan dalam perdagangan. Indonesia resmi menjadi anggota WTO melalui ratifikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Pembentukan WTO. Dani juga mengungkapkan, bergabungnya Indonesia dalam WTO semakin membunuh sektor pertanian.

Sementara Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Riza Damanik mengatakan, keikutsertaan Indonesia dalam WTO justru melemahkan daya saing dan menimbulkan praktik korupsi di dalam negeri melalui impor komoditas. Keikusertaan dalam WTO membuat Indonesia banyak membuat perjanjian perdagangan dengan negara lain. Perjanjian ini menjadi kesempatan bagi negara lain untuk mengintervensi kedaulatan Indonesia. Karena WTO telah menempatkan Indonesia pada posisi lemah hingga tidak berdaulat berhadapan dengan bangsa-bangsa di dunia.

Keikutsertaan Indonesia dalam WTO juga berdampak langsung terhadap meningkatnya impor pangan, seperti gandum, beras, kedelai, ikan, garam, hingga daging sapi. Rezim perdagangan bebas WTO telah mengancam hak bangsa dan negara Indonesia untuk menentukan kebijakan pangan dan pertanian untuk kepentingan bangsa. Pasal-pasal dalam WTO, telah menggerus kedaulatan pangan karena persaingan perdagangan bebas yang tidak sehat. Dengan bergabung ke WTO, perlindungan ke petani justru hilang. Padahal, selama ini kontribusi sektor pertanian untuk pembangunan nasional masih tergolong kecil. Target pertumbuhan sektor pertanian juga belum mencapai target. Sepanjang 2012, total ekspor Indonesia US$ 190,04 miliar, sedangkan impornya US$ 191,67 miliar. Artinya, masih ada defisit perdagangan US$ 1,6 miliar (tempo.co, 15/02/2013).

Keliat et al. (2013) menyatakan bahwa meskipun liberalisasi perdagangan di level global mengalami hambatan dengan berlarut-larutnya Putaran Doha yang dimulai sejak 2001 dan belum tuntas hingga hari ini, proses liberalisasi perdagangan mengalami perkembangan signifikan dengan kemunculan perjanjian-perjanjian perdagangan bebas di level regional. Di Asia Tenggara sendiri, ASEAN telah berhasil menyepakati perjanjian perdagangan bebas ASEAN (AFTA, ASEAN Free Trade Area) yang mengharuskan negara-negara ASEAN mereduksi tarif hingga 0-5% untuk barang-barang yang diperdagangkan di antara negara-negara ASEAN dengan tenggat waktu pada tahun 2015.

Tak hanya itu, sejumlah asosiasi bisnis dan perusahaan multinasional yang notabene merupakan korporasi raksasa, selanjutnya akan berperan besar dalam menentukan aturan yang menjamin lemahnya regulasi di negara pengimpor, sehingga mereka bisa meningkatkan dan mengamankan pasar di masa depan.

Dari sini hendaknya kita mulai berkaca, melihat bagaimana ekspor terkesan sangat jor-joran ditargetkan tercapai, padahal kebutuhan di dalam negeri belum tercukupi dengan produk pangan yang berkualitas. Belum habis derita tersebut, rakyat dijejali dengan produk impor kualitas rendah sebagai kompensasi suatu negara yang menjadi pasar untuk perdagangan bebas. Namun bagi negara penganut sistem ekonomi kapitalisme-liberal seperti Indonesia, tidak aneh jika hasil bumi terbaik dalam negeri lebih diutamakan untuk memenuhi pasar internasional dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan rakyat sendiri. Sakitnya tuh di sini!

Karena itu, agenda JFSS ini jadi sangat kontradiktif dengan angka kemiskinan dan gizi buruk yang tinggi di Indonesia. Kesejahteraan dan kemampuan rakyat dalam mengakses makanan-lah yang seharusnya diurus dan diprioritaskan oleh pemerintah, bukan malah terkesima dengan ajang-ajang internasional di bidang pangan dan pertanian, yang sejatinya menjadi topeng bagi liberalisasi pangan itu sendiri. Dengan demikian, peringatan HGN 2015 pun tak ubahnya sekedar formalitas. Nyatanya, HGN tidak dijadikan momentum untuk meningkatkan status gizi rakyat, khususnya dari sudut pandang keamanan pangan, tapi malah menguatkan arus liberalisasi pangan dan pertanian. Padahal dalam hal ini, rakyat perlu perlindungan serius.

Islam: Pemerintah adalah Perisai

Kebijakan dalam negeri menurut Islam, tak lain adalah politik dalam negeri suatu negara yang menerapkan Islam secara sempurna. Dalam hal ini dimaksudkan, Daulah Khilafah Islam sebagai pemerintah, berperan melaksanakan hukum-hukum Islam di dalam negeri. Daulah Islam memberlakukan hukum-hukum Islam di negeri-negeri yang tunduk pada kekuasaannya. Negara mengatur muamalah, memberlakukan hudud, melaksanakan uqubat, memelihara akhlak, mengarahkan penegakan syiar-syiar dan ibadah, serta memelihara seluruh urusan masyarakat sesuai hukum-hukum Islam (Kitab Daulah Islam).

Berdasarkan hal ini, menjadi jelas bahwa kepemimpinan dalam pandangan Islam merupakan amanah dan tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan di dunia, tapi juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Kepemimpinan sebenarnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Karena merupakan tanggung jawab sekaligus amanah yang amat berat dan harus diemban sebaik-baiknya. Hal tersebut dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al-Mu’minun: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji mereka dan orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Mukminun: 08-11).

Selain dalam Al-Qur’an Rasulullah Saw juga mengingatkan dalam haditsnya agar dapat menjaga amanah kepemimpinan, sebab hal itu akan dimintai pertanggungjawaban baik di dunia maupun dihadapan Allah SWT. Hal itu dijelaskan dalam hadits berikut: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhori).

Stabilitas politik dalam negeri Daulah Khilafah Islam, selanjutnya pasti berimbas pada status politik luar negerinya. Dalam perkara keamanan pangan, setidaknya ada dua tinjauan. Pertama, dari sudut pandang politik dalam negeri, terkait dengan kemampuan negara menjamin kesejahteraan rakyat hingga kebutuhan individu tercukupi. Artinya, keamanan pangan bukan hanya urusan tentang suatu makanan yang terkontaminasi, baik secara kimia maupun mikrobiologis. Dalam konsep politik ekonomi dan kesejahteraan sebuah negara, keamanan pangan hendaknya memiliki paradigma tentang aman dari sisi jumlah, ketersediaan, daya beli, hingga termasuk daya jangkau/akses konsumen terhadap produk yang bersangkutan. Dengan demikian, kasus gizi buruk pun dapat dihindari.

Kedua, dari sudut pandang politik luar negeri. Hal ini terkait dengan kemampuan negara menjaga dan menjamin posisi tawarnya di dunia internasional. Ini agar negara yang bersangkutan tidak mudah diremehkan dan dijadikan bulan-bulanan oleh negara-negara maju, hingga dapat dengan mudah menjadi negara tujuan ekspor produk yang “murahan” sebagaimana kasus apel impor dan Listeria yang ada.

Dari sini jelas, bahwa pemimpin yang bertaqwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Pemimpin seperti ini cenderung untuk tidak menyimpang dari aturan Allah Swt. Ia selalu berjalan lurus sesuai dengan syari’at Islam. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa ‘Aisyah ra berkata, ”Saya mendengar Rasulullah Saw berdoa di rumah ini, ‘Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia memberatkannya, maka beratkanlah dirinya, dan barangsiapa yang diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah kepada dirinya.” (HR. Muslim). Juga sabda Rasul Saw: “Sesungguhnya seorang pemimpin merupakan perisai. Rakyat akan berperang di belakang serta berlindung dengannya.” (HR. Muslim).

Wallaahu a’lam bish showab []