Jumat, 25 Desember 2015

Geliat Dukungan Intelektual IPB pada Kongres Ibu Nusantara ke-3

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si


Gempita Kongres Ibu Nusantara ke-3 (KIN-3) telah terasa sejak tanggal 19 Desember 2015 lalu. Berbagai kalangan bersiap dan di sebagian kota telah hadir menyuarakan urgensitas peran negara sebagai perisai hakiki bagi ibu dan anak, tema besar KIN-3. Tak kurang 60 kota menjadi tempat berhelatnya momen kolosal tahunan persembahan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia ini. Tiga puluh ribu kaum ibu dan tokoh perempuan dari seluruh Indonesia pun dikalkulasikan hadir dalam KIN. Puncak KIN-3 sendiri akan dilaksanakan di Balai Soedirman, Jakarta, pada tanggal 26 Desember 2015.

Tak ayal, IPB sebagai salah satu perguruan tinggi nasional, pun turut bergeliat. Muslimah HTI chapter kampus IPB memanaskan opini dengan menggelar agenda awalan menyambut KIN-3, bernama Jurnal Muslimah (20/12). Bertempat di RK Pinus 2, Fakultas Pertanian IPB, acara berbentuk talkshow ini cukup menyita perhatian publik kampus. Sekitar 50 orang civitas akademika IPB dari berbagai lapisan intelektual hadir. Mulai dari dosen, mahasiswi S1, mahasiswi pascasarjana (S2 dan S3), tak terkecuali para alumni IPB.

Mengangkat tema “Telaah Ilmiah Syariah Arah Riset Perguruan Tinggi Indonesia”, acara ini menghadirkan dua orang pembicara yang mumpuni di bidangnya. Pembicara pertama Dr. Desniar, S.Pi, M.Si, yaitu Koordinator Penelitian Institusi di IPB. Pembicara kedua Lily Viruly, S.TP, M.Si, yaitu Ketua Peneliti Nasional Sentra Pengkajian dan Pengobatan Tradisional Kep. Riau, yang juga seorang dosen dari Universitas Maritim Raja Ali Haji Kep. Riau, mahasiswi S3 IPB, dan aktivis MHTI.

Perguruan tinggi memiliki mandat untuk menjalankan tiga peran yang tertuang dalam Tridharma Perguruan Tinggi (PT), yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Optimalnya pelaksanaan Tridharma tentu diharapkan berkontribusi bagi masyarakat terutama dalam penyelesaian berbagai masalah yang dihadapinya. Namun realitasnya, PT dinilai masih jauh dari kondisi optimal. Meskipun berbagai PTN besar di Indonesia telah ‘digadang-gadang’ menjadi Universitas Riset termasuk IPB. Karena berbagai penelitian dan inovasi yang dilakukan di PT, jarang sekali sampai ke masyarakat secara mudah dan murah.

Di sisi lain tak jarang pula para akademisi merasa bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan tidak sesuai dengan idealisme mereka. Hal ini berakibat pada ketidaksinkronan antara PT dengan masyarakat. Maka yang kemudian perlu dipertanyakan adalah tujuan adanya status sebagai Universitas Riset yang dikejar oleh PT, termasuk sebab terjadinya ketidaksinkronan tersebut.

Dalam hal ini, Dr. Desniar menyatakan bahwa memang berbagai hasil penelitian PT harus ditangkap oleh pemerintah untuk dalam diadopsi sebagai kebijakan negara. Ini tidak bisa terealisasi, kecuali oleh pemerintah. Karena para peneliti di PT, juga berperan sebagai dosen yang berkewajiban melaksanakan kegiatan belajar mengajar kepada para mahasiswa. Dengan demikian, jelas tak bisa jika peran pengabdian hasil penelitian mereka di tengah-tengah masyarakat juga harus diemban oleh para peneliti secara langsung, dimana peneliti juga harus turun langsung ke lapangan.

“Jika hal semacam ini masih terus terjadi, maka tak heran jika para dosen yang notabene juga peneliti tersebut akhirnya lebih sibuk mengerjakan proyek di luar kampus dibandingkan mengajar dan mengurus para mahasiswanya,” tambah Dr. Desniar.

“Nah, lalu solusinya bagaimana? Para peneliti ini harus lantang menyuarakan bahwa kalangan intelektual bukanlah sekedar orang pintar yang melakukan penelitian, tapi mereka harus lantang menyatakan pentingnya proses adopsi secara politis oleh negara sebagai pemangku kebijakan untuk dapat menerapkan hasil penelitian mereka bagi masyarakat,” tandasnya.

Sementara itu, Bu Lily, menambahkan bahwa di sinilah pentingnya berbagai kalangan akademisi (dosen, peneliti, mahasiswa) termasuk negara, untuk memahami posisi ideologi dalam mengelola pendidikan dan penelitian. Hal ini dikaitkan dengan Islam sebagai aturan sempurna yang berasal dari Allah Swt, dimana Islam sendiri juga merupakan sumber ilmu. Yang tak kalah menarik, Islam juga memiliki seperangkat aturan tentang pengaturan dan pengelolaan ilmu, keilmuan, peneliti, pendidik, dan juga anak didik. Semua semata-mata dalam rangka mewujudkan negara yang maju, beradab, dan mulia.

“Karena dalam kacamata ideologi kapitalisme, pendidikan dan penelitian adalah komoditi ekonomi. Segala sesuatunya bisa dinilai dengan nominal uang. Bahkan tak sedikit kasus dimana peneliti begitu mudah disuap atas nama kepentingan korporasi. Atau ada juga peneliti yang melakukan kebohongan publik demi tetap menjaga kredibilitasnya sebagai peneliti, padahal penelitiannya tidak pernah dilakukan, atau penelitiannya hanya sekedar rekayasa imajinatif,” sambung Bu Lily.

“Demikianlah ketika seorang yang berilmu bukan orang yang beriman. Padahal Islam telah menegaskan bahwa orang yang berilmu (ulama) justru adalah kalangan yang paling takut berbuat dosa dan kemaksiatan. Mereka adalah kalangan yang paling takut kepada Allah Swt, karena mereka paham terhadap konsekuensi keilmuannya. Karakter intelektual yang seperti ini tidak lain hanya dapat ditemukan dalam negara dengan sistem pemerintahan Khilafah Islamiyyah,” pungkasnya.


Berakhir pukul 12.00, ramah tamah acara ditutup dengan sesi promosi KIN-3 dan pembacaan doa. []