Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Gempita
Kongres Ibu Nusantara ke-3 (KIN-3) telah terasa sejak tanggal 19 Desember 2015
lalu. Berbagai kalangan bersiap dan di sebagian kota telah hadir menyuarakan
urgensitas peran negara sebagai perisai hakiki bagi ibu dan anak, tema besar
KIN-3. Tak kurang 60 kota menjadi tempat berhelatnya momen kolosal tahunan persembahan
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia ini. Tiga puluh ribu kaum ibu dan tokoh
perempuan dari seluruh Indonesia pun dikalkulasikan hadir dalam KIN. Puncak
KIN-3 sendiri akan dilaksanakan di Balai Soedirman, Jakarta, pada tanggal 26
Desember 2015.
Tak
ayal, IPB sebagai salah satu perguruan tinggi nasional, pun turut bergeliat.
Muslimah HTI chapter kampus IPB memanaskan opini dengan menggelar agenda awalan
menyambut KIN-3, bernama Jurnal Muslimah (20/12). Bertempat di RK Pinus 2,
Fakultas Pertanian IPB, acara berbentuk talkshow ini cukup menyita perhatian
publik kampus. Sekitar 50 orang civitas akademika IPB dari berbagai lapisan
intelektual hadir. Mulai dari dosen, mahasiswi S1, mahasiswi pascasarjana (S2
dan S3), tak terkecuali para alumni IPB.
Mengangkat
tema “Telaah Ilmiah Syariah Arah Riset Perguruan Tinggi Indonesia”, acara ini
menghadirkan dua orang pembicara yang mumpuni di bidangnya. Pembicara pertama
Dr. Desniar, S.Pi, M.Si, yaitu Koordinator Penelitian Institusi di IPB.
Pembicara kedua Lily Viruly, S.TP, M.Si, yaitu Ketua Peneliti Nasional Sentra
Pengkajian dan Pengobatan Tradisional Kep. Riau, yang juga seorang dosen dari
Universitas Maritim Raja Ali Haji Kep. Riau, mahasiswi S3 IPB, dan aktivis
MHTI.
Perguruan tinggi memiliki mandat untuk
menjalankan tiga peran yang tertuang dalam Tridharma Perguruan Tinggi (PT), yaitu
pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Optimalnya pelaksanaan Tridharma
tentu diharapkan berkontribusi bagi masyarakat terutama dalam penyelesaian
berbagai masalah yang dihadapinya. Namun realitasnya, PT dinilai masih jauh
dari kondisi optimal. Meskipun berbagai PTN besar di Indonesia telah
‘digadang-gadang’ menjadi Universitas Riset termasuk IPB. Karena berbagai
penelitian dan inovasi yang dilakukan di PT, jarang sekali sampai ke masyarakat
secara mudah dan murah.
Di sisi lain tak jarang pula para akademisi
merasa bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan tidak sesuai dengan idealisme
mereka. Hal ini berakibat pada ketidaksinkronan antara PT dengan masyarakat.
Maka yang kemudian perlu dipertanyakan adalah tujuan adanya status sebagai
Universitas Riset yang dikejar oleh PT, termasuk sebab terjadinya
ketidaksinkronan tersebut.
Dalam hal ini, Dr. Desniar menyatakan bahwa
memang berbagai hasil penelitian PT harus ditangkap oleh pemerintah untuk dalam
diadopsi sebagai kebijakan negara. Ini tidak bisa terealisasi, kecuali oleh
pemerintah. Karena para peneliti di PT, juga berperan sebagai dosen yang
berkewajiban melaksanakan kegiatan belajar mengajar kepada para mahasiswa. Dengan
demikian, jelas tak bisa jika peran pengabdian hasil penelitian mereka di
tengah-tengah masyarakat juga harus diemban oleh para peneliti secara langsung,
dimana peneliti juga harus turun langsung ke lapangan.
“Jika hal semacam ini masih terus terjadi,
maka tak heran jika para dosen yang notabene juga peneliti tersebut akhirnya
lebih sibuk mengerjakan proyek di luar kampus dibandingkan mengajar dan
mengurus para mahasiswanya,” tambah Dr. Desniar.
“Nah, lalu solusinya bagaimana? Para peneliti
ini harus lantang menyuarakan bahwa kalangan intelektual bukanlah sekedar orang
pintar yang melakukan penelitian, tapi mereka harus lantang menyatakan pentingnya
proses adopsi secara politis oleh negara sebagai pemangku kebijakan untuk dapat
menerapkan hasil penelitian mereka bagi masyarakat,” tandasnya.
Sementara itu, Bu Lily, menambahkan bahwa di
sinilah pentingnya berbagai kalangan akademisi (dosen, peneliti, mahasiswa)
termasuk negara, untuk memahami posisi ideologi dalam mengelola pendidikan dan
penelitian. Hal ini dikaitkan dengan Islam sebagai aturan sempurna yang berasal
dari Allah Swt, dimana Islam sendiri juga merupakan sumber ilmu. Yang tak kalah
menarik, Islam juga memiliki seperangkat aturan tentang pengaturan dan
pengelolaan ilmu, keilmuan, peneliti, pendidik, dan juga anak didik. Semua
semata-mata dalam rangka mewujudkan negara yang maju, beradab, dan mulia.
“Karena dalam kacamata ideologi kapitalisme,
pendidikan dan penelitian adalah komoditi ekonomi. Segala sesuatunya bisa
dinilai dengan nominal uang. Bahkan tak sedikit kasus dimana peneliti begitu
mudah disuap atas nama kepentingan korporasi. Atau ada juga peneliti yang
melakukan kebohongan publik demi tetap menjaga kredibilitasnya sebagai
peneliti, padahal penelitiannya tidak pernah dilakukan, atau penelitiannya
hanya sekedar rekayasa imajinatif,” sambung Bu Lily.
“Demikianlah ketika seorang yang berilmu
bukan orang yang beriman. Padahal Islam telah menegaskan bahwa orang yang
berilmu (ulama) justru adalah kalangan yang paling takut berbuat dosa dan
kemaksiatan. Mereka adalah kalangan yang paling takut kepada Allah Swt, karena
mereka paham terhadap konsekuensi keilmuannya. Karakter intelektual yang
seperti ini tidak lain hanya dapat ditemukan dalam negara dengan sistem pemerintahan
Khilafah Islamiyyah,” pungkasnya.
Berakhir pukul 12.00, ramah tamah acara
ditutup dengan sesi promosi KIN-3 dan pembacaan doa. []