Sabtu, 10 November 2012

Hari Pangan Sedunia, Wujud Mimpi Pangan Murah; Kebijakan Pangan Murah Hanya dalam Khilafah Islam



Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

HPS dan misi Ketahanan Pangan
Hari Pangan Sedunia (HPS, World Food Day) diperingati pada tanggal 16 Oktober. Pada peringatan setiap tahunnya, HPS selalu berorientasi pada peningkatan kepedulian terhadap masalah kemiskinan dan kelaparan. Ketahanan pangan (food security) merupakan tema yang paling sering digunakan dalam perayaan HPS. Karena merefleksikan kemampuan rata-rata individu untuk mendapatkan makanan (keterjangkauan) dan ketersediannya (haripangansedunia.com, 15/10/2012). Namun, harga pangan dunia tengah diklaim naik karena ada penurunan produksi (yang disebabkan perubahan iklim global). Menurut penelitian FAO, meningkatnya harga pangan membuat orang yang hidup dengan pendapatan kurang dengan 1,25 dolar AS/hari, harus mengurangi jatah pangan mereka. FAO Representative ad interim Indonesia, James McGrane, menyatakan bahwa ada 900 juta orang di dunia yang kekurangan pangan dan sekitar 570 juta di antaranya hidup di wilayah Asia Pasifik termasuk Indonesia (andriewongso.com, 16/10/2011).

Menurut catatan FAO, sejak 2007, harga pangan di dunia mengalami kenaikan setelah empat dekade terakhir. Kemudian, pada tahun 2008 dan 2011, harga pangan cenderung naik dan turun secara drastis. Praktek spekulasi komoditas pangan oleh bank-bank besar dan lembaga keuangan internasional yang terpuruk akibat krisis finansial mendorong praktik spekulasi pangan atau pengalihan investasi skala besar di sektor pertanian, terutama di negara-negara Asia dan Afrika. Kenaikan harga pangan pada tahun 2002-2008 mencapai 85% dan meningkatkan jumlah orang kelaparan dan kurang gizi di dunia mencapai 870 juta orang antara tahun 2010-2012 berdasarkan data FAO (tempo.co, 13/10/2012). Dengan demikian, peringatan HPS masih dipenuhi keprihatinan. Karena misi ketahanan pangan masih terancam oleh kemiskinan dan kelaparan, akibat harga pangan mahal dan rakyat tak mampu membelinya.

Harga Pangan Mahal; Bukti Lepas Tangan Pemerintah
Setahun berselang, ekonom Hendri Saparini menyatakan bahwa strategi dan kebijakan Pemerintah terkait pangan harus diubah. Pasalnya, ada sekitar 45% penduduk Indonesia yang near poor, artinya dekat dengan kemiskinan dan sangat sensitif terhadap kenaikan harga pangan (kompas.com, 21/07/2012). Presiden justru kontradiktif. SBY menyatakan bahwa era pangan murah telah berakhir. Pemerintah pun berdalih bahwa ini akibat fluktuasi harga minyak dunia dan harga pangan internasional, yang mana keduanya menunjukkan pergerakan yang makin sulit diperkirakan. Tingginya harga pangan, diproyeksikan masih akan berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Untuk itu, Indonesia harus menyediakan ketersediaan pangan yang memadai melalui optimalisasi sumber daya domestik. Pemerintah juga harus dapat mengamankan penyediaan pangan pokok, utamanya beras (vivanews.com, 16/08/2012).

Wapres Boediono pun sejalan dengan SBY. Orasi ilmiahnya dalam acara puncak Dies Natalis IPB ke-49 pada 25 September 2012, menekankan pentingnya transformasi pertanian untuk memperkokoh ketahanan pangan nasional. Namun, ia juga menyatakan bahwa tanpa transformasi pertanian yang berhasil, ketahanan pangan akan menciptakan ketergantungan terhadap subsidi negara. Sungguh, ini menunjukkan bahwa dengan kata lain, pemerintah memang ingin lepas tangan dalam mengurusi kebutuhan pokok rakyatnya. Hei, bukankah para pemimpin itu dipilih oleh rakyat untuk menyejahterakan, bukan menyengsarakan? Na’udzubillaah.

Mahal/Murah, Hasil Permainan Swasta
Pada masa lalu, pemerintah mengendalikan stok beberapa bahan kebutuhan pokok. Namun, setelah monopoli pemerintah dilepas menyusul penandatanganan surat kesanggupan berkehendak (LOI) IMF tahun 1998, dan sebagai bagian dari program IMF guna mengatasi krisis ekonomi di Indonesia, pemerintah diminta tidak lagi memegang stok selain beras. Kini stok dikendalikan segelintir orang (swasta). Ternyata, harganya malah sering melonjak tiba-tiba. Sumber masalahnya ada tiga, yaitu ketergantungan impor, konsentrasi distribusi, dan keterbatasan peran Perum Bulog. Hampir semua komoditas penting pangan nasional Indonesia bergantung pada impor dalam jumlah yang besar, seperti jagung, kedelai, daging, dan beras. Implikasinya, ketika terjadi kenaikan harga internasional atau tiba-tiba permintaan pasar domestik naik, harga di pasar akan cepat berubah naik.

Selanjutnya, distribusi juga bermasalah karena beberapa komoditas pangan dikuasai oleh segelintir pelaku. Ini terjadi dalam distribusi gula, jagung, kedelai, daging, dan lain-lain. Penguasaan komoditas tersebut terkait dengan hak impor yang mereka miliki, sehingga kontrol pasokan dan harga sepenuhnya di tangan mereka. Bagaimanapun, swasta adalah investor, pihak yang ber-uang dan bisa punya andil besar. Namun akibatnya, terjadi monopoli bahan pangan, menumpuknya kendali supply pangan pada sekelompok orang, serta impor yang menyebabkan ketergantungan kepada negara lain.

Bulog, sebagai lembaga penyangga, dulu punya peran strategis untuk mengontrol pasokan dan harga. Kini, Bulog hanya mengontrol beras. Itu pun dengan anggaran dan cadangan yang terbatas. Belum lagi saat impor beras, pelaksanaan impornya ditenderkan kepada importir swasta dan dijadikan bancakan oleh para pejabat dan politisi. Jika pun berperan, Bulog hanya mengendalikan sejumlah komoditas secara temporer, terutama saat Lebaran, seperti minyak goreng dan daging sapi.

Sekarang, kebijakan harga dilepas ke pasar atau harga distabilkan tergantung dari pemerintah. Saat pemerintah melepas ke pasar, asumsinya pasar itu sempurna, padahal tidak. Maka ketika pasar tidak sempurna, intervensi lembaga penyangga stok harus dilakukan. Misalnya impor gandum yang tahun 2012 ini bisa mencapai 7,1 juta ton senilai USD 3,5 miliar atau setara Rp 32,8 triliun (liputan6.com, 17/06/2012) dikuasai tidak lebih oleh empat perusahaan saja, yang terbesar Bogasari dari Grup Salim (Indofood CS). Mereka adalah perusahaan dalam negeri bermodal besar yang mampu menguasai pangan dari hulu hingga hilir (mulai dari impor gandum, industri tepung terigu sampai makanan olahan berbahan tepung terigu). Jadi, mereka bisa mengendalikan penentuan harga di pasar, dan menyebabkan hilangnya peluang usaha bagi masyarakat yang memiliki modal terbatas.
 
Rapuhnya Kapitalisme, Kebijakan Pangan Mahal
Ketahanan pangan harus ditopang oleh sebuah sistem untuk melandasi tegaknya berbagai kebijakan pangan. Indonesia sebagai negara demokrasi, maka kebijakan ketahanan pangannya pun berakar pada sistem kapitalisme. Buktinya, terdapat pembukaan potensi investasi oleh pada investor swasta, termasuk asing. Jika investor telah terlibat, maka yang berkembang adalah capaian profit setinggi-tingginya dengan jumlah modal serendah-rendahnya. Wajar jika harga pangan mahal. Akibatnya, rakyat pailit, sulit makan karena tidak mampu beli, sementara peningkatan nominal gaji tidak signifikan. Fenomena hidup irit pun mencapai ambang batas dan hanya menjadi solusi parsial/sementara. 

Dalam Islam, tiga subsistem ketahanan pangan meliputi ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan. Jika salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi, maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.

Sayangnya, kapitalisme memang rapuh. Ketersediaan pangan menurut kapitalisme adalah ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Konsep ketersedian pangan seperti ini hanya dilihat secara makro, sehingga tersedianya pangan dianggap cukup. Masalah distribusi dan bisa diakses oleh tiap individu atau tidak, itu tidak jadi perhatian. Disamping itu dengan filosofi kebebasan ala kapitalisme, maka penyediaan pangan itu harus diberikan kepada swasta secara bebas

Faktor lain yang ternyata dapat memicu kenaikan harga adalah ketidakseimbangan supply-demand, dan kenaikan harga barang yang dikendalikan pemerintah, seperti harga BBM, TDL, ataupun Elpiji. Jika kita lihat data, maka peningkatan harga sampai dengan pertengahan 2010 didominasi oleh tekanan yang bersumber dari kelompok makanan, seperti cabe merah, cabe rawit, bawang merah, dan bawang putih, serta beras. Harga beras akan mempengaruhi bumbu-bumbuan, lalu bumbu-bumbuan akan mempengaruhi buah-buahan dan sayuran, termasuk ke umbi-umbian, dan seterusnya. Efek ini berputar terus sampai ke produk makanan turunan. Jika harga beras naik, maka lontong dan ketupat ikut naik.

Islam Menjamin Ketahanan Pangan dan Harga Pangan Murah
Ketahanan pangan dalam sistem Islam tidak terlepas dari sistem politik-ekonomi Islam, yaitu jaminan pemenuhan semua kebutuhan primer (kebutuhan pokok bagi individu dan kebutuhan dasar bagi masyarakat) setiap orang individu per individu secara menyeluruh, berikut jaminan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya, sesuai dengan kadar kesanggupannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat yang memiliki gaya hidup tertentu. 

Ketersediaan pangan di sini adalah tersedianya stok pangan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.  Sementara keterjangkauan pangan adalah tersedia dan terdistribusinya pangan secara merata di semua wilayah dengan tingkat harga yang wajar.  Ketersediaan pangan itu erat kaitannya dengan produksi pangan. Sedangkan keterjangkauan pangan erat kaitannya dengan distribusi dan keseimbangan supply dan demand. Pengaturan stok dan supply bisa dilakukan dengan mendistribusikan produk dari daerah-daerah sentra produksi atau yang surplus ke daerah-daerah lain yang kurang.

Adanya lembaga penyangga pengelola logistik sebagaimana Bulog, pernah dicontohkan oleh Rasul saw. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Kemudian lembaga tersebut bekerja dengan cara negara membeli hasil pangan dan menyimpannya di gudang-gudang negara untuk didistribusikan ketika supply kurang. Dengan kebijakan itu maka harga pangan bisa dijaga pada tingkat yang wajar. Untuk itu perlu ada badan negara yang berfungsi sebagai penyangga harga dan keseimbangan supply dan demand, khususnya untuk produk-produk pangan pokok dan pangan utama. Badan itu bisa saja seperti Bulog. Kebijakan pengendalian harga dengan mengendalikan supply dan demand menggunakan mekanisme pasar juga harus dilakukan. Sebab Islam melarang kebijakan pematokan harga. Anas ra. menceritakan: Harga meroket pada masa Rasulullah saw lalu mereka (para sahabat) berkata: “Ya Rasulullah patoklah harga untuk kami”. Maka Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezki dan aku sungguh ingin menjumpai Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi, Ahmad).

Dalam Islam, perdagangan adalah bagian dari ibadah. Islam mendorong perdagangan karena dengan itu manusia akan saling mencukupi kebutuhannya, tapi tidak boleh berlangsung bebas/liberal (freedom) dan free market. Perdagangan harus dibiarkan berjalan wajar. Mekanisme supply dan demand akan menciptakan tata pemenuhan kebutuhan masyarakat. Penetapan harga pun atas keridhoan antara penjual dan pembeli sebagaimana rukun jual-beli, bukan ditentukan oleh sepihak (penjual saja). Negara mengawasi agar tidak terjadi praktik-praktik terlarang seperti penipuan, penimbunan, monopoli, kedzaliman, menetapkan harga, menaikkan harga.

Disamping itu, negara juga harus melarang perserikatan/asosiasi produsen, konsumen atau pedagang melakukan kesepakatan, kolusi atau persekongkolan untuk mengatur dan mengendalikan harga atau perdagangan, misalnya membuat kesepakatan harga jual minimal.  Hal itu berdasarkan sabda Rasul saw:Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi) dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan haga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak (HR Ahmad, al-Baihaqi, ath-Thabarani).

Maka apa saja yang disitu ada unsur untuk memahalkan harga maka tercakup dalam ancaman hadits ini.

Pemerintah pun harus mengawasi harga, tidak boleh membiarkan harga melambung tinggi yang dinaikkan sepihak oleh swasta, sementara masyarakat menjerit, menderita karena bentuk penzaliman terhadap masyarakat. Rasul saw bersabda: “Tidak akan menimbun barang supaya naik harganya kecuali orang-orang yang berdosa.” (HR. Muslim). Pemerintah mendorong berkembangnya sektor riil saja atau pertukaran barang dan jasa (pertanian, perindustrian, transportasi dll). Lalu membuat regulasi yang mengatur barang dan jasa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Pemerintah menjaga agar perdagangan berjalan sewajarnya, sehat dan adil, tidak merugikan antara penjual dan pembeli dan menaikkan harga seperti yang terjadi sekarang ini.

Semua kebijakan dan strategi itu hanya akan bisa berjalan dengan baik jika didukung oleh kepemimpinan yang kuat dalam sistem kenegaraan yang bisa terjamin adanya keterpaduan antarsektor, bukan malah terjadi ego-sektoral di tengah kepemimpinan yang lemah seperti saat ini.  Hal itu hanya bisa terwujud dalam sistem Khilafah ‘ala minhaji an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.