Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
HPS
dan misi Ketahanan Pangan
Hari Pangan Sedunia (HPS, World Food Day)
diperingati pada tanggal 16 Oktober.
Pada peringatan setiap tahunnya, HPS selalu berorientasi pada peningkatan
kepedulian terhadap masalah kemiskinan dan kelaparan. Ketahanan
pangan (food security) merupakan tema yang paling
sering digunakan dalam
perayaan HPS. Karena merefleksikan
kemampuan rata-rata individu untuk mendapatkan makanan (keterjangkauan) dan ketersediannya (haripangansedunia.com,
15/10/2012). Namun, harga
pangan dunia tengah diklaim naik
karena ada penurunan produksi (yang disebabkan perubahan iklim global). Menurut
penelitian FAO, meningkatnya harga pangan membuat orang yang hidup dengan
pendapatan kurang dengan 1,25 dolar AS/hari, harus mengurangi jatah pangan
mereka. FAO Representative ad interim Indonesia, James McGrane, menyatakan bahwa ada
900 juta orang di dunia yang kekurangan pangan dan sekitar 570 juta di
antaranya hidup di wilayah Asia Pasifik termasuk Indonesia (andriewongso.com,
16/10/2011).
Menurut catatan FAO, sejak 2007, harga pangan di dunia mengalami
kenaikan setelah empat dekade terakhir. Kemudian, pada tahun 2008 dan 2011,
harga pangan cenderung naik dan turun secara drastis. Praktek spekulasi
komoditas pangan oleh bank-bank besar dan lembaga keuangan internasional yang
terpuruk akibat krisis finansial mendorong praktik spekulasi pangan atau
pengalihan investasi skala besar di sektor pertanian, terutama di negara-negara
Asia dan Afrika. Kenaikan harga
pangan pada tahun 2002-2008 mencapai 85% dan meningkatkan jumlah orang
kelaparan dan kurang gizi di dunia mencapai 870 juta orang antara tahun
2010-2012 berdasarkan data FAO (tempo.co, 13/10/2012). Dengan demikian, peringatan
HPS masih dipenuhi keprihatinan. Karena misi ketahanan pangan masih terancam
oleh kemiskinan dan kelaparan, akibat harga pangan mahal dan rakyat tak mampu
membelinya.
Harga Pangan Mahal; Bukti Lepas Tangan
Pemerintah
Setahun berselang, ekonom
Hendri Saparini menyatakan bahwa strategi
dan kebijakan Pemerintah terkait pangan harus diubah. Pasalnya, ada sekitar 45% penduduk Indonesia yang near poor, artinya
dekat dengan kemiskinan dan sangat
sensitif terhadap kenaikan harga pangan (kompas.com, 21/07/2012). Presiden justru
kontradiktif. SBY menyatakan bahwa era pangan murah telah berakhir. Pemerintah pun berdalih bahwa ini akibat fluktuasi
harga minyak dunia dan harga pangan internasional, yang mana keduanya menunjukkan pergerakan yang
makin sulit diperkirakan. Tingginya
harga pangan, diproyeksikan
masih akan berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Untuk itu, Indonesia
harus menyediakan ketersediaan pangan yang memadai melalui optimalisasi sumber
daya domestik. Pemerintah
juga harus dapat mengamankan penyediaan pangan pokok, utamanya beras (vivanews.com, 16/08/2012).
Wapres Boediono pun sejalan
dengan SBY. Orasi ilmiahnya dalam acara puncak Dies Natalis IPB ke-49 pada 25
September 2012, menekankan pentingnya transformasi pertanian untuk memperkokoh ketahanan pangan nasional. Namun, ia
juga menyatakan bahwa tanpa
transformasi pertanian yang berhasil, ketahanan pangan akan menciptakan
ketergantungan terhadap subsidi negara. Sungguh, ini menunjukkan bahwa dengan
kata lain, pemerintah memang ingin lepas tangan dalam mengurusi kebutuhan pokok
rakyatnya. Hei, bukankah para pemimpin itu dipilih oleh rakyat untuk
menyejahterakan, bukan menyengsarakan? Na’udzubillaah.
Mahal/Murah,
Hasil Permainan Swasta
Pada masa lalu, pemerintah mengendalikan stok beberapa bahan
kebutuhan pokok. Namun, setelah monopoli pemerintah dilepas menyusul
penandatanganan surat kesanggupan berkehendak (LOI) IMF tahun 1998, dan sebagai bagian dari program IMF guna mengatasi
krisis ekonomi di Indonesia, pemerintah diminta tidak lagi memegang stok selain
beras. Kini stok dikendalikan segelintir orang (swasta). Ternyata, harganya malah sering melonjak
tiba-tiba. Sumber
masalahnya ada tiga, yaitu ketergantungan impor, konsentrasi distribusi, dan
keterbatasan peran Perum Bulog. Hampir
semua komoditas penting pangan nasional Indonesia bergantung pada impor dalam
jumlah yang besar, seperti jagung, kedelai, daging, dan beras. Implikasinya,
ketika terjadi kenaikan harga internasional atau tiba-tiba permintaan pasar
domestik naik, harga di pasar akan cepat berubah naik.
Selanjutnya, distribusi juga bermasalah karena beberapa komoditas pangan
dikuasai oleh segelintir pelaku. Ini terjadi dalam distribusi gula, jagung,
kedelai, daging, dan lain-lain. Penguasaan komoditas tersebut terkait dengan hak impor yang mereka miliki,
sehingga kontrol pasokan dan harga sepenuhnya di tangan
mereka. Bagaimanapun, swasta
adalah investor, pihak yang ber-uang dan bisa punya andil besar. Namun akibatnya, terjadi monopoli
bahan pangan, menumpuknya kendali supply
pangan pada sekelompok orang, serta impor yang menyebabkan ketergantungan
kepada negara
lain.
Bulog,
sebagai lembaga penyangga, dulu punya peran strategis untuk mengontrol pasokan dan
harga. Kini, Bulog
hanya
mengontrol beras.
Itu pun dengan anggaran dan cadangan yang terbatas. Belum lagi saat impor beras, pelaksanaan impornya ditenderkan kepada importir swasta dan dijadikan bancakan oleh para pejabat dan politisi. Jika pun berperan, Bulog hanya mengendalikan
sejumlah komoditas secara temporer, terutama saat Lebaran, seperti minyak
goreng dan daging sapi.
Sekarang, kebijakan
harga dilepas ke pasar atau harga distabilkan tergantung dari pemerintah. Saat
pemerintah melepas ke pasar, asumsinya pasar itu sempurna, padahal tidak. Maka ketika pasar tidak sempurna, intervensi lembaga penyangga
stok harus dilakukan. Misalnya impor gandum
yang tahun 2012 ini bisa
mencapai 7,1 juta ton senilai USD 3,5 miliar atau setara Rp 32,8 triliun (liputan6.com, 17/06/2012)
dikuasai tidak lebih oleh empat perusahaan
saja, yang terbesar Bogasari dari Grup Salim (Indofood CS). Mereka adalah perusahaan dalam negeri bermodal besar yang mampu menguasai pangan dari hulu hingga hilir
(mulai dari impor gandum, industri tepung terigu sampai makanan olahan berbahan
tepung terigu). Jadi, mereka bisa mengendalikan penentuan harga di pasar,
dan menyebabkan hilangnya peluang usaha bagi masyarakat yang memiliki modal
terbatas.
Rapuhnya Kapitalisme, Kebijakan
Pangan Mahal
Ketahanan pangan harus
ditopang oleh sebuah sistem untuk melandasi tegaknya berbagai kebijakan pangan.
Indonesia sebagai negara demokrasi, maka kebijakan ketahanan pangannya pun
berakar pada sistem kapitalisme. Buktinya, terdapat pembukaan potensi investasi
oleh pada investor swasta, termasuk asing. Jika investor telah terlibat, maka yang
berkembang adalah capaian profit setinggi-tingginya dengan jumlah modal
serendah-rendahnya. Wajar jika harga pangan mahal. Akibatnya, rakyat pailit,
sulit makan karena tidak mampu beli, sementara peningkatan nominal gaji tidak
signifikan. Fenomena hidup irit pun mencapai ambang batas dan hanya menjadi
solusi parsial/sementara.
Dalam Islam, tiga subsistem
ketahanan pangan meliputi ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan. Jika salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi, maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai
ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional
dan regional, tapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak
merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.
Sayangnya, kapitalisme memang rapuh. Ketersediaan pangan
menurut kapitalisme adalah
ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang
dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan
pangan maupun bantuan pangan. Konsep ketersedian
pangan seperti ini hanya dilihat secara makro, sehingga tersedianya pangan dianggap cukup. Masalah distribusi dan bisa diakses oleh tiap
individu atau tidak, itu tidak jadi perhatian. Disamping itu dengan filosofi kebebasan ala kapitalisme, maka penyediaan pangan itu harus diberikan kepada
swasta secara bebas.
Faktor lain yang ternyata dapat
memicu kenaikan harga adalah ketidakseimbangan supply-demand, dan
kenaikan harga barang yang dikendalikan pemerintah, seperti harga BBM, TDL,
ataupun Elpiji. Jika kita lihat
data, maka peningkatan harga sampai dengan pertengahan 2010 didominasi oleh
tekanan yang bersumber dari kelompok makanan, seperti cabe merah, cabe rawit, bawang merah,
dan bawang putih, serta beras. Harga beras akan mempengaruhi bumbu-bumbuan, lalu bumbu-bumbuan
akan mempengaruhi
buah-buahan dan sayuran, termasuk ke umbi-umbian, dan seterusnya. Efek ini
berputar terus sampai ke produk makanan turunan. Jika harga beras naik, maka lontong dan
ketupat ikut naik.
Islam
Menjamin Ketahanan Pangan dan Harga Pangan Murah
Ketahanan
pangan dalam sistem Islam tidak terlepas dari sistem politik-ekonomi Islam, yaitu jaminan pemenuhan semua kebutuhan primer
(kebutuhan pokok bagi individu dan kebutuhan dasar bagi masyarakat) setiap
orang individu per individu secara menyeluruh, berikut jaminan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya, sesuai
dengan kadar kesanggupannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat yang
memiliki gaya hidup tertentu.
Ketersediaan
pangan di sini adalah
tersedianya stok pangan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat. Sementara keterjangkauan pangan adalah tersedia dan
terdistribusinya
pangan secara merata di semua wilayah dengan tingkat harga yang wajar.
Ketersediaan pangan itu erat kaitannya dengan produksi pangan. Sedangkan
keterjangkauan pangan erat kaitannya dengan distribusi dan keseimbangan supply dan demand. Pengaturan stok dan supply
bisa dilakukan dengan mendistribusikan produk dari daerah-daerah sentra produksi atau yang surplus ke
daerah-daerah lain yang kurang.
Adanya lembaga
penyangga pengelola
logistik sebagaimana Bulog, pernah dicontohkan
oleh Rasul saw. Beliau mengangkat
Hudzaifah ibn al-Yaman untuk mencatat
hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Kemudian lembaga tersebut
bekerja dengan cara negara
membeli hasil pangan dan menyimpannya di gudang-gudang negara untuk
didistribusikan ketika supply kurang. Dengan kebijakan itu maka harga pangan bisa dijaga
pada tingkat yang wajar. Untuk itu
perlu ada badan negara yang berfungsi sebagai penyangga harga dan keseimbangan supply dan demand, khususnya untuk produk-produk pangan pokok dan
pangan utama. Badan itu
bisa saja seperti Bulog. Kebijakan
pengendalian harga dengan mengendalikan supply
dan demand menggunakan mekanisme
pasar juga harus
dilakukan. Sebab
Islam melarang kebijakan pematokan harga. Anas ra.
menceritakan: Harga meroket pada masa Rasulullah saw lalu mereka
(para sahabat) berkata: “Ya
Rasulullah patoklah harga untuk kami”. Maka Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam,
Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezki dan aku sungguh ingin menjumpai Allah
dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena kezaliman dalam
hal darah dan harta (HR
at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi, Ahmad).
Dalam Islam, perdagangan adalah bagian dari
ibadah. Islam mendorong perdagangan karena
dengan itu manusia akan saling mencukupi kebutuhannya, tapi tidak boleh berlangsung bebas/liberal (freedom)
dan free market. Perdagangan harus dibiarkan berjalan wajar. Mekanisme supply dan demand
akan menciptakan
tata pemenuhan kebutuhan masyarakat. Penetapan harga pun atas keridhoan antara penjual dan pembeli sebagaimana rukun jual-beli, bukan
ditentukan oleh sepihak (penjual saja). Negara mengawasi agar tidak terjadi
praktik-praktik terlarang seperti penipuan,
penimbunan, monopoli, kedzaliman, menetapkan harga, menaikkan harga.
Disamping itu, negara juga harus melarang
perserikatan/asosiasi produsen, konsumen atau pedagang melakukan kesepakatan,
kolusi atau persekongkolan untuk mengatur dan mengendalikan harga atau
perdagangan, misalnya membuat kesepakatan harga jual minimal. Hal itu
berdasarkan sabda Rasul saw: “Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi)
dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan haga atas mereka, maka adalah
hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari
Kiamat kelak” (HR Ahmad, al-Baihaqi, ath-Thabarani).
Maka apa
saja yang disitu ada unsur untuk memahalkan harga maka tercakup dalam ancaman
hadits ini.
Pemerintah pun harus mengawasi harga, tidak boleh membiarkan harga melambung
tinggi yang dinaikkan sepihak oleh swasta, sementara masyarakat menjerit,
menderita karena bentuk penzaliman terhadap masyarakat. Rasul saw bersabda: “Tidak akan
menimbun barang supaya naik harganya kecuali orang-orang yang berdosa.” (HR.
Muslim). Pemerintah
mendorong berkembangnya sektor riil saja atau pertukaran barang dan jasa (pertanian,
perindustrian, transportasi dll). Lalu membuat regulasi yang mengatur barang
dan jasa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Pemerintah menjaga
agar perdagangan berjalan sewajarnya, sehat dan adil, tidak merugikan antara
penjual dan pembeli dan menaikkan harga seperti yang terjadi sekarang ini.
Semua
kebijakan dan strategi itu hanya akan bisa berjalan dengan baik jika didukung
oleh kepemimpinan yang kuat dalam sistem kenegaraan yang bisa terjamin adanya
keterpaduan antarsektor, bukan malah terjadi ego-sektoral di tengah
kepemimpinan yang lemah seperti saat ini. Hal itu hanya bisa terwujud
dalam sistem Khilafah ‘ala minhaji an-nubuwwah. Wallâh
a’lam bi ash-shawâb.