Kamis, 28 Februari 2013

Antiaging, Wacana Kesehatan Berbalut Ketimpangan



Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Muqodimah
Kita tidak bisa membalikan waktu dan menjadi muda. Bagaimanapun, dengan kemajuan teknologi pengobatan kulit sekarang, anda dapat menghilangkan efek dari penuaan dan photoaging (penuaan yang disebabkan oleh sinar matahari). Kita tidak dapat menjadi muda tapi kita dapat terlihat muda dan lebih menarik dengan perawatan antipenuaan atau lebih dikenal dengan antiaging.
Antiaging atau antipenuaan adalah sediaan untuk mencegah proses degeneratif. Dalam hal ini, proses penuaan yang gejalanya terlihat jelas pada kulit seperti keriput, kulit kasar, noda-noda gelap. Kerutan ataupun keriput dapat diartikan secara sederhana sebagai penyebab menurunnya jumlah kolagen dermis.
Indonesia mempunyai iklim tropis dengan sinar matahari melimpah yang dapat menyebabkan resiko tinggi terhadap kerusakan kulit atau penuaan dini (premature aging). Masalah yang timbul pada kulit akibat sinar matahari dapat diatasi dengan pengobatan dermatologis. Pengobatan yang diaplikasikan langsung ke kulit biasanya lebih efektif (medicastore.com, diakses tanggal 27/02/2013).

Indonesia, Negara Peduli Penuaan Dini
Dr Deby Vinski, AAMS, Dipl WOSAAM dikenal sebagai dokter pelopor antiaging di Indonesia. Perempuan kelahiran Makassar, 9 November 1967 ini terpilih secara aklamasi dengan suara penuh oleh pakar dunia dari 25 negara sebagai presiden dari World Council of Preventive Medicine (WCOPM), yang terletak di Prancis (tempo.co, 18/02/2013), disamping penghargaan Kartini Award 2009 dari Ibu Negara Ani Yudhoyono dalam kongres antiaging (glambeauty8.com, 10/08/2011).
Deby akan memimpin WCOPM selama lima tahun kedepan (female.kompas.com, 21/02/2013). “Tahap awal saya akan membuat konsensus anti-penuaan dunia yang akan diikuti 50 negara. Selain itu, kami akan membuat majelis kode etik antipenuaan yang akan berlaku di dunia,” kata Deby, saat menjelaskan program kerjanya sebagai presiden WCOPM, Sabtu, 16 Februari 2013 (tempo.co, 18/02/2013).
Deby juga menjelaskan bahwa antiaging bukan hanya seputar wajah atau kecantikan, melainkan juga meliputi seluruh kesehatan tubuh. Kesalahpahaman ini yang perlu disosialisasikan kembali kepada masyarakat. “Antipenuaan itu bukan kecantikan, tapi penyakit akibat, misalnya, nuklir yang bocor ataupun perang. Itulah tantangan kita, karena dunia bergerak ke penyakit degenerasi,” katanya (tempo.co, 18/02/2013).
Perempuan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya ini membawa nama Indonesia sebagai salah satu negara yang peduli pada pencegahan penuaan dini. Menurutnya, meski di Indonesia baru berkembang mengenai kesadaran antipenuaan diri, ia yakin akan semakin marak ke depannya. Sebagai presiden, Deby menggaet beberapa ikon antipenuaan dari kalangan selebritas seperti Edies Adelia dan presenter Sonny Tulung (tempo.co, 18/02/2013).
Memang, butuh perjalanan panjang bagi Deby dalam merintis kariernya sebagai dokter spesialis antiaging. Deby menjalani praktik pengobatan antipenuaan lebih dari empat tahun. Pasiennya kebanyakan perempuan,  sementara 45% pasiennya adalah laki-laki. Mereka umumnya datang untuk terapi hormon agar sehat dan awet muda. Deby giat menjelaskan penuaan bahwa bisa dihambat dengan serangkaian terapi antitua, mulai olahraga, perbaikan nutrisi, penyeimbangan hormon, hingga pengobatan canggih sel punca (female.kompas.com, 21/02/2013).

Tua, Antara Fitrah dan Inovasi
Menjadi tua bagi manusia merupakan suatu fitrah, terjadi secara alamiah. Bicara tua, berarti bicara besaran masa. Dan oleh karenanya, Allah Swt telah mengingatkan kita dalam firman-Nya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3). Menuanya fisik tak bisa dihentikan. Fisik bukanlah segalanya. Karena kemuliaan manusia tidak dinilai oleh Allah dari fisiknya, melainkan ketaqwaannya. Firman Allah Swt: “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS. Al-Hujuraat [49]: 13).
Seiring perkembangan zaman, berkembang pula inovasi antiaging. Bahkan, antiaging kini merupakan gaya hidup yang dijadikan kebutuhan. Kondisinya lebih kepada perbaikan fisik, khususnya tubuh dan wajah. Hanya saja, mekanismenya memang melalui bidang kesehatan. Karena treatment antiaging berawal dari pola hidup sehat, seperti makan makanan yang bergizi, rajin olahraga, istirahat yang cukup, tidak merokok, tidak mengkonsumsi minuman beralkohol, dsb.
Namun, yang saat ini mampu mengaksesnya hanyalah yang dari golongan atas, khususnya para perempuan. Tercatat, artis Cici Paramida adalah salah satu pasien Deby (female.kompas.com, 21/02/2013). Darinya, harus diakui bahwa mereka adalah kalangan yang sudah memiliki jaminan kesehatan dasar. Artinya, mereka bukanlah kalangan yang kesulitan membayar biaya berobat saat sakit. Mereka juga mudah mengakses rumah sakit dengan berbagai fasilitas yang mereka inginkan.
Mereka juga kalangan berada yang tak kesulitan dana. Berbagai fasilitas kemudahan akses dana pun mereka miliki, seperti kartu kredit, kartu asuransi, kartu ATM, dsb. Hal ini menjadikan mereka seolah memiliki ruang berlebih untuk menikmati kesehatan, sehingga pola hidup sehatnya diarahkan pada hal-hal cabang, dimana kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi karena mereka mampu bayar. Wajar, jika pasien seperti mereka menjadi pasar yang subur bagi para ahli antiaging. Karena, kalangan yang berkecukupan ini berpotensi menjadikan kesehatan sebagai penikmat hidup. Mengingat, mereka adalah golongan dengan tingkat kesehatan yang sudah lebih dari kebutuhannya.

Kesehatan, Antara Kebutuhan dan Liberalisasi
Berdasarkan hal ini, pengakuan dunia terhadap Deby sebagai orang Indonesia dengan titel Pakar Antiaging” tentu menjadi timpang. Terlebih dengan kepemimpinannya terhadap 25 negara dunia dalam WCOPM tersebut. Masalahnya, pelayanan kesehatan dasar di Indonesia bagi rakyatnya memang tidak terpenuhi. Karena rakyat jelata yang sebagian besar menghuni Indonesia ini tidak mampu membayar biaya berobat jika mereka sakit.
Kasus bayi Dera yang ditolak oleh sejumlah rumah sakit ibukota beberapa waktu yang lalu (merdeka.com, 18/02/2013) tentunya sangat pedas menampar dunia kesehatan kita. Atau baru-baru ini yaitu kasus seorang pemulung Wawan, 11 tahun, yang meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih Jakarta Timur, Jumat (22/02/2013) lalu. Jenazahnya harus tertahan selama 7 jam karena keluarganya tidak mampu membayar biaya perawatan. Disamping itu, orang tua si Wawan ini tidak ber-KTP Jakarta sehingga tidak bisa mendapatkan pengobatan gratis lewat Kartu Jakarta Sehat (KJS) (tempo.co, 24/02/2013).
Buruknya pelayanan kesehatan masyarakat khususnya warga miskin karena memang pemerintah tidak pernah memberikan anggaran yang memadai. Dari total Produk Domestik Bruto (GDP), alokasi biaya untuk pendidikan dan kesehatan Indonesia paling rendah dari negara lain yaitu 2%. Sedangkan Kamboja 4%, Laos mendekati 5%, Malaysia 10%, Philipina 15% dan Thailand hampir 7%. Anehnya, pemerintah lebih senang mengalokasikan anggaran besar untuk membayar hutang luar negeri ketimbang untuk biaya kesehatan, yaitu sebesar 10%. Jumlah itu lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja kurang dari 1%, Laos 3%, Malaysia 8%. Minimnya belanja kesehatan masyarakat oleh pemerintah juga terasa di daerah-daerah. Koordinator Penelitian dan Pengembangan Seknas Fitra, Muhammad Maulana menjelaskan, proporsi belanja daerah untuk urusan kesehatan memang masih rendah. Padahal, pemerintah telah mensyaratkan untuk menganggarkan minimal 10% belanja daerah untuk kesehatan (al-Islam edisi 645).
Berkenaan dengan sektor kesehatan di Indonesia, maka ada hal yang harus digali. Konsekuensi dari komitmen Indonesia masuk menjadi anggota WTO (World Trade Organization) sejak tahun 1994, telah diikuti dengan kesertaan dalam menandatangani GATS (General Agreement on Trade in Services). GATS sebagaimana tercantum dalam WTO Services Sectoral Classification List (1991), mengatur liberalisasi perdagangan pada 12 sektor pelayanan publik yang harus diprivatisasi. Ini berarti Indonesia perlu melakukan identifikasi sektor dan sub-sektor ataupun usaha penunjang yang akses pasarnya dapat dimasuki oleh investasi asing, yaitu mencakup jasa bisnis, komunikasi, konstruksi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan, pariwisata (tourism), rekreasi kebudayaan dan olahraga, transportasi, dan jasa-jasa lainnya.
Dengan demikian, hal ini makin menjelaskan arah liberalisasi yang sejalan dengan logika ekonomi kapitalisme dengan menjadikan kesehatan sebagai barang komersial (komoditas). Balutan sistem demokrasi negeri ini pun mendukung iklim pelaksanaan konsekuensi tersebut. Sistem demokrasi kapitalistik telah menjadikan segala aspek kehidupan sebagai komoditas yang harus dihargai dengan nominal uang. Dalam hal ini, salah satu aspek yang dinilai dengan uang itu adalah kesehatan.

Khatimah
Dalam Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Klinik dan rumah sakit merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh kaum Muslimin dalam terapi pengobatan dan berobat. Maka jadilah pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik. Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu, wajib bagi negara melakukannya sebab keduanya termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah negara sesuai dengan sabda Rasul saw:Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya.” (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar).
Fakta-fakta kehidupan yang kita jalani menegaskan kepada kita untuk segera meninggalkan sistem demokrasi-kapitalisme dan segera kembali ke pangkuan syariat Islam dalam naungan Khilafah. Hanya dalam Khilafah setiap individu rakyat akan mendapatkan hak-haknya termasuk pelayanan kesehatan dan pengobatan yang memadani secara gratis. Karena itu saatnya kita bergegas merapkan syariat Islam secara total dalam naungan Khilafah Islamiyyah.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Senin, 25 Februari 2013

Gurita Narkoba Berujung Legalisasi Kepemilikan Ganja



Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Narkoba Artis, Berujung Ganja
Kasus narkoba artis Raffi Ahmad barangkali mulai mereda. Meski di sejumlah media, keteraksesan beritanya masih menjadi yang terpopuler. Apalagi kasus artis, tentu menjadi santapan hangat bagi para jurnalis infotainment, berikut penggemarnya. Ya, Raffi sendiri telah resmi dipindahkan dari BNN ke panti rehabilitasi pada Senin malam, 18 Februari 2013. Menurut Kusman Suriakusumah, Kepala Deputi Rehabilitasi BNN, dari sisi hukum, pemindahan Raffi telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor (tempo.co, 20/02/2013).
Pecandu narkoba untuk direhabilitasi, kata Kusman, ada dua macam. Pertama, datang sendiri dan kedua karena terkait dengan masalah hukum. Raffi ini contoh kasus yang terkait hukum. Pecandu itu jatuhnya penyakit kecanduan yang disebut penyakit kambuhan. Raffi ini fisiknya memang sehat, tapi psikisnya kecenderungan menjadi pecandu. Indikasi Raffi ‘sakit terlihat pada saat hari kelima pemeriksaan di BNN. Raffi sempat mengeluh, kayak gelisah.” (tempo.co, 20/02/2013). Kusman menambahkan, sejak putus dari zat tersebut (methilon), kondisi fisik Raffi tak banyak mengalami perubahan, karena belum tergolong pecandu, melainkan masih taraf coba-coba (inilah.com, 21/02/2013).
Heboh pesta narkoba Raffi Ahmad dan kawan-kawan semakin menambah catatan selebritas dalam kasus barang haram ini. Dari tahun ke tahun, selalu saja ada artis yang berurusan dengan polisi (tempo.co, 27/01/2013). Namun yang harus diwaspadai, ramainya kasus Raffi Ahmad ini justru menjadi angin segar untuk mengaruskan wacana kepemilikan ganja di Indonesia, meski Raffi bukan pecandu ganja. Hal ini sebagaimana aksi yang dilakukan oleh para aktivis LGN (Lingkar Ganja Nusantara) di depan kantor Badan Narkotika Nasional (BNN) di Jl. MT. Haryono, Cawang, Jakarta Timur. Tema aksi Pengguna Ganja Tidak Dipenjara”. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Pengguna Ganja Bukan Kriminal, Dekriminalisasi Pengguna Ganja”. Aksi ini merupakan tuntutan dari masyarakat pendukung legalisasi ganja di tanah air (legalisasiganja.com, 09/02/2013).

Beda Negara, Beda Hukum
Secara yuridis kebijakan hukum kepemilikan dan penggunaan ganja di seluruh dunia sangat bervariasi di tiap negara. Beberapa negara di dunia sudah melegalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis atau sudah menerapkan peraturan dekriminalisasi kepemilikan ganja dalam jumlah tertentu (sedikit) untuk penggunaan pribadi. Di negara-negara yang masih menerapkan hukuman bagi orang yang memiliki atau menggunakan ganja umumnya menentukan beratnya hukuman dari jumlah barang bukti yang disita polisi.
Secara umum, sistem peradilan di sebagian besar negara di dunia mengkategorikan tuduhan kepemilikan ganja sebagai suatu kejahatan ringan atau bisa menjadi kejahatan yang lebih serius. Di banyak negara, kepemilikan sejumlah kecil ganja dibebankan sebagai kejahatan ringan. Jumlah kepemilikan yang besar yang kemungkinan ditujukan untuk dijual dibebankan sebagai tindak pidana berat.
Di sejumlah negara, kepemilikan ganja dalam jumlah kecil sudah di dekriminalisasi. Pengertian dekriminalisasi yaitu tuntutan hukum atas kepemilikan, dalam arti pidana, tidak akan berlaku untuk orang yang tertangkap memiliki ganja dalam jumlah yang kecil untuk penggunaan pribadi. Negara-negara seperti Uruguay, Swiss, Israel, dan Meksiko sudah menerapkan peraturan dekriminalisasi kepemilikan ganja dalam jumlah kecil untuk penggunaan pribadi. Di beberapa negara lain, walaupun secara teknis ilegal, penggunaan ganja untuk tujuan rekreasi dapat diterima secara luas oleh masyarakat dan jarang dihukum. Costa Rica, Kamboja, dan Iran adalah contoh negara yang mana ganja, meskipun ilegal, dapat dijual dan dikonsumsi secara terbuka tanpa risiko penuntutan.
Penggunaan ganja untuk keperluan pengobatan diperbolehkan di beberapa negara bagian Amerika Serikat. Terdapat 16 negara bagian yang telah mengizinkan penggunaan ganja sebagai obat-obatan dan 12 negara telah menerapkan dekriminalisasi untuk penggunaan pribadi dalam jumlah yang kecil. Akan tetapi, jika seseorang ditemukan memiliki ganja dalam  jumlah yang lebih besar, atau tertangkap di wilayah negara bagian yang belum menetapkan peraturan dekriminalisasi, maka tuntutan hukum atas kepemilikan ganja dapat diberlakukan. Perbedaan antara pelanggaran dan kejahatan bervariasi di tiap negara bagian, namun kepemilikan ganja sejumlah lebih dari 1 ons (lebih dari 28 gram) adalah standar umum untuk dekriminalisasi.
Beratnya hukuman atas kepemilikan ganja berbeda-beda diseluruh dunia. Di wilayah Amerika Serikat, pelanggaran atas kepemilikan ganja umumnya diancam hukuman penjara selama satu tahun atau kurang, dan jika dipastikan melakukan kejahatan berat akan dikenakan hukuman lebih dari satu tahun. Di kebanyakan negara, hukuman atas kepemilikan ganja lebih ringan dibandingkan narkotika jenis lain yang lebih berat. Namun, di beberapa negara seperti Hungaria, tidak ada perbedaan antara kepemilikan ganja dan kepemilikan zat atau narkotika lain yang peredarannya dikendalikan secara serius seperti heroin (legalisasiganja.com, 01/03/2012).
Tiga negara bagian AS: Washington, Colorado, dan Eragon, melegalkan penggunaan ganja, yang merupakan salah satu jenis narkoba. Surat kabar Observer British Minggu mengatakan bahwa pelegalan terhadap “ganja” di tiga negara akan diberlakukan untuk siapa pun yang berusia di atas 21 tahun dan promosi penggunaan ganja, namun dalam jumlah kecil akan diakui oleh hukum di negara bagian tersebut. Lampu hijau sebagai bentuk persetujuan untuk mengizinkan penggunaan ganja di Amerika dirujuk ke Departemen Kehakiman dengan membuat peraturan yang mengatur penggunaan ganja di Negara bagian. John Mackey, pemimpin kampanye untuk suara “ya” di negara bagian Washington percaya bahwa kriminalisasi ganja adalah “kegagalan besar”. Mackey berkata, “Jutaan ganja di Amerika dihisap secara ilegal menunjukkan bahwa kendali perdagangan hukum ganja dan beberapa jenis obat yang membuat mereka lebih aman” (islammemo.cc, 05/11/2012).
Perlu diketahui, anggaran biaya program anti narkoba AS setiap tahunnya lebih dari $ 44 miliar untuk memerangi proliferasi ilegal obat. Dan terlepas dari semua biaya besar tersebut, ini membuktikan bahwa kebijakan pengendalian narkoba pada bulan Juni tahun lalu yang disebut “perang terhadap narkoba” telah gagal di Amerika Serikat (islammemo.cc, 05/11/2012).

Ganja di Indonesia
Hukum kepemilikan ganja di Indonesia sangat berat (poskota.co.id, 02/01/2012). Di Indonesia hukum kepemilikan dan penggunaan ganja di atur dalam UU Narkotika 2009 (legalisasiganja.com, 01/03/2012). Di sini, hanya karena memiliki 1 linting ganja seseorang dapat dihukum hingga 8 tahun penjara. Sebuah pelanggaran hukum yang tidak melukai orang lain namun mendapat ganjaran yang sangat berat (poskota.co.id, 02/01/2012).
Di Indonesia ganja masuk kedalam golongan I narkotika, sama seperti heroin dan cocaine. Pelanggaran atas UU tersebut dapat dikenakan hukuman atara 4 sampai 12 tahun penjara atau lebih. Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan rehabilitasi, namun praktek dilapangan sering kali berbeda. Hukuman penjara bagi orang yang kedapatan memiliki atau menggunakan narkotika lebih sering dikenakan daripada rehabilitasi.
Di Indonesia, narkotika digolongkan kedalam 3 golongan. Sebagaimana tertulis dalam UU narkotika 2009 pasal 8 ayat 1 yang berbunyi; “Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.” Artinya, sebagai bagian dari golongan I narkotika, ganja di Indonesia sama sekali tidak diperbolehkan untuk keperluan pengobatan (legalisasiganja.com, 01/03/2012).
Tercatat, Henry Rice Scobee (54), seorang turis asal Amerika Serikat (AS) harus duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis (02/08/2012) karena menyimpan ganja seberat 0,98 gram. Meski barang buktinya hanya sedikit, Henry terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Luh Oka Ariani yang membacakan dakwaan menjerat pria asal Lake Charles Louisiana ini dengan dua pasal, yakni pasal 111 ayat 1 dan pasal 127 ayat 1 huruf a Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang narkotika. Terdakwa tidak memiliki izin memiliki atau menyimpan narkotika tersebut, ujar JPU Oka Ariani saat membacakan dakwaanya (kompas.com, 02/08/2012).
Atas dakwaan ini, terdakwa menyatakan menerima dan sidang langsung dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi dari polisi. Terdakwa yang merupakan pensiunan kontraktor ini dibekuk polisi di Alex Home Stay, Jalan Raya Legian Kuta pada 3 Mei silam. Saat polisi menggeledah kamar terdawa, ditemukan narkotika jenis ganja seberat 0,98 gram di dalam kotak kayu yang tergeletak di atas meja. Saat ditanya polisi tentang barang haram tersebut, terdakwa mengaku sebagai seorang pecandu. Namun saat diminta menunjukkan surat dari pihak berwenang atas izin kepemilikan narkotika, terdakwa tidak punya (kompas.com, 02/08/2012).
Hukum kepemilikan ganja di Indonesia masih sangat tertinggal dibandingkan dengan negara-negara maju di benua Eropa. Penggolongan narkotika di Indonesia dalam UU narkotika termasuk penerapan hukum atas kepemilikan ganja tidak pernah memperhatikan dampak buruk dari pelaksanaannya di masyarakat. Di banyak negara, ganja sudah dikategorikan sebagai narkotika ringan (soft drug) dan dibedakan golongannya dengan heroin dan cocaine yang masuk kedalam kategori narkotika berat (hard drugs). Kepemilikan ganja di Indonesia disebut sebagai pelanggaran berat dan dikenakan sanksi pidana penjara (legalisasiganja.com, 01/03/2012).
Hal ini tentu potensial menjadi dalih bahwa jika seseorang memiliki surat izin kepemilikan atau menyimpan ganja, maka ia kebal hukum. Betapa murahnya hukum saat berhadapan dengan suatu tindakan kriminal hanya atas nama sebuah surat izin. Na’udzubillaahi min dzaalik.

Islam Bicara Narkoba
Narkoba adalah masalah baru, yang belum ada masa imam-imam mazhab yang empat. Narkoba baru muncul di Dunia Islam pada akhir abad ke-6 hijriyah (Ahmad Fathi Bahnasi, Al Khamr wa Al Mukhaddirat fi Al Islam, (Kairo : Muassasah Al Khalij Al Arabi), 1989, hlm. 155). Namun demikian tak perbedaan di kalangan ulama mengenai haramnya narkoba dalam berbagai jenisnya, baik itu ganja, opium, morfin, mariyuana, kokain, ecstasy, dan sebagainya. Sebagian ulama mengharamkan narkoba karena diqiyaskan dengan haramnya khamr, karena ada kesamaan illat (alasan hukum) yaitu sama-sama memabukkan (muskir). Namun menurut kami, yang lebih tepat adalah pendapat yang mengatakan, haramnya narkoba bukan karena diqiyaskan dengan khamr, melainkan karena dua alsan; Pertama, ada nash yang mengharamkan narkoba, Kedua, karena menimbulkan bahaya (dharar) bagi manusia. Inilah pendapat Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, juz IV, hlm. 177 (hizbut-tahrir.or.id, 10/06/2012).
Nash tersebut adalah hadis dengan sanad sahih dari Ummu salamah RA bahwa Rasulullah SAW telah melarang dari segala sesuatu yang memabukkan (muskir) dan melemahkan (mufattir). (HR Ahmad, Abu Dawud no 3686). (Saud Al Utaibi, Al Mausu’ah Al Jina`iyah Al Islamiyah, 1/700). Yang dimaksud mufattir (tranquilizer), adalah zat yang menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan malas (tatsaqul) pada tubuh manusia. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 342) (hizbut-tahrir.or.id, 10/06/2012). Maka dari itu, hadits di atas dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan ganja. Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa dalam hadits Ummu Salamah ini terdapat dalil yang secara khusus mengharamkan ganja (al hasyisy) karena ganja dapat menimbulkan rasa tenang (tukhaddir) dan melemahkan (tufattir). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 11 hlm. 35; Al Mausu’ah Al Jina`iyyah Al Muqaranah, Juz 1, hlm. 367 & 695) (mediaumat.com).
Kemutlakan hukum ini disimpulkan dari nash hadits Ummu Salamah yang bersifat mutlak pula. Artinya, hadits ini hanya menjelaskan bahwa Nabi SAW telah melarang setiap zat yang melemahkan (mufattir), tanpa menjelaskan batasannya apakah yang dilarang itu sedikit atau banyak. Maka dari itu, keharaman ganja ini adalah mutlak, sesuai nash hadits yang mutlak pula. Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menetapkan : al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan batasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz 1 hlm. 208) (hizbut-tahrir.or.id, 10/06/2012).
Dari sini jelas bahwa keharaman ganja ini bersifat mutlak, artinya baik dikonsumsi sedikit maupun banyak hukumnya tetap haram. (Lihat Syekh As Saharanfuri, Badzlul Majhud fi Halli Abi Dawud, Juz 16, hlm. 22). Selain itu, keharaman ganja ini semata-mata didasarkan pada nash, bukan didasarkan pada illat (alasan) keharaman ganja. Karena illat itu memang tidak ada. Bahwa ganja dapat menimbulkan efek negatif, adalah semata-mata fakta (al waqi’), namun bukan illat keharaman ganja (mediaumat.com).
Maka dari itu, ganja hukumnya pun haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya. Kaidah fiqih menyebutkan : inna al ‘ibadat wa al math’umat wa al malbusat wa al masyrubat wa al akhlaq laa tu’allalu wa innama yultazamu fiiha bi an nash. (sesungguhnya hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, dan akhlaq tidak didasarkan pada illat, namun hanya didasarkan dan berpegang pada nash saja). (Abdul Qadim Zallum, At Ta’rif bi Hizb At Tahrir, hlm. 55) (mediaumat.com).
Disamping nash, haramnya narkoba juga dapat didasarkan pada kaidah fiqih tentang bahaya (dharar) yang berbunyi: Al ashlu fi al madhaar at tahrim (hukum asal benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 3/457; Muhammad Shidqi bin Ahmad Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, 1/24). Kaidah ini berarti bahwa segala sesuatu materi (benda) yang berbahaya, hukumnya haram, sebab syariah Islam telah mengharamkan terjadinya bahaya. Dengan demikian, narkoba diharamkan berdasarkan kaidah fiqih ini karena terbukti menimbulkan bahaya bagi penggunanya (hizbut-tahrir.or.id, 10/06/2012).
Sanksi (uqubat) bagi mereka yang menggunakan narkoba adalah ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Qadhi, misalnya dipenjara, dicambuk, dan sebagainya. Sanksi ta’zir dapat berbeda-beda sesuai tingkat kesalahannya. Pengguna narkoba yang baru beda hukumannya dengan pengguna narkoba yang sudah lama. Beda pula dengan pengedar narkoba, dan beda pula dengan pemilik pabrik narkoba. Ta’zir dapat sampai pada tingkatan hukuman mati. (Saud Al Utaibi, Al Mausu’ah Al Jina`iyah Al Islamiyah, 1/708-709; Abdurrahman Maliki, Nizhamul Uqubat, 1990, hlm. 81 & 98) (hizbut-tahrir.or.id, 10/06/2012). Yang pasti, ketegasan persanksian dalam Islam ini akan membuat jera pelakunya dan mencegah orang lain untuk mengikuti kemaksiatan serupa.

Narkoba, Lahir dari Paham Kebebasan Demokrasi
Demokrasi, dengan salah satu pilarnya “kebebasan kepemilikan” (freedom of property), harus segera gulung tikar. Sudah saatnya demokrasi harus musnah dari kehidupan manusia. Rusaknya ide demokrasi atas nama kebebasan memiliki ganja, secara hukum Islam maupun mashlahat kehidupan seluruh umat manusia, jelas menghancurkan manusia dari salah satu potensi hidupnya, yaitu akal, apa pun alasannya. Jika akal rusak, jangan harap manusia bisa melakukan perubahan dunia, berpikir saja tidak mampu.
Sebaliknya, Islam telah memerintahkan kita untuk menjaga akal. Islam pun menganjurkan untuk menuntut ilmu, merenung (tadabbur) dan berijtihad sebagai usaha untuk mengembangkan kemampuan akal pada diri manusia (Kitab “Dirosah al-Fikr”). Bukan merusaknya dengan ganja, ataupun jenis narkoba selainnya. Apalagi sampai ada surat izin kepemilikan ganja, itu jelas omong-kosong, karena sama saja dengan legalisasi kemaksiatan dan pelanggaran aturan Allah Swt. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Wallaahu a’lam bish showab [].