Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Muqodimah
Kita tidak bisa membalikan waktu dan menjadi muda. Bagaimanapun, dengan kemajuan
teknologi pengobatan kulit sekarang, anda dapat menghilangkan efek dari penuaan
dan photoaging (penuaan yang
disebabkan oleh sinar matahari). Kita tidak dapat menjadi muda tapi kita dapat terlihat muda dan lebih menarik dengan perawatan antipenuaan atau
lebih dikenal dengan antiaging.
Antiaging atau antipenuaan adalah sediaan untuk
mencegah proses degeneratif. Dalam hal ini, proses penuaan yang gejalanya
terlihat jelas pada kulit seperti keriput, kulit kasar, noda-noda gelap.
Kerutan ataupun keriput dapat diartikan secara sederhana sebagai penyebab
menurunnya jumlah kolagen dermis.
Indonesia mempunyai iklim tropis
dengan sinar matahari melimpah yang dapat menyebabkan resiko tinggi terhadap
kerusakan kulit atau penuaan dini (premature
aging). Masalah yang timbul pada kulit akibat sinar matahari dapat diatasi
dengan pengobatan dermatologis. Pengobatan yang diaplikasikan langsung ke kulit
biasanya lebih efektif (medicastore.com,
diakses tanggal 27/02/2013).
Indonesia, Negara Peduli Penuaan Dini
Dr
Deby Vinski, AAMS, Dipl WOSAAM dikenal sebagai dokter
pelopor antiaging di
Indonesia. Perempuan
kelahiran Makassar, 9 November 1967 ini terpilih secara aklamasi dengan suara
penuh oleh pakar dunia dari 25 negara sebagai presiden dari World Council of Preventive Medicine (WCOPM), yang terletak di Prancis (tempo.co,
18/02/2013), disamping penghargaan Kartini Award 2009 dari Ibu Negara Ani
Yudhoyono dalam kongres
antiaging (glambeauty8.com, 10/08/2011).
Deby
akan memimpin WCOPM selama
lima tahun kedepan (female.kompas.com, 21/02/2013). “Tahap
awal saya akan membuat konsensus anti-penuaan dunia yang akan diikuti 50
negara. Selain itu, kami akan membuat majelis kode etik antipenuaan yang akan
berlaku di dunia,” kata Deby, saat menjelaskan program kerjanya sebagai
presiden WCOPM,
Sabtu, 16 Februari 2013 (tempo.co, 18/02/2013).
Deby juga menjelaskan bahwa antiaging
bukan hanya seputar wajah atau kecantikan, melainkan juga meliputi seluruh
kesehatan tubuh. Kesalahpahaman ini yang perlu disosialisasikan kembali kepada
masyarakat. “Antipenuaan itu
bukan kecantikan, tapi penyakit akibat, misalnya, nuklir yang bocor ataupun
perang. Itulah tantangan kita, karena dunia bergerak ke penyakit degenerasi,” katanya (tempo.co,
18/02/2013).
Perempuan
lulusan
Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya ini membawa nama Indonesia sebagai
salah satu negara yang peduli pada pencegahan penuaan dini. Menurutnya, meski
di Indonesia baru berkembang mengenai kesadaran antipenuaan diri, ia yakin akan
semakin marak ke depannya. Sebagai presiden, Deby menggaet beberapa ikon antipenuaan
dari kalangan selebritas seperti Edies Adelia dan presenter Sonny Tulung (tempo.co,
18/02/2013).
Memang,
butuh
perjalanan panjang bagi Deby dalam
merintis kariernya sebagai dokter spesialis antiaging. Deby menjalani praktik pengobatan antipenuaan lebih dari empat tahun. Pasiennya kebanyakan
perempuan, sementara 45%
pasiennya adalah laki-laki. Mereka umumnya datang untuk terapi hormon agar
sehat dan awet muda. Deby giat menjelaskan penuaan bahwa bisa dihambat dengan serangkaian terapi
antitua, mulai olahraga, perbaikan nutrisi, penyeimbangan hormon, hingga
pengobatan canggih sel punca (female.kompas.com, 21/02/2013).
Tua, Antara Fitrah dan Inovasi
Menjadi
tua bagi manusia merupakan suatu fitrah, terjadi secara alamiah. Bicara tua,
berarti bicara besaran masa. Dan oleh karenanya, Allah Swt telah mengingatkan
kita dalam firman-Nya: “Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3). Menuanya fisik tak bisa
dihentikan. Fisik bukanlah segalanya. Karena kemuliaan manusia tidak dinilai
oleh Allah dari fisiknya, melainkan ketaqwaannya. Firman Allah Swt: “…Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling taqwa di antara kamu…” (QS. Al-Hujuraat [49]: 13).
Seiring
perkembangan zaman, berkembang pula inovasi antiaging.
Bahkan, antiaging kini merupakan gaya
hidup yang dijadikan kebutuhan. Kondisinya lebih kepada perbaikan fisik,
khususnya tubuh dan wajah. Hanya saja, mekanismenya memang melalui bidang
kesehatan. Karena treatment antiaging berawal dari pola hidup sehat,
seperti makan makanan yang bergizi, rajin olahraga, istirahat yang cukup, tidak
merokok, tidak mengkonsumsi minuman beralkohol, dsb.
Namun,
yang saat ini mampu mengaksesnya hanyalah yang dari golongan atas, khususnya
para perempuan. Tercatat, artis Cici Paramida adalah salah satu pasien Deby (female.kompas.com, 21/02/2013). Darinya,
harus diakui bahwa mereka adalah kalangan yang sudah memiliki jaminan kesehatan
dasar. Artinya, mereka bukanlah kalangan yang kesulitan membayar biaya berobat
saat sakit. Mereka juga mudah mengakses rumah sakit dengan berbagai fasilitas
yang mereka inginkan.
Mereka
juga kalangan berada yang tak kesulitan dana. Berbagai fasilitas kemudahan
akses dana pun mereka miliki, seperti kartu kredit, kartu asuransi, kartu ATM,
dsb. Hal ini menjadikan mereka seolah memiliki ruang berlebih untuk menikmati
kesehatan, sehingga pola hidup sehatnya diarahkan pada hal-hal cabang, dimana
kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi karena mereka mampu bayar. Wajar, jika
pasien seperti mereka menjadi pasar yang subur bagi para ahli antiaging. Karena, kalangan yang
berkecukupan ini berpotensi menjadikan kesehatan sebagai penikmat hidup.
Mengingat, mereka adalah golongan dengan tingkat kesehatan yang sudah lebih
dari kebutuhannya.
Kesehatan, Antara Kebutuhan dan Liberalisasi
Berdasarkan
hal ini, pengakuan dunia terhadap Deby sebagai orang Indonesia dengan titel Pakar
“Antiaging” tentu menjadi timpang. Terlebih dengan kepemimpinannya
terhadap 25 negara dunia dalam WCOPM tersebut. Masalahnya, pelayanan kesehatan dasar
di Indonesia bagi rakyatnya memang tidak terpenuhi. Karena rakyat jelata yang
sebagian besar menghuni Indonesia ini tidak mampu membayar biaya berobat jika
mereka sakit.
Kasus
bayi Dera yang ditolak oleh sejumlah rumah sakit ibukota beberapa waktu yang lalu
(merdeka.com, 18/02/2013) tentunya
sangat pedas menampar dunia kesehatan kita. Atau baru-baru ini yaitu kasus
seorang pemulung Wawan, 11 tahun, yang meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah
Budhi Asih Jakarta Timur, Jumat
(22/02/2013) lalu.
Jenazahnya harus tertahan selama 7 jam karena keluarganya
tidak mampu membayar biaya perawatan. Disamping itu, orang tua si Wawan ini tidak ber-KTP Jakarta sehingga tidak bisa mendapatkan
pengobatan gratis lewat Kartu Jakarta Sehat (KJS) (tempo.co,
24/02/2013).
Buruknya pelayanan kesehatan masyarakat
khususnya warga miskin karena memang pemerintah tidak pernah memberikan
anggaran yang memadai. Dari total Produk Domestik Bruto (GDP), alokasi biaya
untuk pendidikan dan kesehatan Indonesia paling rendah dari negara lain yaitu
2%. Sedangkan Kamboja 4%, Laos mendekati 5%, Malaysia 10%, Philipina 15% dan
Thailand hampir 7%. Anehnya,
pemerintah lebih senang mengalokasikan anggaran besar untuk membayar hutang
luar negeri ketimbang untuk biaya kesehatan, yaitu sebesar 10%. Jumlah itu
lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja kurang dari 1%, Laos 3%,
Malaysia 8%. Minimnya belanja
kesehatan masyarakat oleh pemerintah juga terasa di daerah-daerah. Koordinator
Penelitian dan Pengembangan Seknas Fitra, Muhammad Maulana menjelaskan,
proporsi belanja daerah untuk urusan kesehatan memang masih rendah. Padahal,
pemerintah telah mensyaratkan untuk menganggarkan minimal 10% belanja daerah untuk kesehatan (al-Islam edisi
645).
Berkenaan
dengan sektor kesehatan di Indonesia, maka ada hal yang harus digali. Konsekuensi
dari komitmen Indonesia masuk menjadi anggota WTO (World Trade
Organization) sejak tahun 1994, telah diikuti dengan
kesertaan dalam menandatangani GATS (General
Agreement on Trade in Services). GATS sebagaimana tercantum dalam WTO
Services Sectoral
Classification List (1991),
mengatur
liberalisasi perdagangan pada 12 sektor pelayanan publik yang harus diprivatisasi. Ini
berarti Indonesia perlu melakukan identifikasi sektor dan sub-sektor ataupun
usaha penunjang yang akses pasarnya dapat dimasuki oleh investasi asing, yaitu mencakup jasa bisnis, komunikasi,
konstruksi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan, pariwisata (tourism), rekreasi kebudayaan dan
olahraga, transportasi, dan jasa-jasa lainnya.
Dengan
demikian, hal ini makin menjelaskan arah liberalisasi yang sejalan
dengan logika ekonomi kapitalisme dengan menjadikan kesehatan sebagai barang komersial (komoditas). Balutan sistem demokrasi negeri ini pun mendukung
iklim pelaksanaan konsekuensi tersebut. Sistem demokrasi kapitalistik telah
menjadikan segala aspek kehidupan sebagai komoditas yang harus dihargai dengan
nominal uang. Dalam hal ini, salah satu aspek yang dinilai dengan uang itu adalah
kesehatan.
Khatimah
Dalam Islam, kebutuhan akan pelayanan
kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Klinik dan rumah sakit merupakan
fasilitas publik yang diperlukan oleh kaum Muslimin dalam terapi pengobatan dan
berobat. Maka jadilah pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan
fasilitas publik. Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq)
itu, wajib bagi negara melakukannya sebab keduanya termasuk apa yang diwajibkan
oleh ri’ayah negara sesuai dengan sabda Rasul saw: “Imam adalah pemelihara dan dia
bertanggungjawab atas rakyatnya.” (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar).
Fakta-fakta kehidupan yang kita jalani
menegaskan kepada kita untuk segera meninggalkan sistem demokrasi-kapitalisme dan segera kembali ke
pangkuan syariat Islam dalam naungan Khilafah.
Hanya dalam Khilafah
setiap individu rakyat akan mendapatkan hak-haknya termasuk pelayanan kesehatan
dan pengobatan yang memadani secara gratis. Karena itu saatnya kita bergegas
merapkan syariat Islam
secara total dalam naungan Khilafah Islamiyyah.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []