Kamis, 28 Februari 2013

Antiaging, Wacana Kesehatan Berbalut Ketimpangan



Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Muqodimah
Kita tidak bisa membalikan waktu dan menjadi muda. Bagaimanapun, dengan kemajuan teknologi pengobatan kulit sekarang, anda dapat menghilangkan efek dari penuaan dan photoaging (penuaan yang disebabkan oleh sinar matahari). Kita tidak dapat menjadi muda tapi kita dapat terlihat muda dan lebih menarik dengan perawatan antipenuaan atau lebih dikenal dengan antiaging.
Antiaging atau antipenuaan adalah sediaan untuk mencegah proses degeneratif. Dalam hal ini, proses penuaan yang gejalanya terlihat jelas pada kulit seperti keriput, kulit kasar, noda-noda gelap. Kerutan ataupun keriput dapat diartikan secara sederhana sebagai penyebab menurunnya jumlah kolagen dermis.
Indonesia mempunyai iklim tropis dengan sinar matahari melimpah yang dapat menyebabkan resiko tinggi terhadap kerusakan kulit atau penuaan dini (premature aging). Masalah yang timbul pada kulit akibat sinar matahari dapat diatasi dengan pengobatan dermatologis. Pengobatan yang diaplikasikan langsung ke kulit biasanya lebih efektif (medicastore.com, diakses tanggal 27/02/2013).

Indonesia, Negara Peduli Penuaan Dini
Dr Deby Vinski, AAMS, Dipl WOSAAM dikenal sebagai dokter pelopor antiaging di Indonesia. Perempuan kelahiran Makassar, 9 November 1967 ini terpilih secara aklamasi dengan suara penuh oleh pakar dunia dari 25 negara sebagai presiden dari World Council of Preventive Medicine (WCOPM), yang terletak di Prancis (tempo.co, 18/02/2013), disamping penghargaan Kartini Award 2009 dari Ibu Negara Ani Yudhoyono dalam kongres antiaging (glambeauty8.com, 10/08/2011).
Deby akan memimpin WCOPM selama lima tahun kedepan (female.kompas.com, 21/02/2013). “Tahap awal saya akan membuat konsensus anti-penuaan dunia yang akan diikuti 50 negara. Selain itu, kami akan membuat majelis kode etik antipenuaan yang akan berlaku di dunia,” kata Deby, saat menjelaskan program kerjanya sebagai presiden WCOPM, Sabtu, 16 Februari 2013 (tempo.co, 18/02/2013).
Deby juga menjelaskan bahwa antiaging bukan hanya seputar wajah atau kecantikan, melainkan juga meliputi seluruh kesehatan tubuh. Kesalahpahaman ini yang perlu disosialisasikan kembali kepada masyarakat. “Antipenuaan itu bukan kecantikan, tapi penyakit akibat, misalnya, nuklir yang bocor ataupun perang. Itulah tantangan kita, karena dunia bergerak ke penyakit degenerasi,” katanya (tempo.co, 18/02/2013).
Perempuan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya ini membawa nama Indonesia sebagai salah satu negara yang peduli pada pencegahan penuaan dini. Menurutnya, meski di Indonesia baru berkembang mengenai kesadaran antipenuaan diri, ia yakin akan semakin marak ke depannya. Sebagai presiden, Deby menggaet beberapa ikon antipenuaan dari kalangan selebritas seperti Edies Adelia dan presenter Sonny Tulung (tempo.co, 18/02/2013).
Memang, butuh perjalanan panjang bagi Deby dalam merintis kariernya sebagai dokter spesialis antiaging. Deby menjalani praktik pengobatan antipenuaan lebih dari empat tahun. Pasiennya kebanyakan perempuan,  sementara 45% pasiennya adalah laki-laki. Mereka umumnya datang untuk terapi hormon agar sehat dan awet muda. Deby giat menjelaskan penuaan bahwa bisa dihambat dengan serangkaian terapi antitua, mulai olahraga, perbaikan nutrisi, penyeimbangan hormon, hingga pengobatan canggih sel punca (female.kompas.com, 21/02/2013).

Tua, Antara Fitrah dan Inovasi
Menjadi tua bagi manusia merupakan suatu fitrah, terjadi secara alamiah. Bicara tua, berarti bicara besaran masa. Dan oleh karenanya, Allah Swt telah mengingatkan kita dalam firman-Nya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3). Menuanya fisik tak bisa dihentikan. Fisik bukanlah segalanya. Karena kemuliaan manusia tidak dinilai oleh Allah dari fisiknya, melainkan ketaqwaannya. Firman Allah Swt: “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS. Al-Hujuraat [49]: 13).
Seiring perkembangan zaman, berkembang pula inovasi antiaging. Bahkan, antiaging kini merupakan gaya hidup yang dijadikan kebutuhan. Kondisinya lebih kepada perbaikan fisik, khususnya tubuh dan wajah. Hanya saja, mekanismenya memang melalui bidang kesehatan. Karena treatment antiaging berawal dari pola hidup sehat, seperti makan makanan yang bergizi, rajin olahraga, istirahat yang cukup, tidak merokok, tidak mengkonsumsi minuman beralkohol, dsb.
Namun, yang saat ini mampu mengaksesnya hanyalah yang dari golongan atas, khususnya para perempuan. Tercatat, artis Cici Paramida adalah salah satu pasien Deby (female.kompas.com, 21/02/2013). Darinya, harus diakui bahwa mereka adalah kalangan yang sudah memiliki jaminan kesehatan dasar. Artinya, mereka bukanlah kalangan yang kesulitan membayar biaya berobat saat sakit. Mereka juga mudah mengakses rumah sakit dengan berbagai fasilitas yang mereka inginkan.
Mereka juga kalangan berada yang tak kesulitan dana. Berbagai fasilitas kemudahan akses dana pun mereka miliki, seperti kartu kredit, kartu asuransi, kartu ATM, dsb. Hal ini menjadikan mereka seolah memiliki ruang berlebih untuk menikmati kesehatan, sehingga pola hidup sehatnya diarahkan pada hal-hal cabang, dimana kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi karena mereka mampu bayar. Wajar, jika pasien seperti mereka menjadi pasar yang subur bagi para ahli antiaging. Karena, kalangan yang berkecukupan ini berpotensi menjadikan kesehatan sebagai penikmat hidup. Mengingat, mereka adalah golongan dengan tingkat kesehatan yang sudah lebih dari kebutuhannya.

Kesehatan, Antara Kebutuhan dan Liberalisasi
Berdasarkan hal ini, pengakuan dunia terhadap Deby sebagai orang Indonesia dengan titel Pakar Antiaging” tentu menjadi timpang. Terlebih dengan kepemimpinannya terhadap 25 negara dunia dalam WCOPM tersebut. Masalahnya, pelayanan kesehatan dasar di Indonesia bagi rakyatnya memang tidak terpenuhi. Karena rakyat jelata yang sebagian besar menghuni Indonesia ini tidak mampu membayar biaya berobat jika mereka sakit.
Kasus bayi Dera yang ditolak oleh sejumlah rumah sakit ibukota beberapa waktu yang lalu (merdeka.com, 18/02/2013) tentunya sangat pedas menampar dunia kesehatan kita. Atau baru-baru ini yaitu kasus seorang pemulung Wawan, 11 tahun, yang meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih Jakarta Timur, Jumat (22/02/2013) lalu. Jenazahnya harus tertahan selama 7 jam karena keluarganya tidak mampu membayar biaya perawatan. Disamping itu, orang tua si Wawan ini tidak ber-KTP Jakarta sehingga tidak bisa mendapatkan pengobatan gratis lewat Kartu Jakarta Sehat (KJS) (tempo.co, 24/02/2013).
Buruknya pelayanan kesehatan masyarakat khususnya warga miskin karena memang pemerintah tidak pernah memberikan anggaran yang memadai. Dari total Produk Domestik Bruto (GDP), alokasi biaya untuk pendidikan dan kesehatan Indonesia paling rendah dari negara lain yaitu 2%. Sedangkan Kamboja 4%, Laos mendekati 5%, Malaysia 10%, Philipina 15% dan Thailand hampir 7%. Anehnya, pemerintah lebih senang mengalokasikan anggaran besar untuk membayar hutang luar negeri ketimbang untuk biaya kesehatan, yaitu sebesar 10%. Jumlah itu lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja kurang dari 1%, Laos 3%, Malaysia 8%. Minimnya belanja kesehatan masyarakat oleh pemerintah juga terasa di daerah-daerah. Koordinator Penelitian dan Pengembangan Seknas Fitra, Muhammad Maulana menjelaskan, proporsi belanja daerah untuk urusan kesehatan memang masih rendah. Padahal, pemerintah telah mensyaratkan untuk menganggarkan minimal 10% belanja daerah untuk kesehatan (al-Islam edisi 645).
Berkenaan dengan sektor kesehatan di Indonesia, maka ada hal yang harus digali. Konsekuensi dari komitmen Indonesia masuk menjadi anggota WTO (World Trade Organization) sejak tahun 1994, telah diikuti dengan kesertaan dalam menandatangani GATS (General Agreement on Trade in Services). GATS sebagaimana tercantum dalam WTO Services Sectoral Classification List (1991), mengatur liberalisasi perdagangan pada 12 sektor pelayanan publik yang harus diprivatisasi. Ini berarti Indonesia perlu melakukan identifikasi sektor dan sub-sektor ataupun usaha penunjang yang akses pasarnya dapat dimasuki oleh investasi asing, yaitu mencakup jasa bisnis, komunikasi, konstruksi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan, pariwisata (tourism), rekreasi kebudayaan dan olahraga, transportasi, dan jasa-jasa lainnya.
Dengan demikian, hal ini makin menjelaskan arah liberalisasi yang sejalan dengan logika ekonomi kapitalisme dengan menjadikan kesehatan sebagai barang komersial (komoditas). Balutan sistem demokrasi negeri ini pun mendukung iklim pelaksanaan konsekuensi tersebut. Sistem demokrasi kapitalistik telah menjadikan segala aspek kehidupan sebagai komoditas yang harus dihargai dengan nominal uang. Dalam hal ini, salah satu aspek yang dinilai dengan uang itu adalah kesehatan.

Khatimah
Dalam Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Klinik dan rumah sakit merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh kaum Muslimin dalam terapi pengobatan dan berobat. Maka jadilah pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik. Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu, wajib bagi negara melakukannya sebab keduanya termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah negara sesuai dengan sabda Rasul saw:Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya.” (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar).
Fakta-fakta kehidupan yang kita jalani menegaskan kepada kita untuk segera meninggalkan sistem demokrasi-kapitalisme dan segera kembali ke pangkuan syariat Islam dalam naungan Khilafah. Hanya dalam Khilafah setiap individu rakyat akan mendapatkan hak-haknya termasuk pelayanan kesehatan dan pengobatan yang memadani secara gratis. Karena itu saatnya kita bergegas merapkan syariat Islam secara total dalam naungan Khilafah Islamiyyah.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar