Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
(Catatan Pasca-KIMB 20 Mei 2012:
Khilafah, Jalan Baru Melahirkan Generasi Cemerlang)
Kisah Irshad Manji belum lagi mendingin, negeri ini
diterpa panasnya isu Lady Gaga dan Corby. Aneh, mengapa harus ada perdebatan
antara kebenaran dan kesalahan tentang ketiganya? Padahal sudah nyata, mereka
adalah para perempuan perusak generasi muda. Memangnya apa yang patut dipuja
dan dibanggakan dari mereka bertiga? Tidak ada. Bahkan bukan tidak mungkin,
anak dari para perempuan seperti mereka akan sangat malu jika mengetahui
perilaku ibunya yang justru menghancurkan generasi.
Perempuan dalam Potret Kapitalistik
Manji, Lady Gaga dan Corby tak diragukan lagi sepak
terjangnya. Mereka termasuk para perempuan yang menjadikan
ide-ide kapitalis sebagai pijakan. Mereka juga ‘dengan sadar’ berkontribusi untuk mengajak
kaum perempuan selainnya untuk terkooptasi pada ide-ide tersebut. Para
pengusung ide serupa pun bersuara senada. Yaitu dengan menyatakan bahwa persoalan perempuan akan
terselesaikan dengan membebaskan perempuan berkiprah dimana pun, terutama dalam
ranah publik. Dengan itu suara dan partisipasinya diperhitungkan, baik dalam
keluarganya maupun masyarakat. Alih-alih mampu mengangkat nasib perempuan, posisi perempuan dalam sistem demokrasi kapitalis justru
menjadi racun yang kian mengukuhkan kegagalan menyelesaikan persoalan-persoalan
perempuan. Sebaliknya, ide-ide kapitalis-sekular sukses menjerumuskan perempuan
ke dalam jurang kejahiliahan dan kegelapan. Kegelapan
ini tidak akan pernah beranjak dari umat secara keseluruhan selama umat Islam
mencampakkan aturan-aturan dari Allah Swt dan
Rasul-Nya.
Sebagaimana diketahui, kaum
perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk di Dunia Islam, sudah lama
mengalami ketertindasan di berbagai lini kehidupan. Kapitalisme telah dengan
congkaknya menuduh bahwa nasib perempuan dalam Islam tidak akan pernah bahagia karena
Islam bersikap tidak adil terhadap perempuan. Sistem kapitalis-liberal ini yang
telah sekian lama bercokol, nyatanya tidak pernah mengubah nasib perempuan.
Kehidupan kapitalistik
telah merancukan pemikiran perempuan, bahwa untuk mendapatkan hak-haknya,
perempuan harus banyak uang, cantik dan pintar. Jika mereka ingin setara dengan
laki-laki, mereka harus banyak berkiprah di ranah publik. Peran sejati
perempuan dikaburkan, disesatkan, dikacaukan bahkan dilenyapkan. Perempuan tak
lagi menjadi istri mulia, ibu tangguh, perempuan pejuang. Kehidupan perempuan
kembali menjadi hina karena sistem yang digunakan bukan sistem Islam, yang
punya cara pandang berbeda 180 derajat dengan cara pandang Islam terhadap
perempuan.
Akibatnya, kapitalisme seperti meminta ‘upah’ dengan menjadikan perempuan menjadi barang dagangan, alat
promosi berbagai produk untuk menarik pembeli. Perempuan dilacurkan, dijual,
dieksploitasi tenaganya dalam industri, bahkan dibunuh karena arogansi penguasa
lalim. Perempuan dipaksa bekerja di sektor publik, dijadikan TKW di luar
negeri; dijadikan ikon utama di dunia fesyen, hiburan bahkan seluruh komoditas
yang bersifat komersial. Sebagian diekploitasi secara seksual dalam bisnis
pornografi, pornoaksi, bahkan pelacuran. Sebagian mengalami tindakan kekerasan
fisik maupun psikis baik di sektor publik maupun di ranah domestik;
ditelantarkan, dilecehkan, diperkosa bahkan dibunuh. Sebagian menderita
kemiskinan dan kebodohan yang berkepanjangan. Sebagian lagi harus meregang nyawa atau terancam setiap saat di
bawah rezim kejam seperti yang dialami Muslimah saat ini, seperti di Suriah, Palestina ataupun di negeri Muslim yang lain.
Perempuan Pintar, Sadarlah!
Abad milenium adalah abad
modern di mana perempuan berpendidikan tinggi bukan sesuatu yang langka. Bukan rahasia bahwa kapasitas berpikir para perempuan telah diperhitungkan
dalam peradaban dunia, termasuk Indonesia. Hal ini senada dengan
pernyataan Kepala
Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Ananta Kusuma Seta, tentang sumberdaya manusia usia produktif yang berpendidikan tinggi.
Ananta mengatakan bahwa Indonesia akan mendapatkan ‘bonus
demografi’ dalam kurun waktu 15 tahun ke
depan. Maksud ‘bonus demografi’ itu adalah mayoritas penduduk
Indonesia lebih banyak dipenuhi usia angkatan kerja. Artinya, pada rentang waktu 2010-2025,
negara ini akan dipenuhi oleh usia produktif. Jika
mereka adalah orang yang berpengetahuan, Indonesia akan menjadi negara maju. Peningkatan akses pendidikan tinggi bagi
rentang usia 19-23 tahun dirasakan sangat penting. Karena dari 21 juta penduduk berusia
19-23 tahun tersebut, hanya 5,4 juta
orang yang bisa mengakses jenjang pendidikan tinggi (antaranews.com, 07/04/2012). Tak heran jika Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, menyatakan bahwa tidak ada yang dapat menyangkali bahwa kemajuan suatu bangsa dan negara
sangat ditentukan pendidikan serta ekonomi dan pendidikan menjadi pilar moral
dan peradaban bangsa (antaranews.com, 19/03/2012).
Mahasiswi adalah
sebutan bagi perempuan terpelajar selepas
sekolah menengah. Pada masanya, sejumlah perguruan tinggi akan siap menampung
dengan serangkaian program studi yang menjanjikan. Setiap perguruan tinggi
memiliki target tertentu dari kurikulum yang dicanangkannya. Pada umumnya,
kurikulum tersebut dimaksudkan untuk menjadikan para peserta didik mudah dalam
belajar, mampu meraih nilai terbaik dengan wujud IPK tinggi atau tertinggi, dan
sejumlah titel sebagai perempuan berprestasi.
Secara otomatis, hal
ini mengkondisikan mahasiswi ingin segera lulus dan memperoleh pekerjaan yang
layak dengan modal IPK tinggi dan masa studi yang
singkat. Pekerjaan yang diinginkan pun tidak jauh dari terminologi posisi
bergengsi dan gaji tinggi, yang tentunya akan makin menambah prestige
individu dan keluarga. Demikian halnya bagi para orang tua yang telah berjuang
membiayai pendidikan anak-anaknya, sehingga setelah lulus sang anak diharapkan
dapat membalas budi yang telah ditanam oleh orang tua sebelumnya.
Jeratan kapitalistik pun tanpa belas kasihan melanda
para perempuan pintar. Perempuan sebagai
kaum terpelajar yang seharusnya bisa berkiprah dan berkontribusi dalam
kemashlahatan umat, tanpa sadar nyatanya telah menjadi komprador para pembuat kebijakan imperialistik. Atau jika tidak terkategori
komprador, mereka telah masuk jebakan yang lain, yaitu individualisme. Keterpelajarannya
hanya digunakan secara pribadi, atas nama prestasi dan prestige semata, serta perut sendiri.
Saat mencari
pekerjaan, terkadang lowongan pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan
disiplin ilmu yang telah dimiliki. Hal ini biasanya cukup terbaca oleh dunia
kerja sehingga lowongan yang diiklankan bertajuk ‘untuk semua jurusan’.
Sebutlah pekerjaan sebagai karyawati di bank, wartawati atau pialang di bursa efek.
Pekerjaan tersebut tidak mensyaratkan latar belakang disiplin ilmu tertentu.
Disamping itu, tawaran gajinya pun membuat makin semangat untuk meraihnya. Jika
demikian, lalu bagaimana nasib dan pemanfaatan ilmu yang telah diperoleh di
bangku akademik?
Wajar, jika hal
ini menjadi persimpangan bagi kalangan mahasiswi
pascakelulusannya. Di satu sisi, dirinya merasa harus mendapatkan pekerjaan
demi kompensasi sebagai penyambung hidup. Di sisi lain, ada tanggung jawab
moral terhadap disiplin ilmu yang dimiliki. Pada umumnya, sisi individual
seringkali dimenangkan, karena mereka merasa tidak akan ada yang bertanggung
jawab terhadap kelanjutan hidup selain dirinya sendiri. Pada akhirnya, tanggung
jawab moral terhadap disiplin ilmu itu pun dinomorsekiankan.
Sementara itu,
ada fenomena yang berbeda bagi mahasiswi sebagai pertanggungjawaban disiplin
ilmunya di dalam kampus. Tak sedikit mahasiswi yang direkrut sebagai asisten
dosen atau peneliti. Hal ini tentu wajar, karena kampus memang tempat mencetak
generasi unggul, di mana keunggulan itu akan terwujud dengan konsep ilmu lil
‘amal. Hanya saja, dunia kampus mengkondisikan ilmu para
alumninya ini terabdikan secara ‘sempurna’, di mana seluruh potensi, energi dan
pemikirannya diperas habis hanya untuk memperoleh sejumlah uang lelah.
Tentu sangat disayangkan,
jika potensi perempuan terpelajar ini hanya untuk perubahan semu. Punya suara
politik tetapi tidak mempunyai peran politik nyata untuk kebaikan umat.
Sebabnya, yang mempunyai politik nyata adalah kaum kapitalis borjuis-para
liberalis yang telah menyebabkan perempuan lelah bekerja, untuk sebuah
fatamorgana. Fakta kehidupan nonakademik di kampus dengan bentuk acara kemahasiswaan yang lebih sering ‘having fun’
terbukti membuat para mahasiswi timpang dari label asalnya sebagai kaum terpelajar sekaligus the agent of change. Hal
ini adalah bukti gerusan trend
dan lifestyle yang ternyata menjadikan mereka pragmatis. Akibatnya, label the agent of change yang seharusnya merupakan label umum bagi sosoknya, tidak lagi terintegrasi
dengan potensi dan semangatnya sebagai kaum muda. Alhasil, kisah ini pun
merangkai kesimpulan bahwa kondisi
perempuan sekarang sama persis seperti pada masa sebelum kedatangan Islam.
Terjebak dalam fakta di depan mata hingga tak mampu
berpikir visioner, intelektual
perempuan menjadi terbingungkan tentang arah konsep ilmu lil ‘amal
tersebut. Kondisi ini menjelaskan bahwa ilmunya tidak untuk kemashlahatan umat
sebagai objek yang diurus oleh negara, di mana intelektual sebagai pihak atau
staf ahli yang pasti menjadi rujukan. Akan tetapi yang terjadi, pemanfaatan
ilmu itu hanya untuk kemashlahatan sejumlah pemilik kapital yang akan
menggajinya, antara lain melalui maraknya tawaran proyek penelitian. Bahkan,
bukan tidak mungkin jika posisi intelektual ini sebatas menjadi ‘pemanis’ dalam
pengguliran sebuah kebijakan/undang-undang negara, agar beralasan untuk
dilegalkan meski isinya sangat liberal-imperialistik.
Kepintaran Perempuan, Software Menuju Taqwa
Menuntut ilmu
merupakan bagian dari aktivitas ibadah, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS.
Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku.” Dan Allah Swt
telah menjamin orang-orang yang berilmu dalam Al-Qur’an: “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS
Al-Mujadilah [58]: 11). Juga firman Allah Swt: “…Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu…”
(TQS Al-Hujuraat [49]: 13). Berdasarkan ayat-ayat tersebut, merupakan suatu
fitrah manusia jika kepintaran adalah software
baginya untuk menuju taqwa.
Islam telah menempatkan
perempuan sebagai bagian dari masyarakat sebagaimana halnya laki-laki.
Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan.
Keduanya bertanggung jawab menghantarkan kaum Muslim menjadi umat terbaik di
dunia. Karena itu, aktivitas politik dalam pengertian pengaturan urusan umat
bukan kewajiban laki-laki saja, melainkan juga merupakan kewajiban kaum
perempuan sebagai bagian dari umat. Oleh karena itu, dalam menilik pentingnya
ilmu untuk diamalkan sekaligus peran muslimah sebagai pendidik dan pencetak
generasi, layaklah jika mereka melahirkan generasi cerdas taqwa pejuang syariah
dan Khilafah serta sebagai mitra laki-laki dalam membangun
masyarakat Islam.” Salim T.S. Al Hassani, profesor emiritus di University of
Manchester, Inggris, dalam tulisannya, ‘Women’s
Contribution to Classical Islamic Civilisation: Science, Medicine and Politics’,
menyatakan bahwa selain dalam bidang agama mereka juga berkiprah di bidang ilmu
pengetahuan.
Tanggung jawab
perempuan sebagai makhluk Allah Swt pun
secara tegas diungkap dalam beberapa nash yang bersifat umum seperti QS Ali
Imran [3] ayat 104: “Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah
orang-orang yang beruntung.” -- [217] Ma'ruf: segala perbuatan yang
mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang
menjauhkan kita dari pada-Nya. Kemudian, di dalam hadits penuturan Hudzaifah
ra. juga disebutkan bahwa Rasulullaah saw. pernah bersabda: “Barangsiapa
yang tidak memperhatikan kepentingan kaum Muslim, ia tidak termasuk di antara
mereka. Barangsiapa bangun pada pagi hari dan tidak memperhatikan urusan kaum
Muslim, ia bukanlah golongan mereka.” (HR ath-Thabari).
Di antara sekian
tanggung jawab dan kewajiban perempuan, Allah Swt telah menetapkan bahwa tugas
utama perempuan adalah ummun wa robbatul bayt (ibu dan pengatur rumah
tangga). Sebagaimana sabda Rasulullaah saw: “Setiap diri kalian adalah
pemimpin. Masing-masing kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang
dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, ia bertanggung jawab atas apa yang
dipimpinnya. Seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin keluarganya, ia
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang perempuan (istri) adalah
pemimpin (pengurus) rumah suaminya dan anak-anaknya, ia bertanggung jawab atas
apa yang dipimpinnya.” (HR Bukhori dan Muslim). Sebagai ibu, perempuan wajib merawat, mengasuh,
mendidik dan memelihara anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang mulia di
hadapan Allah Swt. Sebagai pengatur rumah tangga, dia berperan membina,
mengatur dan menyelesaikan urusan rumah tangganya agar memberikan ketenteraman
dan kenyamanan bagi anggota-anggota keluarga yang lain, sekaligus menjadi mitra
utama laki-laki sebagai pemimpin rumahtangganya berdasarkan hubungan
persahabatan dan kasih sayang. Dengan peran khususnya ini, sesungguhnya
perempuan dipandang telah memberikan sumbangan besar kepada umat dan
masyarakatnya.
Muslimah, Pakar Formulasi
Generasi Cemerlang
Anak adalah
generasi potensial untuk membangun bangsa dan peradaban, di
mana perempuan, khususnya Muslimah, adalah para pencetaknya. Seorang ibu mempunyai peran penting yang berpengaruh besar dalam
perubahan kehidupan
anaknya. Tak ada satu perubahan apa pun dan bagaimana pun
yang tidak menyertakan keterlibatan kaum Muslimah di dalamnya. Kaum Muslimah
lahir dari umat yang agung, umat yang punya akar sejarah yang baik, yang telah
menerangi dunia dengan cahaya Islam dan keadilan hukum-hukumnya. Perjalanan
waktu membuktikan bahwa Muslimah berperan nyata dalam kegemilangan peradaban.
Mereka menjadi mulia, cerdas, pintar dan bermartabat dengan keadilan hukum
Islam.
Maka jelas, generasi cemerlang pun lahir dari ibu yang cemerlang.
Allah Swt telah dengan jelas memperingatkan umat
manusia untuk menjaga anak-anak, para generasi penerus. Firman Allah Swt: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.’ ” (TQS Luqman [31]: 13). Anak dilahirkan bukan untuk
disodorkan pada kerusakan, melainkan dijaga dari segala racun pemikiran kufur.
Hal ini akhirnya tak bisa dilepaskan dari konsep kebangkitan generasi. Karena
kebangkitan adalah formula utama bagi generasi cemerlang, di mana ibu yang
bertaqwa sebagai pakarnya.
Bangkitnya manusia sejatinya tergantung dari
pemikirannya tentang hidup, alam semesta dan manusia itu sendiri, serta
hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum alam kehidupan dan sesudah
kehidupan dunia. Agar manusia mampu bangkit, maka harus ada perubahan mendasar
dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti
dengan pemikiran lain. Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat persepsi
(mafahim) terhadap segala sesuatu.
Disamping itu, manusia selalu mengatur tingkah-lakunya di dalam kehidupan ini,
termasuk dalam memecahkan permasalahan, sesuai dengan persepsinya terhadap
kehidupan. Namun, persepsi ini tidak akan mengantarkan kepada kebangkitan yang
benar, kecuali jika sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan memberikan
ketenangan hati. Maka tidak bisa tidak, persepsi itu hanyalah yang berlandaskan
Islam. Aqidah Islam telah menjelaskan bahwa di balik alam semesta, manusia dan
kehidupan, terdapat Allah Swt sebagai Sang Khaliq. Islam pun menjamin bahwa dalam Islam terdapat penyelesaian permasalahan
kehidupan berdasarkan penanganan potensi manusia, yaitu kebutuhan jasmani (hajatul
udhowiyah) dan naluri (ghorizah) (Kitab Nizhomul Islam Bab Thoriqul
Iman). Oleh karena itu, dalam
perbuatan seorang hamba harus ada keyakinan akan hubungannya dengan Allah Swt secara mutlak sebagai bentuk ketaqwaannya.
Kegemilangan
peradaban, sebagaimana yang pernah dicapai belasan abad oleh umat Islam
terdahulu, tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan peran para ibu. Mereka telah berhasil mendidik dan memelihara
generasi umat sehingga tumbuh menjadi individu-individu yang mumpuni, yakni
generasi mujtahid dan mujahid yang telah berhasil membangun masyarakat dan
peradaban Islam hingga mengalami kegemilangan. Oleh karena itu, jelas menjadi
ibu sesungguhnya merupakan peran yang sangat mulia dan memiliki nilai politis
dan strategis, karena dari para ibu inilah akan lahir para pemimpin umat yang cerdas
dan berkualitas.
Gemilangnya cahaya Islam akhirnya mengubah
segalanya. Panggung peradaban Islam tak hanya didominasi oleh laki-laki.
Perempuan pun muncul untuk memberi kontribusi. Mereka menunjukkan kecemerlangan
pemikirannya dalam berbagai bidang. Perempuan menjadi sosok yang memahami
kemuliaan cahaya Islam dan tak kenal lelah mendidik umat untuk memahami cahaya
petunjuk tersebut. Hal ini telah bermula sejak zaman Nabi Muhammad saw dan para
shahabatnya saat merintis masyarakat berperadaban, yaitu peradaban yang menyatukan iman, ilmu, amal dan jihad.
Faktanya, Madinah merupakan
sebuah kota di mana para ayah dengan tenang meninggalkan istri-istri dan anak-anaknya
selama berbulan-bulan, bahkan tahunan, untuk berdakwah, berdagang dan berjihad
ke penjuru benua. Para ayah itu yakin, Madinah akan mendidik istri dan anaknya
menjadi manusia-manusia unggulan. Madinah merupakan kota pendidikan yang lengkap dan suci. Ada Rasul saw yang
ma’shum dan cerdas, ada masyarakat shahabat yang militan
dan berakhlaq mulia, ada masjid yang makmur dan buka 24 jam, dan yang
terpenting ada wahyu Allah Swt yang turun terus-menerus selama 10 tahun. Di
Madinah, jika seorang ilmuwan memisahkan aqidah-akhlaq dengan ilmu yang
dikuasainya, maka kealimannya batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul
sanad bagi sebuah hadits, jika dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan
tercatat sampai akhir zaman di kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak
valid. Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat. Coba kita bayangkan, di rumahnya anak-anak itu punya
ibu yang hafizhah Qur'an dan hadits
serta terjaga kehormatannya oleh syari’ah. Di masjid, anak-anak itu akan
bertemu Rasulullaah saw dan para shahabat utama. Subhanallaah.
Madinah selanjutnya
menginspirasi Damaskus, Baghdad, Cordova dan Istambul untuk menjadi pusat
peradaban dunia selama berabad-abad. Madinah, Damaskus dan Baghdad bersuka cita
memetik butir-butir mutiara sains yang diberikan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Berbagai cabang baru ilmu pengetahuan (new
branches of knowledge) di bidang astronomi, fisika, kedokteran, biologi,
matematika, ekonomi, sastra, teknologi perang, sampai filsafat dijabarkan terus
tanpa henti oleh para ulama. Mereka hafal Al-Qur'an, hafal ribuan hadits,
beribadah, berinfaq, dan berjihad seperti para shahabat, pada saat yang sama
mereka mengembangkan ilmu-ilmu baru dari semua yang diimani dan diamalkan itu.
Inilah yang disebut oleh para ulama, “Orang Barat bisa maju karena meninggalkan
agamanya, sedangkan kaum Muslimin hanya akan maju jika ia mendalami agamanya.”
Generasi
Cemerlang Hanya dengan Khilafah Islam
Konferensi Intelektual
Muslimah untuk Bangsa (KIMB) persembahan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal
20 Mei 2012 lalu di UI Depok, adalah kontribusi nyata untuk mewujudkan muslimah
intelektual yang akan melahirkan generasi cemerlang tersebut. Dan adalah tripartite
agent yang berkompeten dalam menyiapkan anak-anak menjadi generasi yang berpendidikan dan cerdas
serta memegang teguh aqidah dan syariat, yaitu keluarga, masyarakat dan
lingkungan, serta pemerintah atau negara.
Output pendidikan melalui jalur keluarga akan optimal
apabila disiapkan mulai orang tua memasuki masa pra-nikah, setelah masa
pernikahan dan saat bayi masih di dalam kandungan, serta berlanjut sampai ke
jenjang pernikahan si anak. Tahap ini menjadi tanggung jawab penuh orang tua. Dalam hal ini, ibu sebagai
subjek utama untuk melahirkan generasi, juga memiliki peran utama untuk mendidiknya.
Ada satu aspek penting yang tidak boleh hilang, yaitu bahwa proses pembentukan karakter (character building) harus menjadi unsur yang berimbang dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan
kehidupan. Pemahaman akan keseimbangan antara syakhsiyah (kepribadian), tsaqofah dan ilmu kehidupan harus dikembangkan secara
proporsional. Metode penanaman dan pengkristalan pemahaman serta kesadaran anak terhadap pentingnya aqidah Islam dalam proses pembelajaran harus digiatkan. Karena proses
untuk membangun bangsa yang peduli terhadap masalah umat sangat erat kaitannya
dengan upaya mencetak generasi muda sebagai the agent of
change.
Namun, pendidikan anak tidak dapat semata-mata
dilakukan oleh keluarga. Penjagaan generasi juga terkait dengan kontribusi masyarakat. Yaitu menyiapkan
generasi cerdas yang diwujudkan dengan partisipasi menciptakan lingkungan yang
suportif dan kondusif. Masyarakat sebagai pengontrol hendaknya memiliki
perasaan, pemikiran, peraturan yang sama, yaitu atas landasan Islam agar segala
bentuk perilaku individu dalam kehidupannya itu senantiasa terjaga dengan
benar. Masyarakat pun harus kondusif dengan suasana ‘amar ma’ruf nahyi mungkar.
Selanjutnya, negara sebagai penegak aturan adalah
negara yang menegakkan aturan Allah Swt dalam
pemeliharaan urusan rakyatnya, baik dari sisi kebutuhan
jasmani (hajatul udhowiyah) maupun
naluri (ghorizah). Negara melalui kebijakan pemerintah yang
berlandaskan syariat Islam dalam bingkai Khilafah, akan memfasilitasi proses pendidikan dan pembelajaran,
sehingga rakyat senantiasa terkondisikan untuk menyempurnakan ketaatannya
kepada Allah. Negara Khilafah, yang akan mengatur dunia dengan syariah
Islam, akan memberi hak-hak dan peran perempuan sebagaimana perintah Allah Swt. Khilafah juga bertanggung jawab menjaga para generasi
pemain panggung peradaban, hingga tidak memungkinkan munculnya golongan perusak
generasi semacam Manji, Lady Gaga dan Corby.
Karena itu, perempuan Muslimah dan ibu generasi harus berkiprah dan berkontribusi untuk tegaknya
syariah Islam dalam naungan Khilafah. Para perempuan
Muslimah yang berkiprah untuk perubahan dengan tidak menjadikan penerapan
syariah Islam dalam Khilafah sebagai jalan dan target perubahan, maka mereka
akan merasa lelah dan sia-sia karena perubahan hakiki tidak akan pernah terwujud. Hal
ini sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11: ”…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu
kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang
dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Kiprah perempuan Muslimah dalam upaya penegakan
Khilafah ini telah disambut oleh Allah Swt dalam QS Ali ‘Imran [3] ayat 195: “Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain...” Dengan demikian bukanlah mimpi, bahwa Khilafah adalah model pemerintahan cemerlang yang juga akan melahirkan generasi
cemerlang hingga
masyarakat
yang bernaung di dalamnya memperoleh kesejahteraan
dan meraih kemuliaan di dunia dan akhirat, insya Allah.
Wallaahu
a’lam bish showab
[].