Rabu, 30 Mei 2012

KEUNGGULAN SUBSISTEM ISLAM MENJAGA KECEMERLANGAN GENERASI

Sekelumit narasi dari Iffah Ainur Rochmah, S.Pd (Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia) @ Konferensi Intelektual Muslimah untuk Bangsa (KIMB; Khilafah, Jalan Baru Melahirkan Generasi Cemerlang) 20 Mei 2012 di UI Depok_
 
Bagaimana pandangan ibu tentang generasi muda saat ini?
Hampir semua gambaran tentang generasi muda saat ini sungguh memprihatinkan. Seks bebas, geng motor anarkis, supporter sepakbola anarkis, bulliying, tawuran, konsumsi narkoba,  merampok, menjambret, mencuri, memperkosa, membunuh bahkan menjual temannya sesama remaja untuk tujuan prostitusi. Hal ini terjadi di kalangan generasi muda di setiap lini, tidak peduli remaja, siswa sekolah maupun mahasiswa. Tentu saja, kita dapat membayangkan bagaimana kualitas mereka. Rata-rata mereka telah menjadi orang-orang yang tidak punya idealisme. Mereka menjadi kaum terpelajar tapi mereka belajar bukan untuk dapat bermanfaat bagi masyarakat. Melainkan hanya sebagai tuntutan kondisi dalam rangka target jangka panjang, yaitu kemandirian finansial. Bahkan, yang termasuk level aktivis mahasiswa sekalipun, mereka juga sulit untuk mencetak diri mereka sebagai pemimpin bangsa. Menjadi aktivis mahasiswa hanya sebagai label untuk meningkatkan jaringan di dunia kerja. Parahnya, yang sudah duduk di kursi-kursi strategis, mereka malah menodai panggung politik dengan korupsi, memperkaya diri sendiri, hingga dengan tega mengkhianati kepercayaan rakyat. Hal ini sejatinya tidak dapat dibiarkan.

Dalam orasi, ibu menyatakan bahwa semua permasalahan generasi muda bersumber pada sistem yang salah. Menurut ibu, bagaimana kronologisnya hingga akhirnya terdapat kesimpulan bahwa sistem yang salah adalah biang kerok-nya?
Jika kita membaca kebijakan-kebijakan pendidikan saat ini, banyak yang harus kita kritisi. Apakah ada jaminan bahwa jika mereka belajar dengan mengikuti kurikulum yang ada, sementara itu keluarga mereka bermasalah, maka mereka akan tetap menjadi generasi yang baik? Tentu tidak.
Di sisi lain sekolah negeri, ada sekelompok masyarakat yang juga membuat sekolah, yaitu sekolah-sekolah swasta. Akan tetapi, apakah dengan status swastanya, ada jaminan secara independen bahwa kurikulumnya juga mendukung pendidikan para peserta didik? Tetap saja tidak. Dengan demikian, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah masyarakat yang sebenarnya sebagai rumah besar bagi pendidikan itu sendiri. Kurikulum yang buruk ditemukan karena memang sistem politiknya juga buruk. Kurikulum hadir sebagai harapan bagi pelaksanaan sistem politik yang tengah diterapkan. Maka, corak sistem politik akan sangat menentukan kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah di suatu negeri.
Selanjutnya, pembentukan generasi juga berkorelasi dengan sistem ekonomi. Porsi sistem ekonomi yang persentasenya minimal 20% bagi pendidikan, seolah-olah sudah menjadi porsi yang besar, padahal nyatanya tidak cukup. Faktanya, tetap saja banyak fasilitas pendidikan yang jauh dari kelayakan. Porsi tersebut juga tidak cukup menutup insentif tenaga pendidik. Jadi jelas, bahwa sistem ekonomi juga punya peran yang tidak kalah penting dengan sistem politik. Di samping itu, masyarakat sebagai rumah besar pendidikan generasi, di mana di dalamnya juga terdapat sistem pergaulan, sistem informasi dan media massa, serta sistem peradilan.
Sistem pergaulan seharusnya memandang bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk dapat bekerjasama meraih ridla Allah SWT, di mana tidak perlu pembahasan gender equality. Hal ini terwujud dalam keluarga yang mampu mendidik generasi dengan bekal jati diri dan kepribadian kokoh. Sehingga terjaga kehormatan diri sebagai wujud keteladanan bagi generasi. Sistem informasi dan media massa pun harus memiliki cakupan konten media berupa gambaran Islam dan seluruh syariatnya, pengembangan kepribadian Islam, serta steril dari seks, pornografi, merusak moral, penghinaan dan penodaan kehormatan. Sistem peradilan semestinya memandang sanksi yang berfungsi sebagai pencegahan (zawajir) dan penebus dosa (jawabir); bersifat fair, tidak tebang pilih dan tidak berbelit; serta kesadaran hukum muncul dari dorongan iman; sehingga generasi terlindungi dari kriminalitas.
Maka jelas, sistem yang diperbaiki harus secara holistik, bukan sebagian konteks saja. Mulai dari memilih sistem politik yang tepat, penempatan pendidikan sebagai hak dasar bagi warga negara, sistem ekonomi yang dikelola dengan benar dan memadai, penyusunan kurikulum yang benar; dan di sisi lain kita juga harus membina generasi dari sisi sistem pergaulan, sistem informasi dan media massa, serta sistem peradilan.
Kondisinya, ideologi kapitalisme tetap memandang bahwa pendidikan bukan sebagai hak warga negara. Negara hanya punya kebutuhan pada generasi terdidik karena kompensasi ekonomi, yang mana akan berkorelasi dengan pendapatan negara. Lebih jauh lagi, hal ini akan ambigu karena ada kontradiksi antara sistem-sistem di dalamnya. Sistem pergaulan, sistem informasi dan media massa, serta sistem peradilan akan saling berebut kepentingan masing-masing.  Negara dengan status seperti ini tentu saja tidak dapat dipertahankan.

Selanjutnya, mengapa harus kembali pada sistem Islam, padahal tidak semua manusia beragama Islam?
Hizbut Tahrir dalam perjuangannya selalu meyakinkan umat. Termasuk dalam KIMB ini, yang dikhususkan kepada intelektual, bahwa Islam hadir dengan sistem Khilafah, yang merupakan sistem dari Allah, tapi sistem ini tidak berarti eksklusif untuk warga Muslim. Kebaikan dan kesuksesan Khilafah ketika diterapkan tidak hanya dirasakan oleh warga Muslim, tapi juga yang non-Muslim. Kondisi Indonesia yang plural mengharuskan kita dapat menggambarkan kepada mereka bahwa sistem Islam merupakan solusi. Mengingat, sistem yang tegak saat ini tidak akan pernah bisa memberikan solusi. Sejatinya, Khilafah tidak melulu bicara tentang ibadah. Khilafah justru akan keluar dari ranah privat ibadah, lebih jauh ke arah hukum-hukum publik. Jadi tenang saja, di sini warga non-Muslim akan diberi kebebasan beraqidah dan beribadah dalam ranah privat mereka. Toh saat ini, warga non-Muslim juga sudah sama-sama sadar akan kerusakan sistem kapitalisme, namun mereka tidak memiliki alternatif lain tentang sistem yang sanggup untuk menyelesaikan persoalan. Jadi memang tidak ada pilihan lain selain sistem Islam.

Apa agenda MHTI sendiri pasca-KIMB ini?
Insya Allah MHTI akan terus menyerukan dan memfasilitasi para intelektual muslimah dalam rangka berkomitmen bersama untuk membentuk dan menjaga generasi. Ini merupakan tanggung jawab MHTI untuk melanjutkan proses yang sudah ada via KIMB dengan mengaktivasi intelektual dalam pemberdayaan mereka yang akan senantiasa menjadikan syariat Islam sebagai rujukan. Para intelektual adalah subjek yang sudah memiliki dinamika dengan kehidupan kampus. MHTI akan fokus supaya kekuatan para intelektual ini bisa menyokong tegaknya institusi politik Islam, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah. Satu hal yang harus diperhatikan, bahwa kaum intelektual memiliki peran yang sangat strategis tidak hanya di kampus, tapi juga di sisi pengambilan kebijakan. Karena mereka berada di balik penyusunan naskah-naskah regulasi, khususnya tentang pendidikan. Mereka tentu kita harapkan dapat bersuara lantang untuk mengubah generasi bangsa ini. Oleh karena itu, suara mereka diharapkan bergema tidak hanya pada satu aspek regulasi, melainkan dari seluruh aspek.

Bagaimana dampak KIMB bagi kalangan intelektual?
Beberapa intelektual telah menyampaikan kepada MHTI bahwa mereka mau berkomitmen untuk menyebarluaskan pemikiran-pemikiran Islam, mengikuti rekomendasi-rekomendasi dari MHTI, serta menggunakan referensi-referensi Islam. Pelaksanaan KIMB merupakan suatu hal yang sangat istimewa, karena salah satu segmen acaranya adalah launching buku “Jalan Baru Intelektual Muslimah, Visi Pembebas Generasi”. Buku ini insya Allah dapat menjadi pegangan bagi para intelektual dalam mendidik civitas akademika di kampus. Di samping itu, acara ini juga dihadiri oleh seorang intelektual dari Inggris, yaitu Dr. Nazreen Nawaz, yang juga merupakan Central Media Representative of Hizbut Tahrir. Satu suara dengan para intelektual peserta KIMB, beliau menyambut baik kehadiran buku tersebut. Beliau juga mengharapkan buku ini dapat menjadi rujukan dalam kajian-kajian intelektual di berbagai tempat.

Bagaimana gambaran peran yang diharapkan dari para intelektual dalam mewujudkan generasi terpelajar yang mumpuni untuk masa depan umat?
Intelektual adalah kaum berilmu. MHTI mengharapkan mereka tidak hanya sekedar menyampaikan ilmu, tapi juga mengubah keadaan. Saat mengajar adalah masa bagi mereka untuk dapat bertemu dan bersentuhan dengan para peserta didik. Di saat itulah mereka berkesempatan untuk menanamkan nilai-nilai kebenaran berlandaskan Islam pada peserta didiknya, hingga sekaligus dapat ber-’amar ma’ruf nahyi mungkar. Selanjutnya, peran mereka dalam sebagai staf ahli dan pakar di balik naskah-naskah regulasi akademis serta rekomendasi dalam buku “Jalan Baru Intelektual Muslimah, Visi Pembebas Generasi”, diharapkan dapat semakin memperkuat mereka dan juga umat di belakang mereka untuk mewujudkan Khilafah Islamiyyah, aamiin.
 

Selasa, 29 Mei 2012

INDONESIA CONFERENCE THE GLOBAL VISION FOR THE FUTURE GENERATIONS

(Konferensi Indonesia, Visi Global untuk Generasi Masa Depan)


Sekelumit narasi dari Dr. Nazreen Nawaz (Central Media Representative of Hizbut Tahrir) @ Konferensi Intelektual Muslimah untuk Bangsa (KIMB; Khilafah, Jalan Baru Melahirkan Generasi Cemerlang) 20 Mei 2012 di UI Depok_


Di awal orasi yang anda sampaikan, anda mengutip sebuah ayat. Apakah makna dari ayat tersebut?
Iya, ayat yang saya kutip adalah QS.Al-Baqoroh ayat 143. Salah seorang cendekiawan Islam ketika mendiskusikan ayat tersebut memberikan analogi dengan sebuah gunung di mana ummat mencapai puncak  tertinggi dan titik paling utama. Dan dari posisi ini, umat bukan hanya ‘Syuhada an Naas- yakni saksi atas seluruh manusia dengan Quran dan Sunnah, tapi umat yang hidup dan mengemban dien Islam juga harus menjadi contoh yang dibutuhkan manusia tentang bagaimana hidup dalam kehidupan. Karena Allah Swt pasti memuliakan kita dengan dien Islam tersebut.

Langkah apa yang bisa kita laksanakan terkait dengan pengamalan ayat tersebut?
Allah Swt telah memberikan kepada kita sebuah misi besar, yaitu menjadi orang-orang yang memastikan bahwa generasi muda Islam adalah model bagi generasi masa depan secara global di segala bidang, yang meliputi politik, ekonomi, pendidikan, serta isu sosial yang terhampar mulai dari rumah, sekolah, universitas dan berbagai komunitas yang kita miliki. Dan hanya sistem Allah Swt yang layak mengatur seluruh urusan umat manusia. Karena pada sistem itulah letak ‘templategenerasi muda yang akan menjadi model bagi generasi di setiap sudut dunia. Sebagaimana firman Allah Swt: “Dan Kami tidak mengutus Engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (TQS 21: 107); yang bermakna bahwa sebagai muslim, kita harus mempunyai visi global kehidupan, bukan visi nasionalistik yang hanya memperhatikan persoalan di dalam suku bangsa, ras atau negara kita sendiri.

Jika demikian, terkait dengan tema yang diaruskan dalam acara ini, bagaimana menurut anda gambaran tentang generasi muda Islam?
Generasi muda Islam harus menjadi Role Model dan Leaders of humanity bagi generasi muda di mana pun berada. Karena generasi muda Islam adalah generasi yang taat kepada Allah Swt, yang tumbuh dewasa dalam ibadah kepada Penciptanya, mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Mereka adalah agent of change yang bekerja keras untuk mengubah dengan Islam, segala penderitaan, beban dan  penindasan di hadapan wajah kemanusiaan, karena mereka menyadari bahwa mereka mempunyai solusi bagi masalah-masalah di dunia di dalam dien mereka yang mulia.

Subhanallaah, memang demikianlah selayaknya generasi cemerlang. Menurut anda, siapakah tokoh-tokoh yang dapat menjadi teladan bagi generasi muda Islam?
Merekalah yang memiliki ketajaman benak layaknya Aisyah (ra) yang telah menghafal 2000 hadist sejak usia 18 tahun; mereka yang mempunyai kekuatan lisan layaknya Jafar bin Abi Thalib yang pada usia 20 tahun mampu memenangkan penguasa Abysinnia, Negus dengan kekuatan argumentasinya; mereka adalah yang pemilik karakter yang kokoh layaknya karakter Fathimah (ra), putri Rasul (SAW) yang berdiri tegak melawan para pemimpin Mekkah yang menganiaya ayahnya; juga yang memiliki keberanian Abdullah ibn Mas’ud yang pada usia 14 atau 15 tahun dengan tanpa rasa takut di tengah-tengah kaum Quraisy untuk menyampaikan Al-Quran. 

Menurut anda, apa arti penting generasi muda Islam Indonesia?
Generasi muda Islam di Indonesia sangat penting. Tapi bukan karena mereka generasi muda dari negara anda semata, melainkan karena mereka adalah generasi muda dan masa depan umat. Maka, Islam sebagai visi cemerlang harus digunakan untuk melindungi anak-anak Indonesia dari nilai-nilai dan pandangan hidup yang merusak dan memimpin mereka menjadi pribadi, pemikir dan pemimpin yang patut dicontoh. Karena Islam adalah visi yang sama yang juga harus anda pegang untuk seluruh anak-anak umat ini, di Asia, dunia Arab, belahan benua Afrika hingga di Barat. Maka, alangkah besar tanggung jawab kita bagi generasi muda di seluruh penjuru dunia. Karena di manapun kita melihat, ke Timur atau ke Barat, generasi muda menghadapi krisis sangat yang luas, baik krisis politik, ekonomi, pendidikan, moral dan sosial. 

Dapatkah anda memberikan gambaran generasi muda di Barat? Mengingat, Barat masih menjadi kiblat kehidupan bagi anak muda di dunia, tidak terkecuali Indonesia.  
Di Barat, sistem politik demokrasi dan sistem pendidikan sekulernya, masih berjuang tanpa henti untuk menghadapi menggunungnya masalah yang menimpa kaum muda di masyarakatnya. Sistem pendidikan Barat telah ditahbiskan sebagai model keunggulan yang harus ditiru oleh negara-negara lain. Ironisnya, sistem pendidikan dunia Islam justru masih setia berkaca padanya. Padahal faktanya, gaji rendah bagi para guru bukan lagi hal baru, adanya jutaan dolar atau pound anggaran pendidikan yang dipotong, di UK terdapat kelemahan serius dari sekolah-sekolah yang menyisakan banyak anak-anak tak mampu memasukinya, 150.000 anak tidak bisa membaca dan menulis pada usia 11 tahun, dan belakangan pemerintah UK meningkatkan biaya universitas hingga £9000/tahun sehingga menjadikan perguruan tinggi sebagai privilige bagi kalangan kaya saja. Ini jelas merefleksikan sebuah sistem yang tidak memberikan nilai bagi pendidikan yang sejati, padahal di sisi lain milyaran pound telah dihabiskan dalam perang kolonial untuk mengamankan sumber-sumber finansial. Kesimpulannya, sistem pendidikan Barat adalah sistem yang tidak memandang pendidikan dari perspektif manusia yakni sebagai hak dasar untuk setiap individu, melainkan dari standar kapitalistik yang memandang apa yang baik bagi pertumbuhan ekonomi.

Apa harapan anda sebagai follow up dari konferensi ini?
Timur dan Barat tidak boleh putus asa dalam kebutuhannya akan kemuliaan. Indahnya Islam adalah satu-satunya model untuk generasi muda yang telah saya gambarkan. Sistem Khilafah-lah yang menyatukan negeri-negeri Muslim di bawah hukum Allah Swt, yang mampu melahirkan generasi muda Muslim dan non-Muslim di dunia. Khilafah akan menghancurkan rezim penindas dunia Muslim dan menggantikannya dengan kepemimpinan yang melindungi dan menggiring masyarakat dalam sistem Allah. Khilafah akan menciptakan generasi muda berkualitas seperti Imam Syafi’i yang telah hafal Al-Qur’an pada umur 7 tahun dan menjadi Mujtahid pada umur 14 tahun. Juga, generasi muda berkualitas seperti Thariq bin Ziyad, Muhammad al-Fatih, dan Muhammad bin Qasim. Mereka adalah anak muda yang menjadi pemimpin pasukan dengan keberanian dan ketajaman pemikirannya menyebarkan Islam ke Spanyol, Turki dan India. Tak lupa, Umar bin Abdul Aziz, Harun Ar-Rasyid, dan Sultan Abdul Hamid; yang lahir di bawah naungan aturan Islam dan menjadi penguasa yang saleh atas umat ini. Mereka adalah orang-orang yang berdedikasi untuk menangani kebutuhan rakyat dan menjaga tanah Islam dari musuh-musuh Allah Swt.


Minggu, 27 Mei 2012

Ibu Pintar dan Taqwa, Pakar Formula Kebangkitan Generasi

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si 

(Catatan Pasca-KIMB 20 Mei 2012: Khilafah, Jalan Baru Melahirkan Generasi Cemerlang)

Kisah Irshad Manji belum lagi mendingin, negeri ini diterpa panasnya isu Lady Gaga dan Corby. Aneh, mengapa harus ada perdebatan antara kebenaran dan kesalahan tentang ketiganya? Padahal sudah nyata, mereka adalah para perempuan perusak generasi muda. Memangnya apa yang patut dipuja dan dibanggakan dari mereka bertiga? Tidak ada. Bahkan bukan tidak mungkin, anak dari para perempuan seperti mereka akan sangat malu jika mengetahui perilaku ibunya yang justru menghancurkan generasi.

Perempuan dalam Potret Kapitalistik
Manji, Lady Gaga dan Corby tak diragukan lagi sepak terjangnya. Mereka termasuk para perempuan yang menjadikan ide-ide kapitalis sebagai pijakan. Mereka juga ‘dengan sadar’ berkontribusi untuk mengajak kaum perempuan selainnya untuk terkooptasi pada ide-ide tersebut. Para pengusung ide serupa pun bersuara senada. Yaitu dengan menyatakan bahwa persoalan perempuan akan terselesaikan dengan membebaskan perempuan berkiprah dimana pun, terutama dalam ranah publik. Dengan itu suara dan partisipasinya diperhitungkan, baik dalam keluarganya maupun masyarakat. Alih-alih mampu mengangkat nasib perempuan, posisi perempuan dalam sistem demokrasi kapitalis justru menjadi racun yang kian mengukuhkan kegagalan menyelesaikan persoalan-persoalan perempuan. Sebaliknya, ide-ide kapitalis-sekular sukses menjerumuskan perempuan ke dalam jurang kejahiliahan dan kegelapan. Kegelapan ini tidak akan pernah beranjak dari umat secara keseluruhan selama umat Islam mencampakkan aturan-aturan dari Allah Swt dan Rasul-Nya.
Sebagaimana diketahui, kaum perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk di Dunia Islam, sudah lama mengalami ketertindasan di berbagai lini kehidupan. Kapitalisme telah dengan congkaknya menuduh bahwa nasib perempuan dalam Islam tidak akan pernah bahagia karena Islam bersikap tidak adil terhadap perempuan. Sistem kapitalis-liberal ini yang telah sekian lama bercokol, nyatanya tidak pernah mengubah nasib perempuan.
Kehidupan kapitalistik telah merancukan pemikiran perempuan, bahwa untuk mendapatkan hak-haknya, perempuan harus banyak uang, cantik dan pintar. Jika mereka ingin setara dengan laki-laki, mereka harus banyak berkiprah di ranah publik. Peran sejati perempuan dikaburkan, disesatkan, dikacaukan bahkan dilenyapkan. Perempuan tak lagi menjadi istri mulia, ibu tangguh, perempuan pejuang. Kehidupan perempuan kembali menjadi hina karena sistem yang digunakan bukan sistem Islam, yang punya cara pandang berbeda 180 derajat dengan cara pandang Islam terhadap perempuan.
Akibatnya, kapitalisme seperti meminta ‘upah’ dengan menjadikan perempuan menjadi barang dagangan, alat promosi berbagai produk untuk menarik pembeli. Perempuan dilacurkan, dijual, dieksploitasi tenaganya dalam industri, bahkan dibunuh karena arogansi penguasa lalim. Perempuan dipaksa bekerja di sektor publik, dijadikan TKW di luar negeri; dijadikan ikon utama di dunia fesyen, hiburan bahkan seluruh komoditas yang bersifat komersial. Sebagian diekploitasi secara seksual dalam bisnis pornografi, pornoaksi, bahkan pelacuran. Sebagian mengalami tindakan kekerasan fisik maupun psikis baik di sektor publik maupun di ranah domestik; ditelantarkan, dilecehkan, diperkosa bahkan dibunuh. Sebagian menderita kemiskinan dan kebodohan yang berkepanjangan. Sebagian lagi harus meregang nyawa atau terancam setiap saat di bawah rezim kejam seperti yang dialami Muslimah saat ini, seperti di Suriah, Palestina ataupun di negeri Muslim yang lain.

Perempuan Pintar, Sadarlah!
Abad milenium adalah abad modern di mana perempuan berpendidikan tinggi bukan sesuatu yang langka. Bukan rahasia bahwa kapasitas berpikir para perempuan telah diperhitungkan dalam peradaban dunia, termasuk Indonesia. Hal ini senada dengan pernyataan Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ananta Kusuma Seta, tentang sumberdaya manusia usia produktif yang berpendidikan tinggi.
Ananta mengatakan bahwa Indonesia akan mendapatkan bonus demografidalam kurun waktu 15 tahun ke depan. Maksud ‘bonus demografi’ itu adalah mayoritas penduduk Indonesia lebih banyak dipenuhi usia angkatan kerja. Artinya, pada rentang waktu 2010-2025, negara ini akan dipenuhi oleh usia produktif. Jika mereka adalah orang yang berpengetahuan, Indonesia akan menjadi negara maju. Peningkatan akses pendidikan tinggi bagi rentang usia 19-23 tahun dirasakan sangat penting. Karena dari 21 juta penduduk berusia 19-23 tahun tersebut, hanya 5,4 juta orang yang bisa mengakses jenjang pendidikan tinggi (antaranews.com, 07/04/2012). Tak heran jika Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, menyatakan bahwa tidak ada yang dapat menyangkali bahwa kemajuan suatu bangsa dan negara sangat ditentukan pendidikan serta ekonomi dan pendidikan menjadi pilar moral dan peradaban bangsa (antaranews.com, 19/03/2012).
Mahasiswi adalah sebutan bagi perempuan terpelajar selepas sekolah menengah. Pada masanya, sejumlah perguruan tinggi akan siap menampung dengan serangkaian program studi yang menjanjikan. Setiap perguruan tinggi memiliki target tertentu dari kurikulum yang dicanangkannya. Pada umumnya, kurikulum tersebut dimaksudkan untuk menjadikan para peserta didik mudah dalam belajar, mampu meraih nilai terbaik dengan wujud IPK tinggi atau tertinggi, dan sejumlah titel sebagai perempuan berprestasi.
Secara otomatis, hal ini mengkondisikan mahasiswi ingin segera lulus dan memperoleh pekerjaan yang layak dengan modal IPK tinggi dan masa studi yang singkat. Pekerjaan yang diinginkan pun tidak jauh dari terminologi posisi bergengsi dan gaji tinggi, yang tentunya akan makin menambah prestige individu dan keluarga. Demikian halnya bagi para orang tua yang telah berjuang membiayai pendidikan anak-anaknya, sehingga setelah lulus sang anak diharapkan dapat membalas budi yang telah ditanam oleh orang tua sebelumnya.
Jeratan kapitalistik pun tanpa belas kasihan melanda para perempuan pintar. Perempuan sebagai kaum terpelajar yang seharusnya bisa berkiprah dan berkontribusi dalam kemashlahatan umat, tanpa sadar nyatanya telah menjadi komprador para pembuat kebijakan imperialistik. Atau jika tidak terkategori komprador, mereka telah masuk jebakan yang lain, yaitu individualisme. Keterpelajarannya hanya digunakan secara pribadi, atas nama prestasi dan prestige semata, serta perut sendiri.
Saat mencari pekerjaan, terkadang lowongan pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang telah dimiliki. Hal ini biasanya cukup terbaca oleh dunia kerja sehingga lowongan yang diiklankan bertajuk ‘untuk semua jurusan’. Sebutlah pekerjaan sebagai karyawati di bank, wartawati atau pialang di bursa efek. Pekerjaan tersebut tidak mensyaratkan latar belakang disiplin ilmu tertentu. Disamping itu, tawaran gajinya pun membuat makin semangat untuk meraihnya. Jika demikian, lalu bagaimana nasib dan pemanfaatan ilmu yang telah diperoleh di bangku akademik?
Wajar, jika hal ini menjadi persimpangan bagi kalangan mahasiswi pascakelulusannya. Di satu sisi, dirinya merasa harus mendapatkan pekerjaan demi kompensasi sebagai penyambung hidup. Di sisi lain, ada tanggung jawab moral terhadap disiplin ilmu yang dimiliki. Pada umumnya, sisi individual seringkali dimenangkan, karena mereka merasa tidak akan ada yang bertanggung jawab terhadap kelanjutan hidup selain dirinya sendiri. Pada akhirnya, tanggung jawab moral terhadap disiplin ilmu itu pun dinomorsekiankan.
Sementara itu, ada fenomena yang berbeda bagi mahasiswi sebagai pertanggungjawaban disiplin ilmunya di dalam kampus. Tak sedikit mahasiswi yang direkrut sebagai asisten dosen atau peneliti. Hal ini tentu wajar, karena kampus memang tempat mencetak generasi unggul, di mana keunggulan itu akan terwujud dengan konsep ilmu lil ‘amal.  Hanya saja, dunia kampus mengkondisikan ilmu para alumninya ini terabdikan secara ‘sempurna’, di mana seluruh potensi, energi dan pemikirannya diperas habis hanya untuk memperoleh sejumlah uang lelah.
Tentu sangat disayangkan, jika potensi perempuan terpelajar ini hanya untuk perubahan semu. Punya suara politik tetapi tidak mempunyai peran politik nyata untuk kebaikan umat. Sebabnya, yang mempunyai politik nyata adalah kaum kapitalis borjuis-para liberalis yang telah menyebabkan perempuan lelah bekerja, untuk sebuah fatamorgana. Fakta kehidupan nonakademik di kampus dengan bentuk acara kemahasiswaan yang lebih sering ‘having fun’ terbukti membuat para mahasiswi timpang dari label asalnya sebagai kaum terpelajar sekaligus the agent of change. Hal ini adalah bukti gerusan trend dan lifestyle yang ternyata menjadikan mereka pragmatis. Akibatnya, label the agent of change yang seharusnya merupakan label umum bagi sosoknya, tidak lagi terintegrasi dengan potensi dan semangatnya sebagai kaum muda. Alhasil, kisah ini pun merangkai kesimpulan bahwa kondisi perempuan sekarang sama persis seperti pada masa sebelum kedatangan Islam.
Terjebak dalam fakta di depan mata hingga tak mampu berpikir visioner, intelektual perempuan menjadi terbingungkan tentang arah konsep ilmu lil ‘amal tersebut. Kondisi ini menjelaskan bahwa ilmunya tidak untuk kemashlahatan umat sebagai objek yang diurus oleh negara, di mana intelektual sebagai pihak atau staf ahli yang pasti menjadi rujukan. Akan tetapi yang terjadi, pemanfaatan ilmu itu hanya untuk kemashlahatan sejumlah pemilik kapital yang akan menggajinya, antara lain melalui maraknya tawaran proyek penelitian. Bahkan, bukan tidak mungkin jika posisi intelektual ini sebatas menjadi ‘pemanis’ dalam pengguliran sebuah kebijakan/undang-undang negara, agar beralasan untuk dilegalkan meski isinya sangat liberal-imperialistik.

Kepintaran Perempuan, Software Menuju Taqwa
Menuntut ilmu merupakan bagian dari aktivitas ibadah, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Dan Allah Swt telah menjamin orang-orang yang berilmu dalam Al-Qur’an: “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS Al-Mujadilah [58]: 11). Juga firman Allah Swt: “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (TQS Al-Hujuraat [49]: 13). Berdasarkan ayat-ayat tersebut, merupakan suatu fitrah manusia jika kepintaran adalah software baginya untuk menuju taqwa.
Islam telah menempatkan perempuan sebagai bagian dari masyarakat sebagaimana halnya laki-laki. Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan. Keduanya bertanggung jawab menghantarkan kaum Muslim menjadi umat terbaik di dunia. Karena itu, aktivitas politik dalam pengertian pengaturan urusan umat bukan kewajiban laki-laki saja, melainkan juga merupakan kewajiban kaum perempuan sebagai bagian dari umat. Oleh karena itu, dalam menilik pentingnya ilmu untuk diamalkan sekaligus peran muslimah sebagai pendidik dan pencetak generasi, layaklah jika mereka melahirkan generasi cerdas taqwa pejuang syariah dan Khilafah serta sebagai mitra laki-laki dalam membangun masyarakat Islam.” Salim T.S. Al Hassani, profesor emiritus di University of Manchester, Inggris, dalam tulisannya, ‘Women’s Contribution to Classical Islamic Civilisation: Science, Medicine and Politics’, menyatakan bahwa selain dalam bidang agama mereka juga berkiprah di bidang ilmu pengetahuan.
Tanggung jawab perempuan sebagai makhluk Allah Swt pun secara tegas diungkap dalam beberapa nash yang bersifat umum seperti QS Ali Imran [3] ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.” -- [217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya. Kemudian, di dalam hadits penuturan Hudzaifah ra. juga disebutkan bahwa Rasulullaah saw. pernah bersabda: “Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan kaum Muslim, ia tidak termasuk di antara mereka. Barangsiapa bangun pada pagi hari dan tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, ia bukanlah golongan mereka.” (HR ath-Thabari).
Di antara sekian tanggung jawab dan kewajiban perempuan, Allah Swt telah menetapkan bahwa tugas utama perempuan adalah ummun wa robbatul bayt (ibu dan pengatur rumah tangga). Sebagaimana sabda Rasulullaah saw: “Setiap diri kalian adalah pemimpin. Masing-masing kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin keluarganya, ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang perempuan (istri) adalah pemimpin (pengurus) rumah suaminya dan anak-anaknya, ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR Bukhori dan Muslim). Sebagai ibu, perempuan wajib merawat, mengasuh, mendidik dan memelihara anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang mulia di hadapan Allah Swt. Sebagai pengatur rumah tangga, dia berperan membina, mengatur dan menyelesaikan urusan rumah tangganya agar memberikan ketenteraman dan kenyamanan bagi anggota-anggota keluarga yang lain, sekaligus menjadi mitra utama laki-laki sebagai pemimpin rumahtangganya berdasarkan hubungan persahabatan dan kasih sayang. Dengan peran khususnya ini, sesungguhnya perempuan dipandang telah memberikan sumbangan besar kepada umat dan masyarakatnya.

Muslimah, Pakar Formulasi Generasi Cemerlang
Anak adalah generasi potensial untuk membangun bangsa dan peradaban, di mana perempuan, khususnya Muslimah, adalah para pencetaknya. Seorang ibu mempunyai peran penting yang berpengaruh besar dalam perubahan kehidupan anaknya. Tak ada satu perubahan apa pun dan bagaimana pun yang tidak menyertakan keterlibatan kaum Muslimah di dalamnya. Kaum Muslimah lahir dari umat yang agung, umat yang punya akar sejarah yang baik, yang telah menerangi dunia dengan cahaya Islam dan keadilan hukum-hukumnya. Perjalanan waktu membuktikan bahwa Muslimah berperan nyata dalam kegemilangan peradaban. Mereka menjadi mulia, cerdas, pintar dan bermartabat dengan keadilan hukum Islam. Maka jelas, generasi cemerlang pun lahir dari ibu yang cemerlang.
Allah Swt telah dengan jelas memperingatkan umat manusia untuk menjaga anak-anak, para generasi penerus. Firman Allah Swt: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ ” (TQS Luqman [31]: 13). Anak dilahirkan bukan untuk disodorkan pada kerusakan, melainkan dijaga dari segala racun pemikiran kufur. Hal ini akhirnya tak bisa dilepaskan dari konsep kebangkitan generasi. Karena kebangkitan adalah formula utama bagi generasi cemerlang, di mana ibu yang bertaqwa sebagai pakarnya.
Bangkitnya manusia sejatinya tergantung dari pemikirannya tentang hidup, alam semesta dan manusia itu sendiri, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum alam kehidupan dan sesudah kehidupan dunia. Agar manusia mampu bangkit, maka harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain. Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat persepsi (mafahim) terhadap segala sesuatu. Disamping itu, manusia selalu mengatur tingkah-lakunya di dalam kehidupan ini, termasuk dalam memecahkan permasalahan, sesuai dengan persepsinya terhadap kehidupan. Namun, persepsi ini tidak akan mengantarkan kepada kebangkitan yang benar, kecuali jika sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan memberikan ketenangan hati. Maka tidak bisa tidak, persepsi itu hanyalah yang berlandaskan Islam. Aqidah Islam telah menjelaskan bahwa di balik alam semesta, manusia dan kehidupan, terdapat Allah Swt sebagai Sang Khaliq. Islam pun menjamin bahwa dalam Islam terdapat penyelesaian permasalahan kehidupan berdasarkan penanganan potensi manusia, yaitu kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) dan naluri (ghorizah) (Kitab Nizhomul Islam Bab Thoriqul Iman). Oleh karena itu, dalam perbuatan seorang hamba harus ada keyakinan akan hubungannya dengan Allah Swt secara mutlak sebagai bentuk ketaqwaannya.
Kegemilangan peradaban, sebagaimana yang pernah dicapai belasan abad oleh umat Islam terdahulu, tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan peran para ibu. Mereka telah berhasil mendidik dan memelihara generasi umat sehingga tumbuh menjadi individu-individu yang mumpuni, yakni generasi mujtahid dan mujahid yang telah berhasil membangun masyarakat dan peradaban Islam hingga mengalami kegemilangan. Oleh karena itu, jelas menjadi ibu sesungguhnya merupakan peran yang sangat mulia dan memiliki nilai politis dan strategis, karena dari para ibu inilah akan lahir para pemimpin umat yang cerdas dan berkualitas.
Gemilangnya cahaya Islam akhirnya mengubah segalanya. Panggung peradaban Islam tak hanya didominasi oleh laki-laki. Perempuan pun muncul untuk memberi kontribusi. Mereka menunjukkan kecemerlangan pemikirannya dalam berbagai bidang. Perempuan menjadi sosok yang memahami kemuliaan cahaya Islam dan tak kenal lelah mendidik umat untuk memahami cahaya petunjuk tersebut. Hal ini telah bermula sejak zaman Nabi Muhammad saw dan para shahabatnya saat merintis masyarakat berperadaban, yaitu peradaban yang menyatukan iman, ilmu, amal dan jihad.
Faktanya, Madinah merupakan sebuah kota di mana para ayah dengan tenang meninggalkan istri-istri dan anak-anaknya selama berbulan-bulan, bahkan tahunan, untuk berdakwah, berdagang dan berjihad ke penjuru benua. Para ayah itu yakin, Madinah akan mendidik istri dan anaknya menjadi manusia-manusia unggulan. Madinah merupakan kota pendidikan yang lengkap dan suci. Ada Rasul saw yang mashum dan cerdas, ada masyarakat shahabat yang militan dan berakhlaq mulia, ada masjid yang makmur dan buka 24 jam, dan yang terpenting ada wahyu Allah Swt yang turun terus-menerus selama 10 tahun. Di Madinah, jika seorang ilmuwan memisahkan aqidah-akhlaq dengan ilmu yang dikuasainya, maka kealimannya batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul sanad bagi sebuah hadits, jika dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan tercatat sampai akhir zaman di kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak valid. Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat. Coba kita bayangkan, di rumahnya anak-anak itu punya ibu yang hafizhah Qur'an dan hadits serta terjaga kehormatannya oleh syari’ah. Di masjid, anak-anak itu akan bertemu Rasulullaah saw dan para shahabat utama. Subhanallaah.
Madinah selanjutnya menginspirasi Damaskus, Baghdad, Cordova dan Istambul untuk menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad. Madinah, Damaskus dan Baghdad bersuka cita memetik butir-butir mutiara sains yang diberikan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbagai cabang baru ilmu pengetahuan (new branches of knowledge) di bidang astronomi, fisika, kedokteran, biologi, matematika, ekonomi, sastra, teknologi perang, sampai filsafat dijabarkan terus tanpa henti oleh para ulama. Mereka hafal Al-Qur'an, hafal ribuan hadits, beribadah, berinfaq, dan berjihad seperti para shahabat, pada saat yang sama mereka mengembangkan ilmu-ilmu baru dari semua yang diimani dan diamalkan itu. Inilah yang disebut oleh para ulama, “Orang Barat bisa maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan kaum Muslimin hanya akan maju jika ia mendalami agamanya.”

Generasi Cemerlang Hanya dengan Khilafah Islam
Konferensi Intelektual Muslimah untuk Bangsa (KIMB) persembahan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 20 Mei 2012 lalu di UI Depok, adalah kontribusi nyata untuk mewujudkan muslimah intelektual yang akan melahirkan generasi cemerlang tersebut. Dan adalah tripartite agent yang berkompeten dalam menyiapkan anak-anak menjadi generasi yang berpendidikan dan cerdas serta memegang teguh aqidah dan syariat, yaitu keluarga, masyarakat dan lingkungan, serta pemerintah atau negara.
Output pendidikan melalui jalur keluarga akan optimal apabila disiapkan mulai orang tua memasuki masa pra-nikah, setelah masa pernikahan dan saat bayi masih di dalam kandungan, serta berlanjut sampai ke jenjang pernikahan si anak. Tahap ini menjadi tanggung jawab penuh orang tua. Dalam hal ini, ibu sebagai subjek utama untuk melahirkan generasi, juga memiliki peran utama untuk mendidiknya. Ada satu aspek penting yang tidak boleh hilang, yaitu bahwa proses pembentukan karakter (character building) harus menjadi unsur yang berimbang dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan. Pemahaman akan keseimbangan antara syakhsiyah (kepribadian), tsaqofah dan ilmu kehidupan harus dikembangkan secara proporsional. Metode penanaman dan pengkristalan pemahaman serta kesadaran anak terhadap pentingnya aqidah Islam dalam proses pembelajaran harus digiatkan. Karena proses untuk membangun bangsa yang peduli terhadap masalah umat sangat erat kaitannya dengan upaya mencetak generasi muda sebagai the agent of change.
Namun, pendidikan anak tidak dapat semata-mata dilakukan oleh keluarga. Penjagaan generasi juga terkait dengan kontribusi masyarakat. Yaitu menyiapkan generasi cerdas yang diwujudkan dengan partisipasi menciptakan lingkungan yang suportif dan kondusif. Masyarakat sebagai pengontrol hendaknya memiliki perasaan, pemikiran, peraturan yang sama, yaitu atas landasan Islam agar segala bentuk perilaku individu dalam kehidupannya itu senantiasa terjaga dengan benar. Masyarakat pun harus kondusif dengan suasana ‘amar ma’ruf nahyi mungkar.
Selanjutnya, negara sebagai penegak aturan adalah negara yang menegakkan aturan Allah Swt dalam pemeliharaan urusan rakyatnya, baik dari sisi kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) maupun naluri (ghorizah). Negara melalui kebijakan pemerintah yang berlandaskan syariat Islam dalam bingkai Khilafah, akan memfasilitasi proses pendidikan dan pembelajaran, sehingga rakyat senantiasa terkondisikan untuk menyempurnakan ketaatannya kepada Allah. Negara Khilafah, yang akan mengatur dunia dengan syariah Islam, akan memberi hak-hak dan peran perempuan sebagaimana perintah Allah Swt. Khilafah juga bertanggung jawab menjaga para generasi pemain panggung peradaban, hingga tidak memungkinkan munculnya golongan perusak generasi semacam Manji, Lady Gaga dan Corby.
Karena itu, perempuan Muslimah dan ibu generasi harus berkiprah dan berkontribusi untuk tegaknya syariah Islam dalam naungan Khilafah. Para perempuan Muslimah yang berkiprah untuk perubahan dengan tidak menjadikan penerapan syariah Islam dalam Khilafah sebagai jalan dan target perubahan, maka mereka akan merasa lelah dan sia-sia karena perubahan hakiki tidak akan pernah terwujud. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11: ”…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.Kiprah perempuan Muslimah dalam upaya penegakan Khilafah ini telah disambut oleh Allah Swt dalam QS Ali ‘Imran [3] ayat 195: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain...” Dengan demikian bukanlah mimpi, bahwa Khilafah adalah model pemerintahan cemerlang yang juga akan melahirkan generasi cemerlang hingga masyarakat yang bernaung di dalamnya memperoleh kesejahteraan dan meraih kemuliaan di dunia dan akhirat, insya Allah.
Wallaahu a’lam bish showab [].