Sekelumit narasi dari Iffah Ainur Rochmah, S.Pd (Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia) @
Konferensi Intelektual Muslimah untuk Bangsa (KIMB; Khilafah, Jalan
Baru Melahirkan Generasi Cemerlang) 20 Mei 2012 di UI Depok_
Bagaimana
pandangan ibu tentang generasi muda saat ini?
Hampir semua gambaran tentang generasi muda
saat ini sungguh memprihatinkan. Seks bebas, geng
motor anarkis, supporter
sepakbola anarkis,
bulliying, tawuran, konsumsi
narkoba, merampok, menjambret, mencuri,
memperkosa, membunuh bahkan menjual temannya sesama remaja untuk
tujuan prostitusi. Hal ini terjadi di kalangan generasi
muda di setiap lini, tidak peduli remaja, siswa sekolah maupun mahasiswa. Tentu
saja, kita dapat membayangkan bagaimana kualitas mereka. Rata-rata mereka telah
menjadi orang-orang yang tidak punya idealisme. Mereka menjadi kaum terpelajar
tapi mereka belajar bukan untuk dapat bermanfaat bagi masyarakat. Melainkan
hanya sebagai tuntutan kondisi dalam rangka target jangka panjang, yaitu
kemandirian finansial. Bahkan, yang termasuk level aktivis mahasiswa sekalipun,
mereka juga sulit untuk mencetak diri mereka sebagai pemimpin bangsa. Menjadi
aktivis mahasiswa hanya sebagai label untuk meningkatkan jaringan di dunia
kerja. Parahnya, yang sudah duduk di kursi-kursi strategis, mereka malah
menodai panggung politik dengan korupsi, memperkaya diri sendiri, hingga dengan
tega mengkhianati kepercayaan rakyat. Hal ini sejatinya tidak dapat dibiarkan.
Dalam
orasi, ibu menyatakan bahwa semua permasalahan generasi muda bersumber pada
sistem yang salah. Menurut ibu, bagaimana kronologisnya hingga akhirnya
terdapat kesimpulan bahwa sistem yang salah adalah biang kerok-nya?
Jika
kita membaca kebijakan-kebijakan pendidikan saat ini, banyak yang harus kita
kritisi. Apakah ada jaminan bahwa jika mereka belajar dengan mengikuti
kurikulum yang ada, sementara itu keluarga mereka bermasalah, maka mereka akan
tetap menjadi generasi yang baik? Tentu tidak.
Di
sisi lain sekolah negeri, ada sekelompok masyarakat yang juga membuat sekolah,
yaitu sekolah-sekolah swasta. Akan tetapi, apakah dengan status swastanya, ada
jaminan secara independen bahwa kurikulumnya juga mendukung pendidikan para
peserta didik? Tetap saja tidak. Dengan demikian, satu hal yang tidak boleh
dilupakan adalah masyarakat yang sebenarnya sebagai rumah besar bagi pendidikan
itu sendiri. Kurikulum yang buruk ditemukan karena memang sistem politiknya
juga buruk. Kurikulum hadir sebagai harapan bagi pelaksanaan sistem politik
yang tengah diterapkan. Maka, corak sistem politik akan sangat menentukan
kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah di suatu negeri.
Selanjutnya,
pembentukan generasi juga berkorelasi dengan sistem ekonomi. Porsi sistem
ekonomi yang persentasenya minimal 20% bagi pendidikan, seolah-olah sudah
menjadi porsi yang besar, padahal nyatanya tidak cukup. Faktanya, tetap saja
banyak fasilitas pendidikan yang jauh dari kelayakan. Porsi tersebut juga tidak
cukup menutup insentif tenaga pendidik. Jadi jelas, bahwa sistem ekonomi juga
punya peran yang tidak kalah penting dengan sistem politik. Di samping itu,
masyarakat sebagai rumah besar pendidikan generasi, di mana di dalamnya juga
terdapat sistem pergaulan, sistem informasi dan media massa, serta sistem
peradilan.
Sistem
pergaulan seharusnya memandang bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk dapat bekerjasama meraih
ridla Allah SWT, di mana tidak
perlu pembahasan gender equality. Hal ini terwujud dalam keluarga yang mampu mendidik generasi dengan bekal jati diri dan kepribadian
kokoh. Sehingga terjaga
kehormatan diri sebagai wujud
keteladanan bagi generasi.
Sistem informasi dan media massa pun harus memiliki cakupan
konten media berupa gambaran Islam dan seluruh
syariatnya, pengembangan
kepribadian Islam, serta steril
dari seks, pornografi, merusak moral, penghinaan dan penodaan kehormatan. Sistem peradilan semestinya memandang sanksi yang
berfungsi sebagai pencegahan (zawajir) dan penebus dosa (jawabir); bersifat fair,
tidak tebang pilih dan tidak berbelit; serta kesadaran hukum muncul dari dorongan iman; sehingga generasi terlindungi dari
kriminalitas.
Maka
jelas, sistem yang diperbaiki harus secara holistik, bukan sebagian konteks
saja. Mulai dari memilih sistem politik yang tepat, penempatan pendidikan
sebagai hak dasar bagi warga negara, sistem ekonomi yang dikelola dengan benar
dan memadai, penyusunan kurikulum yang benar; dan di sisi lain kita juga harus
membina generasi dari sisi sistem pergaulan, sistem informasi dan media massa,
serta sistem peradilan.
Kondisinya,
ideologi kapitalisme tetap memandang bahwa pendidikan bukan sebagai hak warga
negara. Negara hanya punya kebutuhan pada generasi terdidik karena kompensasi
ekonomi, yang mana akan berkorelasi dengan pendapatan negara. Lebih jauh lagi,
hal ini akan ambigu karena ada kontradiksi antara sistem-sistem di dalamnya.
Sistem pergaulan, sistem informasi dan media massa, serta sistem peradilan akan
saling berebut kepentingan masing-masing. Negara dengan status seperti ini tentu saja
tidak dapat dipertahankan.
Selanjutnya,
mengapa harus kembali pada sistem Islam, padahal tidak semua manusia beragama
Islam?
Hizbut
Tahrir dalam perjuangannya selalu meyakinkan umat. Termasuk dalam KIMB ini,
yang dikhususkan kepada intelektual, bahwa Islam hadir dengan sistem Khilafah,
yang merupakan sistem dari Allah, tapi sistem ini tidak berarti eksklusif untuk
warga Muslim. Kebaikan dan kesuksesan Khilafah ketika diterapkan tidak hanya
dirasakan oleh warga Muslim, tapi juga yang non-Muslim. Kondisi Indonesia yang
plural mengharuskan kita dapat menggambarkan kepada mereka bahwa sistem Islam merupakan
solusi. Mengingat, sistem yang tegak saat ini tidak akan pernah bisa memberikan
solusi. Sejatinya, Khilafah tidak melulu bicara tentang ibadah. Khilafah justru
akan keluar dari ranah privat ibadah, lebih jauh ke arah hukum-hukum publik.
Jadi tenang saja, di sini warga non-Muslim akan diberi kebebasan beraqidah dan
beribadah dalam ranah privat mereka. Toh saat ini, warga non-Muslim juga sudah
sama-sama sadar akan kerusakan sistem kapitalisme, namun mereka tidak memiliki
alternatif lain tentang sistem yang sanggup untuk menyelesaikan persoalan. Jadi
memang tidak ada pilihan lain selain sistem Islam.
Apa
agenda MHTI sendiri pasca-KIMB ini?
Insya
Allah MHTI akan terus menyerukan dan memfasilitasi para intelektual muslimah dalam
rangka berkomitmen bersama untuk membentuk dan menjaga generasi. Ini merupakan
tanggung jawab MHTI untuk melanjutkan proses yang sudah ada via KIMB dengan
mengaktivasi intelektual dalam pemberdayaan mereka yang akan senantiasa
menjadikan syariat Islam sebagai rujukan. Para intelektual adalah subjek yang
sudah memiliki dinamika dengan kehidupan kampus. MHTI akan fokus supaya
kekuatan para intelektual ini bisa menyokong tegaknya institusi politik Islam,
yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah. Satu hal yang harus diperhatikan, bahwa kaum
intelektual memiliki peran yang sangat strategis tidak hanya di kampus, tapi
juga di sisi pengambilan kebijakan. Karena mereka berada di balik penyusunan
naskah-naskah regulasi, khususnya tentang pendidikan. Mereka tentu kita
harapkan dapat bersuara lantang untuk mengubah generasi bangsa ini. Oleh karena
itu, suara mereka diharapkan bergema tidak hanya pada satu aspek regulasi,
melainkan dari seluruh aspek.
Bagaimana
dampak KIMB bagi kalangan intelektual?
Beberapa
intelektual telah menyampaikan kepada MHTI bahwa mereka mau berkomitmen untuk
menyebarluaskan pemikiran-pemikiran Islam, mengikuti rekomendasi-rekomendasi
dari MHTI, serta menggunakan referensi-referensi Islam. Pelaksanaan KIMB
merupakan suatu hal yang sangat istimewa, karena salah satu segmen acaranya
adalah launching buku “Jalan Baru Intelektual Muslimah, Visi
Pembebas Generasi”. Buku ini insya Allah dapat menjadi pegangan bagi para
intelektual dalam mendidik civitas akademika di kampus. Di samping itu, acara
ini juga dihadiri oleh seorang intelektual dari Inggris, yaitu Dr. Nazreen
Nawaz, yang juga merupakan Central Media
Representative of Hizbut Tahrir. Satu suara dengan para intelektual peserta
KIMB, beliau menyambut baik kehadiran buku tersebut. Beliau juga mengharapkan
buku ini dapat menjadi rujukan dalam kajian-kajian intelektual di berbagai
tempat.
Bagaimana
gambaran peran yang diharapkan dari para intelektual dalam mewujudkan generasi
terpelajar yang mumpuni untuk masa depan umat?
Intelektual
adalah kaum berilmu. MHTI mengharapkan mereka tidak hanya sekedar menyampaikan
ilmu, tapi juga mengubah keadaan. Saat mengajar adalah masa bagi mereka untuk
dapat bertemu dan bersentuhan dengan para peserta didik. Di saat itulah mereka
berkesempatan untuk menanamkan nilai-nilai kebenaran berlandaskan Islam pada
peserta didiknya, hingga sekaligus dapat ber-’amar ma’ruf nahyi mungkar. Selanjutnya, peran mereka dalam sebagai
staf ahli dan pakar di balik naskah-naskah regulasi akademis serta rekomendasi
dalam buku “Jalan Baru Intelektual
Muslimah, Visi Pembebas Generasi”, diharapkan dapat semakin memperkuat
mereka dan juga umat di belakang mereka untuk mewujudkan Khilafah Islamiyyah,
aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar