Rabu, 30 Mei 2012

KEUNGGULAN SUBSISTEM ISLAM MENJAGA KECEMERLANGAN GENERASI

Sekelumit narasi dari Iffah Ainur Rochmah, S.Pd (Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia) @ Konferensi Intelektual Muslimah untuk Bangsa (KIMB; Khilafah, Jalan Baru Melahirkan Generasi Cemerlang) 20 Mei 2012 di UI Depok_
 
Bagaimana pandangan ibu tentang generasi muda saat ini?
Hampir semua gambaran tentang generasi muda saat ini sungguh memprihatinkan. Seks bebas, geng motor anarkis, supporter sepakbola anarkis, bulliying, tawuran, konsumsi narkoba,  merampok, menjambret, mencuri, memperkosa, membunuh bahkan menjual temannya sesama remaja untuk tujuan prostitusi. Hal ini terjadi di kalangan generasi muda di setiap lini, tidak peduli remaja, siswa sekolah maupun mahasiswa. Tentu saja, kita dapat membayangkan bagaimana kualitas mereka. Rata-rata mereka telah menjadi orang-orang yang tidak punya idealisme. Mereka menjadi kaum terpelajar tapi mereka belajar bukan untuk dapat bermanfaat bagi masyarakat. Melainkan hanya sebagai tuntutan kondisi dalam rangka target jangka panjang, yaitu kemandirian finansial. Bahkan, yang termasuk level aktivis mahasiswa sekalipun, mereka juga sulit untuk mencetak diri mereka sebagai pemimpin bangsa. Menjadi aktivis mahasiswa hanya sebagai label untuk meningkatkan jaringan di dunia kerja. Parahnya, yang sudah duduk di kursi-kursi strategis, mereka malah menodai panggung politik dengan korupsi, memperkaya diri sendiri, hingga dengan tega mengkhianati kepercayaan rakyat. Hal ini sejatinya tidak dapat dibiarkan.

Dalam orasi, ibu menyatakan bahwa semua permasalahan generasi muda bersumber pada sistem yang salah. Menurut ibu, bagaimana kronologisnya hingga akhirnya terdapat kesimpulan bahwa sistem yang salah adalah biang kerok-nya?
Jika kita membaca kebijakan-kebijakan pendidikan saat ini, banyak yang harus kita kritisi. Apakah ada jaminan bahwa jika mereka belajar dengan mengikuti kurikulum yang ada, sementara itu keluarga mereka bermasalah, maka mereka akan tetap menjadi generasi yang baik? Tentu tidak.
Di sisi lain sekolah negeri, ada sekelompok masyarakat yang juga membuat sekolah, yaitu sekolah-sekolah swasta. Akan tetapi, apakah dengan status swastanya, ada jaminan secara independen bahwa kurikulumnya juga mendukung pendidikan para peserta didik? Tetap saja tidak. Dengan demikian, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah masyarakat yang sebenarnya sebagai rumah besar bagi pendidikan itu sendiri. Kurikulum yang buruk ditemukan karena memang sistem politiknya juga buruk. Kurikulum hadir sebagai harapan bagi pelaksanaan sistem politik yang tengah diterapkan. Maka, corak sistem politik akan sangat menentukan kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah di suatu negeri.
Selanjutnya, pembentukan generasi juga berkorelasi dengan sistem ekonomi. Porsi sistem ekonomi yang persentasenya minimal 20% bagi pendidikan, seolah-olah sudah menjadi porsi yang besar, padahal nyatanya tidak cukup. Faktanya, tetap saja banyak fasilitas pendidikan yang jauh dari kelayakan. Porsi tersebut juga tidak cukup menutup insentif tenaga pendidik. Jadi jelas, bahwa sistem ekonomi juga punya peran yang tidak kalah penting dengan sistem politik. Di samping itu, masyarakat sebagai rumah besar pendidikan generasi, di mana di dalamnya juga terdapat sistem pergaulan, sistem informasi dan media massa, serta sistem peradilan.
Sistem pergaulan seharusnya memandang bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk dapat bekerjasama meraih ridla Allah SWT, di mana tidak perlu pembahasan gender equality. Hal ini terwujud dalam keluarga yang mampu mendidik generasi dengan bekal jati diri dan kepribadian kokoh. Sehingga terjaga kehormatan diri sebagai wujud keteladanan bagi generasi. Sistem informasi dan media massa pun harus memiliki cakupan konten media berupa gambaran Islam dan seluruh syariatnya, pengembangan kepribadian Islam, serta steril dari seks, pornografi, merusak moral, penghinaan dan penodaan kehormatan. Sistem peradilan semestinya memandang sanksi yang berfungsi sebagai pencegahan (zawajir) dan penebus dosa (jawabir); bersifat fair, tidak tebang pilih dan tidak berbelit; serta kesadaran hukum muncul dari dorongan iman; sehingga generasi terlindungi dari kriminalitas.
Maka jelas, sistem yang diperbaiki harus secara holistik, bukan sebagian konteks saja. Mulai dari memilih sistem politik yang tepat, penempatan pendidikan sebagai hak dasar bagi warga negara, sistem ekonomi yang dikelola dengan benar dan memadai, penyusunan kurikulum yang benar; dan di sisi lain kita juga harus membina generasi dari sisi sistem pergaulan, sistem informasi dan media massa, serta sistem peradilan.
Kondisinya, ideologi kapitalisme tetap memandang bahwa pendidikan bukan sebagai hak warga negara. Negara hanya punya kebutuhan pada generasi terdidik karena kompensasi ekonomi, yang mana akan berkorelasi dengan pendapatan negara. Lebih jauh lagi, hal ini akan ambigu karena ada kontradiksi antara sistem-sistem di dalamnya. Sistem pergaulan, sistem informasi dan media massa, serta sistem peradilan akan saling berebut kepentingan masing-masing.  Negara dengan status seperti ini tentu saja tidak dapat dipertahankan.

Selanjutnya, mengapa harus kembali pada sistem Islam, padahal tidak semua manusia beragama Islam?
Hizbut Tahrir dalam perjuangannya selalu meyakinkan umat. Termasuk dalam KIMB ini, yang dikhususkan kepada intelektual, bahwa Islam hadir dengan sistem Khilafah, yang merupakan sistem dari Allah, tapi sistem ini tidak berarti eksklusif untuk warga Muslim. Kebaikan dan kesuksesan Khilafah ketika diterapkan tidak hanya dirasakan oleh warga Muslim, tapi juga yang non-Muslim. Kondisi Indonesia yang plural mengharuskan kita dapat menggambarkan kepada mereka bahwa sistem Islam merupakan solusi. Mengingat, sistem yang tegak saat ini tidak akan pernah bisa memberikan solusi. Sejatinya, Khilafah tidak melulu bicara tentang ibadah. Khilafah justru akan keluar dari ranah privat ibadah, lebih jauh ke arah hukum-hukum publik. Jadi tenang saja, di sini warga non-Muslim akan diberi kebebasan beraqidah dan beribadah dalam ranah privat mereka. Toh saat ini, warga non-Muslim juga sudah sama-sama sadar akan kerusakan sistem kapitalisme, namun mereka tidak memiliki alternatif lain tentang sistem yang sanggup untuk menyelesaikan persoalan. Jadi memang tidak ada pilihan lain selain sistem Islam.

Apa agenda MHTI sendiri pasca-KIMB ini?
Insya Allah MHTI akan terus menyerukan dan memfasilitasi para intelektual muslimah dalam rangka berkomitmen bersama untuk membentuk dan menjaga generasi. Ini merupakan tanggung jawab MHTI untuk melanjutkan proses yang sudah ada via KIMB dengan mengaktivasi intelektual dalam pemberdayaan mereka yang akan senantiasa menjadikan syariat Islam sebagai rujukan. Para intelektual adalah subjek yang sudah memiliki dinamika dengan kehidupan kampus. MHTI akan fokus supaya kekuatan para intelektual ini bisa menyokong tegaknya institusi politik Islam, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah. Satu hal yang harus diperhatikan, bahwa kaum intelektual memiliki peran yang sangat strategis tidak hanya di kampus, tapi juga di sisi pengambilan kebijakan. Karena mereka berada di balik penyusunan naskah-naskah regulasi, khususnya tentang pendidikan. Mereka tentu kita harapkan dapat bersuara lantang untuk mengubah generasi bangsa ini. Oleh karena itu, suara mereka diharapkan bergema tidak hanya pada satu aspek regulasi, melainkan dari seluruh aspek.

Bagaimana dampak KIMB bagi kalangan intelektual?
Beberapa intelektual telah menyampaikan kepada MHTI bahwa mereka mau berkomitmen untuk menyebarluaskan pemikiran-pemikiran Islam, mengikuti rekomendasi-rekomendasi dari MHTI, serta menggunakan referensi-referensi Islam. Pelaksanaan KIMB merupakan suatu hal yang sangat istimewa, karena salah satu segmen acaranya adalah launching buku “Jalan Baru Intelektual Muslimah, Visi Pembebas Generasi”. Buku ini insya Allah dapat menjadi pegangan bagi para intelektual dalam mendidik civitas akademika di kampus. Di samping itu, acara ini juga dihadiri oleh seorang intelektual dari Inggris, yaitu Dr. Nazreen Nawaz, yang juga merupakan Central Media Representative of Hizbut Tahrir. Satu suara dengan para intelektual peserta KIMB, beliau menyambut baik kehadiran buku tersebut. Beliau juga mengharapkan buku ini dapat menjadi rujukan dalam kajian-kajian intelektual di berbagai tempat.

Bagaimana gambaran peran yang diharapkan dari para intelektual dalam mewujudkan generasi terpelajar yang mumpuni untuk masa depan umat?
Intelektual adalah kaum berilmu. MHTI mengharapkan mereka tidak hanya sekedar menyampaikan ilmu, tapi juga mengubah keadaan. Saat mengajar adalah masa bagi mereka untuk dapat bertemu dan bersentuhan dengan para peserta didik. Di saat itulah mereka berkesempatan untuk menanamkan nilai-nilai kebenaran berlandaskan Islam pada peserta didiknya, hingga sekaligus dapat ber-’amar ma’ruf nahyi mungkar. Selanjutnya, peran mereka dalam sebagai staf ahli dan pakar di balik naskah-naskah regulasi akademis serta rekomendasi dalam buku “Jalan Baru Intelektual Muslimah, Visi Pembebas Generasi”, diharapkan dapat semakin memperkuat mereka dan juga umat di belakang mereka untuk mewujudkan Khilafah Islamiyyah, aamiin.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar