Sabtu, 02 Juni 2012

‘Telenovela’ Ala ‘Trio’ Perusak Generasi

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Muqodimah
Jika telenovela ala Amerika Latin telah mendominasi media elektronik di tahun 1990-an, maka panggung momentum pendidikan dan kebangkitan Mei 2012 lalu tak kalah ramai oleh dominasi ‘telenovela’ ala ‘trio’ perusak generasi. Siapa lagi jika bukan Irshad Manji, Lady Gaga dan Corby. Kisah Irshad Manji yang belum lagi mendingin, tak membuat negeri ini terhindar dari terpaan panasnya isu Lady Gaga dan Corby.
Manji, Gaga dan Corby tak diragukan lagi sepak terjangnya. Mereka adalah para perempuan yang menjadikan ide-ide kapitalis sebagai pijakan. Mereka juga ‘dengan sadar’ berkontribusi bagi orang-orang selainnya untuk terkooptasi pada ide-idenya. Akibatnya, ide-ide kapitalis-liberal-sekular makin sukses menjerumuskan umat ke dalam jurang kejahiliahan dan kegelapan. Kegelapan ini tidak akan pernah beranjak dari umat secara keseluruhan selama umat Islam mencampakkan aturan-aturan dari Allah Swt dan Rasul-Nya.
Realitanya, sistem kapitalistik yang telah sekian lama bercokol ini, tidak pernah mengubah nasib umat. Maka aneh, jika harus ada perdebatan antara kebenaran dan kesalahan tentang ketiganya. Padahal sudah nyata, mereka adalah para perempuan perusak generasi muda. Memangnya apa yang patut dielukan dari mereka bertiga? Tidak ada. Bahkan bukan tidak mungkin, anak dari para perempuan seperti mereka akan sangat malu jika mengetahui perilaku ibunya yang justru menghancurkan generasi.

Balada Irshad Manji
Irshad Manji adalah ikon pengusung feminis liberal yang mengaku beragama Islam. Jika selama ini banyak kaum feminis menyerukan pemikiran sesatnya, maka masyarakat masih melihat kesesatannya dan tidak adanya pijakan agama yang melatarbelakangi. Namun pada sosok Manji, diopinikan seolah-olah pandangan sesatnya adalah ‘penafsiran yang berbeda’ terhadap nash-nash syariat. Bahkan beberapa pentolan liberal menyebutnya ‘mujtahid muslimah’. Seakan-akan pijakan ide sesatnya adalah agama, padahal yang dia lakukan justru mengacak-acak hukum-hukum agama. Jelas, pemikiran Manji jauh lebih berbahaya daripada pengusung feminis dan liberal lainnya.
Manji telah bebas masuk ke Indonesia, meluncurkan buku, hingga mengadakan diskusi di berbagai pertemuan. Padahal pemikiran Manji benar-benar sesat dan merusak. Dengan alasan kebebasan dan cinta, Manji mempromosikan lesbianisme. Dia pun dengan bangga menyebut dirinya lesbian. Secara terbuka Manji membela negara Zionis Israel dan sebaliknya menyalahkan sikap umat Islam. Tidak hanya itu, sikapnya dibangun dengan menyerang ajaran-ajaran Islam yang qoth’i (yang tegas), yang tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah tersebut. Dalam bukunya The Trouble with Islam Today, Manji dengan serampangan menyatakan Rasulullaah Muhammad saw telah mengedit (mengubah) Alquran. Ia pun menampik realitas azab Allah Swt terhadap kaum Nabi Luth as karena perbuatan homoseksual mereka. Menurutnya, bisa jadi azab itu disebabkan faktor lain seperti tindak kekerasan seksual.
Ide yang dikampanyekan Manji jelas sangat berbahaya bagi kaum perempuan, juga bagi pembentukan institusi keluarga. Di tengah derasnya arus pemikiran liberal dan gaya hidup kapitalis saat ini, ide Manji bisa mendorong semakin banyak perempuan mengabaikan pernikahan, menganggap kehidupan pernikahan adalah beban, hambatan dan bahkan penjara yang mengurangi kebebasan dsb. Selanjutnya melahirkan anak dianggap hanya menambah masalah baru, toh ada cara ‘melahirkan’ yang lain yakni melahirkan karya misalnya. Jelas ini membahayakan kelangsungan keluarga dan mengancam lahirnya generasi. Karenanya, lost generation bisa terjadi di depan mata.
Islam telah menegaskan bahwa lesbianisme adalah ide sesat yang tidak boleh dibiarkan ada. Tidak ada perbedaan pendapat sedikitpun tentang keharamannya. Dalam Islam salah satu fungsi syariat adalah pemeliharaan keturunan (muhafadzah ala an nasl), dengan adanya syariat pernikahan, larangan zina, larangan homoseksual dan lesbianisme. Ada sanksi tegas jika larangan-larangan di atas dilanggar. Dengannya kelangsungan generasi terpelihara dan kehormatan manusia terjaga. Bagi pelaku lesbianisme ada hukuman bunuh sebagaimana dalam sabda Rasulullaah saw diriwayatkan Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Majah, Imam Ahmad dari Sahabat Ibnu Abbas ra , yang artinya: “Barangsiapa yang kalian temui melakukan perbuatan kaum Luth (homoseks/lesbian) maka bunuhlah pelaku dan orang yang menjadi objeknya”. (HTI Press).

Opera Lady Gaga
Promotor konser Lady Gaga memastikan bahwa konser yang rencananya digelar di Jakarta, 3 Juni 2012, batal digelar. Pembatalan ini mengingat situasi yang tidak memungkinkan karena faktor keamanan. Minola Sebayang selaku kuasa hukum Big Daddy, sebagai promotor mengungkapkan hal tersebut dalam sebuah acara sosialisasi rencana konser yang dilaksanakan di Nutz Culture, Senayan City, Jakarta Selatan, Minggu (27/05). Sementara itu, pihak manajemen Lady Gaga membatalkan konser terkait keamanan bukan hanya keamanan Lady Gaga saja tapi bagi seluruh tim Lady Gaga dan keamanan penonton yang sudah membeli tiket. Dan untuk tiket, akan dikembalikan penuh kepada para fans Lady Gaga (kapanlagi.com, 27/05/2012). Lady Gaga pun sempat curhat. Ia menyatakan bahwa hatinya sama hancurnya dengan para fans-nya (tempo.co, 27/05/2012).
Penyelenggaraan konser Lady Gaga ini memang ditolak oleh sejumlah kalangan. Termasuk dengan ketiadaan izin tampil dari Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Dr. Drs. H. Untung Suharsono Radjab. Bagaimana tidak? Konser Lady Gaga jelas merupakan sebuah kemungkaran yang pasti akan menimbulkan kemudharatan atau kerusakan. Oleh karenanya, konser itu harus dihentikan, bukan dibiarkan apalagi didukung. Sedangkan, munculnya pertentangan antara pihak yang menentang konser Lady Gaga dan yang mendukungnya tidak lain dipicu oleh berkembangnya nilai-nilai materialisme di tengah-tengah masyarakat yang bersumber ideologi kapitalisme dimana segala sesuatu diukur dari sudut kepentingan ekonomi (bisnis) sedemikian rupa sehingga nilai-nilai agama (Islam) diabaikan (HTI Press).

Romantika Corby
Romantika Corby pun tak kalah menuai ironi. Grasi yang dianggapnya anugerah, telah mengundang sejumlah opini pertentangan dari penduduk negeri ini. Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) mengaku kecewa atas sikap presiden yang memberikan potongan masa tahanan (grasi) terhadap terpidana kasus narkotika Schapelle Leigh Corby, warga negara Australia. Pemberian grasi tersebut dinilai mencederai komitmen pemerintah yang ingin memberantas narkoba di Indonesia. Menurut Malik, Ketua Komisi Hubungan Internasional PB HMI, pemberian grasi kepada Corby, telah mencederai dan mengkhianati komitmen pemerintah guna membasmi empat kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang salah satunya adalah narkoba. Menurutnya, narkoba adalah kejahatan luar biasa karena merusak generasi bangsa Indonesia. Meski grasi adalah hak perogratif Presiden tetapi grasi yang diberikan kepada Corby, warga negara Australia yang melakukan kejahatan penyelundupan narkoba, adalah hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang pemimpin negara (detik.com, 27/05/2012).
Ia juga menilai bahwa hal ini  memperburuk wibawa bangsa Indonesia di mata pemerintah Australia khususnya, dan dunia internasional pada umumnya. Yang mana untuk kejahatan luar biasa, bangsa kita tunduk pada warga negara lain. Bandingkan dengan kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan warga negara kita di negara lain, tetap tidak mendapat ruang maaf dari negara tersebut. Pemberian grasi ini juga bisa memberikan sejarah buruk bagi penegakan hukum. Terlebih kasus tersebut terkait dengan kepemilikan narkotika. Pada saat yang bersamaan, hal ini menjadikan kerja hakim yang telah memutuskan hukuman menjadi tidak berguna (detik.com, 27/05/2012).
Oleh karena itu, PB HMI menilai bahwa kejahatan yang dilakukan oleh Corby tidak pantas disamakan dengan kesalahan yang dilakukan oleh nelayan tradisional Indonesia yang melanggar wilayah laut Australia. Nelayan tradisional yang berada di Nusa Tenggara adalah nelayan yang dengan alat pancing tradisional tidak paham batas wilayah laut, sehingga secara tidak sadar melakukan kesalahan yang juga tidak memiliki dampak negatif yang berarti. Sementara Corby adalah warga negara Australia yang sadar dan paham betul bahaya yang ditimbulkan oleh narkoba bagi generasi Indonesia, kejahatan yang dilakukan Corby adalah kejahatan terencana dan sadar (detik.com, 27/05/2012).

Dampak Performa Sang ‘Trio’ Manji-Gaga-Corby
Anak adalah generasi potensial untuk membangun bangsa dan peradaban, di mana ibu adalah para pencetaknya. Anak dilahirkan bukan untuk disodorkan pada kerusakan, melainkan dijaga dari segala racun pemikiran kufur. Performa Sang ‘Trio’ dengan ide-ide sekularnya adalah fakta yang dapat diserap oleh alat indera. Jadi tentu saja akan mempengaruhi proses berpikir dan perilaku seorang anak manusia setelah menyaksikannya. Tak ragu lagi, hal ini pun dipastikan berdampak pada konsep kebangkitan generasi.
Ingatlah, bahwa bangkitnya manusia sejatinya tergantung dari pemikirannya tentang hidup, alam semesta dan manusia itu sendiri, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum alam kehidupan dan sesudah kehidupan dunia. Agar manusia mampu bangkit, maka harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain. Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat persepsi (mafahim) terhadap segala sesuatu. Disamping itu, manusia selalu mengatur tingkah-lakunya di dalam kehidupan ini, termasuk dalam memecahkan permasalahan, sesuai dengan persepsinya terhadap kehidupan. Namun, persepsi ini tidak akan mengantarkan kepada kebangkitan yang benar, kecuali jika sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan memberikan ketenangan hati. Maka tidak bisa tidak, persepsi itu hanyalah yang berlandaskan Islam. Aqidah Islam telah menjelaskan bahwa di balik alam semesta, manusia dan kehidupan, terdapat Allah Swt sebagai Sang Khaliq. Islam pun menjamin bahwa dalam Islam terdapat penyelesaian permasalahan kehidupan berdasarkan penanganan potensi manusia, yaitu kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) dan naluri (ghorizah) (Kitab Nizhomul Islam Bab Thoriqul Iman).
Wajar jika para orang tua kini merasa khawatir dengan masa depan putra-putrinya. Mereka pasti memiliki cita-cita agar anak keturunannya bisa meraih keberhasilan di dunia, serta memiliki sifat-sifat sebagai orang baik. Mereka juga tentu berharap agar anak-anaknya, menjadi orang-orang yang patuh, taat dan hormat kepada orang tua, seiring dengan prestasi yang berhasil diraih dalam karirnya. Namun, bertolak belakang dengan berbagai hal yang dicita-citakan itu, ternyata mereka menyaksikan bahwa anak-anak Muslim justru semakin jauh dari nilai-nilai yang diharapkan. Gaya hidup generasi muda kerap diwarnai dengan tingkah laku yang keliru, ketidakhormatan kepada orang lain, serta egoisme yang mengental. Mereka menjalani kehidupan ini dengan aturan mereka sendiri, tanpa mempedulikan kepentingan dan keinginan orang lain (Buku “Mengenal Sistem Islam: dari A-Z”).
Bukan tidak mungkin, jika tanpa landasan aqidah Islam maupun penjagaan dengan aturan Islam, generasi muda menjadikan trio Manji-Gaga-Corby ini sebagai idola dalam menempuh masa depan, yang suram tentunya. Apalagi, idola biasanya dianggap sebagai standar, contoh bahkan teladan bagi pengikutnya. Memangnya, teladan macam apa yang layak diikuti dari ketiganya? Mereka adalah simbol sistem kapitalisme yang telah jelas hanya mengikat standar kebahagiaan dengan satuan dunia, yaitu atas nama individualisme dan kebebasan ‘suka sama suka’. Maukah menyaksikan anak-cucu kita lesbi seperti Manji? Tegakah melihat keturunan kita norak seperti Lady Gaga? Atau, relakah generasi kita menjadi raja dan ratu narkoba semacam Corby? Tentu tidak. Karena mereka hanya idola dalam kolam palsu fatamorgana.

Perlu Sistem yang Holistik
Berdasarkan uraian di atas, kita harus memahami bahwa anak-anak Muslim, termasuk juga putra-putri kita barangkali, telah dididik dengan sistem pendidikan yang tidak Islami. Ironisnya, pendidikan tidak hanya berakhir di rumah dan sekolah. Masyarakat juga memainkan peran penting dalam mendidik generasi. Masyarakat bisa dianggap sebagai sekolah yang lebih besar. Pelajaran yang ada di tengah-tengah masyarakat tidak diberikan melalui pertemuan interaktif di ruang kelas. Tapi masyarakat begitu terbuka menyajikan pendidikan melalui televisi, radio, papan iklan, reklame, atau media cetak yang berisi praktik-praktik tidak Islami (Buku “Mengenal Sistem Islam: dari A-Z”). Belum lagi dengan negara yang tidak menjadikan penjagaan aqidah dan akal sebagai dasar kebijakan menyusun kurikulum pendidikan. Faktanya, jika kita membaca kebijakan-kebijakan pendidikan saat ini, banyak yang harus kita kritisi. Apakah ada jaminan bahwa jika mereka belajar dengan mengikuti kurikulum yang ada, sementara itu keluarga mereka bermasalah, maka mereka akan tetap menjadi generasi yang baik? Tentu tidak (Makalah KIMB 2012).
Sistem yang ada saat ini harus diganti secara holistik, bukan sebagian konteks saja. Mulai dari memilih sistem politik yang tepat, penempatan pendidikan sebagai hak dasar bagi warga negara, sistem ekonomi yang dikelola dengan benar dan memadai, penyusunan kurikulum yang benar; dan di sisi lain kita juga harus membina generasi dari sisi sistem pergaulan, sistem informasi dan media massa, serta sistem peradilan (Makalah KIMB 2012).
Di sisi lain sekolah negeri, ada sekelompok masyarakat yang juga membuat sekolah, yaitu sekolah-sekolah swasta. Akan tetapi, apakah dengan status swastanya, ada jaminan secara independen bahwa kurikulumnya juga mendukung pendidikan para peserta didik? Tetap saja tidak. Dengan demikian, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah masyarakat yang sebenarnya sebagai rumah besar bagi pendidikan itu sendiri. Corak sistem politik akan sangat menentukan kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah di suatu negeri. Kurikulum hadir sebagai harapan bagi pelaksanaan sistem politik yang tengah diterapkan. Maka, kurikulum yang buruk ditemukan karena memang sistem politiknya juga buruk (Makalah KIMB 2012).
Selanjutnya, pembentukan generasi juga berkorelasi dengan sistem ekonomi. Porsi sistem ekonomi yang persentasenya minimal 20% bagi pendidikan, seolah-olah sudah menjadi porsi yang besar, padahal nyatanya tidak cukup. Faktanya, tetap saja banyak fasilitas pendidikan yang jauh dari kelayakan. Porsi tersebut juga tidak cukup menutup insentif tenaga pendidik. Jadi jelas, bahwa sistem ekonomi juga punya peran yang tidak kalah penting dengan sistem politik. Di samping itu, masyarakat sebagai rumah besar pendidikan generasi, di mana di dalamnya juga terdapat sistem pergaulan, sistem informasi dan media massa, serta sistem peradilan (Makalah KIMB 2012).
Sistem pergaulan seharusnya memandang bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk dapat bekerjasama meraih ridla Allah SWT, di mana tidak perlu pembahasan gender equality. Hal ini terwujud dalam keluarga yang mampu mendidik generasi dengan bekal jati diri dan kepribadian kokoh. Sehingga terjaga kehormatan diri sebagai wujud keteladanan bagi generasi. Sistem informasi dan media massa pun harus memiliki cakupan konten media berupa gambaran Islam dan seluruh syariatnya, pengembangan kepribadian Islam, serta steril dari seks, pornografi, merusak moral, penghinaan dan penodaan kehormatan. Sistem peradilan semestinya memandang sanksi yang berfungsi sebagai pencegahan (zawajir) dan penebus dosa (jawabir); bersifat fair, tidak tebang pilih dan tidak berbelit; serta kesadaran hukum muncul dari dorongan iman; sehingga generasi terlindungi dari kriminalitas (Makalah KIMB 2012).
Kondisinya, ideologi kapitalisme tetap memandang bahwa pendidikan bukan sebagai hak warga negara. Negara hanya punya kebutuhan pada generasi terdidik karena kompensasi ekonomi, yang mana akan berkorelasi dengan pendapatan negara. Lebih jauh lagi, hal ini akan ambigu karena ada kontradiksi antara sistem-sistem di dalamnya. Sistem pergaulan, sistem informasi dan media massa, serta sistem peradilan akan saling berebut kepentingan masing-masing.  Negara dengan status seperti ini tentu saja tidak dapat dipertahankan (Makalah KIMB 2012).


Kebangkitan Pemikiran, Menjaga Akal, Mendidik Generasi
Dalam pandangan Islam, upaya penyelenggaraan sistem pendidikan harus selalu diarahkan untuk membangun pola pikir (aqliyah) Islam dan pola sikap (nafsiyah) Islam, yang kedua hal ini akan bersama-sama membentuk kepribadian (syakhsiyah) Islam dalam diri individu (Buku “Mengenal Sistem Islam: dari A-Z). Dan hal ini sangat berpengaruh pada kebangkitan pemikiran, karena kebangkitan pemikiran adalah formula utama bagi generasi cemerlang. Hal ini ditunjang oleh tiga pilar yang berkompeten dalam menyiapkan generasi yang berpendidikan dan cerdas serta memegang teguh aqidah dan syariat. Hal ini meliputi keluarga yang melahirkan individu bertaqwa, masyarakat dan lingkungan, serta pemerintah atau negara (Makalah CIMB 2011).
Firman Allah Swt tentang pendidikan generasi: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ ” (TQS Luqman [31]: 13). Juga firman Allah Swt dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Serta firman Allah Swt dalam QS Al-Hujuraat ayat 13: “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu…”. Oleh karena itu, dalam perbuatan seorang hamba harus ada keyakinan akan hubungannya dengan Allah Swt secara mutlak sebagai bentuk ketaqwaannya.
Pendidikan melalui jalur keluarga akan optimal apabila disiapkan mulai orang tua memasuki masa pra-nikah, setelah masa pernikahan dan saat bayi masih di dalam kandungan, serta berlanjut sampai ke jenjang pernikahan si anak. Tahap ini menjadi tanggung jawab penuh orang tua. Dalam hal ini, ibu sebagai subjek pelahir generasi, juga memiliki peran utama untuk mendidiknya. Ada satu aspek penting yang tidak boleh hilang, yaitu bahwa proses pembentukan karakter (character building) harus menjadi unsur yang berimbang dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan. Pemahaman akan keseimbangan antara kepribadian (syakhsiyah), tsaqofah dan ilmu kehidupan harus dikembangkan secara proporsional. Metode penanaman dan pengkristalan pemahaman serta kesadaran anak terhadap pentingnya aqidah Islam dalam proses pembelajaran harus digiatkan. Karena proses untuk membangun bangsa yang peduli terhadap masalah umat sangat erat kaitannya dengan upaya mencetak generasi muda sebagai the agent of change (Makalah CIMB 2011).
Penjagaan generasi juga terkait dengan kontribusi masyarakat. Yaitu menyiapkan generasi cerdas yang diwujudkan dengan partisipasi menciptakan lingkungan yang suportif dan kondusif (Makalah CIMB 2011). Masyarakat sebagai sekolah besar, juga mendukung dari berbagai media massa yang ada. Televisi, radio, internet dan media cetak selayaknya hanya menyediakan informasi yang sesuai dengan pemikiran dan syariat Islam (Buku “Mengenal Sistem Islam: dari A-Z). Masyarakat juga sebagai pengontrol yang hendaknya memiliki perasaan, pemikiran, peraturan yang sama, yaitu atas landasan Islam agar segala bentuk perilaku individu dalam kehidupannya itu senantiasa terjaga dengan benar. Masyarakat pun harus kondusif dengan suasana ‘amar ma’ruf nahyi mungkar (Makalah CIMB 2011).
Selanjutnya, negara sebagai penegak aturan adalah negara yang menegakkan aturan Allah Swt dalam pemeliharaan urusan rakyatnya, baik dari sisi kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) maupun naluri (ghorizah). Negara melalui kebijakan pemerintah yang berlandaskan syariat Islam dalam bingkai Khilafah, akan memfasilitasi proses pendidikan dan pembelajaran, sehingga rakyat senantiasa terkondisikan untuk menyempurnakan ketaatannya kepada Allah. Negara Khilafah, yang mengatur dunia dengan syariah Islam, akan memberi hak-hak penjagaan akal bagi umat. Media massa, televisi, radio, koran, buku serta berbagai majelis diskusi adalah sebagian sarana yang dapat dimanfaatkan di dalam negeri untuk mendidik generasi. Tidak perlu izin berbelit untuk mewujudkan sarana media massa, yang penting informasi yang disampaikan tidak bertentangan dengan syariat Islam (Buku “Mengenal Sistem Islam: dari A-Z). Sungguh, Khilafah bertanggung jawab menjaga para generasi pemain pentas peradaban, hingga tidak memungkinkan munculnya ‘telenovela’ perusak generasi semacam Manji, Lady Gaga dan Corby.

Khatimah
Alhasil, umat yang tidak menjadikan penerapan syariah Islam dalam Khilafah sebagai visi dan misi kehidupan, maka mereka akan merasa lelah dan sia-sia karena kebahagiaan hakiki tidak akan pernah terwujud. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11: ”…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.Kiprah umat  dalam upaya penegakan Khilafah ini telah disambut oleh Allah Swt dalam QS Ali ‘Imran [3] ayat 195: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain...” Dengan demikian bukanlah mimpi, bahwa Khilafah adalah model pemerintahan cemerlang yang juga akan melahirkan generasi cemerlang hingga masyarakat yang bernaung di dalamnya memperoleh kesejahteraan dan meraih kemuliaan di dunia dan akhirat, insya Allah.
Wallaahu a’lam bish showab [].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar