Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Muqodimah
Jika telenovela
ala Amerika Latin telah mendominasi media elektronik di tahun 1990-an, maka
panggung momentum pendidikan dan kebangkitan Mei 2012 lalu tak kalah ramai oleh
dominasi ‘telenovela’ ala ‘trio’ perusak generasi. Siapa lagi jika bukan Irshad
Manji, Lady Gaga dan Corby. Kisah Irshad Manji yang belum lagi mendingin, tak
membuat negeri ini terhindar dari terpaan panasnya isu Lady Gaga dan Corby.
Manji, Gaga dan
Corby tak diragukan lagi sepak terjangnya. Mereka adalah para perempuan yang menjadikan ide-ide kapitalis sebagai
pijakan. Mereka juga ‘dengan sadar’ berkontribusi bagi orang-orang selainnya
untuk terkooptasi pada ide-idenya. Akibatnya, ide-ide kapitalis-liberal-sekular
makin sukses menjerumuskan umat ke dalam jurang kejahiliahan dan kegelapan.
Kegelapan ini tidak akan pernah beranjak dari umat secara keseluruhan selama
umat Islam mencampakkan aturan-aturan dari Allah Swt dan Rasul-Nya.
Realitanya, sistem
kapitalistik yang telah sekian lama bercokol ini, tidak pernah mengubah nasib
umat. Maka aneh, jika harus ada
perdebatan antara kebenaran dan kesalahan tentang ketiganya. Padahal sudah
nyata, mereka adalah para perempuan perusak generasi muda. Memangnya apa yang
patut dielukan dari mereka bertiga? Tidak ada. Bahkan bukan tidak mungkin, anak
dari para perempuan seperti mereka akan sangat malu jika mengetahui perilaku
ibunya yang justru menghancurkan generasi.
Balada
Irshad Manji
Irshad Manji adalah ikon pengusung feminis liberal yang mengaku
beragama Islam. Jika selama ini banyak kaum feminis menyerukan pemikiran
sesatnya, maka masyarakat masih melihat
kesesatannya dan tidak adanya pijakan agama yang melatarbelakangi. Namun pada
sosok Manji, diopinikan seolah-olah pandangan sesatnya adalah ‘penafsiran yang
berbeda’ terhadap nash-nash syariat. Bahkan beberapa pentolan liberal
menyebutnya ‘mujtahid muslimah’. Seakan-akan pijakan ide sesatnya adalah agama,
padahal yang dia lakukan justru mengacak-acak hukum-hukum agama. Jelas,
pemikiran Manji jauh lebih berbahaya daripada pengusung feminis dan liberal
lainnya.
Manji telah bebas masuk ke Indonesia,
meluncurkan buku, hingga
mengadakan diskusi di berbagai pertemuan. Padahal
pemikiran Manji benar-benar sesat dan merusak. Dengan alasan kebebasan dan
cinta, Manji mempromosikan lesbianisme. Dia pun dengan bangga menyebut dirinya
lesbian. Secara terbuka Manji membela negara Zionis Israel dan sebaliknya
menyalahkan sikap umat Islam. Tidak hanya itu, sikapnya dibangun dengan
menyerang ajaran-ajaran Islam yang qoth’i (yang tegas), yang tidak ada
perbedaan pendapat dalam masalah tersebut. Dalam bukunya The Trouble with
Islam Today, Manji dengan serampangan menyatakan Rasulullaah Muhammad saw
telah mengedit (mengubah) Alquran. Ia
pun menampik realitas azab Allah Swt terhadap kaum Nabi Luth as karena
perbuatan homoseksual mereka. Menurutnya, bisa jadi azab itu disebabkan faktor
lain seperti tindak kekerasan seksual.
Ide yang
dikampanyekan Manji jelas sangat berbahaya bagi kaum perempuan, juga bagi
pembentukan institusi keluarga. Di tengah derasnya arus pemikiran liberal dan
gaya hidup kapitalis saat ini, ide Manji bisa mendorong semakin banyak
perempuan mengabaikan pernikahan, menganggap kehidupan pernikahan adalah beban,
hambatan dan bahkan penjara yang mengurangi kebebasan dsb. Selanjutnya
melahirkan anak dianggap hanya menambah masalah baru, toh ada cara ‘melahirkan’
yang lain yakni melahirkan karya misalnya. Jelas ini membahayakan kelangsungan
keluarga dan mengancam lahirnya generasi. Karenanya, lost generation bisa terjadi di depan mata.
Islam telah
menegaskan bahwa lesbianisme adalah ide
sesat yang tidak boleh dibiarkan ada. Tidak ada perbedaan pendapat sedikitpun
tentang keharamannya. Dalam Islam salah satu fungsi syariat adalah pemeliharaan
keturunan (muhafadzah ala an nasl), dengan adanya syariat pernikahan,
larangan zina, larangan homoseksual dan lesbianisme. Ada sanksi tegas jika
larangan-larangan di atas dilanggar. Dengannya kelangsungan generasi
terpelihara dan kehormatan manusia terjaga. Bagi pelaku lesbianisme ada hukuman
bunuh sebagaimana dalam sabda Rasulullaah saw diriwayatkan Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam
Ibnu Majah, Imam Ahmad dari Sahabat Ibnu Abbas ra , yang artinya: “Barangsiapa yang kalian temui melakukan perbuatan
kaum Luth (homoseks/lesbian) maka bunuhlah pelaku dan orang yang menjadi
objeknya”. (HTI Press).
Opera
Lady Gaga
Promotor konser Lady Gaga memastikan
bahwa konser yang rencananya digelar di Jakarta, 3 Juni 2012, batal digelar. Pembatalan ini mengingat situasi yang
tidak memungkinkan karena faktor keamanan. Minola
Sebayang selaku kuasa hukum Big Daddy, sebagai promotor mengungkapkan hal tersebut
dalam sebuah acara sosialisasi rencana konser yang dilaksanakan di Nutz
Culture, Senayan City, Jakarta Selatan, Minggu (27/05). Sementara itu, pihak manajemen Lady Gaga membatalkan
konser terkait keamanan bukan hanya keamanan Lady Gaga saja
tapi bagi seluruh tim Lady Gaga dan
keamanan penonton yang sudah membeli tiket. Dan untuk tiket, akan dikembalikan penuh kepada para fans Lady Gaga (kapanlagi.com,
27/05/2012). Lady Gaga pun sempat curhat.
Ia menyatakan bahwa hatinya sama hancurnya dengan para fans-nya (tempo.co,
27/05/2012).
Penyelenggaraan
konser Lady Gaga ini
memang ditolak oleh sejumlah kalangan. Termasuk dengan ketiadaan izin tampil
dari Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Dr. Drs.
H. Untung Suharsono Radjab.
Bagaimana tidak? Konser Lady Gaga jelas merupakan sebuah
kemungkaran yang pasti akan menimbulkan kemudharatan atau kerusakan. Oleh
karenanya, konser itu harus dihentikan, bukan
dibiarkan apalagi didukung.
Sedangkan, munculnya pertentangan antara pihak yang menentang
konser Lady Gaga dan yang mendukungnya tidak lain dipicu oleh berkembangnya
nilai-nilai materialisme di tengah-tengah masyarakat yang bersumber ideologi
kapitalisme dimana segala sesuatu diukur dari sudut kepentingan ekonomi
(bisnis) sedemikian rupa sehingga nilai-nilai agama (Islam) diabaikan (HTI Press).
Romantika
Corby
Romantika Corby pun tak kalah menuai ironi. Grasi yang
dianggapnya anugerah, telah mengundang sejumlah opini pertentangan dari penduduk
negeri ini. Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) mengaku
kecewa atas sikap presiden yang memberikan potongan masa tahanan (grasi)
terhadap terpidana kasus narkotika Schapelle Leigh Corby, warga negara
Australia. Pemberian grasi tersebut dinilai mencederai komitmen pemerintah yang ingin
memberantas narkoba di Indonesia. Menurut
Malik, Ketua
Komisi Hubungan Internasional PB HMI, pemberian grasi kepada Corby, telah
mencederai dan mengkhianati komitmen pemerintah guna membasmi empat kejahatan
luar biasa (extraordinary crime) yang
salah satunya adalah narkoba. Menurutnya, narkoba adalah kejahatan luar biasa
karena merusak generasi bangsa Indonesia. Meski grasi adalah hak perogratif Presiden
tetapi grasi yang diberikan kepada Corby, warga negara Australia yang melakukan
kejahatan penyelundupan narkoba, adalah
hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang pemimpin negara (detik.com, 27/05/2012).
Ia
juga menilai bahwa hal ini memperburuk wibawa bangsa Indonesia di mata pemerintah
Australia khususnya, dan dunia internasional pada umumnya. Yang mana untuk
kejahatan luar biasa, bangsa
kita tunduk pada warga negara lain. Bandingkan dengan kesalahan-kesalahan kecil
yang dilakukan warga negara kita di negara lain, tetap tidak mendapat ruang
maaf dari negara tersebut. Pemberian
grasi ini juga
bisa memberikan sejarah buruk bagi penegakan hukum. Terlebih kasus tersebut
terkait dengan kepemilikan narkotika. Pada
saat yang bersamaan, hal ini menjadikan
kerja hakim yang telah memutuskan hukuman menjadi tidak berguna (detik.com, 27/05/2012).
Oleh karena itu, PB HMI menilai bahwa kejahatan yang
dilakukan oleh Corby tidak pantas disamakan dengan kesalahan yang dilakukan
oleh nelayan tradisional Indonesia yang melanggar wilayah laut Australia. Nelayan tradisional yang berada di Nusa Tenggara adalah
nelayan yang dengan alat pancing tradisional tidak paham batas wilayah laut,
sehingga secara tidak sadar melakukan kesalahan yang juga tidak memiliki dampak
negatif yang berarti. Sementara Corby adalah warga negara Australia yang sadar
dan paham betul bahaya yang ditimbulkan oleh narkoba bagi generasi Indonesia,
kejahatan yang dilakukan Corby adalah kejahatan terencana dan sadar (detik.com, 27/05/2012).
Dampak
Performa Sang ‘Trio’ Manji-Gaga-Corby
Anak adalah
generasi potensial untuk membangun bangsa dan peradaban, di mana ibu adalah
para pencetaknya. Anak dilahirkan bukan untuk disodorkan pada kerusakan,
melainkan dijaga dari segala racun pemikiran kufur. Performa Sang ‘Trio’ dengan
ide-ide sekularnya adalah fakta yang dapat diserap oleh alat indera. Jadi tentu
saja akan mempengaruhi proses berpikir dan perilaku seorang anak manusia setelah
menyaksikannya. Tak ragu lagi, hal ini pun dipastikan berdampak pada konsep
kebangkitan generasi.
Ingatlah, bahwa
bangkitnya manusia sejatinya tergantung dari pemikirannya tentang hidup, alam
semesta dan manusia itu sendiri, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang
ada sebelum alam kehidupan dan sesudah kehidupan dunia. Agar manusia mampu
bangkit, maka harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran
manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain. Sebab,
pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat persepsi (mafahim) terhadap segala sesuatu. Disamping itu, manusia selalu
mengatur tingkah-lakunya di dalam kehidupan ini, termasuk dalam memecahkan
permasalahan, sesuai dengan persepsinya terhadap kehidupan. Namun, persepsi ini
tidak akan mengantarkan kepada kebangkitan yang benar, kecuali jika sesuai
dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan memberikan ketenangan hati. Maka
tidak bisa tidak, persepsi itu hanyalah yang berlandaskan Islam. Aqidah Islam
telah menjelaskan bahwa di balik alam semesta, manusia dan kehidupan, terdapat
Allah Swt sebagai Sang Khaliq. Islam pun menjamin bahwa dalam Islam terdapat
penyelesaian permasalahan kehidupan berdasarkan penanganan potensi manusia,
yaitu kebutuhan jasmani (hajatul
udhowiyah) dan naluri (ghorizah)
(Kitab Nizhomul Islam Bab Thoriqul Iman).
Wajar jika para
orang tua kini merasa khawatir dengan masa depan putra-putrinya. Mereka pasti
memiliki cita-cita agar anak keturunannya bisa meraih keberhasilan di dunia,
serta memiliki sifat-sifat sebagai orang baik. Mereka juga tentu berharap agar
anak-anaknya, menjadi orang-orang yang patuh, taat dan hormat kepada orang tua,
seiring dengan prestasi yang berhasil diraih dalam karirnya. Namun, bertolak
belakang dengan berbagai hal yang dicita-citakan itu, ternyata mereka
menyaksikan bahwa anak-anak Muslim justru semakin jauh dari nilai-nilai yang
diharapkan. Gaya hidup generasi muda kerap diwarnai dengan tingkah laku yang
keliru, ketidakhormatan kepada orang lain, serta egoisme yang mengental. Mereka
menjalani kehidupan ini dengan aturan mereka sendiri, tanpa mempedulikan
kepentingan dan keinginan orang lain (Buku “Mengenal
Sistem Islam: dari A-Z”).
Bukan tidak
mungkin, jika tanpa landasan aqidah
Islam maupun penjagaan dengan aturan Islam, generasi muda menjadikan trio
Manji-Gaga-Corby ini sebagai idola dalam menempuh masa depan, yang suram
tentunya. Apalagi, idola biasanya
dianggap sebagai standar, contoh bahkan teladan bagi pengikutnya. Memangnya,
teladan macam apa yang layak diikuti dari ketiganya? Mereka adalah simbol
sistem kapitalisme yang telah jelas hanya mengikat standar kebahagiaan dengan
satuan dunia, yaitu atas nama individualisme dan kebebasan ‘suka sama suka’.
Maukah menyaksikan anak-cucu kita lesbi seperti Manji? Tegakah melihat
keturunan kita norak seperti Lady Gaga? Atau, relakah generasi kita menjadi
raja dan ratu narkoba semacam Corby? Tentu tidak. Karena mereka hanya idola
dalam kolam palsu fatamorgana.
Perlu Sistem yang Holistik
Berdasarkan uraian di atas, kita harus memahami bahwa anak-anak Muslim, termasuk
juga putra-putri kita barangkali, telah dididik dengan sistem pendidikan yang
tidak Islami. Ironisnya, pendidikan tidak hanya berakhir di rumah dan sekolah.
Masyarakat juga memainkan peran penting dalam mendidik generasi. Masyarakat
bisa dianggap sebagai sekolah yang lebih besar. Pelajaran yang ada di
tengah-tengah masyarakat tidak diberikan melalui pertemuan interaktif di ruang
kelas. Tapi masyarakat begitu terbuka menyajikan pendidikan melalui televisi, radio,
papan iklan, reklame, atau media cetak yang berisi praktik-praktik tidak Islami
(Buku “Mengenal Sistem Islam: dari A-Z”).
Belum lagi dengan negara yang tidak menjadikan penjagaan aqidah dan akal
sebagai dasar kebijakan menyusun kurikulum pendidikan. Faktanya, jika
kita membaca kebijakan-kebijakan pendidikan saat ini, banyak yang harus kita
kritisi. Apakah ada jaminan bahwa jika mereka belajar dengan mengikuti
kurikulum yang ada, sementara itu keluarga mereka bermasalah, maka mereka akan
tetap menjadi generasi yang baik? Tentu tidak (Makalah KIMB 2012).
Sistem yang ada saat ini harus diganti
secara holistik, bukan sebagian konteks saja. Mulai dari memilih sistem politik
yang tepat, penempatan pendidikan sebagai hak dasar bagi warga negara, sistem
ekonomi yang dikelola dengan benar dan memadai, penyusunan kurikulum yang
benar; dan di sisi lain kita juga harus membina generasi dari sisi sistem
pergaulan, sistem informasi dan media massa, serta sistem peradilan (Makalah KIMB 2012).
Di sisi lain sekolah negeri, ada sekelompok
masyarakat yang juga membuat sekolah, yaitu sekolah-sekolah swasta. Akan
tetapi, apakah dengan status swastanya, ada jaminan secara independen bahwa
kurikulumnya juga mendukung pendidikan para peserta didik? Tetap saja tidak.
Dengan demikian, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah masyarakat yang
sebenarnya sebagai rumah besar bagi pendidikan itu sendiri. Corak sistem
politik akan sangat menentukan kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah di
suatu negeri. Kurikulum hadir sebagai harapan bagi pelaksanaan sistem politik
yang tengah diterapkan. Maka, kurikulum yang buruk ditemukan karena memang
sistem politiknya juga buruk (Makalah KIMB
2012).
Selanjutnya, pembentukan generasi juga
berkorelasi dengan sistem ekonomi. Porsi sistem ekonomi yang persentasenya
minimal 20% bagi pendidikan, seolah-olah sudah menjadi porsi yang besar,
padahal nyatanya tidak cukup. Faktanya, tetap saja banyak fasilitas pendidikan
yang jauh dari kelayakan. Porsi tersebut juga tidak cukup menutup insentif tenaga
pendidik. Jadi jelas, bahwa sistem ekonomi juga punya peran yang tidak kalah
penting dengan sistem politik. Di samping itu, masyarakat sebagai rumah besar
pendidikan generasi, di mana di dalamnya juga terdapat sistem pergaulan, sistem
informasi dan media massa, serta sistem peradilan (Makalah KIMB 2012).
Sistem pergaulan seharusnya memandang bahwa
laki-laki dan perempuan diciptakan untuk dapat bekerjasama meraih ridla Allah
SWT, di mana tidak perlu pembahasan gender equality. Hal ini terwujud dalam keluarga yang
mampu mendidik generasi dengan bekal jati diri dan kepribadian kokoh. Sehingga
terjaga kehormatan diri sebagai wujud keteladanan bagi generasi. Sistem
informasi dan media massa pun harus memiliki cakupan konten media berupa
gambaran Islam dan seluruh syariatnya, pengembangan kepribadian Islam, serta
steril dari seks, pornografi, merusak moral, penghinaan dan penodaan
kehormatan. Sistem peradilan semestinya memandang sanksi yang berfungsi sebagai
pencegahan (zawajir) dan penebus dosa
(jawabir); bersifat fair, tidak tebang pilih dan tidak
berbelit; serta kesadaran hukum muncul dari dorongan iman; sehingga generasi
terlindungi dari kriminalitas (Makalah KIMB
2012).
Kondisinya, ideologi kapitalisme tetap
memandang bahwa pendidikan bukan sebagai hak warga negara. Negara hanya punya
kebutuhan pada generasi terdidik karena kompensasi ekonomi, yang mana akan
berkorelasi dengan pendapatan negara. Lebih jauh lagi, hal ini akan ambigu
karena ada kontradiksi antara sistem-sistem di dalamnya. Sistem pergaulan, sistem
informasi dan media massa, serta sistem peradilan akan saling berebut
kepentingan masing-masing. Negara dengan
status seperti ini tentu saja tidak dapat dipertahankan (Makalah KIMB 2012).
Kebangkitan
Pemikiran, Menjaga Akal, Mendidik Generasi
Dalam pandangan
Islam, upaya penyelenggaraan sistem pendidikan harus selalu diarahkan untuk
membangun pola pikir (aqliyah) Islam
dan pola sikap (nafsiyah) Islam, yang
kedua hal ini akan bersama-sama membentuk kepribadian (syakhsiyah) Islam dalam diri individu (Buku “Mengenal
Sistem Islam: dari A-Z”). Dan hal
ini sangat berpengaruh pada kebangkitan pemikiran, karena kebangkitan pemikiran
adalah formula utama bagi generasi cemerlang. Hal ini ditunjang oleh tiga pilar
yang berkompeten dalam menyiapkan generasi yang berpendidikan dan cerdas serta
memegang teguh aqidah dan syariat. Hal ini meliputi keluarga yang melahirkan
individu bertaqwa, masyarakat dan lingkungan, serta pemerintah atau negara
(Makalah CIMB 2011).
Firman Allah Swt tentang pendidikan generasi: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.’ ” (TQS Luqman [31]: 13). Juga firman Allah Swt dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku.” Serta firman Allah Swt dalam QS Al-Hujuraat ayat 13: “…Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
taqwa di antara kamu…”. Oleh karena itu,
dalam perbuatan seorang hamba harus ada keyakinan akan hubungannya dengan Allah
Swt secara mutlak sebagai bentuk ketaqwaannya.
Pendidikan melalui jalur keluarga akan optimal
apabila disiapkan mulai orang tua memasuki masa pra-nikah, setelah masa
pernikahan dan saat bayi masih di dalam kandungan, serta berlanjut sampai ke
jenjang pernikahan si anak. Tahap ini menjadi tanggung jawab penuh orang tua.
Dalam hal ini, ibu sebagai subjek pelahir generasi, juga memiliki peran utama
untuk mendidiknya. Ada satu aspek penting yang tidak boleh hilang, yaitu bahwa
proses pembentukan karakter (character
building) harus menjadi unsur yang berimbang dengan pengembangan ilmu
pengetahuan dan kehidupan. Pemahaman akan keseimbangan antara kepribadian (syakhsiyah), tsaqofah dan ilmu kehidupan
harus dikembangkan secara proporsional. Metode penanaman dan pengkristalan
pemahaman serta kesadaran anak terhadap pentingnya aqidah Islam dalam proses
pembelajaran harus digiatkan. Karena proses untuk membangun bangsa yang peduli
terhadap masalah umat sangat erat kaitannya dengan upaya mencetak generasi muda
sebagai the agent of change (Makalah CIMB 2011).
Penjagaan generasi juga terkait dengan kontribusi
masyarakat. Yaitu menyiapkan generasi cerdas yang diwujudkan dengan partisipasi
menciptakan lingkungan yang suportif dan kondusif (Makalah CIMB 2011). Masyarakat sebagai sekolah besar, juga mendukung dari
berbagai media massa yang ada. Televisi, radio, internet dan media cetak
selayaknya hanya menyediakan informasi yang sesuai dengan pemikiran dan syariat
Islam (Buku “Mengenal
Sistem Islam: dari A-Z”).
Masyarakat juga sebagai pengontrol yang hendaknya memiliki perasaan, pemikiran,
peraturan yang sama, yaitu atas landasan Islam agar segala bentuk perilaku
individu dalam kehidupannya itu senantiasa terjaga dengan benar. Masyarakat pun
harus kondusif dengan suasana ‘amar
ma’ruf nahyi mungkar (Makalah CIMB
2011).
Selanjutnya, negara sebagai penegak aturan adalah
negara yang menegakkan aturan Allah Swt dalam pemeliharaan urusan rakyatnya,
baik dari sisi kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) maupun naluri (ghorizah). Negara melalui kebijakan pemerintah yang berlandaskan syariat Islam
dalam bingkai Khilafah, akan memfasilitasi proses pendidikan dan pembelajaran,
sehingga rakyat senantiasa terkondisikan untuk menyempurnakan ketaatannya
kepada Allah. Negara Khilafah, yang mengatur dunia dengan
syariah Islam, akan memberi hak-hak penjagaan akal bagi umat. Media massa,
televisi, radio, koran, buku serta berbagai majelis diskusi adalah sebagian
sarana yang dapat dimanfaatkan di dalam negeri untuk mendidik generasi. Tidak
perlu izin berbelit untuk mewujudkan sarana media massa, yang penting informasi
yang disampaikan tidak bertentangan dengan syariat Islam (Buku “Mengenal Sistem Islam: dari A-Z”). Sungguh, Khilafah
bertanggung jawab menjaga para generasi pemain pentas peradaban, hingga tidak
memungkinkan munculnya ‘telenovela’ perusak
generasi semacam Manji, Lady Gaga dan Corby.
Khatimah
Alhasil, umat yang tidak menjadikan penerapan syariah Islam dalam Khilafah sebagai visi dan misi
kehidupan, maka mereka akan merasa lelah dan sia-sia karena kebahagiaan hakiki
tidak akan pernah terwujud. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt
dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11: ”…Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.” Kiprah umat dalam upaya penegakan
Khilafah ini telah disambut oleh Allah Swt dalam QS Ali ‘Imran [3] ayat 195: “Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain...” Dengan
demikian bukanlah mimpi, bahwa Khilafah adalah model
pemerintahan cemerlang yang juga akan melahirkan generasi cemerlang hingga masyarakat yang bernaung di dalamnya
memperoleh kesejahteraan dan meraih kemuliaan di dunia dan akhirat, insya
Allah.
Wallaahu a’lam bish showab
[].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar