Rabu, 13 Juni 2012

PERUSAKAN GENERASI DI BALIK INDUSTRIALISASI PANGAN

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Pangan Sejatinya sebagai Bagian Hajatul Udhowiyah

Pangan, sandang dan papan merupakan kebutuhan primer bagi setiap individu. Posisinya sebagai kebutuhan primer menyebabkan ketiga hal tersebut harus dipenuhi. Hal ini karena ketiganya, terutama pangan, merupakan bagian dari potensi seorang manusia dari sisi kebutuhan fisik atau hajatul udhowiyah, di samping akal dan ghorizah (naluri). Peran pokok pangan adalah mempertahankan kelangsungan hidup, melindungi dan menjaga kesehatan, serta mendapatkan energi yang cukup untuk bekerja secara produktif. Hal ini karena pangan juga berperan dalam menentukan kualitas generasi dari sisi keterpenuhan kuantitas dan kualitasnya. Muchtadi (1996) menyatakan bahwa konsumsi pangan berkaitan erat dengan kesehatan. Generasi yang sehat dan kuat tentu dapat terwujud jika asupan pangannya cukup dan lengkap. Hal ini sejalan orientasi bidang teknologi pangan yang mulai bergeser pada fenomena bahwa pangan dapat menunjang kesehatan dengan slogan bahan pangan fungsional. Hanya saja, perubahan pola konsumsi di tengah arus modernisasi dan globalisasi ternyata memungkinkan terjadinya kekeliruan konsumsi pangan itu sendiri. Dalam hal ini Muchtadi (1996) mempertegas bahwa kekeliruan dalam konsumsi pangan mengakibatkan gizi salah (malnutrisi), baik gizi kurang (defisiensi) maupun gizi lebih (over nutrition).

Pangan sebagai Komoditi Perusak Generasi

Sayang sekali, kejamnya kapitalisme telah dengan sangat nikmatnya memanipulasi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk potensi hajatul udhowiyah. Kebutuhan manusia akan pangan diaruskan dalam arus deras yang mengerikan. Ideologi kapitalisme dengan sangat sistematis telah menjadikan pangan sebagai komoditi. Dengan kata lain, keberadaan pangan yang posisinya sangat krusial justru harus dan baru bisa diperoleh jika ada uang. Hal ini secara otomatis menunjukkan bahwa orang kaya akan gampang makan dan orang miskin tetap susah makan.

Krisis keuangan global menyebabkan angka kelaparan di dunia menembus 1 miliar jiwa. Dengan populasi dunia 6,5 miliar jiwa, menurut PBB, kini satu dari enam orang di dunia menderita kelaparan. Tingginya angka kelaparan itu dikhawatirkan mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Untuk menjawab tantangan global, bangsa-bangsa sibuk mencari solusi. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) beranggapan tidak ada pilihan lain bagi dunia selain memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan percepatan produksi pangan. Direktur Jenderal FAO Jacques Diouf menegaskan bahwa teknologi merupakan kunci peningkatan produktivitas tanaman pangan, karena itu, swasta perlu lebih banyak berperan. Melalui Wakil Presiden Boediono, Indonesia menyatakan dukungannya bagi pemenuhan pangan dunia, termasuk cita-cita besar menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia yang siap kapan saja memasok bahan pangan seperti beras. Komitmen Indonesia itu tak sekadar diplomasi politik. Akan tetapi, kebijakan memproduksi pangan secara besar-besaran diimplementasikan dalam kebijakan sektoral, yakni dengan mengubah orientasi kebijakan pembangunan sektor pertanian dari yang semula mengandalkan petani kecil menuju industrialisasi pertanian, yang mulai memberikan ruang gerak lebih lebar bagi masuknya pemodal.

Gagasan besarnya dengan melibatkan industri, produksi pangan bisa ditingkatkan berlipat-lipat dibandingkan bila lahan pertanian dikelola petani kecil. Legalisasi masuknya pemodal dalam pengembangan pangan tertuang dalam Undang- Undang No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kebijakan industrialisasi pertanian pangan telah dimulai. Investor sudah mulai menanamkan modal di Merauke dan pulau-pulau di Luar Jawa. Kebijakan itu memberikan konsekuensi bagi masuknya pengusaha pertanian, baik tingkat lokal, nasional, maupun multinasional mengolah lahan di Indonesia dan memperdagangkannya baik untuk pasar domestik maupun ekspor.

Berkaca pada minyak sawit dan gula, pelibatan industri dalam memproduksi komoditas pertanian dianggap jauh lebih mampu menciptakan ketahanan pangan dari aspek ketersediaan barang. Produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia naik pesat. Bila pada 2004 produksi CPO sekitar 10,8 juta ton, tahun 2009 diperkirakan 19,4 juta ton. Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi bahkan menyatakan, produk kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang menjadi pengungkit nilai ekspor. Ekspor komoditas perkebunan tahun 2004 hanya 8,26 miliar dollar AS dan tahun 2009 diperkirakan 24,5 miliar dollar AS. Namun, sejumlah kalangan menilai bahwa indutrialisasi minyak sawit tidak membawa banyak berkah bagi petani dan konsumen, apalagi petani plasma dengan nilai tawar rendah. Lebih ironis lagi, saat tahun 2007/2008 harga komoditas sawit melesat, warga justru kelimpungan tidak mampu menjangkau kenaikan harga minyak goreng. Kondisi yang tak jauh beda dialami komoditas gula (Kompas 22/12/2009).

Inilah yang terjadi dalam sistem kapitalis, di mana harga dijadikan sebagai pengendali tunggal distribusi barang di tengah masyarakat. Harga-lah yang akan menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas tertentu, dan siapa yang tidak berhak mendapatkannya sama sekali. Orang yang mampu membeli barang dengan harga tinggi, dia akan mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas yang diinginkannya. Sementara itu, orang yang tidak mampu sama sekali menjangkau harga barang tersebut, dia tidak berhak mendapatkannya, meskipun barang itu merupakan kebutuhan pokok baginya. Dalam kondisi inilah krisis akan muncul. Jika harga dijadikan unsur pengendali tunggal distribusi, maka hal ini mengakibatkan buruknya distribusi barang di tengah masyarakat, yang berpotensi memunculkan terjadinya krisis sosial (Anwar Iman, 2008a).

Hal ini juga terbukti dengan maraknya industri beragam produk pangan yang berpotensi bahaya bagi kesehatan sebagai akibat perubahan gaya hidup. Korelasi pangan dengan perubahan gaya hidup dan pola konsumsi telah dijadikan pembenaran untuk membuat masyarakat menjadi konsumtif secara fatal. Dalih modernisasi dianggap dapat meningkatkan nilai ekonomi suatu bahan pangan dengan konsep meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Hal ini membuat para produsen produk pangan semakin merajalela dalam menghalalkan segala cara. Mereka dengan sangat tega menggunakan berbagai senyawa kimia sintetik sebagai bagian komposisi produk dengan dalih misalnya memperlezat, meningkatkan kualitas ataupun memperpanjang umur simpan produk. Padahal akumulasi senyawa-senyawa tersebut dalam tubuh akan sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen, apalagi jika pengkonsumsian produk tersebut telah menjadi bagian dari gaya hidupnya. Parahnya, hal ini terjadi di kalangan produsen mulai kelas teri hingga kelas kakap.

Multinasional di bidang industri makanan, tidak saja untuk menguasai perut seluruh bangsa, tetapi menguasai pula teknologi biokimia. Dalam hal ini, komponen bahan kimia makanan dibuat dengan perencanaan tertentu yang dapat mempengaruhi mental dan sikap perilaku bangsa-bangsa agar tunduk pada kemauan pencipta teknologi tersebut. Sedikit demi sedikit, bangsa di muka bumi harus beralih pada makanan tersebut. Pabrik makanan dan minuman yang mendunia harus dipupuk dan dikembangkan menjadi bagian dari gaya hidup seluruh bangsa. Pada saat yang sama, gaya hidup tersebut mematikan pula segala bentuk produksi makanan dan minuman negara lain yang dianggap primitif. Dengan kemampuan mereka melakukan rekayasa di bidang bahan kimia makanan serta "mesin makanan perekayasa genetika" (genetically engineered food), ini memungkinkan gerakan zionis mampu memanipulasi struktur genetik manusia, disesuaikan dengan keinginan mereka. Bahkan, beberapa zat aditif di bidang industri makanan direkayasa sedemikian rupa, hingga mempunyai cita-rasa yang lezat, sekaligus ada semacam "maksud" tersembunyi yang secara sangat rahasia disisipkan dalam bentuk pelezat dan pengawet makanan --seperti zat aditif: gelatin, pemanis buatan (aspartame/nutrasweet), zat pewarna, monosodium glutamate, kafein, dan sebagainya.

Sebagai contoh kecilnya, zat MSG (monosodium glutamate) atau dikenal vetsin yang dikonsumsi cukup besar oleh masyarakat kita. Di negara maju, pemakaian MSG telah diprotes. Jika MSG dikonsumsi melebihi dosis tertentu dapat menyebabkan beberapa akibat sampingan, seperti sakit kepala, pusing, sakit perut, diare, serangan asma, sesak nafas, keluar ingus dari hidung, rasa takut dan tegang, depresi, menurunnya daya ingat serta sindrom kehilangan ingatan dan mudah marah. Banyak terjadinya tawuran dan mudahnya masyarakat terprovokasi bisa jadi karena masyarakat banyak memakan vetsin. Bahkan bagi seorang perempuan yang sejak muda sering mengkonsumsi mie instan atau penganan pabrik yang mengandung MSG, lima sampai sepuluh tahun ke depan pasti akan tumbuh kista di dalam tubuhnya yang bisa jadi bertambah ganas menjadi tumor. Terlebih vetsin sepertinya ingin dianggap Pemerintah sebagai makanan rakyat, yang secara tidak langsung meracuni rakyat lewat produk mie instant. Ironisnya, penggunaan MSG oleh media massa malah dipromosikan secara besar-besaran sebagai zat yang mampu mendongkrak rasa dan kenikmatan sebuah makanan, namun tidak dipaparkan secara jujur efek samping membahayakan bagi tubuh manusia. Berbagai penelitian dari dunia medis tentang bahaya MSG pun tidak disosialisasikan secara massal. Akibatnya, masyarakat kalangan bawah sangat berpotensi menderita berbagai penyakit dan biasanya kematian selalu menjadi akhir dari cerita mereka karena untuk berobat ke dokter pun mereka tidak memiliki cukup uang (sumber : RYKERS Watch | Yahudi Indonesia) (eramuslim.com).

Kesejahteraan dan menciptakan manusia unggul dikatakan dapat direkayasa melalui bio-engineering, seleksi sel pembawa keturunan (DNA); atau dengan kata lain menciptakan bio-robotic, sosok manusia unggul yang dapat dikendalikan. Walaupun bagi orang awam, hal tersebut semacam dongeng atau fiksi belaka. Kemajuan di dunia kedokteran, biokimia, pengkloningan merupakan evolusi ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan tanpa mempertimbangkan etika, apalagi moral agama. Oleh karena itu, "warga negara dunia" harus mempunyai gizi yang tinggi agar dapat menjadi manusia-manusia yang unggul, sebagaimana yang diimpikan Friedrich W. Nietzsche dengan Ubermensch-nya (manusia unggulan) yang hanya dapat mengendalikan dunia. Tidak hanya makanan dan minuman, perkembangan teknologi canggih dalam biokimia, khususnya "obat-obat" setan (seperti LSD, ekstasi, obat bius serta psikotropika, mariyuana, narkotik, dan sebagainya) yang harus ditangani dan diorganisasi secara rapi. Generasi muda harus dibius dengan obat-obat setan tersebut, sehingga secara mental, mereka tidak mampu tampil sebagai generasi yang potensial dan karenanya lebih mudah memusnahkannya dari muka bumi. Hukum alam akan menyeleksi mereka. Hanya "bibit unggul" yang akan lolos dari pertarungan membangun dunia baru tersebut (sumber : RYKERS Watch | Yahudi Indonesia) (eramuslim.com).

PBB sendiri telah mengeluarkan lusinan dokumen resmi yang meminta pengurangan populasi dunia hingga 80%-nya. Salah satunya di dalam Konferensi Perempuan Sedunia di Beizing (1997), di mana Kepala FAO dengan tegas menyatakan, "Kami akan menggunakan makanan sebagai senjata melawan masyarakat." Dengan kata lain, PBB dalam hal ini lewat FAO dan WHO akan mempergunakan makanan, termasuk bahan-bahan yang akan masuk ke dalam tubuh manusia, sebagai bagian dari senjata ampuh yang besar dan kompleks, bernama "Kontrol Populasi". Kontrol populasi merupakan praktek dimulainya fase pengurangan populasi umat manusia sampai dengan 90%-nya hingga dunia menyisakan sekitar 500 juta manusia di dalamnya, dan sebagainya. Kontrol populasi ini sudah diterapkan sejak bertahun-tahun lalu melalui serangkaian uji coba dan strategi, antara lain program Keluarga Berencana (KB). Strategi kontrol populasi tidak hanya lewat program KB, namun juga lewat rekayasa genetis, yang gencar dilakukan terhadap tumbuhan dan hewan. Dari upaya ini dikenal istilah-istilah seperti makanan transgenik dan sebagainya. Dari upaya rekayasa genetika inilah berbagai penyakit baru bermunculan dan menyerang manusia, bahkan di banyak tempat menjadi wabah yang dalam tempo cepat membunuh banyak manusia. Salah satu yang menjadi sorotan banyak pakar kesehatan adalah penggunaan bahan-bahan kimiawi hasil rekayasa genetika yang disisipkan dalam aneka makanan dan juga pupuk tanaman. Di lain sisi, obat-obatan kimiawi yang diproduksi oleh dunia medis dan direkomendir oleh para dokter ternyata juga tidak bebas dari efek samping. Obat untuk sesuatu penyakit ternyata jika digunakan secara kontinyu akan menimbulkan penyakit lain. Seperti fluoride yang merupakan zat kimia ini secara umum dipersepsikan orang sebagai zat ampuh untuk memperkuat tulang gigi, ternyata ditegaskan mengandung bahan berbahaya bagi tubuh, antara lain bisa menyebabkan kanker tulang, oestoporosis, masalah persendian, turunnya kadar testoteron dan estrogen, dan sanggup mengkorosi lapisan enamel gigi. Bahkan dikatakan jika fluoride lebih merusak gigi ketimbang garam. Fluoride juga digunakan sebagai obat anti depresan, yang menghilangkan agresifitas dan motivasi manusia, termasuk menurunkan hasrat untuk berkembang-biak. (sumber Rykers Watch | Yahudi Indonesia) (eramuslim).

Salah satu forum internasional yang membahas masalah pangan adalah pertemuan National Association of Nutrition Professional (NANP- 2005 Conference). Dalam presentasinya yang berjudul "Codex and Nutricide', Dr. Rima Laibow dari Natural Solutions Foundation (bisa dilihat di www.HealthFreedomUSA.org) mengatakan, "...mereka yang menguasai makanan akan menguasai dunia...” Mereka telah mengatakan pada tahun 1962 bahwa Proyek Codex Alimentarius secara global akan diimplementasikan pada 31 Desember 2009. Ini merupakan semacam cetak biru. Proyek Dunia ini diarahkan oleh WHO dan FAO, dua lembaga dunia di bawah PBB yang membidangi masalah kesehatan dan pangan. Yang mana di tahun 1994, diam-diam, tanpa sepengetahuan masyarakat luas di Amerika, Codex menyatakan bahwa gizi adalah racun, yang berarti berbahaya dan harus dihindari. Di bawah ketentuan Codex, semua sapi perah di muka bumi ini WAJIB diinjeksi dengan hormon pertumbuhan yang diproduksi oleh satu-satunya perusahaan yakni Monsanto. Dan lebih jauh lagi, semua hewan ternak yang digunakan sebagai bahan makanan di planet ini harus disusupkan bahan antibiotik khusus dan hormon pertumbuhan buatan. Bahkan setiap ayam goreng yang disajikan oleh berbagai restoran-restoran siap saji (fastfood) ternama dunia merupakan ayam yang dari telur hingga dewasa dan dipotong, masa hidupnya tidak sampai dua bulan? Ayam tersebut besar dengan cepat disebabkan suntikan hormon yang diberikan secara berkala dengan jumlah yang besar. Hormon tersebut tidaklah hilang tatkala ayam tersebut digoreng, serta tetap ada dan masuk ke dalam perut kita saat kita menyantapnya. Inilah penjelasan mengapa anak-anak remaja sekarang banyak yang menderita obesitas dan berbagai macam penyakit. Padahal gaya hidup kapitalistik membuat seseorang menjadi merasa tidak keren jika tidak pernah makan di restoran-restoran siap saji ataupun yang ber-trade mark internasional seperti Pizza Hut, KFC, A & W, Dunkin Donuts, dan lain-lain. Padahal produk dari restoran-restoran tersebut merupakan makanan yang tergolong junk food, yang sebenarnya di negara asalnya sudah tidak laku dimakan oleh manusia karena merupakan bahan pangan rongsokan yang minim gizi.

Menurut perhitungan WHO dan FAO, jika proyek mereka ini terus berjalan tanpa hambatan berarti, WHO dan FAO memproyeksikan-ini terdapat dalam panduan mineral dan vitamin mereka-ketika diimplementasikan pada 31 Desember 2009, maka akan berdampak pada minimum kematian sekitar 3 miliar jiwa. Satu miliar lewat kematian secara langsung, mereka ini adalah orang-orang yang gagal di mata para korporasi dunia dan sisanya, 2 miliar jiwa, akan menemui kematian akibat penyakit yang sesungguhnya bisa dicegah, yakni kurang gizi. Dan hanya mereka yang kaya, yang mampu menyuplai gizi dan vitamin dalam makanan mereka yang akan tetap bisa hidup. Hal ini pun akan dilaksanakan di Indonesia, yaitu melalui Monsanto, sebagai perusahaan AS yg dikenal sebagai pengembang benih transgenik terbesar di dunia. Monsanto Company telah mengakui melakukan suap terhadap 140 pejabat tinggi Indonesia, terutama di jajaran Kantor Kementerian Lingkungan Hidup (pada periode 1997-2002). Monsanto berusaha memperluas pemasaran produk benih transgeniknya di Indonesia. Untuk melicinkan niatnya, Monsanto melakukan lobi suap terhadap pejabat pemerintahan agar kebijakan yang keluar bisa seiring dengan kemauan Monsanto (http://www.geocities.com/didonk20/fakta_dilapangan.htm).

Selanjutnya, hal ini memunculkan fenomena baru. Di satu sisi, penyelewengan industri pangan telah menimbulkan kejenuhan dan kekecewaan masyarakat secara umum terhadap produk pangan yang membahayakan kesehatan. Akan tetapi di sisi lain, hal ini justru memunculkan penyelewengan yang lain meski masih berlatar belakang kapitalistik, yaitu isu bahan pangan organik.

Fenomena makanan organik sudah ramai di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada serta negara-negara Amerika Latin dan Eropa. Masyarakat di sana sudah mengalami penurunan tingkat konsumsi terhadap makanan-makanan non-organik. Hal ini karena notabene makanan non-organik adalah makanan yang diproduksi oleh industri-industri pangan yang pada umumnya diberi tambahan senyawa-senyawa kimia sintetik yang ternyata xenobiotik. Xenobiotik sendiri merupakan senyawa asing dari luar yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. Makanan organik adalah makanan yang telah dinyatakan bebas xenobiotik, termasuk di dalamnya bebas pestisida, bahan tambahan pangan atau senyawa kimia lain yang mungkin berbahaya.

Makanan organik dipoles dengan cantik sehingga seolah-olah dapat menjadi penyelamat bagi kesehatan masyarakat. Wajah manisnya justru memperkuat cengkeraman sistem kapitalisme dalam bidang pangan. Hal ini dibuktikan dengan harga bahan pangan organik yang menjadi sangat mahal karena dinyatakan aman untuk dikonsumsi. Padahal secara logis, sejatinya suatu bahan pangan memang harus organik. Hal ini karena tidak ada perbedaan antara bahan pangan organik yang berharga mahal dengan hasil kebun sendiri yang tentunya juga aman dikonsumsi, bahkan dapat diperoleh dengan harga jauh lebih murah.

Pangan sebagai Bagian Kebijakan Negara

Bidang pangan memerlukan suatu regulasi yang resmi dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan sekaligus sebagai penjamin keamanan dan ketersediaan pangan bagi rakyatnya. Teknologi pangan sendiri harus diakomodasi sebagai suatu sistem ilmu yang bertujuan menjamin kebutuhan pangan yang baik dan benar bagi seluruh manusia. Hanya saja, kunci bagi permasalahan terletak pada pengambil kebijakan dalam optimalisasi peran tersebut. Cara pandang para pengambil kebijakan tentu sangat berpengaruh pada arah kebijakan yang akan diambil.

Di Indonesia juga terjadi kemampuan produksi pangan yang berbeda antarwilayah dan antarmusim merupakan tantangan pendistribusian pangan kepada konsumen diseluruh wilayah Indonesia sepanjang waktu. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian persoalan pangan Indonesia yang besar dan rumit merupakan bukti lemahnya kebijakan dan tanggungjawab pemerintah untuk memenuhi hak atas pangan seluruh rakyat. Dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta jiwa pada 2007, tercatat meningkat atau bertambah 1,34 persen per tahun maka dibutuhkan pangan yang berjumlah besar dan semakin bervariasi. (Witoro, Republika online, 28/11/2009).

Pemerintah sebagai pengambil kebijakan dapat mengawali langkah dengan mendefinisikan bahan pangan sebagai sesuatu yang berstatus kepemilikan umum. Distribusi yang benar akan membuat setiap individu memiliki bagiannya masing-masing, karena kebutuhan akan bahan pangan merupakan kebutuhan fisik yang harus dipenuhi bagi keberlangsungan hidupnya. Pemerintah harus mengatur distribusi bahan pangan agar status bahan pangan sebagai milik umum dapat teroptimalkan. Pemerintah dapat menghimpun para ahli pangan, mengoptimalkan peran mereka sebagai peneliti serta menjadikan mereka sebagai rujukan dalam pengambilan kebijakan di bidang ilmu dan teknologi pangan. Pemerintah juga berperan untuk meregulasi industri pangan agar tidak menjadikan bahan pangan hanya sebagai komoditas komersial. Dalam Daulah Islam, hal ini penting sekali untuk memperhatikan dalil mengenai peradilan yang menyelesaikan berbagai penyimpangan (mukhalafat) yang dapat membahayakan hak-hak jamaah dan yang disebut sebagai hisbah adalah apa yang sudah ditetapkan dalam perbuatan dan sabda Rasulullah saw, “Orang yang melakukan penipuan tidak termasuk golongan kami.” (HR. Ahmad). Rasulullah saw memerintahkan para pedagang di pasar untuk berlaku jujur dalam berdagang dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Rasulullah saw bersabda, “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual-beli itu sering dicampuri dengan permainan dan sumpah (palsu), maka kalian harus menyertai jual-beli itu dengan sedekah.

Regulasi pemerintah dalam bidang pangan juga mutlak memerlukan tinjauan aspek halal dan thoyib. Hanya saja, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, hal ini masih cukup berat bagi Indonesia. Pelabelan halal pada produk pangan adalah salah satu bagian penjagaan terhadap aqidah rakyat oleh negara, sedangkan pelabelan thoyib merupakan bagian penjagaan negara terhadap kualitas dan keberlangsungan hidup rakyatnya. Dalam hal ini, halal adalah mutlak dan thoyib adalah subyektif. Banyaknya produk yang tidak berlabel halal merupakan bukti nyata bahwa hal ini belum menjadi prioritas kebijakan. Pemberian label halal dari produsen terhadap produknya masih bersifat sukarela, bukan kewajiban bagi produsen sebagai sesuatu yang memang telah ditetapkan oleh negara. Banyaknya produk yang kaya xenobiotik pun merupakan bukti nyata bahwa negara tidak menjaga kualitas dan keberlangsungan generasi. Disamping itu, determinasi makanan haram juga harus memiliki batasan yang jelas. Hal ini karena masih banyak sekali produk pangan ataupun kosmetik yang bersifat abu-abu, yaitu tidak memiliki label halal meskipun mungkin komposisi penyusunnya halal. Hal ini tentu saja menimbulkan keraguan bagi konsumen. Selanjutnya, hal ini diperparah oleh posisi MUI sebagai lembaga penentu kehalalan serta BPOM sebagai lembaga penentu kethoyiban yang seperti tidak punya bargaining position yang baik dalam hal kebijakan keamanan pangan di Indonesia. Padahal bidang pangan akan terus mengalami perkembangan, sehingga menunjang perkembangan penelitian-penelitian tentang konsep halal dan thoyib.

Pandangan Islam terhadap Industri Pangan

Islam datang menjelaskan hukum-hukum industri, bahwa hukum asal industri adalah kepemilikan individu, maka tiap individu dari individu-individu rakyat boleh memiliki industri. Sehubungan dengan ini, maka industri termasuk dalam kepemilikan individu, bukan kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Hanya saja, industri itu hukumnya diambil mengikuti hasil produksinya. Sebab Rasulullah saw mengharamkan memeras (memproduksi) minuman keras (khamr), sedang ia termasuk industri. Hal ini pun tidak khusus untuk arak, tetapi umum meliputi setiap yang haram, seperti industri ganja, opium, heroin, salib, patung, dsb. Selanjutnya, dalam memproduksi barang-barang yang termasuk dalam kepemilikan umum, seperti penambangan minyak tanah (bumi), ia termasuk kepemilikan umum, artinya individu dilarang memilikinya. Hal ini berarti mencabut barang itu dari potensi eksisensinya sebagai kepemilikan umum. Pabrik merupakan kepemilikan individu, kecuali jika pabrik itu memproduksi barang yang tergolong kepemilikan umum, maka pabrik itu berubah pada kepemilikan umum. Hal ini karena tiap sesuatu yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki secara khusus oleh individu-individu tertentu adalah kepemilikan umum seperti laut, sungai, danau, tanah-tanah umum, dsb (Politik Ekonomi Islam 2001). Dalam hal ini tidak diperbolehkan jika industri-industri milik pribadi memprivatisasi sumber daya alam sebagai bahan baku untuk proses produksinya.

Departemen Perindustrian adalah departemen yang mengurusi semua masalah yang berhubungan dengan perindustrian, baik yang berhubungan dengan industri berat seperti industri mesin dan peralatan, pembuatan dan perakitan alat transportasi (kapal, pesawat, mobil, dsb), industri bahan mentah dan industri elektronik, maupun yang berhubungan dengan industri ringan; baik industri itu berupa pabrik-pabrik yang menjadi miliki umum maupun pabrik-pabrik yang menjadi milik pribadi, yang memiliki hubungan dengan industri-industri militer (peperangan). Hal ini mengharuskan industri yang ada di dalam Daulah, dengan berbagai jenisnya, itu semuanya harus dibangun dengan berpijak pada politik perang. Daulah Islam adalah negara yang mengemban dakwah Islam dengan metode dakwah dan jihad, sehingga Daulah Islam akan menjadi negara yang terus-menerus siap untuk melaksanakan jihad. Hal ini adalah alasan fundamental bagi setiap negara yang menginginkan industrialisasi. Mempunyai dasar industri membuat sebuah bangsa bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan mandiri dari bangsa lainnya. Tanpa industrialisasi suatu negara akan tergantung secara politik dan ekonomi pada negara lain dalam kebutuhan-kebutuhan vital seperti pertahanan, industri dan produktivitas perekonomian (Ajhizah 2006).

Miskinnya visi politik dan arah yang jelas di wilayah Muslim dan kekukuhan pemimpin Muslim yang lebih memilih kebijakan mengejar target jangka pendek yang pragmatis, adalah masalah historis sejak hancurnya Negara Khilafah pada tahun 1924. Hal ini merupakan gambaran mengapa Dunia Islam saat ini mengalami de-industrialisasi. Para pemimpin umat Muslim telah meletakkan negaranya sebagai pasar bagi perusahaan multinasional Barat. Konsep perdagangan bebas dan pasar bebas selalu menjadi alasan bagi dunia berkembang untuk menghambat industrialisasi di negara lain, dan mengubah mereka menjadi tempat industri untuk konsumsi Barat. Dalam hal ini, kekuatan ekonomi harus disiapkan agar dapat menanggung apa yang akan terjadi ketika memasuki ganasnya medan perjuangan dan jihad. Disamping itu juga menjalankan politik peningkatan kekayaan berdasarkan kemajuan materi dengan melakukan revolusi industri, disamping meningkatkan kekayaan pertanian dengan syarat industri sebagai ujung tombak kemajuan.

Untuk itu semua politik pertanian harus bertujuan meningkatkan produksi dalam tiga perkara, yaitu:
 
Pertama, meningkatkan produksi bahan makanan, mengingat bahan makanan sangat diperlukan untuk memberi makan penduduk yang terus bertambah, menjauhkan dari bahaya kelaparan dari negeri ketika datangnya musim paceklik dan berkurangnya hujan, serta dalam keadaan apabila negeri Islam menghadapi embargo ekonomi akibat peperangan atau jihad, keadaan di mana negeri-negeri Islam menderita kelaparan sehingga wajib disuplai dengan bahan-bahan makanan dari sisi wajib mencurahkan tenaga untuk meningkatkan produksi tanah agar tersedianya bahan-bahan makanan, baik bahan makanan nabati atau hewani. Hal ini memerlukan revolusi industri secara langsung sebagai upaya meningkatkan produksi bahan-bahan makanan. Untuk mengikuti sebuah kebijakan industrialisasi sangatlah penting bagi setiap negara untuk bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Sangatlah penting bahwa sebuah negara untuk tidak bergantung pada kekuatan asing dalam kebijakan agrikulturalnya, karena setiap kebijakan tidak akan bermakna tanpa adanya kemampuan negara tersebut untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Negara Khilafah juga harus membuat kebijakan agrikultur yang mandiri.

Kedua, meningkatkan produksi bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pakaian seperti kapas, wool, pohon rami dan sutra. Bahan-bahan ini penting sekali karena termasuk kebutuhan primer yang tidak mungkin manusia tidak membutuhkannya, harus tersedia dalam suatu negara, sehingga tidak perlu mengimpor dari luar negeri.

Ketiga, meningkatkan produksi komoditi yang memiliki pasaran luar negeri, baik berupa bahan-bahan makanan (biji-bijian, kapas, sutera, jeruk nipis, kurma, buah-buah kaleng, dsb). Jika kita tidak mengekspor industri pertanian, maka kita tidak memiliki kekayaan untuk diekspor, sebab secara umum kekayaan kita berupa kekayaan pertanian.

Umat Islam yang sedang menuju industrialisasi dan perkembangan teknologi harus dibangun di atas kekuatan akidah Islam dan motivasi yang terus berjalan. Selalu berpegang teguh pada tuntunan Allah Swt dan utusan-Nya yang mulia Nabi Muhammad saw.: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah panggilan Allah dan Rasul-Nya ketika ia menyeru kamu kepada sesuatu yang memberikanmu kehidupan. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya-lah engkau dikumpulkan.” (TQS. al-Anfal [8]: 24).

Wallaahu a'lam bish showab []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar