Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam melimpah,
tanah yang subur, hutan yang luas dan hasil laut tiada banding. Sementara di
dalam perut buminya terkandung barang tambang, minyak dan gas alam dalam jumlah
besar. Namun menjadi sebuah ironi jika melihat keadaan penduduknya yang semakin
miskin. Menurut Biro Pusat Statistik
(BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2011 mencapai
30,02 juta orang. Menurut laporan Asia
Development Bank (ADB) 25/08/2011, kemiskinan di Indonesia bertambah dibandingkan
lima tahun lalu. Kegagalan Indonesia menyejahterakan penduduknya adalah karena
memilih sistem ekonomi kapitalisme, sebuah sistem yang telah usang dan gagal
menyejahterakan penduduk dunia, sekalipun di pusat kapitalisme sendiri, Amerika
Serikat. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(TQS al-Rum [30]: 41).
Dalam konsep politik ekonomi dan kesejahteraan sebuah
negara, pertanian dipandang sebagai
salah satu sumber ekonomi primer, disamping perindustrian, perdagangan dan
tenaga manusia (jasa). Sebagai negara
agraris, pertanian merupakan salah satu potensi sumber daya Indonesia. Asas
pertanian adalah tanah. Sebab, jika tanah tidak ada, maka tenaga manusia, skill dan alat secara mutlak tidak akan
mampu menghasilkan produksi pertanian; sedangkan tanah dalam kondisi apapun
tetap berproduksi. Maka jelas, metode penguasaan (kepemilikan) dan pengelolaan
tanah akan menentukan arah produksinya. Untuk itu, tanah harus memiliki hukum
tersendiri yang berbeda dengan harta benda lain, yaitu hukum yang menilai
tujuan keberadaan tanah telah tercapai jika terdapat produksi. Artinya,
kepemilikan tetap ada jika produksi ada, dan hak kepemilikan akan hilang jika
produksi tidak terealisasi. Hal ini terlepas apakah tanah itu luas atau sempit,
dan apakah kepemilikan tanah di antara manusia itu sama atau berbeda.
Pada dasarnya, politik pertanian dijalankan untuk
meningkatkan produksi pertanian. Untuk itu, dapat dilakukan dua langkah: pertama,
intensifikasi, yaitu melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produksi tanah.
Negara pun memberikan modal bagi petani yang tidak mampu sebagai hibah, bukan
kredit, apalagi utang. Kedua, ekstensifikasi, dengan menambah
luas area lahan yang akan ditanami. Yaitu dengan cara menghidupkan tanah mati
dan memagarinya, memberikan tanah secara gratis kepada rakyat yang mampu
bertani namun tidak memiliki tanah, rakyat yang memiliki area tanah yang
sempit, dan termasuk tanah yang di bawah kekuasaannya. Negara pun harus berlaku
tegas dengan mengambil tanah dari rakyat yang telah menelantarkan tanahnya
selama tiga tahun berturut-turut.
Pertanian hanyalah salah satu aspek ekonomi, tidak
dapat berdiri sendiri. Dalam meraih tujuan ekonomi, yaitu meningkatkan kemajuan
materi, pertanian harus terkait dengan industri (industri penghasil mesin). Melakukan
revolusi pertanian dan revolusi industri secara bersamaan dengan tetap
menjadikan industri sebagai ujung tombak
kemajuan, akan tercapai jika terdapat hal yang saling berdekatan antara
revolusi pertanian dan revolusi industri. Untuk itu, tidaklah boleh melakukan
revolusi pertanian, memberikan tenaga dan membelanjakan harta, kecuali yang
akan meningkatkan produksi kekayaan pertanian yang telah ada. Harta negara pada
kondisi seperti itu lebih diperlukan untuk revolusi industri. Negara tidak
selayaknya menginstruksikan pajak untuk membangun infrastruktur yang tidak
terlalu diperlukan. Tidak selayaknya pula negara berutang, meski kepada
rakyatnya sendiri untuk melaksanakan pembangunan di dalam negeri. Negara juga tidak perlu berutang kepada negara-negara kafir
penjajah seperti yang dilakukan oleh rezim sekarang. Bahkan, dalam keadaan apa
pun, utang luar negeri mutlak tidak boleh dilakukan. Sebab, utang seperti itu
selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu. Riba jelas diharamkan,
baik dari dan oleh seseorang maupun negara.
Dengan demikian, pertanian Indonesia dapat berkontribusi besar bagi kemakmuran negara dan rakyatnya. Bertolak
dari itu semua, Hizbut Tahrir Indonesia kembali mengajak seluruh kaum Muslimin
untuk berjuang menegakkan Daulah Khilafah. Khilafah, sebagai model terbaik negara yang
menyejahterakan (a greatest model for prosperous state), memiliki mekanisme pengaturan berekonomi
berdasarkan prinsip hukum Islam yang terbukti dalam kurun 13 abad mampu mewujudkan kesejahteraan secara material. Hanya dengan tegaknya Khilafah, sistem kapitalisme-liberalisme dan
demokrasi bisa dicampakkan. Kesejahteraan
hidup di bawah naungan Khilafah
di akhir zaman diberitakan Rasulullaah saw: “Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah
yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya.” (HR Muslim). Aamiin.
Wallaahu a’lam bish
showab [].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar