Rabu, 13 Juni 2012

Khilafah, Model Terbaik Negara yang Menyejahterakan (Telaah Singkat Aspek Politik Ekonomi Pertanian Indonesia)

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam melimpah, tanah yang subur, hutan yang luas dan hasil laut tiada banding. Sementara di dalam perut buminya terkandung barang tambang, minyak dan gas alam dalam jumlah besar. Namun menjadi sebuah ironi jika melihat keadaan penduduknya yang semakin miskin. Menurut Biro Pusat Statistik  (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang. Menurut laporan Asia Development Bank (ADB) 25/08/2011, kemiskinan di Indonesia bertambah dibandingkan lima tahun lalu. Kegagalan Indonesia menyejahterakan penduduknya adalah karena memilih sistem ekonomi kapitalisme, sebuah sistem yang telah usang dan gagal menyejahterakan penduduk dunia, sekalipun di pusat kapitalisme sendiri, Amerika Serikat. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(TQS al-Rum [30]: 41).

Dalam konsep politik ekonomi dan kesejahteraan sebuah negara, pertanian dipandang sebagai salah satu sumber ekonomi primer, disamping perindustrian, perdagangan dan tenaga manusia (jasa).  Sebagai negara agraris, pertanian merupakan salah satu potensi sumber daya Indonesia. Asas pertanian adalah tanah. Sebab, jika tanah tidak ada, maka tenaga manusia, skill dan alat secara mutlak tidak akan mampu menghasilkan produksi pertanian; sedangkan tanah dalam kondisi apapun tetap berproduksi. Maka jelas, metode penguasaan (kepemilikan) dan pengelolaan tanah akan menentukan arah produksinya. Untuk itu, tanah harus memiliki hukum tersendiri yang berbeda dengan harta benda lain, yaitu hukum yang menilai tujuan keberadaan tanah telah tercapai jika terdapat produksi. Artinya, kepemilikan tetap ada jika produksi ada, dan hak kepemilikan akan hilang jika produksi tidak terealisasi. Hal ini terlepas apakah tanah itu luas atau sempit, dan apakah kepemilikan tanah di antara manusia itu sama atau berbeda.

Pada dasarnya, politik pertanian dijalankan untuk meningkatkan produksi pertanian. Untuk itu, dapat dilakukan dua langkah: pertama, intensifikasi, yaitu melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produksi tanah. Negara pun memberikan modal bagi petani yang tidak mampu sebagai hibah, bukan kredit, apalagi utang. Kedua, ekstensifikasi, dengan menambah luas area lahan yang akan ditanami. Yaitu dengan cara menghidupkan tanah mati dan memagarinya, memberikan tanah secara gratis kepada rakyat yang mampu bertani namun tidak memiliki tanah, rakyat yang memiliki area tanah yang sempit, dan termasuk tanah yang di bawah kekuasaannya. Negara pun harus berlaku tegas dengan mengambil tanah dari rakyat yang telah menelantarkan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut.

Pertanian hanyalah salah satu aspek ekonomi, tidak dapat berdiri sendiri. Dalam meraih tujuan ekonomi, yaitu meningkatkan kemajuan materi, pertanian harus terkait dengan industri (industri penghasil mesin). Melakukan revolusi pertanian dan revolusi industri secara bersamaan dengan tetap menjadikan industri  sebagai ujung tombak kemajuan, akan tercapai jika terdapat hal yang saling berdekatan antara revolusi pertanian dan revolusi industri. Untuk itu, tidaklah boleh melakukan revolusi pertanian, memberikan tenaga dan membelanjakan harta, kecuali yang akan meningkatkan produksi kekayaan pertanian yang telah ada. Harta negara pada kondisi seperti itu lebih diperlukan untuk revolusi industri. Negara tidak selayaknya menginstruksikan pajak untuk membangun infrastruktur yang tidak terlalu diperlukan. Tidak selayaknya pula negara berutang, meski kepada rakyatnya sendiri untuk melaksanakan pembangunan di dalam negeri. Negara juga tidak perlu berutang kepada negara-negara kafir penjajah seperti yang dilakukan oleh rezim sekarang. Bahkan, dalam keadaan apa pun, utang luar negeri mutlak tidak boleh dilakukan. Sebab, utang seperti itu selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu. Riba jelas diharamkan, baik dari dan oleh seseorang maupun negara.

Dengan demikian, pertanian Indonesia dapat berkontribusi besar bagi kemakmuran negara dan rakyatnya. Bertolak dari itu semua, Hizbut Tahrir Indonesia kembali mengajak seluruh kaum Muslimin untuk berjuang menegakkan Daulah Khilafah. Khilafah, sebagai model terbaik negara yang menyejahterakan (a greatest model for prosperous state), memiliki mekanisme pengaturan berekonomi berdasarkan prinsip hukum Islam yang terbukti dalam kurun 13 abad mampu mewujudkan kesejahteraan secara material. Hanya dengan tegaknya Khilafah, sistem kapitalisme-liberalisme dan demokrasi bisa dicampakkan. Kesejahteraan hidup di bawah naungan Khilafah di akhir zaman diberitakan Rasulullaah saw: Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya.” (HR Muslim). Aamiin.

Wallaahu a’lam bish showab [].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar