Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam melimpah, tanah yang subur,
hutan yang luas dan hasil laut tiada banding. Sementara di dalam perut buminya
terkandung barang tambang, minyak dan gas alam dalam jumlah besar. Namun
menjadi sebuah ironi jika melihat keadaan penduduknya yang semakin miskin.
Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada
Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang. Menurut laporan Asia Development Bank (ADB) 25/08/2011, kemiskinan di Indonesia
bertambah dibandingkan lima tahun lalu. Haruskah demikian yang terjadi?
Dalam konsep politik ekonomi dan kesejahteraan sebuah negara, pertanian
dipandang sebagai salah satu sumber ekonomi primer, disamping perindustrian,
perdagangan dan tenaga manusia (jasa) (Buku “Politik Ekonomi Islam”). 
Sebagai negara agraris, pertanian merupakan salah satu potensi sumber
daya Indonesia. Indonesia memiliki
potensi ketersediaan lahan yang cukup besar dan belum dimanfaatkan secara
optimal. Data dari kajian akademis yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal
Pengelolaan Lahan dan Air, Kementerian Pertanian pada tahun 2006 memperlihatkan
bahwa total luas daratan Indonesia adalah sebesar 192 juta ha, terbagi atas 123
juta ha (64,6%)
merupakan kawasan budidaya dan 67 juta ha sisanya (35,4%)
merupakan kawasan lindung. Dari total luas kawasan budidaya, yang berpotensi
untuk areal pertanian seluas 101 juta ha, meliputi lahan basah seluas 25,6 juta
ha, lahan kering tanaman semusim 25,3 juta ha dan lahan kering tanaman tahunan
50,9 juta ha. Sampai saat ini, dari areal yang berpotensi untuk pertanian
tersebut, yang sudah
dibudidayakan menjadi areal pertanian sebesar 47 juta ha, sehingga masih
tersisa 54 juta
ha yang berpotensi untuk
perluasan areal pertanian (okemms.blogspot.com/potensi-pertanian-indonesia,
19/06/2011). 
Apa mau dikata, sebagaimana dilansir oleh medanbisnisdaily.com (05/04/2012), selama ini sektor pertanian sudah
terlupakan. Padahal, sektor ini menjadi penyelamat pada saat krisis ekonomi tahun
1998 lalu. Belum lagi
dengan pernyataan Direktur Analisis dan Perkembangan
Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suharyanto, yang mengatakan jumlah
kemiskinan terbesar sebanyak 72% berasal dari masyarakat yang hidup dari sektor
pertanian. Pendapatan mereka rata-rata masih sangat rendah dan cenderung
stagnan. Kecuk
menambahkan bahwa salah satu karakteristik yang penting
dari kemiskinan adalah mereka terbanyak tinggal di perdesaan. Selama ini tidak
ada kebijakan penanggulangan khusus di pertanian. Upah buruh petani bahkan nyaris tidak bergerak
dari Rp 37 ribu per hari, sekarang Rp 39 ribu per hari (www.rimanews.com, 03/09/2011). Hal ini mengindikasikan bahwa
pemerintah bukan
saja kurang memberdayakan petani tetapi juga terhadap sektor pertanian
keseluruhan (Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian
Indonesia (ISMPI), 17/09/2009). Wajar, jika pada faktanya petani jauh dari sejahtera.
Kegagalan Indonesia menyejahterakan penduduknya adalah karena memilih
sistem ekonomi kapitalisme, sebuah sistem yang telah usang dan gagal
menyejahterakan penduduk dunia, sekalipun di pusat kapitalisme sendiri, Amerika
Serikat. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: “Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).”(TQS
al-Rum [30]: 41).
Konsep politik ekonomi Islam memandang bahwa asas pertanian adalah
tanah. Sebab, jika tanah tidak ada, maka tenaga manusia, skill dan alat secara mutlak tidak akan mampu menghasilkan produksi
pertanian; sedangkan tanah dalam kondisi apapun tetap berproduksi. Maka jelas,
metode penguasaan (kepemilikan) dan pengelolaan tanah akan menentukan arah
produksinya. Untuk itu, tanah harus memiliki hukum tersendiri yang berbeda
dengan harta benda lain, yaitu hukum yang menilai tujuan keberadaan tanah telah
tercapai jika terdapat produksi. Artinya, kepemilikan tetap ada jika produksi
ada, dan hak kepemilikan akan hilang jika produksi tidak terealisasi. Hal ini
terlepas apakah tanah itu luas atau sempit, dan apakah kepemilikan tanah di antara
manusia itu sama atau berbeda (Buku “Politik
Ekonomi Islam”).
Pada dasarnya, politik pertanian dijalankan untuk meningkatkan produksi
pertanian. Untuk itu, dapat dilakukan dua langkah: pertama, intensifikasi, yaitu melakukan berbagai usaha untuk
meningkatkan produksi tanah. Negara pun memberikan modal bagi petani yang tidak
mampu sebagai hibah, bukan kredit, apalagi utang. Kedua, ekstensifikasi, dengan menambah luas area lahan yang akan
ditanami. Yaitu dengan cara menghidupkan tanah mati dan memagarinya, memberikan
tanah secara gratis kepada rakyat yang mampu bertani namun tidak memiliki
tanah, rakyat yang memiliki area tanah yang sempit, dan termasuk tanah yang di
bawah kekuasaannya. Negara pun harus berlaku tegas dengan mengambil tanah dari rakyat
yang telah menelantarkan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut (Buku “Politik Ekonomi Islam”).
Pertanian hanyalah salah satu aspek ekonomi, tidak dapat berdiri
sendiri. Dalam meraih tujuan ekonomi, yaitu meningkatkan kemajuan materi, pertanian
harus terkait dengan industri (industri penghasil mesin). Melakukan revolusi pertanian
dan revolusi industri secara bersamaan dengan tetap menjadikan industri  sebagai ujung tombak kemajuan, akan tercapai
jika terdapat hal yang saling berdekatan antara revolusi pertanian dan revolusi
industri. Untuk itu, tidaklah boleh melakukan revolusi pertanian, memberikan
tenaga dan membelanjakan harta, kecuali yang akan meningkatkan produksi
kekayaan pertanian yang telah ada. Harta negara pada kondisi seperti itu lebih diperlukan
untuk revolusi industri. Negara tidak selayaknya menginstruksikan pajak untuk
membangun infrastruktur yang tidak terlalu diperlukan. Tidak selayaknya pula
negara berutang, meski kepada rakyatnya sendiri untuk melaksanakan pembangunan
di dalam negeri. Negara
juga tidak perlu
berutang kepada negara-negara kafir penjajah seperti yang dilakukan oleh rezim
sekarang. Bahkan, dalam keadaan apa pun, utang luar negeri mutlak tidak boleh
dilakukan. Sebab, utang seperti itu selalu terkait dengan riba dan
syarat-syarat tertentu. Riba jelas diharamkan, baik dari dan oleh seseorang maupun
negara (Buku “Politik Ekonomi Islam”).
Dengan demikian, pertanian Indonesia sejatinya dapat berkontribusi
besar bagi kemakmuran negara
dan rakyatnya sesuai dengan potensinya. Bertolak dari itu semua, Hizbut Tahrir
Indonesia kembali mengajak seluruh kaum Muslimin untuk berjuang menegakkan Khilafah, sebagai model terbaik negara yang
menyejahterakan (a greatest
model for prosperous state). Khilafah memiliki mekanisme pengaturan berekonomi berdasarkan prinsip hukum Islam
yang terbukti dalam kurun 13 abad mampu mewujudkan kesejahteraan secara material. Hanya dengan tegaknya Khilafah, sistem kapitalisme-liberalisme dan demokrasi bisa
dicampakkan. Kesejahteraan hidup di bawah naungan Khilafah di akhir zaman diberitakan Rasulullaah saw: “Akan ada
pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan
tidak terhitung banyaknya.” (HR Muslim). Aamiin.
Wallaahu a’lam bish showab [].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar