Senin, 18 Juni 2012

Pertanian, Sumber Ekonomi yang Memakmurkan

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si



Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam melimpah, tanah yang subur, hutan yang luas dan hasil laut tiada banding. Sementara di dalam perut buminya terkandung barang tambang, minyak dan gas alam dalam jumlah besar. Namun menjadi sebuah ironi jika melihat keadaan penduduknya yang semakin miskin. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang. Menurut laporan Asia Development Bank (ADB) 25/08/2011, kemiskinan di Indonesia bertambah dibandingkan lima tahun lalu. Haruskah demikian yang terjadi?
Dalam konsep politik ekonomi dan kesejahteraan sebuah negara, pertanian dipandang sebagai salah satu sumber ekonomi primer, disamping perindustrian, perdagangan dan tenaga manusia (jasa) (Buku “Politik Ekonomi Islam”).  Sebagai negara agraris, pertanian merupakan salah satu potensi sumber daya Indonesia. Indonesia memiliki potensi ketersediaan lahan yang cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Data dari kajian akademis yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Kementerian Pertanian pada tahun 2006 memperlihatkan bahwa total luas daratan Indonesia adalah sebesar 192 juta ha, terbagi atas 123 juta ha (64,6%) merupakan kawasan budidaya dan 67 juta ha sisanya (35,4%) merupakan kawasan lindung. Dari total luas kawasan budidaya, yang berpotensi untuk areal pertanian seluas 101 juta ha, meliputi lahan basah seluas 25,6 juta ha, lahan kering tanaman semusim 25,3 juta ha dan lahan kering tanaman tahunan 50,9 juta ha. Sampai saat ini, dari areal yang berpotensi untuk pertanian tersebut, yang sudah dibudidayakan menjadi areal pertanian sebesar 47 juta ha, sehingga masih tersisa 54 juta ha yang berpotensi untuk perluasan areal pertanian (okemms.blogspot.com/potensi-pertanian-indonesia, 19/06/2011)
Apa mau dikata, sebagaimana dilansir oleh medanbisnisdaily.com (05/04/2012), selama ini sektor pertanian sudah terlupakan. Padahal, sektor ini menjadi penyelamat pada saat krisis ekonomi tahun 1998 lalu. Belum lagi dengan pernyataan Direktur Analisis dan Perkembangan Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suharyanto, yang mengatakan jumlah kemiskinan terbesar sebanyak 72% berasal dari masyarakat yang hidup dari sektor pertanian. Pendapatan mereka rata-rata masih sangat rendah dan cenderung stagnan. Kecuk menambahkan bahwa salah satu karakteristik yang penting dari kemiskinan adalah mereka terbanyak tinggal di perdesaan. Selama ini tidak ada kebijakan penanggulangan khusus di pertanian. Upah buruh petani bahkan nyaris tidak bergerak dari Rp 37 ribu per hari, sekarang Rp 39 ribu per hari (www.rimanews.com, 03/09/2011). Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah bukan saja kurang memberdayakan petani tetapi juga terhadap sektor pertanian keseluruhan (Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI), 17/09/2009). Wajar, jika pada faktanya petani jauh dari sejahtera.
Kegagalan Indonesia menyejahterakan penduduknya adalah karena memilih sistem ekonomi kapitalisme, sebuah sistem yang telah usang dan gagal menyejahterakan penduduk dunia, sekalipun di pusat kapitalisme sendiri, Amerika Serikat. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(TQS al-Rum [30]: 41).
Konsep politik ekonomi Islam memandang bahwa asas pertanian adalah tanah. Sebab, jika tanah tidak ada, maka tenaga manusia, skill dan alat secara mutlak tidak akan mampu menghasilkan produksi pertanian; sedangkan tanah dalam kondisi apapun tetap berproduksi. Maka jelas, metode penguasaan (kepemilikan) dan pengelolaan tanah akan menentukan arah produksinya. Untuk itu, tanah harus memiliki hukum tersendiri yang berbeda dengan harta benda lain, yaitu hukum yang menilai tujuan keberadaan tanah telah tercapai jika terdapat produksi. Artinya, kepemilikan tetap ada jika produksi ada, dan hak kepemilikan akan hilang jika produksi tidak terealisasi. Hal ini terlepas apakah tanah itu luas atau sempit, dan apakah kepemilikan tanah di antara manusia itu sama atau berbeda (Buku “Politik Ekonomi Islam”).
Pada dasarnya, politik pertanian dijalankan untuk meningkatkan produksi pertanian. Untuk itu, dapat dilakukan dua langkah: pertama, intensifikasi, yaitu melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produksi tanah. Negara pun memberikan modal bagi petani yang tidak mampu sebagai hibah, bukan kredit, apalagi utang. Kedua, ekstensifikasi, dengan menambah luas area lahan yang akan ditanami. Yaitu dengan cara menghidupkan tanah mati dan memagarinya, memberikan tanah secara gratis kepada rakyat yang mampu bertani namun tidak memiliki tanah, rakyat yang memiliki area tanah yang sempit, dan termasuk tanah yang di bawah kekuasaannya. Negara pun harus berlaku tegas dengan mengambil tanah dari rakyat yang telah menelantarkan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut (Buku “Politik Ekonomi Islam”).
Pertanian hanyalah salah satu aspek ekonomi, tidak dapat berdiri sendiri. Dalam meraih tujuan ekonomi, yaitu meningkatkan kemajuan materi, pertanian harus terkait dengan industri (industri penghasil mesin). Melakukan revolusi pertanian dan revolusi industri secara bersamaan dengan tetap menjadikan industri  sebagai ujung tombak kemajuan, akan tercapai jika terdapat hal yang saling berdekatan antara revolusi pertanian dan revolusi industri. Untuk itu, tidaklah boleh melakukan revolusi pertanian, memberikan tenaga dan membelanjakan harta, kecuali yang akan meningkatkan produksi kekayaan pertanian yang telah ada. Harta negara pada kondisi seperti itu lebih diperlukan untuk revolusi industri. Negara tidak selayaknya menginstruksikan pajak untuk membangun infrastruktur yang tidak terlalu diperlukan. Tidak selayaknya pula negara berutang, meski kepada rakyatnya sendiri untuk melaksanakan pembangunan di dalam negeri. Negara juga tidak perlu berutang kepada negara-negara kafir penjajah seperti yang dilakukan oleh rezim sekarang. Bahkan, dalam keadaan apa pun, utang luar negeri mutlak tidak boleh dilakukan. Sebab, utang seperti itu selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu. Riba jelas diharamkan, baik dari dan oleh seseorang maupun negara (Buku “Politik Ekonomi Islam”).
Dengan demikian, pertanian Indonesia sejatinya dapat berkontribusi besar bagi kemakmuran negara dan rakyatnya sesuai dengan potensinya. Bertolak dari itu semua, Hizbut Tahrir Indonesia kembali mengajak seluruh kaum Muslimin untuk berjuang menegakkan Khilafah, sebagai model terbaik negara yang menyejahterakan (a greatest model for prosperous state). Khilafah memiliki mekanisme pengaturan berekonomi berdasarkan prinsip hukum Islam yang terbukti dalam kurun 13 abad mampu mewujudkan kesejahteraan secara material. Hanya dengan tegaknya Khilafah, sistem kapitalisme-liberalisme dan demokrasi bisa dicampakkan. Kesejahteraan hidup di bawah naungan Khilafah di akhir zaman diberitakan Rasulullaah saw: Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya.” (HR Muslim). Aamiin.
Wallaahu a’lam bish showab [].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar