Pasca-Perang Hunain (8 H)
Pasca-perang Hunain, Rasulullaah saw memenuhi semua kebutuhan orang-orang mu’allaf. Di antaranya kepada orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap beliau di masa lalu yaitu Abu Sufyan dan anaknya, Mu’awiyah, Harits bin Harits, Harits bin Hisyam, Suhail bin ‘Amru, Huwaithib bin ‘Abdul ’Uzza, Hakim bin Hazam, al-’Alla bin Jariyah ats-Tsaqafi, ‘Uyainah bin Hashan, Aqra’ bin Habis, Malik bin ‘Auf an-Nashariy dan Shafwan bin Umayyah, berupa 100 ekor sebagai tambahan terhadap bagian mereka sekaligus untuk membujuk hati mereka. Setiap orang diberi 100 unta sebagai tambahan atas bagian mereka sendiri, sekaligus sebagai upaya melunakkan hati mereka. Beliau juga memberikan 50 ekor unta kepada orang-orang mu’allaf selain mereka sebagai tambahan.
Dalam pembagian ghanimah ini, beliau saw berada dalam puncak kedermawanan dan kemuliaan serta kearifan dan kegeniusan sikap politisnya.
Hanya saja, sebagian kaum Muslim belum menyadari hikmah beliau saw dengan cara pembagian dan pendistribusian ghanimah tersebut. Hal itu sempat membuat kaum Anshar saling membicarakan di antara sesama mereka tentang apa yang telah Rasulullah saw lakukan. Sebagian mereka berkata kepada sebagian lainnya: “Demi Allah, Rasulullah telah berpihak kepada kaumnya!” Perkataan itu berpengaruh pada jiwa mereka. Bahkan Sa’ad bin Ubadah pun ikut terlibat di dalamnya. Hanya saja, ucapan Sa’ad sampai kepada Nabi saw dan beliau saw bertanya kepadanya: “Dimanakah posisimu dalam hal ini, hai Sa’ad?!” Dia menjawab: “Wahai Rasulullah, aku bukan siapa-siapa melainkan bagian dari kaumku”. Dia bahkan mendukung perkataan kaumnya. Nabi saw berkata lagi kepadanya: “Kalau begitu, kumpulkan kaummu untukku di tempat penginapan unta!”.
Sa’ad kemudian mengumpulkan mereka, lalu Rasul saw berbicara kepada orang-orang yang tidak puas ini: “Wahai masyarakat Anshar, ucapan-ucapan kalian telah sampai kepadaku. Kalian telah menemukan hal yang baru dalam diri kalian karena aku. Bukankah aku telah mendatangi kalian yang saat itu dalam keadaan sesat, lalu Allah memberi kalian hidayah; dan dalam keadaan kekurangan, lalu Allah menjadikan kalian kaya; serta dalam keadaan saling bermusuhan, lalu Allah melunakkan di antara hati kalian”.
Mereka menjawab: “Memang benar, Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keamanan dan keutamaan.” Rasul saw berkata lagi: “Mengapa kalian tidak memenuhiku, hai orang-orang Anshar?!” Mereka menjawab: “Dengan apa kami harus memenuhimu, wahai Rasulullah? Padahal hanya milik Allah dan Rasul-Nya segala keamanan dan keutamaan”.
Rasul kemudian melanjutkan sabdanya: “Adapun demi Allah, seandainya kalian menghendaki, sungguh pasti kalian akan mengatakan dan membenarkan dengan sungguh-sungguh: Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu; dalam keadaan terlunta-lunta lalu kami menolongmu; dalam keadaan terusir lalu kami menolongmu; dan dalam keadaan kekurangan lalu kami memberi kecukupan kepadamu. Hai kaum Anshar, apakah kalian menemukan dalam diri kalian kecenderungan pada dunia, padahal aku telah melunakkan suatu kaum agar mereka masuk Islam. Sedangkan kepada kalian aku telah mewakilkan keIslaman kalian. Apakah kalian tidak ridha wahai masyarakat Anshar terhadap orang-orang yang pergi dengan kambing-kambing dan unta-unta lalu mereka kembali bersama Rasulullah ke tempat tinggal kalian? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah, pasti aku menjadi salah seorang di antara kaum Anshar. Seandainya orang-orang berjalan ke suatu bukit dan orang-orang Anshar ke bukit yang lain, pasti aku berjalan di bukit kaum Anshar. Ya Allah, sayangilah kaum Anshar juga anak-anak dan cucu-cucu mereka”.
Belum selesai ucapan Rasul tersebut, kaum Anshar menangis sejadi-jadinya hingga air mata mereka membasahi janggut-janggut mereka dan berkata: “Kami ridha dengan Rasul sebagai bagian (kami),”. Kemudian mereka kembali ke tempat tinggalnya.
Pasca-perang Hunain, Rasulullaah saw memenuhi semua kebutuhan orang-orang mu’allaf. Di antaranya kepada orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap beliau di masa lalu yaitu Abu Sufyan dan anaknya, Mu’awiyah, Harits bin Harits, Harits bin Hisyam, Suhail bin ‘Amru, Huwaithib bin ‘Abdul ’Uzza, Hakim bin Hazam, al-’Alla bin Jariyah ats-Tsaqafi, ‘Uyainah bin Hashan, Aqra’ bin Habis, Malik bin ‘Auf an-Nashariy dan Shafwan bin Umayyah, berupa 100 ekor sebagai tambahan terhadap bagian mereka sekaligus untuk membujuk hati mereka. Setiap orang diberi 100 unta sebagai tambahan atas bagian mereka sendiri, sekaligus sebagai upaya melunakkan hati mereka. Beliau juga memberikan 50 ekor unta kepada orang-orang mu’allaf selain mereka sebagai tambahan.
Dalam pembagian ghanimah ini, beliau saw berada dalam puncak kedermawanan dan kemuliaan serta kearifan dan kegeniusan sikap politisnya.
Hanya saja, sebagian kaum Muslim belum menyadari hikmah beliau saw dengan cara pembagian dan pendistribusian ghanimah tersebut. Hal itu sempat membuat kaum Anshar saling membicarakan di antara sesama mereka tentang apa yang telah Rasulullah saw lakukan. Sebagian mereka berkata kepada sebagian lainnya: “Demi Allah, Rasulullah telah berpihak kepada kaumnya!” Perkataan itu berpengaruh pada jiwa mereka. Bahkan Sa’ad bin Ubadah pun ikut terlibat di dalamnya. Hanya saja, ucapan Sa’ad sampai kepada Nabi saw dan beliau saw bertanya kepadanya: “Dimanakah posisimu dalam hal ini, hai Sa’ad?!” Dia menjawab: “Wahai Rasulullah, aku bukan siapa-siapa melainkan bagian dari kaumku”. Dia bahkan mendukung perkataan kaumnya. Nabi saw berkata lagi kepadanya: “Kalau begitu, kumpulkan kaummu untukku di tempat penginapan unta!”.
Sa’ad kemudian mengumpulkan mereka, lalu Rasul saw berbicara kepada orang-orang yang tidak puas ini: “Wahai masyarakat Anshar, ucapan-ucapan kalian telah sampai kepadaku. Kalian telah menemukan hal yang baru dalam diri kalian karena aku. Bukankah aku telah mendatangi kalian yang saat itu dalam keadaan sesat, lalu Allah memberi kalian hidayah; dan dalam keadaan kekurangan, lalu Allah menjadikan kalian kaya; serta dalam keadaan saling bermusuhan, lalu Allah melunakkan di antara hati kalian”.
Mereka menjawab: “Memang benar, Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keamanan dan keutamaan.” Rasul saw berkata lagi: “Mengapa kalian tidak memenuhiku, hai orang-orang Anshar?!” Mereka menjawab: “Dengan apa kami harus memenuhimu, wahai Rasulullah? Padahal hanya milik Allah dan Rasul-Nya segala keamanan dan keutamaan”.
Rasul kemudian melanjutkan sabdanya: “Adapun demi Allah, seandainya kalian menghendaki, sungguh pasti kalian akan mengatakan dan membenarkan dengan sungguh-sungguh: Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu; dalam keadaan terlunta-lunta lalu kami menolongmu; dalam keadaan terusir lalu kami menolongmu; dan dalam keadaan kekurangan lalu kami memberi kecukupan kepadamu. Hai kaum Anshar, apakah kalian menemukan dalam diri kalian kecenderungan pada dunia, padahal aku telah melunakkan suatu kaum agar mereka masuk Islam. Sedangkan kepada kalian aku telah mewakilkan keIslaman kalian. Apakah kalian tidak ridha wahai masyarakat Anshar terhadap orang-orang yang pergi dengan kambing-kambing dan unta-unta lalu mereka kembali bersama Rasulullah ke tempat tinggal kalian? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah, pasti aku menjadi salah seorang di antara kaum Anshar. Seandainya orang-orang berjalan ke suatu bukit dan orang-orang Anshar ke bukit yang lain, pasti aku berjalan di bukit kaum Anshar. Ya Allah, sayangilah kaum Anshar juga anak-anak dan cucu-cucu mereka”.
Belum selesai ucapan Rasul tersebut, kaum Anshar menangis sejadi-jadinya hingga air mata mereka membasahi janggut-janggut mereka dan berkata: “Kami ridha dengan Rasul sebagai bagian (kami),”. Kemudian mereka kembali ke tempat tinggalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar