Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Menuju Kampus Idaman
Diskusi
seputar kualitas perguruan tinggi tidak hanya menarik di setiap tahun ajaran
baru. Indonesia, dengan rasio sarjana ke jumlah penduduk sebesar 6%, menjadikan
sarjana masih merupakan cita-cita banyak orang. Disamping itu, sarjana juga
salah satu cara naik ke jenjang sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Namun
tentu saja cita-cita itu hanya akan terwujud jika perguruan tinggi yang
memberikan gelar sarjana adalah perguruan tinggi yang bermutu. Karena itu,
informasi tentang kualitas perguruan tinggi menjadi sangat penting (TSQ Stories Jilid 2 2011).
Ya,
berdasarkan
hasil rapat Pengurus Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia di
Jakarta pada tanggal 14 Oktober 2011, para Rektor Perguruan Tinggi Negeri di
bawah koordinasi Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan
Nasional menyelenggarakan seleksi calon mahasiswa baru secara nasional dalam
bentuk Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). SNMPTN 2012
merupakan satu-satunya pola seleksi yang dilaksanakan secara bersama oleh
seluruh Perguruan Tinggi Negeri dalam satu sistem yang terpadu dan
diselenggarakan secara serentak. SNMPTN 2012 dilaksanakan melalui (1) jalur
undangan berdasarkan
penjaringan prestasi akademik, dan (2) jalur ujian tertulis. Dan khusus untuk program studi Ilmu Seni dan Keolahragaan, para pesertanya akan melaksanakan ujian
keterampilan. Sejalan dengan program Pemerintah tentang Bidikmisi, bagi
calon yang dinyatakan diterima melalui masing-masing jalur seleksi dapat
mengajukan permohonan memperoleh beasiswa Bidikmisi sehingga mendukung
keberlanjutan studinya (www.snmptn.ac.id).
Pada
SNMPTN 2012 ini, ada sekitar 120 ribu kursi
yang dialokasikan oleh 61 PTN di seluruh Indonesia. Hal tersebut diungkapkan
oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Djoko Santoso dalam
konferensi pers Panduan Peserta untuk Pendaftaran SNMPTN 2012 jalur tertulis
yang berlangsung di Gedung D Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Djoko menyatakan bahwa terjadi kenaikan
kuota penerimaan mahasiswa baru melalui jalur tertulis SNMPTN 2012 dibandingkan
SNMPTN 2011. Kenaikan tersebut disebabkan beberapa alasan yaitu ikut
bergabungnya dua perguruan tinggi negeri baru (Universitas Maritim Raja Ali
Haji dan Universitas Musamus) dalam SNMPTN 2012 dan pembukaan program studi
baru di beberapa PTN (www.dikti.go.id).
Pada kesempatan yang sama, Ketua Panitia Pusat SNMPTN, Akhmaloka, mengajak semua calon mahasiswa untuk
mulai mendaftar SNMPTN secara online.
Pada Kamis (10/5) pukul 00.00 WIB, sistem pendaftaran SNMPTN 2012 secara online
mulai dibuka. Calon peserta SNMPTN 2012 baru bisa mendaftar pada Kamis
pukul 08.00. Pendafataran akan dibuka hingga 31 Mei 2012 pukul 22.00 WIB. Akhmaloka juga menegaskan, calon
mahasiswa berprestasi dari keluarga ekonomi kurang mampu jangan takut masuk
PTN. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melalui Ditjen
Pendidikan Tinggi tahun ini mengalokasikan bantuan biaya pendidikan
Bidikmisi bagi tiga puluh ribu calon mahasiswa baru yang tersebar
diseluruh PTN dibawah koordinasi Kemdikbud (www.dikti.go.id).
Perguruan Tinggi Kelas Dunia
Tak
dipungkiri, arus globalisasi kian menderas di semua bidang, tak
terkecuali dalam bidang pendidikan. Sejalan dengan itu dan terlepas dari proses ujian negara sebagaimana
SNMPTN,
tak menghalangi perguruan
tinggi-perguruan tinggi di Indonesia berlomba
untuk mendapatkan predikat World Class
University (WCU). Sebuah predikat yang terdengar sangat prestigious.
Tak hanya perguruan tinggi yang sibuk meraih predikat WCU, para mahasiswa dan
calon mahasiswa pun berlomba untuk dapat mengenyam pendidikan di perguruan
tinggi berpredikat WCU. Siapa yang tidak bangga menjadi bagian dari perguruan
tinggi berkelas dunia yang kualitasnya diakui di seluruh dunia?
Namun sayangnya, dari 500 perguruan tinggi
yang dinilai sebagai perguruan tinggi terbaik di dunia, mayoritas berada di
negara-negara Barat. Sedangkan di Indonesia hanya ada 4 perguruan tinggi yang
masuk dalam Top 500 perguruan tinggi dunia versi QS World University Rankings 2010. Keempat perguruan tinggi
tersebut adalah UI (peringkat 236), UGM (peringkat 321), ITB (peringkat
401-450) dan Unair (peringkat 450-500). Ranking tersebut berdasarkan atas
survey yang dilakukan oleh Quacquarelli
Symonds Ltd.
Perguruan
tinggi yang bermutu biasanya diserbu peminat, termasuk dari mancanegara. Wajar,
jika akhirnya rasio kapasitas antara peminat domestik dan mancanegara sering
menjadi aspek yang dinilai dalam pemeringkatan perguruan tinggi.
Lembaga-lembaga penilai (surveyor) selain Quacquarelli
Symonds Ltd misalnya Academic Ranking of
World Universities (ARWU), Times
Higher Education (THES), atau Webometrics.
Aspek
yang juga dinilai oleh lembaga-lembaga tersebut antara lain adalah jumlah paper
internasional yang dihasilkan, penyerapan di dunia kerja, serta kualitas sarana
dan prasarana pendidikan, seperti jumlah dan kualitas dosen, perpustakaan,
laboratorium hingga sarana informasi dan akses internet. Para pemeringkat itu
kemudian membuat ranking perguruan
tinggi di seluruh dunia. Jika demikian aspek penilaiannya, maka terang saja
mayoritas 100 atau 500 perguruan tinggi top dunia pun berada di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang atau Australia. Hanya sebagian
kecil yang berasal dari negara-negara Asia, seperti Singapura, Cina, Korea,
India atau Malaysia (TSQ Stories Jilid 2
2011).
WCU, ‘Saudara Kembar’ BHMN
Fenomena WCU harus dipandang dari berbagai
sisi. Semangat untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi memang perlu
diapresiasi, bahkan didukung. Tidak ada yang salah dengan perjuangan memajukan
mutu pendidikan. Bekerja keras dalam penelitian dan menghasilkan banyak
publikasi ilmiah internasional merupakan hal yang memang diperlukan. Membangun
citra yang baik bagi institusi perguruan tinggi di mata masyarakat
internasional pun bukan hal yang salah.
Namun di sisi lain, di tengah arus kapitalisme
dan liberalisme, institusi pendidikan terpaksa harus berjuang sendiri untuk
menyejajarkan diri dengan institusi pendidikan berkelas dunia dan meraih
predikat sebagai WCU. Apalagi berdasarkan General
Agreement on Tariff and Services (GATS), pendidikan merupakan salah satu dari 12
sektor jasa yang harus diliberalisasi. Hal ini karena dalam pandangan ala kapitalisme, seperti yang diungkapkan Prof.Dr.Sofian Effendi, pendidikan merupakan salah satu industri
sektor tersier yang komoditasnya adalah jasa transformasi orang yang tidak
berpengetahuan dan tidak berketerampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan
berketerampilan. Dengan cara pandang demikian, maka penyelenggaraan pendidikan
tak ubahnya seperti industri pada umumnya yang sangat bergantung pada kemauan
pasar dan berorientasi profit. Bahkan dengan spirit GATS itu pula pemerintah
memasukkan pendidikan sebagai salah satu bidang usaha yang terbuka untuk
penanaman modal asing dengan penyertaan modal maksimum 49% dalam Perpres No
77/2007 yang kemudian diperbarui menjadi Perpres no.111/2007. Akibatnya tak hanya tarafnya yang katanya
mendunia, bahkan tarif perguruan tinggi yang bersangkutan pun melangit.
WCU
yang ternyata ‘saudara kembar’ bagi
BHMN, adalah topeng manis bagi sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Perubahan
status
beberapa perguruan tinggi seperti UI, UGM, ITB, IPB, dll menjadi BHMN, telah memperlihatkan bahwa pemerintah berlepas tangan untuk mengurusi secara optimal sektor pendidikan tinggi
ini. Akibatnya perguruan tinggi berusaha membiayai sebagian
kebutuhannya sendiri. Berdasarkan
hal tersebut, maka wajar jika muncul kekhawatiran bahwa para pemodal asing
dapat menjual ideologi, pandangan hidup (worldview),
dan nilai-nilai
(values) serta memasarkan standar
moral yang dianutnya melalui pendidikan yang mungkin saja tidak sejalan dengan
karakter dan nilai-nilai
yang selama ini dianut bangsa ini. Transfer
of values ini bisa dilakukan secara langsung atau tersamar melalui lembaga
pendidikan.
Selain itu, beberapa kriteria WCU seperti
banyaknya publikasi internasional, kelas internasional, proporsi mahasiswa
asing, serta program dual degree
menunjukkan betapa terbukanya perguruan tinggi terhadap asing. Disamping itu, kampus juga pencetak SDM unggul dan pandai sebagai output-nya.
Yang mana, mereka juga pencetus konsep dan arahan strategis untuk mengatur
masyarakat. Hal ini tentu
merupakan potensi yang meniscayakan makin banyaknya pihak yang mampu mengakses SDM tersebut hingga dapat mempengaruhi
arah kebijakan kampus sesuai dengan kepentingannya. Hal ini juga akan membuka peluang
bagi mahasiswa dan intelektual negara maju untuk bisa masuk dan mempelajari
kondisi sosial-politik negeri ini. Ditambah dengan luasnya kerja
sama internasional, berbagai
penelitian strategis akan makin
mudah didapatkan oleh para pemodal hanya dengan biaya yang relatif kecil
dibandingkan dengan keuntungan yang akan mereka raih. Hanya dengan memberikan
dana penelitian sekadarnya kepada civitas akademika, para pemodal akan dapat secara leluasa
mengakses hasil penelitian tersebut.
Yang
tak kalah empuk, parameter WCU selanjutnya adalah kemampuan
lulusan untuk bersaing dan terserap dalam bursa tenaga kerja global, sehingga memuluskan agenda kapitalisme untuk mendapatkan tenaga
kerja yang relatif murah namun tetap qualified. Tentu saja hal ini sangat bermanfaat
untuk mengokohkan cengkeraman penjajahan atas negeri ini. Jadi bukan tidak mungkin, dalam
nuansa kapitalisme
seperti ini, siapa lagi yang paling diuntungkan dengan keterbukaan ini selain
para pemodal kelas dunia?
Comprehensive Partnership
AS-Indonesia, Induk WCU
Sementara itu, mari kita tengok ke dalam kampus dalam negeri berlabel WCU.
Seperti apa bentuk pertanggungjawaban disiplin ilmu itu? Sejatinya, kampus
sebagai tempat mencetak generasi unggul.
Keunggulan itu sendiri hanya akan terwujud dengan konsep ilmu lil ‘amal. Hanya saja,
dunia kampus mengkondisikan ilmu para alumninya ini terabdikan secara ‘sempurna’, di mana seluruh potensi, energi dan
pemikirannya diperas habis hanya untuk memperoleh sejumlah uang lelah.
Tanpa mampu berpikir lagi, intelektual kampus terbingungkan tentang sejatinya
ke mana arah konsep ilmu lil ‘amal
tersebut? Kondisi itu telah sangat menjelaskan bahwa ilmunya tidak untuk
kemashlahatan umat sebagai objek yang diurus oleh negara, dimana intelektual
sebagai pihak atau staf ahli yang pasti menjadi rujukan. Akan tetapi, yang terjadi, pemanfaatan
ilmu itu hanya untuk kemashlahatan sejumlah pemilik kapital yang akan
menggajinya dengan berwajah ‘manis’, antara lain melalui maraknya tawaran proyek penelitian. Jadi terbukti, pengarusutamaan WCU saat ini juga
merupakan hasil pemantapan Comprehensive
Partnership AS-Indonesia sejak 2010.
Walhasil, sejatinya trend WCU saat ini
cenderung menguntungkan para kapitalis
dari negara maju. Faktanya, negara-negara berkembang seperti
Indonesia selalu berada pada posisi sebagai sasaran strategis dari kaum kapitalis
tersebut. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka meski puluhan kampus di
Indonesia sudah bertaraf internasional, tidak akan menjamin bahwa hal tersebut
akan berkorelasi posistif pada penyelesaian permasalahan bangsa yang
sesungguhnya karena kampus tersebut berada pada pusaran kepentingan kaum kapitalis
global.
Tak
dipungkiri, pada akhirnya sistem pendidikan di Indonesia dengan WCU saat ini
justru mengarah pada pengopinian ketidakpentingan tujuan pendidikan nasional
itu sendiri. Dengan kata lain, sistem pendidikan Indonesia makin miskin visi.
Status WCU tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan yang
diberikan serta kualitas SDM yang diharapkan, yaitu sebagai problem solver bagi bangsa. Para peserta
didik hanya diberikan pilihan “now and
here” untuk setiap kiprah dalam sistem pembelajaran. Hal ini tentu saja
membentuk mental mereka sebagai tenaga teknis alias pekerja (baca: budak),
bukan pemimpin.
Ganti Paradigma WCU
Paradigma
WCU harus didefinisikan dengan tepat karena WCU memuat label tingkat
internasional. Perguruan tinggi dengan level
internasional dalam masa kegemilangan Islam adalah institusi dan pusat-pusat
pendidikan yang tidak hanya memintarkan peserta didik. Masa dan sistem
pendidikan juga menjadikan mereka berkepribadian tinggi karena dalam sistem
pembelajarannya mereka sungguh-sungguh dipandang sebagai manusia, bukan budak.
Menuntut
ilmu merupakan bagian dari aktivitas ibadah, sebagaimana firman Allah Swt dalam
QS. Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Menuntut
ilmu harus senantiasa dikaitkan dengan posisi manusia sebagai makhluk Allah
Swt. Kegemilangan sejarah peradaban
Islam bukan isapan jempol masa lalu semata, akan tetapi atas izin Allah Swt,
kegemilangan itu akan hadir kembali di depan kita.
Dalam Islam, kerjasama dalam
bidang pendidikan tidak semuanya diharamkan, termasuk dengan negara kafir.
Hanya saja, jenis kerjasama itu harus berdasarkan interpendensi simetris, bukan interpendensi
asimetris. Artinya, kerjasama bilateral, termasuk dalam bidang pendidikan,
hanya dapat dilaksanakan ketika posisi kedua negara se-level, bukan seperti posisi majikan dan buruh. Dalam hal ini, AS
sendiri sudah jelas sebagai negara kafir
harbi fi’lan. Implikasinya, Comprehensive Partnership AS-Indonesia tidak lain hanya akan semakin memperkuat
cengkeraman AS di Indonesia, khususnya dalam proses Amerikanisasi kaum
terpelajar Indonesia. Hal ini jelas karena posisi Indonesia saat ini tidak se-level dengan AS. Bagaimanapun, posisi
Indonesia masih lebih rendah daripada AS. Dengan kata lain, ini adalah
penjajahan tingkat paling halus dan berbahaya. Oleh karena itu, Comprehensive Partnership AS-Indonesia
adalah sebuah kerjasama yang diharamkan.
Islam Subur dengan WCU
Perlu
diketahui, istilah ‘college’ yang
lazim dipakai di Amerika, sejatinya diambil dari istilah Arab ‘kulliyat’, yang artinya merujuk pada
sesuatu yang urgen dan harus dimengerti secara keseluruhan. Jika memang
demikian, perlu diketahui juga, bagaimana seandainya pemeringkatan WCU itu
dilakukan seribu tahun yang lalu? Maka perguruan tinggi top dunia saat itu
justru berada di Gundishapur, Baghdad, Kuffah, Isfahan, Cordoba, Alexandria,
Kairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya (TSQ Stories Jilid 2 2011).
Dari
sekian universitas di Dunia Islam itu, dua universitas tertua dan hingga masih
ada adalah Universitas Al-Qairawan di kota Fez, Maroko, dan Universitas
Al-Azhar di Kairo, Mesir. Dan yang mungkin kini tak banyak diketahui,
Universitas Fez juga berjasa mencetak banyak intelektual Barat seperti
Silvester II, yang menjadi Paus di Vatikan tahun 999-1003 M, dan memperkenalkan
angka Arab di Eropa (TSQ Stories Jilid 2
2011).
Perguruan
tinggi di luar wilayah Daulah Khilafah Islamiyyah paling-paling hanya ada di
Konstantinopel yang saat itu masih menjadi ibukota Romawi Byzantium, atau di
Kaifeng (ibukota Cina saat itu) dan Nalanda (India). Selain itu, termasuk di
Eropa Barat, seribu tahun yang lalu belum ada perguruan tinggi. Di Amerika
Serikat, apa lagi. Benua Amerika bahkan baru ditemukan tahun 1492. Di Yunani
pada tahun 387 SM pernah didirikan universitas oleh Plato. Namun pada awal
millenium pertama, universitas ini tinggal sejarah. Berikutnya adalah
universitas di Konstantinopel yang berdiri tahun 849 M, meniru universitas di
Baghdad dan Cordoba. Universitas tertua di Italia adalah Universitas Bologna
yang berdiri tahun 1088 M. Universitas Paris dan Oxford berdiri abad ke-11
hingga 12 M, dan hingga abad ke-16 buku-buku referensinya masih diimpor dari
Dunia Islam. Yang juga menarik, pada masa Kekhilafahan Utsmaniyyah, Universitas
Al-Azhar mampu mandiri, lepas dari subsidi negara karena besarnya dana wakaf
dari masyarakat. Wakafnya pun tak main-main. Ada wakaf berupa kebun, jaringan supermarket,
hingga armada taksi (TSQ Stories Jilid 2
2011). Tentunya WCU semacam inilah yang layak menjadi kampus idaman.
Khilafah, Menjamin Penyelenggaraan Pendidikan
Khilafah, sebagai model terbaik negara yang
menyejahterakan (a greatest model for prosperous state), memiliki mekanisme pengaturan berekonomi
berdasarkan prinsip hukum Islam yang terbukti dalam kurun 13 abad mampu mewujudkan kesejahteraan secara material, termasuk dalam bidang pendidikan. Ini karena sistem ekonomi Islam bukan
hanya sekedar pembiayaan. Ekonomi Islam bukan hanya sekedar perbankan syariah, asuransi syariah,
pegadaian syariah, dan semacamnya. Sistem ekonomi Islam adalah sistem yang terintegrasi, dengan beragam aspek
perekonomian Islam yang saling berhubungan di dalamnya. Sistem
keuangan Islam menyediakan pemenuhan kebutuhan pendidikan sebagai salah satu
kebutuhan massal. Baitul maal sebagai
sistem anggaran negara
mengalokasikan pendanaan yang besar untuk berbagai sarana dan pra sarana
pendidikan, sehingga
tersedia pemenuhan kebutuhan pendidikan gratis dan berkualitas (Makalah Orasi
KIMB 2012). Jadi jelas, menjadi WCU alias kampus taraf mendunia toh bukan
legalisasi untuk tarif melangit.
Karena
itu, jika ingin menjadi WCU, sudah selayaknya kita tidak perlu terikut pada
standar yang ditetapkan Barat. Islam telah memiliki standar sendiri tentang
kualitas manusia yang ingin dicetak oleh sebuah perguruan tinggi. Mereka tidak perlu
kaya untuk menjadi pandai. Namun mereka akan menjadi output yang tidak hanya harus mumpuni secara intelektual tapi juga
memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, keshalihan sosial, ketelitian visi
politik, keberanian dalam ‘amar ma’ruf
nahyi mungkar, serta siap mati syahid dalam jihad fii sabilillaah (TSQ Stories
Jilid 2 2011). Inilah yang disebut oleh para ulama, “Orang Barat
bisa maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan kaum Muslimin hanya akan maju
jika ia mendalami agamanya.” Subhanallaah.
Dengan demikian, betapa urgen
peran negara dalam menyelenggarakan pendidikan bagi warganya. Pendidikan yang
dipandang sebagai hak setiap warga negara, bukan komoditi di mana hanya orang
berpunya yang dapat menjangkaunya. Meski demikian, Daulah Khilafah Islamiyyah
sebagai negara penerap syariat Islam, juga tidak menyepelekan kualitas output para sarjananya. Karena kualitas
SDM ini merupakan tulang punggung pembangun peradaban, dalam rangka manifestasi
firman Allah Swt: “Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (TQS ‘Ali Imron [3]: 110).
Wallaahu a’lam bish showab [].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar