Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Muqodimah
Permusuhan Barat yang merepresentasikan 
peradaban Yahudi, Nasrani, komunis dan paganis terhadap Dunia Islam 
tidak pernah surut. Justru semakin hari semakin bertambah tebal, kuat 
dan ganas. Apa yang saat ini mereka sebut sebagai “Perang Melawan 
Terorisme Global”, juga invasi militer ke Afghanistan dan Irak, hanya 
semakin menguatkan kebenaran dan kepastian realita ‘benturan antara 
kebenaran dan kebathilan’ yang telah ditegaskan oleh Al-Quran dan 
As-Sunnah. Hal ini sejalan dengan pandangan Bernard Lewis dan Samuel 
Huntington , bahwa setelah Komunisme runtuh, musuh Barat berikutnya 
adalah Islam. Perbedaan yang mendasar antara ideologi, sejarah dan 
karakteristik peradaban Islam dengan Barat, merupakan penyebab utama 
ditempatkannya Islam sebagai ‘musuh’ bagi peradaban Barat. Oleh karena 
itu, perang melawan Islam dan kaum Muslimin telah dikemas secara 
sistematis dan terorganisir, sebagaimana yang telah dicanangkan oleh AS 
dan diamini oleh 95% negara anggota PBB, tak terkecuali sebagian besar 
negara berpenduduk mayoritas muslim. Sementara itu, umat Islam yang 
ingin hidup berdasar Al-Quran dan As-Sunnah, diberi stempel 
‘fundamentalis Islam’ ataupun ‘teroris Islam’ yang harus diburu dan 
dimusnahkan (Buku “Menanti Kehancuran Amerika dan Eropa”).
Terkait
 isu terkini, negara-negara Barat belum lama ini mengumumkan sanksi baru
 terhadap Iran setelah PBB mengeluarkan laporan bahwa Iran melakukan uji
 coba pengembangan peralatan nuklir (Liputan 6.com). Berita yang 
belakangan berkembang, USS John C. Stennis, salah satu kapal induk 
terbesar milik AS, memang bergerak ke timur dari Teluk Oman dan melewati
 Selat Hormuz. Departemen Pertahanan AS mengatakan USS John C. Stennis 
melewati rute rutin untuk mendukung operasi NATO di Afghanistan. 
Perkembangan ini terjadi ketika Barat menambah tekanan kepada Teheran 
agar menghentikan program nuklir (Militerania). Barat tengah 
mempertimbangkan sanksi dengan sasaran sektor keuangan dan minyak Iran 
setelah muncul laporan PBB (Liputan 6.com). Presiden Barack Obama pun 
bereaksi dengan menandatangani undang-undang tentang sanksi ekonomi 
terhadap Iran. Secara khusus UU ini mengatur sanksi kepada bank sentral 
Iran, yang selama ini menangani penjualan minyak ke luar negeri 
(Militerania).
Sejumlah Sepak Terjang AS
Dengan
 mengangkat isu HAM dan demokrasi, dan terakhir isu perang melawan 
terorisme, AS sedemikian gencar melakukan intervensi, ekspansi pengaruh 
hingga invasi militer ke negara-negara tak berdaya semisal Afghanistan 
dan Irak (Buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika”), hingga pada faktanya, 
Afghanistan dan Irak menjadi korban pertama umat Islam bagi kebrutalan 
Barat (Buku “Menanti Kehancuran Amerika dan Eropa”). Imperium AS yang 
dibangun di atas kekuasaan imperialisme modern dan kapitalisme tak kenal
 batas itu, justru makin menjelaskan bahwa sepak terjangnya telah 
menyengsarakan masyarakat internasional. Dunia yang telah dibuatnya 
bertekuk lutut, dikiranya aman dari perlawanan. Sejumlah negara kompak 
melakukan perlawanan, meski terus ditekan dan diancam oleh AS. Embargo 
dan sanksi ekonomi yang dijatuhkan pun tak mematahkan semangat 
perlawanan mereka. Hal ini bermula dari kawasan Amerika Latin, hingga 
beralih ke Timur Tengah sejak tampilnya presiden Iran, Mahmoud 
Ahmadinejad. Perlawanan Ahmadinejad ini pun dilandasi kesadaran luhurnya
 penghormatan atas hak dan harga diri Iran sebagai negara berdaulat dan 
rasa tanggung jawab untuk menciptakan perdamaian dunia berdasarkan 
perikeadilan dan perikemanusiaan yang beradab. Itulah sebabnya, Iran 
tampil sangat berani menangkis dan melawan setiap perlakuan yang 
sewenang-wenang, termasuk melawan kehendak AS agar Iran menutup 
instalasi nuklirnya. AS pun tampak sangat geram sehingga menarik peran 
DK-PBB dan mengancam akan melancarkan serbuan militer.
Bersamaan
 dengan hal itu, kekuatan-kekuatan besar dunia lainnya, seperti Uni 
Eropa, Cina, Rusia dan Jepang pun semakin tumbuh dan berkembang, yang 
percepatan pertumbuhan dan perkembangan ekonominya jauh melampaui yang 
bisa dicapai AS. Keempat kekuasaan besar dunia ini tampaknya juga sudah 
merasakan betapa gerahnya dunia yang dipenuhi oleh unilateralisme 
adidaya tunggal, AS. Sementara itu, Dunia Islam yang kini masih pingsan 
sesungguhnya juga telah mulai merasakan bahwa dunia kini membutuhkan 
suatu keseimbangan kekuatan untuk mengendalikan perdamaian dan 
ketertiban serta memajukan kesejahteraan dunia. Dengan demikian, fron 
permusuhan AS mencakup Amerika Latin, Timur Tengah dan belahan dunia 
lainnya, serta fron persaingan AS meliputi Uni Eropa, Rusia dan Cina.
Negara-negara
 yang dahulu bersedia membantu serangan AS ke Irak kini semakin menjaga 
jarak dengan AS. Inggris dan Jepang, misalnya, sekarang telah berubah 
sikap dengan tak bersedia diajak AS untuk bersama-sama melibas kegiatan 
nuklir Iran atau rencana agresi militer ke Iran. AS kini tampak seperti 
‘kedodoran’ atau ‘kewalahan’. Apalagi kondisi dalam negeri AS sendiri 
juga sedang menghadapi berbagai persoalan cukup berat, mulai dari 
defisit anggaran yang kronis hingga taruhan untuk terus bertahan. Semua 
ini membuat hegemoni AS di pentas dunia sangat terancam. Sebagian 
pengamat, peneliti dan pakar politik hubungan internasional mengatakan 
bahwa AS kini sedang menyongsong masa keruntuhan (Buku “Di Ambang 
Keruntuhan Amerika”).
AS versus Iran
Kendati
 Iran tak mengembangkan teknologi nuklir untuk pembuatan senjata – dan 
ini pun sudah dibuktikan melalui inspeksi IAEA – AS dan dunia Barat 
melalui DK-PBB bersikukuh hendak menjatuhkan sanksi kepada Iran. 
Sejumlah opsi sanksi itu mencakup sekurang-kurangnya sanksi perdagangan 
seperti sebelumnya, atau sanksi perdagangan yang diperluas, atau sanksi 
isolasi internasional, atau memberi mandat kepada AS untuk melakukan 
tindakan militer. Apakah sanksi-sanksi tersebut ampuh dan mampu mengubah
 niat Iran? Menurut Ali Pahlevani Rad (Staf Bagian Pers dan Media, 
Kedubes Iran di Indonesia), jelas sekali bahwa sanksi dari Barat ini 
tidak akan berpengaruh terhadap Iran karena dua hal. Pertama, teknologi 
nuklir Iran sudah dikuasai oleh ilmuwan Iran sendiri maka dengan tidak 
ada bantuan dari negara lain pun Iran mampu menjalankan dan melanjutkan 
program nuklirnya untuk tujuan damai. Kedua, jika Iran ingin menyerah 
akibat tekanan Barat khususnya AS, pasti sudah menyerah dari puluhan 
tahun yang lalu. AS dan sekutunya juga harus tahu bahwa ini adalah abad 
XXI, ketika sebuah negara tidak bisa lagi mendikte negara-negara lain.
Akan
 halnya dengan ancaman serangan militer AS, hal itu lebih merupakan 
gertak sambal belaka. Buktinya, selama ini AS sudah kerap kali mengancam
 akan melancarkan serangan militer terhadap Korea Utara dan Kuba, 
ternyata tak pernah diwujudkan. AS hanya berani menyerang Afghanistan 
karena negara itu sedang tercabik-cabik perang saudara yang 
berkepanjangan. AS juga menyerang Irak karena Irak adalah negara kalah 
perang, yang sudah puluhan tahun diembargo dan angkatan udaranya dikenai
 larangan bebas terbang karena wilayah udaranya dikerat tiga. Juga akan 
halnya dengan inisiatif AS menggalang dukungan dari kelompok 5+1 (AS, 
Inggris, Prancis, Rusia, Cina plus Jerman), hal itu tidak berarti AS 
akan mampu memberikan tekanan lebih keras terhadap Iran. Malah boleh 
jadi hal itu menunjukkan posisi Iran semakin kuat karena selain dari 
Rusia dan Cina, Iran bisa melakukan manuver untuk menarik dukungan dari 
Jerman yang selama ini bersahabat dengan Iran. Sedangkan AS hanya 
didukung Prancis, karena Inggris secara bertahap dan teratur berencana 
untuk menarik diri dari berkoalisi dengan AS dalam kasus nuklir Iran 
(Buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika”).
Karakter Geopolitik Negara Adidaya Kapitalis (Inggris dan AS)
Perjuangan
 suatu negara untuk mencapai posisinya tidak mengenal henti. Kompetisi 
antarnegara dalam kancah politik internasional pun sudah berlangsung 
sejak dulu. Dalam setiap lembaran sejarah, akan selalu ada satu negara 
yang dianggap sebagai negara yang memimpin dan mengendalikan dunia. 
Kompetisi ini selain dipengaruhi oleh keyakinan yang diemban negara, 
penduduknya dan sistem yang dianutnya, juga dipengaruhi oleh kekuatan 
geostrategis negara tersebut. Barat telah menggunakan istilah geopolitik
 dan menurut Oyvind Osterud (1988), yang telah menjadi penting pascamasa
 kolonial. Menurut Osterud, tradisi geopolitik mengindikasikan adanya 
kaitan sebab akibat antara kekuatan politik dan wilayah geografis. 
Istilah geopolitik dalam istilah yang baku berarti kumpulan pemikiran 
yang mendalami strategi yang spesifik, yang diformulasikan berdasarkan 
kepentingan relatif kekuatan darat dan laut dalam sejarah dunia. Karena 
itu, dalam membangun negara terkemuka di dunia, pentingnya kontrol atas 
geopolitik internasional tidak bisa diremehkan. Studi komprehensif 
terhadap sejarah Inggris dan AS sebagai contoh negara adidaya global 
masa lalu dan sekarang, akan menampilkan beberapa kesimpulan penting 
mengenai karakter geopolitik sebuah negara adidaya.
Supremasi
 Inggris di dunia adalah karena kemampuannya menjajah Afrika, AS, 
Semenanjung India dan Timur Tengah. Sebagai contoh, Laut Mediterania 
merupakan lokasi geopolitik terpenting bagi Inggris. Dari tahun 1600-an 
hingga sekarang, Laut Mediterania membantu Inggris untuk mengontrol 
koloninya di Afrika sebagai sumber bahan baku dunia, memelihara 
komunikasi dengan Semenanjung India melalui Terusan Suez dan Teluk 
Persia, serta menjaga kekuatan Eropa lainnya tetap di luar Timur Tengah,
 Asia dan Afrika. Bahkan, hingga hari ini pun, jalur ini masih merupakan
 jalur perdagangan tersibuk untuk perekonomian dunia; menghubungkan AS 
dan Eropa, dengan Asia dan Timur Tengah. Dengan demikian, fakta sejarah 
menunjukkan bahwa Benua Afrika, Timur Tengah, Laut Mediterania, Teluk 
Persia dan Semenanjung India menjadi lokasi terpenting dalam kepentingan
 geopolitik Imperium Inggris. Dengan menguasai rute dan lokasi penting 
ini, Inggris menikmati pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh visi 
politiknya. Lebih jauh lagi, sejarah mencatat bahwa Selat Gibraltar, 
Terusan Suez, Selat Hormuz di Teluk Persia, dan Selat Malaka memegang 
peranan penting dalam mempertahankan Inggris sebagai kekuatan adidaya 
selama 200 tahun.
Sementara itu, AS, memiliki catatan 
sejarah sebagai satu negara adidaya penting pada masa 1945-1990, dan 
adidaya tunggal dunia sejak 1991 hingga sekarang. AS menguasai minyak 
dari Timur Tengah untuk mendukung ekspansi ekonomi dan kebutuhan 
militernya. Krisis minyak 1973 menunjukkan rawannya ekonomi AS dan 
negara-negara Barat lainnya ketika suplai minyak diputus. Karenanya, AS 
membangun pangkalan militer di Teluk Persia, Arab Saudi dan Kuwait pada 
tahun 1990-an dan di Irak baru-baru ini. Sumber minyak dari Timur Tengah
 dikirim ke AS melalui Terusan Suez, ke Laut Mediterania. Untuk 
mengamankan suplai minyak itu, AS memerangi keberadaan Inggris dan Rusia
 di kawasan itu sejak Perang Dunia II hingga akhirnya menang pada tahun 
1990-an selama Perang Teluk I dan jatuhnya Komunisme 1990. Betapa 
strategisnya kawasan ini diungkapkan dalam pidato Presiden Jimmy Carter 
tahun 1980 yang dikenal sebagai Doktrin Carter, “Sikap kami sudah jelas,
 kekuatan asing manapun yang berusaha mengontrol Teluk Persia akan 
dianggap sebagai serangan terhadap kepentingan vital AS dan akan 
dihadapi dengan berbagai tindakan, termasuk tindakan militer. ” 
Faktanya, 23% impor minyak AS berasal dari Timur Tengah. Kini AS 
menghadapi persaingan dari Cina dan Rusia terhadap akses minyak Timur 
Tengah. Demikian juga menghadapi kompetisi dari India, Jepang dan Uni 
Eropa. Karena itu, kawasan Mediterania dan Teluk Persia menjadi lokasi 
paling strategis bagi AS yang sudah mengalami perubahan dari peta 
kekuatan unipolar menjadi multipolar (Al-Waie Januari 2011).  
AS
 pun mencoba memanjangkan garis saluran minyak sepanjang Yordania, 
Suriah, dan Libanon untuk Laut Tengah/Mediterania. Lalu, Inggris 
berusaha menghambat langkah AS. Sebab, Inggris merasa mempunyai akar 
keberadaan yang lama di kawasan Timur Tengah yang mampu mempengaruhi 
seluruh penguasanya, mengingat semua penguasa Timur Tengah adalah agen 
Inggris. Maka, AS menyadari bahwa satu-satunya cara untuk mengubah 
kondisi kawasan Timur Tengah adalah menerapkan politik dengan mewujudkan
 penguasa-penguasa militer dan meletuskan revolusi-revolusi. Seiring 
runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 1990-an di abad yang lalu, dan 
kemenangan AS dalam perang di Irak, serta dominasinya atas Kuwait dan 
kawasan Teluk; berubahlah perimbangan kekuatan di dunia. AS mulai 
menyusun peta baru bagi Timur Tengah. Berdasarkan rancangan itu, Inggris
 hanya akan menjadi pemain cadangan yang tidak kuat lagi menyaingi AS, 
sehingga posisi dan kedudukan Inggris menjadi merosot. Inggris terpaksa 
melakukan intrik-intrik dan manuver-manuver yang lemah. Inggris pun 
terpaksa mengandalkan Uni Eropa untuk melaksanakan strategi-strateginya,
 yang pada dasarnya adalah strategi-strategi yang ala kadarnya (Kitab 
Mafahim Siyasi).
Pada tahun 1952, berlangsung pemilu di AS
 yang dimenangkan oleh Partai Republik, yang mendudukkan Eisenhower 
sebagai presiden, yang sudah terkenal lebih mengutamakan kepentingan AS 
–khususnya kepentingan militer— daripada tekanan Yahudi dan Inggris. 
Maka, konflik antara dua negara –AS dan Inggris— menjadi tajam. Salah 
satu gejalanya adalah AS mengambil Mesir dan Suriah dari Inggris. Sejak 
saat itu negeri-negeri Arab menjadi lapangan yang luas untuk konflik 
Inggris-AS. Berbagai aksi politik yang terjadi membuat Timur Tengah 
menjadi seperti bola yang berpindah dari kaki AS ke kaki Inggris, dan 
dari kaki Inggris ke kaki AS. Begitulah terjadi berulang-ulang (Kitab 
Mafahim Siyasi).
Demikian pula AS mampu menanamkan 
pengaruhnya dengan kuat –di samping pengaruh Inggris- pada semua negara 
Teluk, Yaman, dan Yordania. AS juga mampu bersaing dengan pengaruh 
Inggris dan Prancis di negara-negara Afrika dan Turki. Dengan demikian, 
AS adalah hegemoni yang sesungguhnya atas negara-negara kawasan Timur 
Tengah yang terdiri dari lebih 24 negara. Sementara Inggris terpaksa 
merangkak di belakang AS untuk memperoleh sebagian remah-remah 
keuntungan, dan menentang AS secara diam-diam dari balik layar tanpa 
berani untuk mengajukan rancangannya sendiri secara terang-terangan 
untuk menyaingi rancangan AS di kawasan Timur Tengah. Walhasil, dapat 
dikatakan bahwa konflik terbuka antara dua negara ini telah berakhir 
pada akhir abad yang lalu hingga saat ini. Konflik itu telah berubah 
menjadi pola kerjasama dan kesepakatan dengan menobatkan AS sebagai 
pemimpin nomor satu di kawasan Timur Tengah dan pemutus 
kesepakatan-kesepakatan besar. Sementara Inggris menjalankan peran 
sebagai pelayan agar dia tetap eksis. Jadi kemampuan Inggris saat ini, 
bahkan kemampuan seluruh Uni Eropa sangatlah lemah dalam hal rancangan 
penyelesaian masalah Timur Tengah. Karena itu, kita melihat Inggris dan 
negara-negara Uni Eropa menjalankan rencana AS dan bergerak atas dasar 
rencana itu. Inggris dan Uni Eropa tidak mampu mengimplementasikan 
rencana sesuatu tanpa pengaruh dari AS (Kitab Mafahim Siyasi).
Selat Hormuz; Penting dan Strategis
Selat
 Hormuz merupakan kawasan perairan sempit sebagai bagian dari kawasan 
Teluk Persia yang termasuk ke dalam wilayah Iran. Di Selat Hormuz, 
terletak pelabuhan utama Iran, yaitu pelabuhan Bandar Abbas. Pelabuhan 
ini pun merupakan kawasan penting, karena dihubungkan dengan sistem 
jalan raya dan jalan kereta api untuk pengangkutan kargo. Jaringan 
kereta api Teheran-Bandar Abbas dibangun pada 1995 yang menghubungkan 
Bandar Abbas dengan seluruh Iran dan Asia Tengah melewati Teheran dan 
Mashad (Wikipedia).
Di satu sisi, konflik bermula ketika 
pasukan AL Iran melakukan latihan perang di sekitar kawasan Selat 
Hormuz. Manuver AL Teheran ini menjadi pusat perhatian internasional 
lantaran sejumlah pejabat Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz bila 
Barat menyerang fasilitas nuklir negara itu atau melakukan embargo 
ekspor minyak. Bahkan, untuk memperkuat seluruh lini, pasukan Garda 
Revolusi Iran siap mengadakan latihan angkatan laut baru di Selat Hormuz
 pada Februari mendatang (republika.co.id). Sementara itu di sisi lain, 
PBB dan negara-negara Barat mengatakan program nuklir Iran ditujukan 
untuk mengembangkan senjata, padahal pemerintah Iran mengatakan program 
ini untuk kepentingan damai. Uni Eropa diperkirakan akan mengikuti jejak
 Washington dan mungkin akan mengumumkan sanksi baru pada akhir Januari.
 Sebelumnya PBB sendiri telah mengeluarkan empat sanksi kepada 
pemerintah di Teheran (Militerania). Langkah ini membuat Teheran marah 
dan para pejabat tinggi Iran mengancam akan mengganggu jalur minyak di 
Hormuz (Liputan 6.com). Menanggapi ancaman ini, Wakil Juru Bicara 
Departemen Luar Negeri AS Mark Toner mengatakan bahwa Teheran berusaha 
mengalihkan perhatian dari isu utama. "Persoalan di lapangan adalah Iran
 selalu menghindar dari kewajiban-kewajiban yang harus mereka lakukan 
terkait dengan program nuklir," kata Toner. Sementara itu, Prancis 
mendesak pemerintah Iran menghormati hukum internasional. "Selat Hormuz 
adalah selat internasional. Oleh karena itu semua kapal, dari negara 
mana saja, punya hak melewati perairan tersebut," kata Juru Bicara 
Kementerian Luar Negeri Prancis Bernard Valero (Liputan 6.com).
Iran
 pun tak gentar. Sebagaimana diliput oleh Liputan 6.com (diakses 
07/01/2012), Iran mengatakan bahwa mereka mungkin akan menutup salah 
satu jalur minyak utama jika Barat meningkatkan sanksi terhadap Teheran 
terkait dengan program nuklir. Wakil Presiden Mohammad Reza Rahimi 
memperingatkan, “Tidak setetes pun minyak bisa melewati Selat Hormuz 
bila sanksi terhadap Iran ditambah”. Kepala Staf Angkatan Laut Iran 
Laksamana Habibollah Sayari juga mengatakan, "Menutup Selat Hormuz lebih
 mudah dibandingkan meminum segelas air.  Namun untuk saat ini kami 
belum merasa perlu menutup selat. Ada Laut Oman yang berada di bawah 
kendali kami dan kami juga mengontrol transit di perairan ini." (Liputan
 6.com). Sementara itu, Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Victoria 
Nuland, menyatakan bahwa AS telah meng-klaim dirinya tidak mencari 
masalah dengan Iran, namun AS menegaskan akan melanjutkan perannya dalam
 memastikan "pelayaran bebas di dunia". Pernyataan Nuland merupakan 
tanggapan terhadap peringatan terbaru yang Iran tujukan kepada kapal 
induk AS di kawasan Teluk Persia (Antaranews.com).
Cina, 
sebagai salah satu sekutu Iran, menentang sanksi unilateral terhadap 
Iran, setelah Presiden AS Barack Obama menandatangani undang-undang yang
 menargetkan bank sentral Republik Islam Iran. Cina berulangkali 
menyatakan sanksi tidak akan menyelesaikan masalah ini. Cina dan Iran 
sendiri saling bermitra ekonomi dalam beberapa tahun belakangan, 
sebagian karena perusahaan-perusahaan Barat menarik dirinya menyusul 
sanksi terhadap Teheran. Cina dan Rusia yang merupakan sekutu kunci 
Iran, kerap berupaya mengambil langkah yang lebih lembut terhadap Iran 
ketimbangan tiga anggota tetap Dewan Keamanan PBB lainnya 
(Antaranews.com). Berdasarkan hal ini, maka tak heran jika Barat, 
khususnya AS, mau tidak mau menjadi sangat ketar-ketir dengan ancaman 
penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Jika itu benar-benar dilakukan Iran, 
maka pasokan minyak ke luar Teluk pasti macet dan bisa-bisa mengancam 
harga minyak dunia. Ujungnya perekonomian Eropa dan AS akan terganggu. 
Ini analisis atau hitung-hitungan versi Barat. Tapi bagi Iran, 
ancamannya bukanlah gertakan sambal belaka (Kompasiana.com).
Menimbang Kekuatan Iran dan Gelombang Revolusi Arab (Arab Spring)
Iran
 bukanlah negara pembeo. Kita kenal dalam sejarah, Negara Persia (Iran 
sekarang) menjadi salah satu kekuatan dunia selain Romawi hingga di 
zaman Nabi Muhammad dahulu. Persia dan Romawi ibarat AS Serikat dan 
Rusia di era Perang Dingin. Kedua negara ini saling rebut pengaruh dan 
kekuasaan. Segala jenis taktik dan persenjataan mereka miliki. 
Orang-orang Iran terkenal ulet dan pintar. Lihat saja sekarang dia mampu
 mengembangkan teknologi Nuklir di negaranya. Jadi AS tentu saja harus 
membuat perhitungan matang sebelum bertindak. Sekalipun AS bisa saja 
menyombongkan dirinya karena telah berhasil “menjungkirbalikkan” para 
penguasa yang dikehendakinya tumbang seperti Saddam Husein, Moammar 
Khadafi, dan lainnya. Atau minimal “bisa dipegang hidungnya”, seperti 
Arab Saudi, Mesir, Oman, Kuwait, Afganistan, Indonesia, dan negara 
lainnya. Dan sepertinya AS masih penuh perhitungan matang di bawah 
kepemimpinan Presiden asal Partai Demokrat Obama. Mungkin akan terjadi 
perang secepatnya jika AS dikuasai oleh presiden asal Partai Republik. 
Sudah menjadi icon, jika pemimpin dari Partai Demokrat lebih 
mengutamakan jalur Diplomasi. Obama tidak jauh berbeda dengan kebijakan 
Bill Clinton yang mengedepankan Diplomasi. Sedangkan pemimpin asal 
Partai Republik -semacam George Bush dan anaknya, George W. Bush- lebih 
senang berperang dengan menghabiskan anggaran negaranya. Para pemimpin 
negara Arab pun sudah terkooptasi oleh kepentingan AS. Karena rata-rata 
mereka sudah dininabobokkan oleh kekayaan dari hasil minyak mereka. 
Sementara berharap kepada Liga Arab atau OKI, sudah tidak bertaring 
lagi. Sangat jauh pengaruhnya dibandingkan kekuatan PBB yang sudah 
disetir oleh AS (Kompasiana.com).
Tak dipungkiri, 
gelombang revolusi di Timur Tengah dan Afrika Utara, pun sedang dalam 
proses mengubah arah sejarah dunia. Peta keseimbangan kekuatan dan pola 
hubungan antarnegara yang baru akan ditentukan dari perkembangan situasi
 di dunia Arab saat ini. Tanda-tanda keterlibatan pihak asing dalam 
perkembangan situasi di kawasan itu pun makin jelas. Menteri Luar Negeri
 AS Hillary Clinton mengakui di depan Komite Perubahan Anggaran Senat 
AS, Rabu (2/3/2011), bahwa Pemerintah AS melakukan kontak dan menawarkan
 bantuan kepada kelompok-kelompok oposisi di negara-negara yang sedang 
dilanda demonstrasi antipemerintah. Artinya, AS mendukung kejatuhan 
rezim di negara-negara itu meski sebagian dari mereka adalah sekutu lama
 AS, seperti Presiden Mesir Hosni Mubarak atau Presiden Yaman Ali 
Abdullah Saleh. Hillary ”membungkus” intervensi AS itu dengan dalih 
membendung langkah Iran yang lebih dulu mengintervensi aksi-aksi 
antipemerintah di Timur Tengah demi kepentingannya sendiri. Wajar saja 
jika AS turun tangan langsung untuk mengintervensi perkembangan situasi 
di Timur Tengah dan sekitarnya. George Friedman, pendiri lembaga kajian 
intelijen Strategy for Global Intelligence, menyatakan, AS punya tiga 
kepentingan utama di kawasan ini, yakni menjaga perimbangan kekuatan di 
wilayah rawan konflik, memastikan pasokan minyak, dan mengalahkan 
kelompok-kelompok islamis ekstrem yang berpusat di kawasan itu.
Dari
 sisi pasokan minyak saja, perkembangan situasi di Timur Tengah saat ini
 memang sangat mengkhawatirkan bagi AS. Krisis di Mesir, misalnya, 
mengancam akses transpor minyak melalui Terusan Suez. Sementara itu, 
gelombang aksi antipemerintah yang mulai merambah negara-negara di Teluk
 Persia, seperti Oman dan Bahrain, mengancam jalur pasokan minyak di 
Selat Hormuz. Bahkan, Presiden Ali Abdullah Saleh dari Yaman dan 
parlemen Iran secara terbuka membuat pernyataan bahwa ada kamar komando 
operasi rahasia di Tel Aviv, Israel, yang dikendalikan Gedung Putih 
untuk menggerakkan aksi-aksi tersebut. Kerry Raymond Bolton, seorang 
doktor teologi dari Academy of Social and Political Research, Mesir, 
menulis di forum Foreign Policy Journal (publikasi online khusus berisi 
analisis kritis terhadap kebijakan luar negeri AS) bahwa bukan tidak 
mungkin gejolak di Timur Tengah saat ini turut didanai pendiri Open 
Society Institute, George Soros. Salah satu tokoh oposisi Mesir yang 
paling vokal saat terjadi aksi demonstrasi di Alun-alun Tahrir, Kairo, 
Mohamed El-Baradei, juga disebut memiliki kaitan dengan Soros karena ia 
pernah menjadi anggota dewan pengurus lembaga advokasi International 
Crisis Group (ICG). Soros sendiri menjadi satu dari delapan anggota 
komite eksekutif ICG. Sementara itu, Samira Rajab, anggota parlemen 
Bahrain, akhir Februari lalu, melontarkan gagasan bahwa semua kerusuhan 
dan revolusi di Arab saat ini adalah hasil implementasi proyek AS yang 
bernama Proyek Timur Tengah Baru. Proyek tersebut dimulai di Irak 
beberapa tahun lalu, kemudian menjalar ke Libanon, lalu negara-negara 
lain di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, setidaknya sampai 10 
tahun lagi (Kompas.com 03/2011).
Namun informasi yang 
muncul adalah kekhawatiran bagi negara-negara di sekitar Iran. Lalu 
berkembang isu yang dihembuskan AS bahwa uji coba rudal Iran berpotensi 
mengancam negara di sekitarnya sambil menawarkan mesin perang sebagai 
upaya mempertahankan diri. Karena, secara politis uji coba rudal Iran 
adalah untuk menakut-nakuti negara di sekitarnya, “show of force”. Dan 
jelas, AS di sini memanfaatkan situasi (jika tidak mau disebut sudah 
main mata dengan Iran) untuk menyulap provokasi menjadi uang, yakni 
berjualan senjata. AS menawarkan senjata yang belum di-launching ke 
publik setelah kasak-kusuk dari uji coba rudal Iran dengan cara membuat 
negara-negara sekitar Iran tegang. Arab Saudi saja sudah memesan 154 
pesawat tempur F-15 dari AS, sudah dikirim 84, sisanya yang 70 buah 
menyusul. Sebenarnya Israel juga resah dengan sikap AS yang hendak 
menjual senjata ke negara-negara Arab sekitar Iran. Tetapi Israel 
kemudian tenang setelah dibujuk oleh AS bahwa senjata yang dijual ke 
negara-negara teluk tidak sebanding dengan kualitas senjata untuk 
angkatan bersenjata Israel. Di sini, sebenarnya motif AS adalah terus 
jualan untuk memulihkan ekonomi mereka. Dan bisa jadi, Iran-AS sudah 
kerjasama dalam kasus ini. Walaupun AS sedang krisis tapi ‘otaknya’ 
jalan. Uni Soviet saja pernah dibohongi AS ketika perang bintang. Jadi 
jika sekadar memperdaya pemimpin negara-negara teluk, tentu mudah bagi 
AS. AS hanya sekadar memprovokasi negara-negara Arab yang sudah kadung 
hidup dalam kemewahan dan mereka takut mati untuk membeli senjata buatan
 AS. Menurut  seorang jurnalis Iran, Iran-AS itu sekadar perang verbal, 
perang dalam kata-kata saja. Tidak pernah diwujudkan dalam tindakan. Hal
 ini terbukti bahwa dulu AS ingin mengambil Iran dari Inggris setelah 
Perang Dunia II, karena Iran punya cadangan minyak. AS memintanya ke 
Inggris dan diberi. Inggris sendiri mendapatkan warisan Iran dari 
Jerman. AS dalam hubungannya dengan Iran, selalu menyimpan sesuatu yang 
tak pernah dipaparkan secara gamblang, alias ada yang disembunyikan. 
Skandal Iran-Contra,  Misi Rahasia CIA, Iranian Gate, menunjukkan bahwa 
apa yang di permukaan bukanlah yang sebenarnya. Sesumbar embargo senjata
 AS, menutupi skandal kesepakatan di baliknya. Jadi hampir pasti memang 
tidak pernah ada konflik nyata antara Iran dan AS. Khomenei (yang 
memimpin Iran di tahun 1978) sendiri pernah menyebut AS sebagai Setan 
Besar makin mengukuhkan bahwa ‘perang’ antara AS dan Iran sekadar perang
 verbal saja (MediaIslamNet.com).
Sebuah fakta yang belum 
pernah diungkap adalah peran Syiah yang bekerjasama dengan AS dalam 
Perang Salib. Di waktu para mujahidin berusaha untuk bergabung dari 
seluruh penjuru dunia Islam dan menyatukan barisan mereka dalam 
menghadapi pasukan Zionis Salibis, muncullah kelompok pengkhianat dan 
dajjal di Irak dan Libanon dengan bantuan dari Iran, untuk menikam umat 
Islam dari belakang. Yaitu dengan berkolusi bersama musuh Zionis Salibis
 dan para antek mereka, demi untuk memusnahkan ahlus sunnah dan 
memecahkan jaringan mereka. Kunjungan Ahmadinejad ke Irak serta 
diterimanya di Green Zone di bawah penjagaan dan perlindungan AS adalah 
untuk meneguhkan sejauhmana pemahaman antara AS dan Iran dalam menjajah 
Irak. DR. Abdullah An Nafisi menjelaskan hubungan AS dengan Iran 
berkaitan dengan Irak, bahwa Iran dan AS sangat senang sekali, yang 
artinya persekutuan kerjasama antara Iran dan AS di dalam menyerang 
Taliban di Afghanistan. Dan Iran membuka zona udara bagi tentara AS 
selama dua bulan agar pesawat mereka dapat mengebom Tora Bora, Tandzim 
Al Qaeda, dan rakyat Afghanistan selama 2,5 bulan. Ini semua adanya 
kerjasama dengan Iran. Sedangkan kerjasama setelahnya adalah untuk 
menghapus para pengikut rezim Irak sebelumnya. Mereka banyak sekali 
bekerjasama. Pasukan AS yang bertolak dari Kuwait menuju Baghdad 
melewati gurun pasir An-Nashiriyah, yang membekingi di belakangnya 
adalah Brigade Badar yang segera masuk setelah pasukan itu melintasi 
perbatasan Kuwait-Irak. Brigade Badar masuk melalui Kut Al-Amarah dan 
Sa’ad Al-Gharbi dan melindungi pasukan AS hingga sampai ke Baghdad dan 
sampai menjatuhkan rezim. Brigade Badar melindungi pasukan AS hingga 
sampai di Baghdad. Artinya dengan semua ini, bahwa ada kerjasama dan 
koordinasi yang menguntungkan antara AS dengan Iran berkaitan dengan 
Afghanistan dan juga berkaitan dengan pelengseran rezim Irak. Dengan 
begitu-para prajurit-jika bisa dikatakan begitu-Pentagon berkata bahwa 
orang-orang Iran adalah orang-orang yang adil dan bijak, mungkin kamu 
bisa ajak untuk bisnis.”
Sedangkan Sistani (maksudnya 
adalah Ali As Sistani, ulama Syiah yang tinggal di Irak), dia adalah 
penolong terbaik bagi AS, dia melarang jihad apapun melawan mereka. Itu 
sikap representasi dari skandal sejarah dan lari dari perang dan yang 
dilakukan oleh sumber Syiah tertinggi di Irak. Syekh Aiman menjelaskan 
pengkhianatan Sistani : “Ketika dia merasa AS menyerang kuburan Imam Ali
 r.a., di Najaf, di lari ke Inggris dengan dalih “menjalani operasi.” 
Padahal itu bukan untuk “menjalani operasi”, tapi hanya pemeriksaan 
kesehatan, yang sebenarnya bisa dilakukan di Irak. Jika begitu, maka 
hakikat sebenarnya telah terungkap di hadapan seluruh kaum Muslimin 
ketika dia tidak mengeluarkan fatwa dan kewajiban menenteng senjata 
melawan penjajah agresor Salibis AS di Irak dan Afghanistan dari sumber 
Syiah manapun-baik dari dalam maupun luar Irak. Bahkan tersingkap sikap 
ketidakkonsistenan mereka. Jihad yang mereka bolehkan di Libanon dan 
Palestina menjadi haram di Irak dan Afghanistan, bahkan lebih buruk dari
 itu, bahkan mereka menyebut orang yang melakukan jihad dengan sebutan 
takfiriyin, Wahabiyin, dan Saddamiyin. Syekh Aiman menjelaskan : 
“Artinya bahwa Iran berkuasa dengan mengesahkan PBB sebagai sumber 
selain sumber Islam. Baik sumber itu Dewan Keamanan maupun sumber Majlis
 Umum PBB. Dan berjanji-berdasarkan komitmen terhadap piagam perjanjian 
PBB-untuk menghormatinya sebagai kekuasaan tertinggi, perdamaian dan 
kesatuan Negara Israel sebagai anggota dewan PBB. Bahkan lebih dari itu,
 mengakui penjajahan Rusia terhadap Chechnya, penjajahan Spanyol atas 
Ceuta dan Mellila, dan negeri kaum Muslimin lainnya.”
Tujuan
 utama Iran sebenarnya adalah mencari pengaruh politik di manapun yang 
memungkinkan. Syekh Aiman menjelaskan kondisi Libanon setelah terjadi 
perang dengan Israel : “Ketika terjadi perang di Libanon yang mampu 
meraih eksistensi politik bagi pengikutnya, maka mereka ikut berperang 
dan ketika pasukan internasional menyanggupi untuk menjaga keberadaan 
politik dan militer mereka maka mereka menyetujui pasukan internasional 
menjajah Libanon. Mereka juga setuju menggunakan cara kekerasan bagi 
Palestina, dimana Hassan Nashrullah mengaku sudah begitu lama berusaha 
untuk membebaskannya, akan tetapi sekarang dia menghindar darinya. Dan 
ketika bersepakat dengan AS dan mengakui akan pemerintahan mereka serta 
kerjasama dalam pemerintahan dan menghentikan jihad kau Muslimin, serta 
berperang dibawah Salib mereka, mewujudkan sikap politik mereka di Irak 
dan selalu berusaha mencarinya, mereka berkerjasama dengan AS dan 
berperang di bawah Salib mereka.” DR. Abdullah An Nafisi menjelaskan 
politik Iran : “Iran bertanggung jawab atas hal itu, karena Iran di 
antara dua isu, isu membuka diri yaitu isu Islam dan isu umum yaitu isu 
anti AS, anti Israel dan seterusnya. Ini sudah mafhum dan dapat 
diterima. Akan tetapi isu berkaitan rakyat Iran sebenarnya memiliki isu 
lain : isu kekuasaan, isu kontrol, isu penugasan Syiah di Irak 
(arrahmah.com).
AS, Timur Tengah dan Potensi Kebangkitan Khilafah Islamiyyah
Berdasarkan
 letak geografisnya di Timur Tengah, Selat Hormuz memang menghubungkan 
negara-negara penghasil minyak di Teluk seperti Bahrain, Kuwait, Qatar, 
Arab Saudi, Uni Emirat Arab dengan Samudera Hindia. Sekitar 40% kapal 
tanker minyak dunia melewai selat tersebut (Liputan 6.com). Selat Hormuz
 adalah jalur perdagangan minyak dunia. Cina dan Rusia pun memanfaatkan 
jalur tersebut untuk kepentingan perdagangan mereka. Selain itu, Rusia 
juga punya andil dalam proyek uji coba senjata rudal Iran dengan memasok
 komponen senjata. Artinya jika pun terjadi perang AS dengan Iran, akan 
mengajak serta Rusia—termasuk Cina, sehingga sejatinya adalah perang 
antara AS dengan Rusia (MediaIslamNet.com). Dan sejatinya pun, masalah 
Timur Tengah merupakan masalah yang terkait dengan Islam dan bahayanya 
bagi Barat. Terkait dengan letaknya yang strategis dan dominasinya 
terhadap transportasi Eropa, Afrika dan Asia. Terkait dengan negara 
Yahudi yang menjadi garis pertahanan terdepan dari pertahanan Barat. Dan
 terkait pula dengan penjajahan serta hasil-hasil penjajahan, terutama 
minyak. Jadi, masalah Timur Tengah adalah masalah yang terkait dengan 
Islam, letak strategis, negara Yahudi, penjajahan, dan minyak. Tidak 
diragukan lagi masalah ini adalah sangat penting, tidak hanya untuk 
penduduk kawasan Timur Tengah dan kaum Muslim saja, melainkan juga untuk
 seluruh dunia (Kitab Mafahim Siyasi).
Islam, telah dan 
senantiasa menjadi bahaya besar atas AS dan Barat. Kawasan Timur Tengah 
dapat dianggap tempat titik tolak yang alamiah untuk dakwah Islam ke 
seluruh Dunia. Karena itu, tidak aneh AS menjadikan Islam sebagai musuh 
utama satu-satunya bagi AS setelah runtuhnya Sosialisme-Komunisme. AS 
menggunakan slogan-slogan terorisme, ekstremitas agama, dan 
fundamentalisme agama sebagai kedok untuk menyerang Islam dan kaum 
Muslim di kawasan ini. AS berusaha dengan segala kekuatan yang 
dimilikinya untuk menjauhkan gerakan-gerakan Islam politis dari 
kekuasaan. Hal itu dilakukan melalui cara kekerasan, kebrutalan, 
penyiksaan, dan pembendungan yang dijalankan oleh rezim-rezim 
pemerintahan yang menjadi pengikut AS di kawasan ini. George W. Bush 
telah mendeklarasikan Perang Salib Baru untuk menentang kaum Muslim 
secara terangterangan. John Aschroft, Jaksa Agung AS, mengatakan dengan 
terus terang, “Sesungguhnya terorisme terdapat dalam Islam itu sendiri, 
bukan hanya pada orang-orang yang memeluk Islam.” Ia mengatakan pula 
bahwa Allah telah mendorong terorisme dalam al-Quran. Ini klaim dia 
(Kitab Mafahim Siyasi).
Adapun letak strategis Timur 
Tengah dan dominasinya terhadap transportasi, urgensinya dapat dilihat 
dari eksistensi Timur Tengah di kawasan titik temu tiga benua lama, 
yaitu Afrika, Eropa, dan Asia, serta penguasaannya terhadap Selat 
Gibraltar, Bosphorus, Aden, Hormuz, Terusan Suez, Laut Tengah 
(Mediterania), Laut Hitam, Laut Merah, dan Teluk Persia. Ditambah lagi 
Timur Tengah merupakan titik temu jalur bahan mentah dan komoditas di 
antara tiga benua tersebut. Kepentingan strategis Timur Tengah dahulu 
telah menimbulkan satu kesulitan antara blok Barat dan Soviet sebelum 
era detente. Hal itu dikarenakan Timur Tengah membentuk sabuk barat 
dalam wilayah blok yang terletak di kawasan yang mengancam Uni Soviet. 
Sabuk ini merupakan garis pertahanan Barat dalam menghadapi Uni Soviet 
dari Timur Tengah dan Afrika. Karena itu, di Timur Tengah, Barat 
membangun pangkalan-pangkalan militer yang di antaranya adalah pangkalan
 nuklir (Kitab Mafahim Siyasi).
Adapun penguasa 
negeri-negeri Arab, mereka terus saja melayani AS sampai-sampai rela 
menjadi budaknya. Dengan demikian, mereka kehilangan kredibilitasnya di 
mata rakyatnya. Majikan-majikan mereka pun memandang rendah kepada 
mereka dan terus-menerus menghinakan mereka dan meminta mereka untuk 
semakin memasrahkan diri kepada AS. Dengan begitu, para penguasa negeri 
Arab itu telah menjadi alat-alat yang mudah diganti oleh tangan 
musuh-musuh mereka, sebagaimana terjadi pada Saddam Husein dan pada agen
 lainnya. Walhasil, para penguasa negeri-negeri Arab itu tidak lagi 
mendapatkan dukungan rakyatnya dan hanya dapat terus berkuasa berkat 
dukungan majikan-majikan mereka dan belas kasihan majikan-majikan itu. 
Mereka hidup di antara kemarahan rakyatnya dan belas kasihan majikan 
mereka. Karena itu, kawasan Timur Tengah adalah kawasan yang dapat 
meledak setiap saat sebagai potensi yang sangat besar untuk lahirnya 
sebuah negara Islam yang sesungguhnya, yakni Khilafah Islamiyyah (Kitab 
Mafahim Siyasi).
Sementara itu, bagaimana kemampuan AS 
mempertahankan kebesarannya sedangkan secara internal kekuatannya makin 
keropos? AS memang memiliki kemampuan ekonomi dan militer yang demikian 
besar, tetapi di balik itu AS juga menanggung resiko ekonomi dan militer
 yang besar pula. Kini AS sudah melampaui tahap yang tidak mungkin lagi 
bisa ditarik mundur dalam menanggung beban resiko tersebut. Ekonominya 
dalam keadaan sakit dan sulit dipulihkan. Militernya selalu membutuhkan 
anggaran besar untuk bersiaga dan memenuhi kebutuhan modernisasi sistem 
senjata. Sumber-sumber ekonomi yang menghasilkan uang tidak bertambah. 
Sangat meyakinkan, kondisi ini berpotensi memperlemah daya saing dan 
bahkan mendorong percepatan momen bagi keolengan dan kemudian keruntuhan
 AS. Atas dasar itu, mau tidak mau AS harus mengubah kebijakannya 
terhadap negara berkembang, khususnya AS harus menghentikan politik 
arogansi dan kekerasan untuk diganti dengan politik kerjasama ekonomi 
yang berkeadilan. Jika langkah ini tidak ditempuh, bukan mustahil AS 
akan mengalami kegagalan yang lebih besar dalam bidang ekonomi, politik 
dan militer, bahkan lebih besar lagi ketimbang kegagalan yang ditemuinya
 di Irak dan Afghanistan (Buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika”).
Kebangkitan Ideologi Islam di Bawah Naungan Khilafah Islamiyyah
Dengan
 menunjukkan realita yang ada sekarang, intelijen AS menganggap bahwa 
tuntutan umat Islam untuk menginginkan Islam kembali adalah bentuk 
ancaman terhadap keamanan dan kepentingan AS. Perjuangan politik dan 
ideologi (bukan kekerasan) yang dilakukan oleh aktivis umat Muslim telah
 mencapai titik bahwa tuntutan terhadap Khilafah dan syariah adalah 
ancaman ideologis terserius yang AS pernah hadapi. Bekas Wakil Presiden 
AS, Dick Cheney pada tanggal 23 Februari 2007 secara jelas menyatakan, 
“Mereka memiliki tujuan untuk menegakkan Khilafah yang berkuasa dari 
Spanyol, Afrika Utara, melewati Timur Tengah, Asia Selatan hingga 
mencapai Indonesia – dan tidak berhenti di sana.” Ancaman tentang 
Khilafah sering diulang-ulang oleh Pemerintahan Bush dan merupakan 
alasan di balik invasi Irak dan Afghanistan (Al-Waie Januari 2011). 
Secara ideologi keagamaan, AS tidak begitu risau menghadapi perkembangan
 Uni Eropa yang sama-sama menganut Kristen. Begitu pula dengan Cina 
(rakyatnya penganut Kong Hu Cu) yang lebih memilih sikap netral terhadap
 negara-negara penganut Islam dan Kristen. Atas dasar itu, satu hal yang
 paling krusial dihadapi AS adalah seluruh potensi kekuatan Khilafah 
Islam yang kini sedang berinkubasi di setiap negara Muslim (Buku “Di 
Ambang Keruntuhan Amerika”).
Penjajahan telah menimbulkan 
penderitaan bagi Timur Tengah, telah menghilangkan sifatnya sebagai 
negara adidaya dan kekuatan global, dan telah mengubahnya menjadi 
negara-negara jajahan Barat tempat negara-negara Barat bersaing untuk 
menjajah dan memperluas pengaruhnya (Kitab Mafahim Siyasi). Tak 
dipungkiri pula bahwa dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan 
pesat aktivitas gerakan Islam dan seruan untuk tegaknya kembali Khilafah
 Islamiyyah oleh partai politik Islam non-kekerasan yang populer dan 
aktif, yang telah menginspirasi Muslim di strategis Timur Tengah dan 
sekitarnya ini. Hizbut Tahrir telah menjadi aktor utamanya. Hingga tahun
 2010, lebih dari 10 ribu aktivis dan pendukung Hizbut Tahrir dipenjara 
di Uzbekistan, termasuk wanita tua (73 tahun) dan anak-anak (13 tahun), 
dengan hukuman antara 7 hingga 20 tahun, hanya karena aktivitas dakwah 
mereka, bukan karena aksi kekerasan ataupun kejahatan apa pun. Seorang 
pengamat independen dari Inggris di Uzbekistan mengatakan, “Barat hanya 
punya satu opsi, yaitu diktator brutal Islam Karimov, karena di luar itu
 hanya ada Hizbut Tahrir dengan Khilafah Islamiyyah-nya.” (Al-Waie 
Januari 2011).
Ancaman Islam politik di kawasan Samudera 
Hindia yang meliputi Pakistan, Bangladesh, India dan Indonesia yang 
didiami tidak kurang dari 60% populasi Muslim dunia juga telah 
mengkhawatirkan pembuat kebijakan AS. Maka dari itu, dari studi yang 
mendalam tentang dua kekuatan adidaya penjajah dunia, Inggris dan AS, 
beberapa kawasan diketahui menjadi pusat pengaruh yang sangat penting 
bagi bangkitnya negara adidaya baru. Kontrol atas pusat pengaruh yang 
sangat penting dalam persaingan peradaban. Menilik sisi ekopolitik dan 
kepentingan strategis, ada beberapa pusat kawasan yang menjadi kunci 
pengendalian dunia, yaitu:
1.    Kawasan Mediterania, Timur Tengah dan Teluk Persia
2.    Benua Afrika yang kaya sumberdaya alam
3.    Asia Selatan dan Asia Tenggara yang terhubung dengan Selat Malaka
4.    Kawasan Laut Kaspia dan Laut Hitam
Dari
 potensi geostrategis ini, siapapun yang ingin melukiskan masa depan 
dunia, akan mendapatkan kesimpulan yang sangat penting dan mendalam. 
Umat Islam yang memiliki kesamaan keyakinan, tradisi dan aspirasi masa 
depan dan kelak akan disatukan dalam negara Khilafah Islamiyyah dengan 
izin Allah Swt menempati posisi strategis. Keempat kawasan kunci serta 
rute perdagangan dan perekonomian paling vital yang disebutkan 
sebelumnya berada di wilayah kaum Muslim. Begitu Khilafah Islamiyyah 
bangkit, dengan kontrol atas kawasan kunci dan rute vital itu, yang 
dikombinasikan dengan potensi demografi, ekonomi, militer dan ideologi, 
maka dalam sekejap Khilafah Islamiyyah akan menjelma menjadi adidaya 
baru di dunia.
Kembalinya Khilafah dan persatuan umat 
Islam akan mengakhiri hegemoni Barat di negeri Muslim. Hal itu berarti 
mereka akan kehilangan jaminan untuk merampas sumber-sumber alam umat di
 Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika atau negara-negara di anak benua. Hal
 itu juga berarti rampasan mereka akan dibekukan dan kependudukan mereka
 akan berakhir. Demikian juga jalan hidup mereka –demokrasi sekular 
kapitalisme- tidak dapat dielakkan lagi, akan menemui ajalnya. Hizbut 
Tahrir telah menyebarkan ide persatuan, Khilafah dan syariah ke lebih 
dari 50 negara dari Maroko sampai Indonesia; dari Timur Tengah sampai 
Asia Tengah. Dengan izin Allah Swt, perjuangan ini sukses dalam membuka 
topeng para penjajah dan agennya. Umat Islam tidak lagi berkumpul di 
belakang para penguasa yang berkhianat seperti yang mereka lakukan pada 
tahun 1950-an hingga 1980-an (Al-Waie Januari 2011). Dengan perjuangan 
yang terus bergulir, Khilafah Islamiyyah hanya masalah waktu, insya 
Allah.
Wallaahu a’lam bish showab [].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar