Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Polwan (polisi wanita) Pakai Kerudung, So What Gitu Lho?
Ada
yang aneh? Ya, isu ini memang tengah ramai menyusupi berbagai celah berita di
media massa. Tak pelak, hal ini menimbulkan polemik di sejumlah kalangan. Mulai
dari kalangan pendukung HAM hingga pengemban syariat Islam. Memang, Keputusan
Kapolri No. Pol: Skep/702/IX/2005 tentang penggunaan pakaian dinas seragam
Polri dan PNS Polri yang tidak bisa memakai jilbab dinilai perlu pengkajian
kembali (republika.co.id, 08/06/2013).
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)
Edi Saputra Hasibuan mengatakan pihaknya memahami ada keinginan sejumlah polwan
untuk mengenakan jilbab. “Namun
itu perlu kajian lebih mendalam karena terkait dengan aturan keputusan Kapolri,” kata Edi. Menurut analisanya, polwan hanya
dibolehkan mengenakan jilbab apabila mengenakan pakaian preman atau tidak
berpakaian dinas dalam ketentuan surat keputusan tersebut (republika.co.id, 08/06/2013).
Terlebih,
isu ini dikaitkan dengan pemberlakuan kebolehan menutup aurat bagi polwan di
Aceh. Dibolehkannya polwan
di Aceh mengenakan jilbab karena aturan di negeri Serambi Makkah tersebut
polwan diharuskan berjilbab bagi yang muslim. Lantaran polwan yang beragama
Islam wajib mengikuti hukum Islam lokal di sana (republika.co.id, 08/06/2013). Ini tentu aneh. Aneh karena seolah syariat
Islam hanya berlaku untuk daerah tertentu dan orang-orang tertentu.
Menutup Aurat, Kewajiban Muslimah
Menutup
aurat adalah kewajiban kaum muslimah, sekaligus bagian dari kesempurnaan iman.
Sebagaimana perintah Allah untuk masuk Islam secara kaffah. Artinya, iman akan
berkonsekuensi untuk melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Firman Allah Swt: “Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu.” (TQS. Al-Baqarah [02]: 208). Juga: “Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (TQS Adz-Dzariyat [51]:
56).
Dalam Islam, perintah menutup aurat tercantum dalam
TQS. An-Nuur ayat 31 dan TQS. Al-Ahzab ayat 59 berikut ini:
“Katakanlah
kepada perempuan yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera
mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau perempuan-perempuan islam, atau budak-budak yang mereka miliki,
atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan)
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah
mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung.” (TQS. An-Nuur [24]: 31).
“Hai Nabi,
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232]
ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS. Al-Ahzab [33]: 59). -- [1232] Jilbab ialah sejenis baju kurung yang
lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
Ketahuilah
bahwa di zaman Rasulullah saw, jika orang-orang fasik melihat seorang
perempuan yang mengenakan jilbab, maka mereka mengatakan bahwa ini perempuan
merdeka dan mereka tidak berani mengganggu perempuan itu. Jika mereka melihat perempuan itu tidak
mengenakan jilbab, maka mereka mengatakan bahwa ini budak perempuan, sehingga
mereka menggodanya. Perempuan berjilbab
itu menjadi mulia karena diketahui bahwasanya mereka adalah perempuan merdeka
sehingga orang-orang fasik itu tidak mengganggunya. Orang-orang fasik tidak berani mengganggu
muslimah, karena pelecehan terhadap muslimah akan menerima hukuman besar. Disamping itu, segala gangguan dan pelecehan
terhadap muslimah pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap kehormatan kaum
muslimin secara keseluruhan (Buku “Jilbab,
antara Trend dan Kewajiban”).
Pelarangan
menutup aurat bagi polwan atas alasan aturan seragam dinas, jelas bertentangan
dengan hukum Islam. Disamping itu, paham kedaerahan dan kesukuan seolah
menguatkan dalih pembolehan menggunakan seragam dinas dengan berkerudung hanya
di daerah tertentu. Pembolehan menutup aurat bagi polwan di Aceh bukanlah dalih
pembenaran untuk hanya mengizinkan mereka saja yang menutup aurat, sementara
Polwan muslimah di daerah lain dilarang. Aturan demikian jelas bernafaskan diskriminasi,
pendiskreditan syariat sekaligus pengkerdilan jati diri muslimah.
Lihatlah,
atas nama aturan dinas, kaum muslimah tidak bebas menutup aurat. Sebaliknya,
kaum perempuan penjaja kemolekan fisik macam peserta ajang pemilihan Ratu
Sejagad (Miss Universe, Miss World), diberi fasilitas untuk membuka auratnya.
Bahkan tak jarang, para kontestan miss-miss-an semacam ini banyak juga yang
berasal dari negeri muslim. Bukankah Indonesia telah sejak lama menjadi salah
satu negeri muslim pengirim kontestan Miss Universe? Pun Miss World.
Sungguh
ini adalah diskriminasi yang tak lagi bisa ditutup-tutupi. Beginilah wajah
ganda demokrasi. Yang pasti, di salah satu sisi wajah tersebut takkan pernah
ada ruang keberpihakan kepada aturan Islam. Padahal sudah jelas,
para perempuan yang tidak memakai pakaian syar’iy di depan umum, berarti dia
telah menyia-nyiakan payung hukum baginya. Dan perempuan yang mengobral
auratnya sesungguhnya telah menjatuhkan martabat dan kehormatannya sendiri. Na’udzubillaah.
Dosa Kolektif, Argumentasi Bathil
Makin
nyata, demokrasi telah mengotak-ngotakkan kaum muslimin. Jati diri muslim pun makin
terkikis atas alasan profesi, disamping solidaritas suku dan asal daerah.
Padahal, mereka muslim. Bagaimana bisa aturan Islam jadi berbeda-beda untuk
daerah yang berbeda seperti ini? Memang tidak masuk akal.
Demokrasi
sebagai sistem kehidupan kufur yang saat ini masih bisa pongah, memang takkan pernah
sedikitpun memberikan ruang bagi kaum muslimin untuk melaksanakan aturan Islam
secara kaffah. Menutup aurat secara sempurna adalah kewajiban, bukan hak.
Konsekuensi tidak terlaksananya sebuah kewajiban adalah dosa. Karena pembuat
aturan menutup aurat bukan atasan, melainkan Allah Swt, Sang Khaliq. Dan karena
menutup aurat adalah kewajiban individu muslimah, maka dalih dosa kolektif yang
ditanggung oleh pembuat kebijakan tidaklah bisa menjadi alasan. Itu jelas
argumentasi bathil.
Firman
Allah Swt terkait dengan hal ini: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata.”
(TQS al-Ahzab [33]: 36). Dalam ayat yang lain: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan
dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (TQS al-Qiyaamah [75]: 36). Serta ayat
berikut ini: “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (TQS al-Israa’ [17]: 36).
Khatimah
Dengan
demikian, firman Allah Swt berikut ini seyogyanya harus senantiasa
dilaksanakan: “Dan hendaklah kamu memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya
mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik.” (TQS al-Maa’idah [5]: 49).
Peliknya
isu polwan menutup aurat ini makin nyata menunjukkan umat berada di titik
nadir. Tidakkah para pelaku demokrasi itu khawatir, bahwa dengan sensitifnya isu ini, maka sangat mungkin menjadi bumerang bagi
mereka? Bumerang untuk memutarbalikkan kekuatan yang akan menggempur mereka
atas nama ketidakpuasan rakyat akibat kebijakan demokrasi yang tidak akan pernah sesuai dengan fitrah manusia.
Maka,
satu catatan penting, bahwa kesempurnaan penerapan hukum Islam tidaklah ada,
kecuali dengan Khilafah. Perempuan
sangat membutuhkan Khilafah karena syariat Islam dalam Khilafah menghormati
perempuan dengan menjaga
kemuliaannya. Islam memandang perempuan sebagai suatu kehormatan yang
wajib dijaga dan dipelihara. Islam mensyariatkan kerudung dan jilbab adalah
untuk menjaga dan memelihara kehormatan itu. Nabi saw bersabda: “Perempuan itu adalah aurat.” Badan
perempuan harus ditutupi sebagai aurat yang merupakan kehormatan baginya. Jika
aurat itu dilihat orang yang tidak berhak, maka perempuan itu dilecehkan
kehormatannya.
Wallaahu a’lam
bish showab [].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar