Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si 
Antara Winter Sonata dan Winter in Tokyo, antara seorang Kang Joon 
Sang dan Nishimura Kazuto.  Keduanya sama-sama memiliki keahlian dalam 
bidang gambar.  Joon Sang adalah seorang arsitek, sedangkan Kazuto 
seorang fotografer.  Kedua profesi tersebut mungkin pernah menjadi 
bagian dari cita-cita seorang manusia.
Kini, seseorang itu bisa 
jadi memang tidak berprofesi sebagai seorang arsitek ataupun 
fotografer.  Akan tetapi, dia justru sangat menguasai profesi arsitek 
dan fotografer itu, meski tidak pernah memiliki pendidikan formal di 
bidang tersebut.  Kedua profesi itu sungguh terpadu sedemikian indah 
dalam dirinya, bahkan tanpa iming-iming sejumlah nominal kapital.
Bagaimana
 tidak??  Bukankah tugas utama seorang arsitek itu merancang sebuah 
gambar yang akan diwujudkan dalam bentuk nyata?  Dan bukankah tugas 
utama seorang fotografer itu memotret sebuah fakta untuk diolah dalam 
rangka menghasilkan gambar yang berseni dalam kancah teknologi?
Tugas
 utama itu memang menjadi bagian dari hakikat profesi tersebut.  Hanya 
saja, bagaimana jika yang objek yang dihadapi itu diganti? Seorang 
arsitek tidak akan hanya menghadapi sekumpulan gambar yang akan menjadi 
bangunan, dan seorang fotografer tidak akan hanya menghadapi sekumpulan 
pemandangan atau peristiwa untuk dituangkan dalam sejumlah format software. 
 Paduan indah antara arsiteknya Joon Sang dan fotografernya Kazuto akan 
nampak justru ketika yang menjadi objek adalah manusia seutuhnya.  
Manusia yang dipandang memiliki fitrah dan potensinya.  Manusia yang 
harus diurusi, manusia yang harus dilayani oleh orang-orang yang akan 
menjadi arsitek dan fotografernya.  Ia didesain tidak hanya untuk 
mengisi kekosongan kertas gambar.  Ia juga tidak akan bergaya hanya 
untuk aktivitas editing.  Ia akan didesain dan di-“edit” 
sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki perasaan, pemikiran dan 
peraturan yang sama, serta terjadi interaksi di dalamnya.  Alat 
desainnya pun bukan pensil dan meja gambar, dan media editing-nya juga bukan sebuah software canggih.  Alat desain mutakhirnya justru adalah pemikiran, dan  media editing-nya adalah proses berpikir.
Mengapa?? 
 Tidak lain karena memang pemikiran dan proses berpikir adalah letak 
kekuatan utama bagi manusia, karena kapasitas kekuatan fisik tiap 
manusia tentu berbeda.  Jadi standar fisik tentu akan membuatnya akan 
terkategori hanya pada dua hal, yaitu menang atau kalah.  Oleh karena 
itu, tentu bukan sesuatu yang remeh tatkala ada orang yang justru 
memilih aktivitas untuk membangkitkan kekuatan utama pada manusia itu.  
Ya, itulah aktivitas seorang pengemban dakwah…
Kekuatan  
pemikiran lagi-lagi sebenarnya telah membuktikan potensinya, tinggal 
manusia ini mau menyadarinya atau tidak.  Peradaban gemilang bangunan 
Rasulullah saw dan para shahabatnya di Madinah, adalah bukti bahwa 
kekuatan pemikiran dan proses berpikir yang menjadi pondasinya.  
Pemikiran dan proses berpikir tentang sebelum kehidupan dunia, saat 
kehidupan di dunia dan setelah kehidupan dunia, dan segala sesuatu yang 
terkait di dalamnya.  Tentang sebuah kesadaran, akan dibawa ke mana 
aliran makna hidup ini jika tidak disandarkan sepenuh daya dan upaya 
hanya kepada Yang Maha Mengatur manusia, kehidupan dan alam semesta.  
Sebuah pemikiran yang semua hal di dalamnya hanya akan bermuara pada 
hakikat penciptaan oleh Sang Khaliq.  Nothing else…!!!
Jika
 delta muara sungai menjadi pintu menuju samudra, maka kekuatan 
pemikiran Islam akan menjadi pintu menuju peradaban mulia yang diridhoi 
Allah Swt..
Hingga menjadi jelas, bahwa kisah perjuangan 
seorang Joon Sang dan Kazuto pada akhirnya memang  takkan dapat 
menandingi kisah heroik perjalanan dakwah Rasulullah saw dan para 
shahabat yang perjuangannya tidak pernah digambarkan saat winter, 
melainkan di tengah teriknya padang pasir Middle East…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar