Kamis, 05 April 2012

Antara Winter Sonata dan Winter in Tokyo

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Antara Winter Sonata dan Winter in Tokyo, antara seorang Kang Joon Sang dan Nishimura Kazuto.  Keduanya sama-sama memiliki keahlian dalam bidang gambar.  Joon Sang adalah seorang arsitek, sedangkan Kazuto seorang fotografer.  Kedua profesi tersebut mungkin pernah menjadi bagian dari cita-cita seorang manusia.

Kini, seseorang itu bisa jadi memang tidak berprofesi sebagai seorang arsitek ataupun fotografer.  Akan tetapi, dia justru sangat menguasai profesi arsitek dan fotografer itu, meski tidak pernah memiliki pendidikan formal di bidang tersebut.  Kedua profesi itu sungguh terpadu sedemikian indah dalam dirinya, bahkan tanpa iming-iming sejumlah nominal kapital.

Bagaimana tidak??  Bukankah tugas utama seorang arsitek itu merancang sebuah gambar yang akan diwujudkan dalam bentuk nyata?  Dan bukankah tugas utama seorang fotografer itu memotret sebuah fakta untuk diolah dalam rangka menghasilkan gambar yang berseni dalam kancah teknologi?

Tugas utama itu memang menjadi bagian dari hakikat profesi tersebut.  Hanya saja, bagaimana jika yang objek yang dihadapi itu diganti? Seorang arsitek tidak akan hanya menghadapi sekumpulan gambar yang akan menjadi bangunan, dan seorang fotografer tidak akan hanya menghadapi sekumpulan pemandangan atau peristiwa untuk dituangkan dalam sejumlah format software.  Paduan indah antara arsiteknya Joon Sang dan fotografernya Kazuto akan nampak justru ketika yang menjadi objek adalah manusia seutuhnya.  Manusia yang dipandang memiliki fitrah dan potensinya.  Manusia yang harus diurusi, manusia yang harus dilayani oleh orang-orang yang akan menjadi arsitek dan fotografernya.  Ia didesain tidak hanya untuk mengisi kekosongan kertas gambar.  Ia juga tidak akan bergaya hanya untuk aktivitas editing.  Ia akan didesain dan di-“edit” sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki perasaan, pemikiran dan peraturan yang sama, serta terjadi interaksi di dalamnya.  Alat desainnya pun bukan pensil dan meja gambar, dan media editing-nya juga bukan sebuah software canggih.  Alat desain mutakhirnya justru adalah pemikiran, dan  media editing-nya adalah proses berpikir.

Mengapa??  Tidak lain karena memang pemikiran dan proses berpikir adalah letak kekuatan utama bagi manusia, karena kapasitas kekuatan fisik tiap manusia tentu berbeda.  Jadi standar fisik tentu akan membuatnya akan terkategori hanya pada dua hal, yaitu menang atau kalah.  Oleh karena itu, tentu bukan sesuatu yang remeh tatkala ada orang yang justru memilih aktivitas untuk membangkitkan kekuatan utama pada manusia itu.  Ya, itulah aktivitas seorang pengemban dakwah…

Kekuatan  pemikiran lagi-lagi sebenarnya telah membuktikan potensinya, tinggal manusia ini mau menyadarinya atau tidak.  Peradaban gemilang bangunan Rasulullah saw dan para shahabatnya di Madinah, adalah bukti bahwa kekuatan pemikiran dan proses berpikir yang menjadi pondasinya.  Pemikiran dan proses berpikir tentang sebelum kehidupan dunia, saat kehidupan di dunia dan setelah kehidupan dunia, dan segala sesuatu yang terkait di dalamnya.  Tentang sebuah kesadaran, akan dibawa ke mana aliran makna hidup ini jika tidak disandarkan sepenuh daya dan upaya hanya kepada Yang Maha Mengatur manusia, kehidupan dan alam semesta.  Sebuah pemikiran yang semua hal di dalamnya hanya akan bermuara pada hakikat penciptaan oleh Sang Khaliq.  Nothing else…!!!

Jika delta muara sungai menjadi pintu menuju samudra, maka kekuatan pemikiran Islam akan menjadi pintu menuju peradaban mulia yang diridhoi Allah Swt..

Hingga menjadi jelas, bahwa kisah perjuangan seorang Joon Sang dan Kazuto pada akhirnya memang  takkan dapat menandingi kisah heroik perjalanan dakwah Rasulullah saw dan para shahabat yang perjuangannya tidak pernah digambarkan saat winter, melainkan di tengah teriknya padang pasir Middle East…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar