Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Intelektual Perempuan Abad 21
Abad milenium adalah abad modern di mana perempuan
berpendidikan tinggi bukan sesuatu yang langka. Bukan rahasia bahwa kapasitas berpikir para perempuan telah diperhitungkan
dalam peradaban dunia, termasuk
Indonesia. Hal ini senada dengan
pernyataan Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ananta
Kusuma Seta, tentang
sumberdaya manusia usia produktif yang berpendidikan tinggi.
Ananta
mengatakan bahwa Indonesia akan mendapatkan ‘bonus demografi’ dalam kurun waktu 15 tahun ke depan. Maksud ‘bonus demografi’ itu adalah
mayoritas penduduk Indonesia lebih banyak dipenuhi usia angkatan kerja. Artinya, pada rentang waktu 2010-2025, negara ini akan dipenuhi oleh
usia produktif. Jika mereka
adalah orang yang berpengetahuan, Indonesia akan menjadi negara maju. Peningkatan akses pendidikan tinggi bagi rentang usia 19-23 tahun dirasakan sangat penting. Karena dari 21 juta penduduk berusia 19-23 tahun tersebut, hanya 5,4 juta orang yang
bisa mengakses jenjang pendidikan tinggi (antaranews.com, 07/04/2012). Tak heran jika Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul
Yasin Limpo, menyatakan bahwa tidak ada yang dapat menyangkali
bahwa kemajuan suatu bangsa dan negara sangat ditentukan pendidikan serta
ekonomi dan pendidikan menjadi pilar moral dan peradaban bangsa (antaranews.com,
19/03/2012).
Mahasiswi
adalah sebutan bagi perempuan terpelajar selepas sekolah menengah. Pada masanya,
sejumlah perguruan tinggi akan siap menampung dengan serangkaian program studi
yang menjanjikan. Setiap perguruan tinggi memiliki target tertentu dari
kurikulum yang dicanangkannya. Pada umumnya, kurikulum tersebut dimaksudkan
untuk menjadikan para peserta didik mudah dalam belajar, mampu meraih nilai
terbaik dengan wujud IPK tinggi atau tertinggi, dan sejumlah titel sebagai perempuan
berprestasi.
Secara otomatis, hal ini mengkondisikan mahasiswi ingin
segera lulus dan memperoleh pekerjaan yang layak dengan modal IPK tinggi dan
masa studi yang singkat.
Pekerjaan yang diinginkan pun tidak jauh dari terminologi posisi bergengsi dan
gaji tinggi, yang tentunya akan makin menambah prestige
individu dan keluarga. Demikian halnya bagi para orang tua yang telah berjuang
membiayai pendidikan anak-anaknya, sehingga setelah lulus sang anak diharapkan
dapat membalas budi yang telah ditanam oleh orang tua sebelumnya.
Saat
mencari pekerjaan, terkadang lowongan pekerjaan yang tersedia tidak sesuai
dengan disiplin ilmu yang telah dimiliki. Hal ini biasanya cukup terbaca oleh
dunia kerja sehingga lowongan yang diiklankan bertajuk ‘untuk semua jurusan’.
Sebutlah pekerjaan sebagai karyawati di bank, wartawati atau pialang di bursa
efek. Pekerjaan tersebut tidak mensyaratkan latar belakang disiplin ilmu
tertentu. Disamping itu, tawaran gajinya pun membuat makin semangat untuk
meraihnya. Jika demikian, lalu bagaimana nasib dan pemanfaatan ilmu yang telah
diperoleh di bangku akademik?
Wajar, jika hal ini menjadi persimpangan bagi kalangan
mahasiswi pascakelulusannya. Di satu sisi, dirinya merasa harus mendapatkan
pekerjaan demi kompensasi sebagai penyambung hidup. Di sisi lain, ada tanggung
jawab moral terhadap disiplin ilmu yang dimiliki. Pada umumnya, sisi individual
seringkali dimenangkan, karena mereka merasa tidak akan ada yang bertanggung
jawab terhadap kelanjutan hidup selain dirinya sendiri. Pada akhirnya, tanggung
jawab moral terhadap disiplin ilmu itu pun dinomorsekiankan.
Sementara
itu, ada fenomena yang berbeda bagi mahasiswi sebagai pertanggungjawaban
disiplin ilmunya di dalam kampus. Tak sedikit mahasiswi yang direkrut sebagai
asisten dosen atau peneliti. Hal ini tentu wajar, karena kampus memang tempat
mencetak generasi unggul, di mana keunggulan itu akan terwujud dengan konsep ilmu lil ‘amal.
Hanya saja, dunia kampus mengkondisikan ilmu para alumninya ini terabdikan
secara ‘sempurna’, di mana seluruh potensi, energi dan pemikirannya diperas
habis hanya untuk memperoleh sejumlah uang lelah.
Tentu sangat disayangkan, jika potensi perempuan
terpelajar ini hanya untuk perubahan semu. Punya suara politik tetapi tidak
mempunyai peran politik nyata untuk kebaikan umat. Sebabnya, yang mempunyai
politik nyata adalah kaum kapitalis borjuis-para liberalis yang telah
menyebabkan perempuan lelah bekerja, untuk sebuah fatamorgana. Label the
agent of change yang merupakan label umum bagi sosoknya, tidak lagi
terintegrasi dengan potensi dan semangatnya sebagai kaum muda.
Kapitalisme, Belenggu Berbagai Lini
Sebagaimana diketahui, kaum perempuan di berbagai
belahan dunia, termasuk di Dunia Islam, sudah lama mengalami ketertindasan di
berbagai lini kehidupan. Kapitalisme telah dengan congkaknya menuduh bahwa
nasib perempuan dalam Islam tidak akan pernah bahagia karena Islam bersikap
tidak adil terhadap perempuan. Sistem kapitalis-liberal ini yang telah sekian
lama bercokol, nyatanya tidak pernah mengubah nasib perempuan.
Kehidupan kapitalistik telah merancukan pemikiran
perempuan, bahwa untuk mendapatkan hak-haknya, perempuan harus banyak uang,
cantik dan pintar. Jika mereka ingin setara dengan laki-laki, mereka harus
banyak berkiprah di ranah publik. Peran sejati perempuan dikaburkan,
disesatkan, dikacaukan bahkan dilenyapkan. Perempuan tak lagi menjadi istri
mulia, ibu tangguh, perempuan pejuang. Kehidupan perempuan kembali menjadi hina
karena sistem yang digunakan bukan sistem Islam, yang punya cara pandang
berbeda 180 derajat dengan cara pandang Islam terhadap perempuan.
Perempuan
saat ini menjadikan ide-ide kapitalis sebagai pijakan. Mereka menyatakan bahwa
persoalan perempuan akan terselesaikan dengan membebaskan perempuan berkiprah
dimana pun, terutama dalam ranah publik. Dengan itu suara dan partisipasinya
diperhitungkan, baik dalam keluarganya maupun masyarakat. Alih-alih mampu
mengangkat nasib perempuan, gagasan pemberdayaan politik perempuan dalam
perspektif demokrasi kapitalis ini justru menjadi racun yang kian mengukuhkan
kegagalan menyelesaikan persoalan-persoalan perempuan. Sebaliknya, ide-ide
kapitalis-sekular sukses menjerumuskan perempuan ke dalam jurang kejahiliahan
dan kegelapan. Kegelapan ini
tidak akan pernah beranjak dari umat secara keseluruhan selama umat Islam
mencampakkan aturan-aturan dari Allah Swt dan Rasul-Nya.
Akibatnya,
kapitalisme seperti meminta ‘upah’ dengan menjadikan perempuan menjadi barang
dagangan, alat promosi berbagai produk untuk menarik pembeli. Perempuan dilacurkan,
dijual, dieksploitasi tenaganya dalam industri, bahkan dibunuh karena arogansi
penguasa lalim. Perempuan dipaksa bekerja di sektor publik, dijadikan TKW di
luar negeri; dijadikan ikon utama di dunia fesyen, hiburan bahkan seluruh
komoditas yang bersifat komersial. Sebagian diekploitasi secara seksual dalam
bisnis pornografi, pornoaksi, bahkan pelacuran. Sebagian mengalami tindakan
kekerasan fisik maupun psikis baik di sektor publik maupun di ranah domestik;
ditelantarkan, dilecehkan, diperkosa bahkan dibunuh. Sebagian menderita
kemiskinan dan kebodohan yang berkepanjangan. Sebagian lagi harus meregang nyawa atau terancam setiap saat di bawah rezim kejam seperti
yang dialami Muslimah di Suriah saat ini. Sebagian lagi sedang
dijerat pemikiran keterpelajarannya. Perempuan sebagai kaum terpelajar yang
seharusnya bisa berkiprah dan berkontribusi dalam kemashlahatan umat, tanpa
sadar nyatanya telah menjadi
komprador para pembuat kebijakan imperialistik. Atau jika tidak terkategori komprador, mereka telah masuk jebakan yang
lain, yaitu individualisme. Karena keterpelajarannya hanya digunakan secara
pribadi, atas nama prestasi dan prestige
semata, serta perut sendiri.
Terjebak dalam fakta di depan mata
hingga tak mampu berpikir visioner, intelektual perempuan menjadi
terbingungkan tentang arah konsep ilmu lil ‘amal
tersebut. Kondisi ini menjelaskan bahwa ilmunya tidak untuk kemashlahatan umat
sebagai objek yang diurus oleh negara, di mana intelektual sebagai pihak atau
staf ahli yang pasti menjadi rujukan. Akan tetapi yang terjadi, pemanfaatan
ilmu itu hanya untuk kemashlahatan sejumlah pemilik kapital yang akan
menggajinya, antara lain melalui maraknya tawaran proyek penelitian. Bahkan,
bukan tidak mungkin jika posisi intelektual ini sebatas menjadi ‘pemanis’ dalam
pengguliran sebuah kebijakan/undang-undang negara, agar beralasan untuk
dilegalkan meski isinya sangat liberal-imperialistik.
Contohnya
dalam RUU Pangan. Rancangan
Undang-Undang Pangan yang mulai dibahas di DPR masih menyisakan banyak masalah.
Tumpuan pangan nasional masih pada produksi dan konsumsi beras sehingga swasta
dibebaskan bermain di pasar dan impor sejalan dengan produksi. Semua itu
berpotensi membuat petani semakin tidak sejahtera. RUU Pangan
memang menuai kritik karena ditengarai sangat liberal. Swasta yang tidak diatur
berpotensi menjadi spekulan dan mematikan petani kecil. Memasukkan peran swasta dalam stok pangan nasional
bisa bertentangan dengan kewajiban pemerintah untuk menjaga harga pangan yang
baik, tetapi terjangkau rakyat. Masalahnya, pangan seperti beras sudah menjadi
komoditas politik untuk kepentingan nasional dalam hal ketersediaan dan
keamanannya. Seharusnya
peran swasta tidak berdiri bebas seperti dalam pasar yang bersaing sempurna,
tetapi berada dalam kendali negara untuk tujuan ketersediaan pangan dan
sekaligus kesejahteraan petani. Negara atau
pemerintah berperan
membuat perencanaan produksi beras untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan
pokok dan sekaligus kesejahteraan petani. Selain itu, pemerintah juga perlu
terlibat di dalam sistem penyangga pangan. Kondisi
inilah yang harus diperhatikan dalam Rancangan Undang-Undang Pangan sehingga
ketidaksempurnaan pasar dan fluktuasi pasokan bisa diatasi dengan peran negara.
Bukan sebaliknya, diisi oleh swasta besar, yang akan menjadi spekulan dan
berpotensi mematikan produsen petani kecil ataupun rakyat konsumen (Didik J. Rachbini, Ketua Majelis Wali Amanat Institut
Pertanian Bogor; kompas online Jumat, 02/12/2011).
Belum
lagi dengan fakta kehidupan nonakademik di kampus. Acara-acara kemahasiswaan yang lebih
sering ‘having fun’ terbukti membuat para
mahasiswi timpang dari label asalnya sebagai kaum
terpelajar sekaligus the
agent of change. Hal ini adalah bukti gerusan trend dan lifestyle yang ternyata menjadikan
mereka pragmatis. Kaum muda memang memiliki energi yang besar untuk melakukan
perubahan pada masing-masing masanya. Akan tetapi, energi besar itu harus
dikendalikan dan dimuat di dalam koridor yang benar dan bertarget, sehingga
pengejawantahannya pun tepat.
Alhasil, sejumlah
kisah ini pun merangkai kesimpulan bahwa kondisi perempuan
sekarang sama persis seperti pada masa sebelum kedatangan Islam.
Perempuan dalam
Panggung Kehidupan
Perempuan, khususnya Muslimah, mempunyai peran penting
yang berpengaruh besar dalam perubahan kehidupan. Tak ada satu perubahan apa pun
dan bagaimana pun yang tidak menyertakan keterlibatan kaum Muslimah di
dalamnya. Kaum Muslimah lahir dari umat yang agung, umat yang punya akar
sejarah yang baik, yang telah menerangi dunia dengan cahaya Islam dan keadilan
hukum-hukumnya. Perjalanan waktu membuktikan bahwa Muslimah berperan nyata dalam
kegemilangan peradaban. Mereka menjadi mulia, cerdas, pintar dan bermartabat
dengan keadilan hukum Islam.
Ada satu pertanyaan yang patut direnungkan: “Siapa
kita, jika tidak dengan Islam?” Mari tengok kondisi perempuan pada masa lalu sebelum Islam datang. Perempuan adalah
barang yang diperjual-belikan, diwarisi tapi tidak mewarisi, dimiliki tapi
tidak bisa memiliki apapun. Perempuan dijual untuk dilacurkan bahkan tidak
diberi hak hidup, dibunuh sesaat setelah lahir. Sampai Islam datang mengubah
kondisi mereka, dari posisi rendah menjadi tinggi dan bergengsi. Islam memberi
mereka kehormatan sekaligus menjaga kehormatan tersebut. Karena itu, kaum
Muslimah wajib bersyukur atas anugerah dan pemberian dari Rabbul ‘Izzati
ini.
Gemilangnya
cahaya Islam akhirnya mengubah segalanya. Panggung peradaban Islam tak hanya
didominasi oleh laki-laki. Perempuan pun muncul untuk memberi kontribusi.
Mereka menunjukkan kecemerlangan pemikirannya dalam berbagai bidang. Perempuan
menjadi sosok yang memahami kemuliaan cahaya Islam dan tak kenal lelah mendidik
umat untuk memahami cahaya petunjuk tersebut. Hal ini telah bermula sejak zaman
Nabi Muhammad saw dan para shahabatnya saat merintis masyarakat berperadaban,
yaitu peradaban
yang menyatukan iman, ilmu, amal dan jihad.
Perempuan adalah pencetak generasi. Mereka hidup di kota-kota
Islam yang merupakan butir mutiara sains yang banyak melahirkan cabang ilmu.
Berawal dari Madinah, sebagai sebuah kota pendidikan yang lengkap dan suci. Ada
Rasul saw yang ma'shum dan cerdas, ada masyarakat shahabat yang militan dan
berakhlaq mulia, ada masjid yang makmur dan buka 24 jam, dan yang terpenting
ada wahyu Allah Swt yang turun terus-menerus selama 10 tahun. Di Madinah, jika
seorang ilmuwan memisahkan aqidah-akhlaq dengan ilmu yang dikuasainya, maka
kealimannya batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul sanad bagi sebuah
hadits, jika dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan tercatat sampai
akhir zaman di kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang
riwayatnya tidak valid. Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan
bermaksiat.
Ibu, Tulang Punggung Peradaban
Islam telah menempatkan perempuan sebagai bagian dari
masyarakat sebagaimana halnya laki-laki. Keberadaan keduanya di tengah-tengah
masyarakat tidak dapat dipisahkan. Keduanya bertanggung jawab menghantarkan
kaum Muslim menjadi umat terbaik di dunia. Karena itu, aktivitas politik dalam
pengertian pengaturan urusan umat bukan kewajiban laki-laki saja, melainkan
juga merupakan kewajiban kaum perempuan sebagai bagian dari umat.
Tanggung
jawab perempuan sebagai makhluk Allah Swt pun secara tegas diungkap dalam
beberapa nash yang bersifat umum seperti QS Ali Imran [3] ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.”
-- [217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan
munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya. Kemudian, di
dalam hadits penuturan Hudzaifah ra. juga disebutkan bahwa Rasulullaah saw.
pernah bersabda: “Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan kaum
Muslim, ia tidak termasuk di antara mereka. Barangsiapa bangun pada pagi hari
dan tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, ia bukanlah golongan mereka.”
(HR ath-Thabari).
Di
antara sekian tanggung jawab dan kewajiban perempuan, Allah Swt telah
menetapkan bahwa tugas utama perempuan adalah ummun wa robbatul bayt
(ibu dan pengatur rumah tangga). Sebagaimana sabda Rasulullaah saw: “Setiap
diri kalian adalah pemimpin. Masing-masing kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, ia
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang laki-laki (suami) adalah
pemimpin keluarganya, ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang
perempuan (istri) adalah pemimpin (pengurus) rumah suaminya dan anak-anaknya,
ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR Bukhori dan Muslim).
Sebagai
ibu, perempuan wajib merawat, mengasuh, mendidik dan memelihara anak-anaknya
agar kelak menjadi orang yang mulia di hadapan Allah Swt. Sebagai pengatur
rumah tangga, dia berperan membina, mengatur dan menyelesaikan urusan rumah
tangganya agar memberikan ketenteraman dan kenyamanan bagi anggota-anggota
keluarga yang lain, sekaligus menjadi mitra utama laki-laki sebagai pemimpin
rumahtangganya berdasarkan hubungan persahabatan dan kasih sayang. Dengan peran
khususnya ini, sesungguhnya perempuan dipandang telah memberikan sumbangan
besar kepada umat dan masyarakatnya.
Kegemilangan
peradaban sebuah masyarakat, sebagaimana yang pernah dicapai belasan abad oleh
umat Islam terdahulu, tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan peran para ibu. Sebab
dengan begitu, berarti mereka telah berhasil mendidik dan memelihara generasi
umat sehingga tumbuh menjadi individu-individu yang mumpuni, yakni generasi
mujtahid dan mujahid yang telah berhasil membangun masyarakat dan peradaban
Islam hingga mengalami kegemilangan. Oleh karena itu, jelas menjadi ibu
sesungguhnya merupakan peran yang sangat mulia dan memiliki nilai politis dan
strategis, karena dari para ibu inilah akan lahir para pemimpin umat yang
cerdas dan berkualitas.
Faktanya, Madinah merupakan sebuah kota di mana para
ayah dengan tenang meninggalkan istri-istri dan anak-anaknya selama
berbulan-bulan, bahkan tahunan, untuk berdakwah, berdagang dan berjihad ke
penjuru benua. Para ayah itu yakin, Madinah akan mendidik istri dan anaknya
menjadi manusia-manusia unggulan. Coba kita bayangkan, di rumahnya anak-anak
itu punya ibu yang hafizhah Qur'an dan hadits serta terjaga kehormatannya oleh
syari’ah. Di masjid, anak-anak itu akan bertemu Rasulullaah saw dan para
shahabat utama. Subhanallaah.
Menuntut
ilmu merupakan bagian dari aktivitas ibadah, sebagaimana firman Allah Swt dalam
QS. Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Dan Allah Swt telah menjamin
orang-orang yang berilmu dalam Al-Qur’an: “…niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS Al-Mujadilah [58]: 11).
Oleh karena itu, dalam menilik pentingnya ilmu untuk diamalkan sekaligus peran
muslimah sebagai pendidik dan pencetak generasi, layaklah jika mereka melahirkan
generasi cerdas taqwa pejuang syariah dan khilafah serta sebagai mitra
laki-laki dalam membangun masyarakat Islam.” Salim T S Al Hassani, profesor
emiritus di University of Manchester, Inggris, dalam tulisannya, ‘Women’s Contribution to Classical Islamic
Civilisation: Science, Medicine and Politics’, menyatakan bahwa selain
dalam bidang agama mereka juga berkiprah di bidang ilmu pengetahuan.
Madinah selanjutnya menginspirasi Damaskus, Baghdad,
Cordova dan Istambul untuk menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad.
Madinah, Damaskus dan Baghdad bersuka cita memetik butir-butir mutiara sains
yang diberikan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbagai cabang baru ilmu pengetahuan (new branches of knowledge) di bidang
astronomi, fisika, kedokteran, biologi, matematika, ekonomi, sastra, teknologi
perang, sampai filsafat dijabarkan terus tanpa henti oleh para ulama. Mereka
hafal Al-Qur'an, hafal ribuan hadits, beribadah, berinfaq, dan berjihad seperti
para shahabat, pada saat yang sama mereka mengembangkan ilmu-ilmu baru dari
semua yang diimani dan diamalkan itu. Inilah yang disebut oleh para ulama,
“Orang Barat bisa maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan kaum Muslimin
hanya akan maju jika ia mendalami agamanya.”
Muslimah Sejati: Pejuang dan
Intelektual
Kita bisa melihat Khadijah ra., wanita Mukmin pertama
setelah Rasul yang meyakini Islam dan mendukung beliau sejak masa kerasulan;
Sumayyah, syahidah pertama, pengemban dakwah, perempuan
paling sabar dalam ketaatan dan paling kuat; Ummu Imarah dan Ummu Muni’ah,
perempuan pertama pemberi baiat dan dukungan atas kepemimpinan Rasulullah saw.
pada saat Baiat ‘Aqabah ke-2; Aisyah ra., seorang faqihah fi ad-din dan intelektual
perempuan. Selain mereka adalah kaum Muslimah yang taat kepada suaminya tetapi
juga mampu berkata benar di rumah suaminya sehingga seorang istri mempunyai hak
untuk menyampaikan pendapatnya. Selain mereka adalah Muslimah yang berani
menyampaikan pendapatnya kepada Khalifah Umar ra. sehingga Umar ra., berkata, “
Perempuan ini benar, dan ‘Umar Salah”. Selain mereka adalah Muslimah yang
menjadi qadhi (pemberi keputusan perkara) seperti Syifa binti
Sulaiman dan perempuan yang dimintai suara pemilihannya oleh ‘Abdurrahman bin
‘Auf saat pemilihan calon khalifah sepeninggal Umar bin al-Khaththab.
Disamping itu, tidak sedikit pula kaum perempuan yang
ikut berjihad bersama Rasulullaah saw dan para shahabat. Misalnya, Rufayda binti Sa’ad. Ia dianggap sebagai perawat pertama dalam
lintasan sejarah Islam, yang hidup pada zaman Nabi Muhammad
saw. Dalam Perang Badar
pada 13 Maret 624 Hijriyah, ia bertugas merawat mereka yang terluka dan
mengurus personel yang meninggal dunia. Muncul pula nama lain, Al Shifa binti
Abdullah al Qurashiyah al’Adawiyah. Kepiawaianya
dalam bidang medis ditopang oleh kemampuannya dalam membaca. Sebab, saat itu
banyak orang buta huruf dan tentu tak bisa mengakses pengetahuan. Al Shifa tak pelit dengan ilmu yang
dimilikinya. Ia menebar ilmu medis yang ia kuasainya, meski dalam hal yang
sangat sederhana. Misalnya, pengobatan terhadap gigitan semut. Kemudian,
Rasulullah SAW memintanya untuk mengajarkan hal itu kepada perempuan lainnya.
Al Shifa pun multitalenta. Ia tak hanya dominan pada bidang medis. Namun, ia
pun sangat terampil dalam administrasi publik dan dikenal dengan
kebijaksanaannya.
Justru melalui penerapan syariah Islam secara utuh dan
konsisten oleh penguasa dan penjagaan/pengawasan yang ketat dari umat inilah
yang akan menghantarkan pada tercapainya kemaslahatan hidup yang rahmatan
lil ’alamin sebagaimana yang Allah Swt janjikan. Tidak hanya perempuan yang
termuliakan, bahkan umat secara keseluruhan akan memperoleh kebahagiaan dan
kebangkitan yang hakiki sebagaimana yang pernah dialami sejak masa Rasulullah
saw hingga Khilafah diruntuhkan.
Visi Intelektualitas Untuk Memperjuangkan Khilafah
Demikianlah peran perempuan dalam Islam. Mereka diberi
hak secara penuh dan segenap potensinya diberdayakan. Mereka diberi hak untuk
menjalankan perannya dalam kancah politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan
sebagainya. Mereka juga merupakan kehormatan yang dijaga dengan sempurna.
Mereka tidak dipaksa untuk menghidupi dirinya, namun yang wajib memberinya
nafkah adalah suami, orangtua atau saudara laki-lakinya. Mereka tidak menemui
kehinaan, tidak diperlakukan kasar, karena Rasulullaah saw telah berpesan untuk
menjaga perempuan dengan sebaik mungkin. Perempuan adalah istri mulia di rumah
suaminya, ibu tangguh bagi anak-anaknya, dan pejuang kebenaran di tengah umat.
Secara imani dan realistik, penyelesaian mendasar dari semua
persoalan yang kita hadapi sekarang ini hanyalah dengan mencampakkan sistem
yang rusak dan kembali ke sistem yang mampu memberi jaminan penyelesaian secara
tuntas dan adil, yakni sistem yang berasal dari Zat Yang Mahasempurna dan
Mahaadil. Itulah sistem Islam yang kemampuannya telah teruji selama
berabad-abad membawa umat ini pada kemuliaan dan martabatnya yang hakiki
sebagai khayru ummah. Sistem Islam mampu
menjadi motor peradaban dan membawa rahmat bagi manusia secara keseluruhan. Allah Swt telah mengingatkan kita dalam firman-Nya: “Hukum Jahiliahkah yang mereka
kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang
yang yakin?” (QS al-Maidah [5]: 50).
Dengan demikian, kita wajib memberikan perhatian yang
besar terhadap terlaksananya tugas utama perempuan sebagai ummun wa robbatul
bayt. Sebab, terlaksananya tugas utama ini sangat menentukan kebahagiaan
keluarga dan kualitas generasi yang dihasilkan. Tiada cara lain untuk mengembalikan
kemuliaan perempuan dan menempatkan mereka pada posisi yang bergengsi selain
dengan merebut kembali kekuasaan Islam, menerapkan syariah Islam secara utuh dalam bingkai sistem Khilafah
Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwah. Dalam hal ini umat, khususnya perempuan,
harus dipersiapkan, pada komunitas dan level manapun untuk mendukung perjuangan
penegakan Khilafah. Maka, siapa saja yang meyakini dan mempunyai kemampuan untuk
dalam perjuangan penegakan Khilafah, bersegeralah, karena segala kemampuan itu
akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.
Para perempuan Muslimah yang berkiprah untuk perubahan
dengan tidak menjadikan penerapan syariah Islam dalam Khilafah sebagai jalan
dan target perubahan, maka mereka akan merasa lelah dan sia-sia karena
perubahan hakiki nasib kalian tidak akan pernah terwujud. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt
dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11: ”…Sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.” Kiprah perempuan Muslimah dalam
upaya penegakan Khilafah ini telah disambut oleh Allah Swt dalam QS Ali ‘Imran
[3] ayat 195: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah turunan dari sebagian yang lain...”
Khilafah, yang akan mengatur dunia dengan syariah
Islam, akan memberi hak-hak dan peran perempuan sebagaimana yang diharapkan. Karena
itu, perempuan harus berkiprah dan berkontribusi untuk tegaknya syariah Islam
dalam naungan Khilafah. Khilafah adalah visi politik baru yang diidamkan
perempuan secara khusus dan umat manusia secara umum. Khilafah menawarkan suatu sistem
pemerintahan yang unik yang memungkinkan perempuan Muslimah untuk memenuhi seluruh kewajiban
syariah Islam, sebagaimana Khilafah juga memberikan solusi untuk menghadapi
masalah politik, ekonomi, pendidikan, hukum dan persoalan sosial yang begitu
menakutkan di tengah masyarakat saat ini. Khilafah akan memberikan bentuk yang
benar bagaimana menjaga martabat dan hak-hak perempuan secara global. Inilah
sistem yang menawarkan visi politik baru yang radikal bagi dunia Muslim (a
radically new political vision) dan bisa membawa perubahan yang nyata dalam
kehidupan bagi perempuan dan karenanya berhak mendapat dukungan mereka secara
penuh. Bukan mimpi, Khilafah adalah model pemerintahan cemerlang yang
memenuhi hak hidup perempuan dan memberi peran strategis dalam kehidupan
bangsa, hingga
memperoleh kesejahteraan dan meraih kemuliaan di dunia dan akhirat, insya Allah.
Wallaahu a’lam bish showaab [].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar