Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Sikap keras, kekerasan, reaktif dan emosional nampaknya sedang menjadi label teranyar bagi masyakarat Indonesia, yang sebelumnya justru dikenal sebagai bangsa yang ramah dan pemaaf. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat sejumlah fakta telah membuktikan bahwa rakyat Indonesia cenderung berubah sifat menjadi bangsa pemarah.
Belakangan ini di berbagai pemberitaan media massa marak mengangkat tentang konflik dan kekerasan. Dalam sudut pandang ini, fenomena pemberitaan konflik yang banyak terjadi di dalam masyarakat merupakan sebuah indikator bahwa masyarakat kita memang sangat akrab dengan konflik dan juga kekerasan. Dalam konteks pemberitaan konflik dan kekerasan, media massa di Indonesia berperan membentuk setting tertentu dalam melihat fakta konflik di lapangan. Dengan mengangkat fakta dari realitas di dalam masyarakat, media berperan mengangkatnya agar menjadi perhatian publik secara luas. Hal ini membuat konflik dan kekerasan menjadi diskursus publik melalui berbagai pemberitaan. Agenda media tentang peristiwa konflik pun menjadi agenda pembicaraan bagi masyarakat luas (http://yearrypanji.wordpress.com/2011/03/10/).
Maraknya konflik dan kekerasan juga dipahami sebagai salah satu akibat dari semakin berjaraknya antara elit politik dengan masyarakat. Sistem politik yang ada tidak menjadikan saluran-saluran komunikasi politik berjalan secara sehat. Masyarakat kehilangan saluran untuk berkomunikasi dan menyampaikan suara dan aspirasi politiknya, hingga akhirnya konflik dan kekerasan dijadikan semacam saluran komunikasi masyarakat. Hal ini barangkali dapat dihindari jika ternyata masyarakat merasa dapat berpartisipasi dalam sistem politik yang ada (http://yearrypanji.wordpress.com/2011/03/10/).
Contohkanlah satu kisah, dimana kekerasan di sekolah sudah tidak lagi menjadi masalah baru. Akar penyebab kekerasan di sekolah adalah kemiskinan yang pada akhirnya mampu menimbulkan kejahatan. Para ahli percaya bahwa masyarakat perkotaan memiliki jumlah kemiskinan yang lebih besar. Kemiskinan sangat memungkinkan terjadinya kejahatan merajalela dan penyalahgunaan narkoba. Dalam hal ini, masyarakat perkotaan memiliki faktor tingkat pengangguran yang tinggi. Anak-anak dari masyarakat ini cenderung memilih perilaku yang tidak diinginkan, seperti agresivitas, perilaku intimidasi, frustrasi dengan penyalahgunaan narkoba, hingga belajar menggunakan dan memperoleh senjata. Anak-anak berkenalan dengan kejahatan begitu banyak sehingga mereka menjadikan penjahat dalam masyarakat sebagai pahlawan yang harus dicontoh (http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.nssc1. org/root-causes-of-school-violence-another-perspective.html). Sungguh ironi fakta krisis idola.
Di sekolah, mereka berperilaku sebagai jagoan kandang dalam kekerasan, agresi dan intimidasi. Mereka tidak takut untuk melepaskan teror kepada sesama siswa maupun guru mereka. Dalam hal ini, lingkungan perkotaan memiliki kecenderungan resiko, yaitu mencakup faktor resiko individu, keluarga, masyarakat dan sekolah. Faktor resiko individu antara lain meliputi agresivitas dari penyalahgunaan obat oleh individu atau interaksi dengan teman sebaya yang nakal. Faktor resiko keluarga yang potensial misalnya latar belakang kriminal dan kekerasan keluarga, kurangnya kedisiplinan di dalam rumah dan kemiskinan akibat penyalahgunaan keuangan oleh orang tua. Faktor resiko masyarakat mengkondisikan individu untuk mendapatkan akses pada senjata dan obat-obatan dengan mudah, potret kekerasan yang merajalela, perusakan fasilitas umum dan kriminalitas. Faktor resiko sekolah mencakup hal-hal seperti buruknya kemampuan akademik, hilangnya minat dan konsentrasi dalam belajar serta ketergabungan dalam geng sekolah (The School Violence Resource Center 2002).
Atau fakta terbaru mengenai aksi bakar diri seorang pria di depan Istana Negara, Rabu (07/12/2011) lalu. Meski bukan sebagai korban langsung akan aksi tindak kekerasan, aksi ini menunjukkan bahwa keberanian pelakunya melakukan tindakan tertentu, yang membuktikan kemudahan jiwanya membuat sebuah sensasi ekstrim. Ketua DPN Repdem, Masinton Pasaribu menyatakan kepada Tribun News (tribunnews.com, Kamis, 08/12/2011), bahwa terjadinya aksi bakar diri di depan Istana negara adalah peringatan serius kepada presiden SBY-Boediono dan jajaran pemerintahannya, bahwa kemiskinan yang semakin meluas telah berada pada tahap mengkhawatirkan di level masyarakat, seperti bertindak nekad karena kehilangan harapan hidup. Masinton juga menandaskan bahwa laporan pemerintah tentang menurunnya kemiskinan berbanding terbalik dengan kenyataan dan harapannya rakyat. Hal ini disebabkan oleh pemerintahan SBY-Boediono dengan menteri-menterinya yang terlalu mementingkan pencitraan semu, kerap mengedepankan kebohongan kepada rakyat ketimbang melakukan kerja-kerja konkrit dan nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta meluasnya kemiskinan dan mengguritanya praktek korupsi di tubuh pemerintahan SBY-Boediono. Disamping itu, pemberantasan korupsi tebang pilih yang tidak menyentuh kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan lingkar kekuasaan seperti kasus bail out Bank Century, kasus pengadaan gerbong kereta api, kasus Hambalang dan suap Sesmenpora yang melibatkan pengurus partainya SBY, belum lagi kasus mafia pajak, dan lain-lain yang melahirkan frustrasi dan ketidak percayaan rakyat kepada pemerintahan SBY-Boediono.
Berkaca dari kelumit fakta di atas, dapat ditarik suatu simpulan awal bahwa kondisi generasi dan masyarakat yang akrab dengan konflik dan kekerasan sangat labil, mudah goncang dan digoncangkan, tidak tahan konflik serta berdaya juang rendah. Hal ini terbukti dari segala perilaku yang menjadi wujud respon terhadap suatu masalah yang hanya bisa ditunjukkan secara reaktif dan emosional. Dengan demikian, perlu ditilik secara detil dalam rangka mencari solusi bagi manusia sebagai aktor kehidupan, agar manusia tidak mudah terbangkitkan dari sisi perasaan, melainkan pemikiran. Dengan demikian, diperlukan penggambaran objektif mengenai diri manusia itu sendiri beserta tatacara kehidupannya, khususnya sebagai warga sebuah negara.
Bicara tentang manusia, hal ini harus berawal dari posisi manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt, yaitu pihak yang senantiasa teratur mengikuti perintah dan kehendak Khaliq. Perlu diyakini bahwa bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Agar manusia mampu bangkit harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain. Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap segala sesuatu. Disamping itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan ini sesuai dengan mafahim-nya terhadap kehidupan (Kitab Peraturan Hidup dalam Islam).
Hal ini selanjutnya terkait dengan potensi kehidupan manusia yang terdiri dari dua hal, yaitu kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) dan naluri (ghorizah). Dalam menjalankan kehidupannya, manusia memerlukan sistem yang mengatur kebutuhan jasmani dan naluri tersebut (Kitab Peraturan Hidup dalam Islam). Disamping keduanya, manusia juga memiliki akal sebagai keistimewaan yang diberikan oleh Allah Swt atas makhluk-Nya yang lain. Akal merupakan kekuatan manusia untuk melahirkan keputusan atau kesimpulan tentang sesuatu, sehingga proses menuju keputusan atau kesimpulan ini disebut sebagai proses berpikir. Jika potensi akal ini digunakan untuk memahami hubungannya dengan Allah Swt, maka kualitas tingkah laku (suluk) seseorang akan meningkat, sehingga kualitas hidupnya juga meningkat (Buku Islam, Politik dan Spiritual).
Akibat sekulerisme, hedonisme, masalah ekonomi maupun ketidakpuasan terhadap sistem yang tengah berlaku, fakta di publik telah menjelaskan bahwa masyarakat saat ini masih menanggapi berbagai kasus kehidupan dengan cara dan bentuk ketidakpuasan yang salah. Hal ini juga menunjukkan bahwa sistem kapitalisme tidak memberikan perlindungan dan kesejahteraan sebagaimana fitrah manusia untuk mendapatkan kebahagiaan. Dengan demikian, keistimewaan akal manusia belum dioptimalkan sebagaimana mestinya. Buktinya, manusia masih sangat mudah terbangkitkan hanya dari sisi perasaan, bukan pemikirannya.
Dalam Islam terdapat penyelesaian permasalahan kehidupan berdasarkan penanganan potensi manusia, yaitu kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) dan naluri (ghorizah). Penyimpangan humanistik itu tidak diselesaikan sebatas landasan eksistensi, perasaan dan standar manusia. Akan tetapi harus dikembalikan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang harus memiliki kesadaran hubungan dengan Allah Swt, sehingga segala perbuatannya harus terikat dengan hukum Islam baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Hal ini sebagaimana dari Abû Hurairah ra. ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah di bawah naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu Pemimpin yang adil; Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah semasa hidupnya; Orang yang hatinya senantiasa terpaut dengan Masjid; Dua orang yang saling mencintai kerena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah kerena Allah; Seorang lelaki yang diajak seorang perempuan cantik dan berkedudukan untuk berzina tetapi dia berkata, “Aku takut kepada Allah!”; Orang yang memberi sedekah tetapi dia merahasiakannya seolah-olah tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya; dan seorang yang mengingat Allah di waktu sunyi sehingga bercucuran air matanya.” (Mutafaq ‘alaih). Dan dari Usamah bin Syarik, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Apa-apa yang tidak disukai Allah darimu, maka janglah engkau kerjakan, (meskipun) sedang sendirian.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya) (Kitab Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah).
Jadi jelas, standarnya adalah halal dan haram. Disamping itu, konflik dan kekerasan yang maknanya dekat dengan kemarahan harus diselesaikan dengan terminologi bahwa marah dan bencinya seorang muslim itu hanya karena Allah Swt. Hal ini sebagaimana dari Abû Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang kuat bukanlah yang kuat karena berkelahi. Tapi orang yang kuat adalah orang yang bisa menguasai dirinya ketika akan marah.” (Mutafaq ‘alaih) (Kitab Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah).
Ketika tidak puas dengan sistem kapitalisme-sekuler saat ini, bukan diatasi dengan kekerasan dan aksi ekstrim, bukan pula dengan kesabaran yang tanpa berbuat apa-apa. Melainkan dengan sabar yang dibarengi dengan berbaik sangka kepada Allah, yaitu mengharapkan rahmat, jalan keluar, ampunan, dan pertolongan dari-Nya. Allah telah mewajibkan berbaik sangka kepada-Nya, sebagaimana Allah mewajibkan takut kepadanya. Karena itu, seorang hamba hendaknya senantiasa takut kepada Allah dan mengharapkan rahmat dari-Nya. Firman Allah Swt:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (TQS. al-Baqarah [2]: 214).
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji`ûn” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (TQS. al-Baqarah [2]: 155-157). Serta dari Abû Sa'id al-Khudri ra., sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang berusaha untuk sabar, maka Allah akan menjadikannya mampu bersabar. Tidak ada pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Mutafaq ‘alaih).
Dan dari Anas ra. ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Allah berfirman, “Wahai anak Adam!, sesungguhnya engkau selama berdoa dan berharap kepada-Ku, maka Aku pasti akan memberikan ampunan kepadamu atas segala dosa-dosamu dan Aku tidak akan peduli. Wahai anak Adam, andaikata dosa-dosamu sampai ke langit kemudian engkau memohon ampunan kepada-Ku, maka pasti Aku akan memberikan ampunan kepadamu. Wahai Anak Adam, jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku, tapi engkau tidak menyekutukan-Ku sedikit pun, maka pasti Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan sepenuh bumi.” (HR. at-Tirmidzi. Ia berkata, “Hadits ini hasan”).
Dengan demikian, keyakinan seorang hamba terhadap pertolongan Allah adalah mutlak sebagai bentuk ketaqwaannya kepada Allah. Ketaqwaan ini sendiri merupakan pilar pertama bagi tegaknya suatu negara. Dimana dua pilar yang lain adalah kontrol dari masyarakat dan negara sebagai penegak aturan. Masyarakat sebagai pengontrol harus memiliki perasaan, pemikiran, peraturan yang sama, yaitu atas landasan Islam agar segala bentuk ketaqwaan individu dalam formasi tingkah lakunya itu senantiasa terjaga kualitasnya pada sekup mikro. Selanjutnya, negara sebagai penegak aturan adalah negara yang menegakkan aturan Allah dalam pemeliharaan urusan rakyatnya. Hal ini agar rakyat tetap terjaga dalam kesempurnaan ketaatan kepada Allah Swt pada sekup makro dengan pensuasanaan kebijakan yang sesuai syariat Islam dalam bingkai Khilafah.
Keberadaan ketiga pilar ini secara ideal akan membuat rakyat tidak hanya makin bertaqwa, tapi juga makin bijak dalam pemenuhan potensi kehidupan, baik dari sisi kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) maupun naluri (ghorizah). Tidak ada lagi ketidakpuasan mereka pada rahmat Allah, karena ketaqwaannya membuatnya senantiasa bersyukur kepada Allah. Disamping itu, ada masyarakat yang akan kondusif dengan suasana ‘amar ma’ruf nahyi mungkar. Selanjutnya, ada negara sebagai pengambil kebijakan yang tetap berlandaskan syariat Islam, sehingga rakyat pun bebas melaksanakan ketaatannya kepada Allah tanpa beban dan pembinasaan sebagaimana kehidupan kaum muslimin di negeri-negeri muslim kapitalis-sekular saat ini. Rakyat tidak harus merasa tidak aman dalam kehidupan sehari-hari. Ketaqwaan akan membuat mereka menjadi sosok tidak mudah marah kepada orang lain tanpa alasan syar’iy. Hal ini tentu mengkondusifkan suasana kehidupan di masyarakat dalam rangka tidak mudah terjebak konflik, apalagi kekerasan. Rakyat juga tidak harus mengemis-ngemis belas kasihan penguasa akibat terzholimi oleh sistem yang ditegakkan, apalagi hingga melakukan aksi bakar diri. Hal ini karena kebijakan dalam negara Islam tidak memberikan alasan ketidakpuasan bagi rakyatnya.
Dengan demikian, jika dalam negara kapitalis-sekular, maka mengemis belas kasihan penguasa itu omong kosong karena negara hanya berpihak pada kepentingan penguasa dan segelintir kroninya, sehingga wajar jika tidak ada keberpihakan atau belas kasihan atas kebijakan kepada rakyat. Sementara dalam negara Islam, mengemis belas kasihan penguasa itu omong kosong karena negara telah menjamin kehidupan manusia seutuhnya, yaitu sebagai makhluk yang harus ber-hablum minallaah, hamblum binafsihi dan hablum minannas, sehingga rakyat justru tidak perlu sampai mengemis karena negara sudah memenuhi segala kebutuhannya. Subhanallaah, betapa ridho Allah pun akan berlimpah pada negara Islam, aamiin.
Wallahu a'lam bish showab.
Sikap keras, kekerasan, reaktif dan emosional nampaknya sedang menjadi label teranyar bagi masyakarat Indonesia, yang sebelumnya justru dikenal sebagai bangsa yang ramah dan pemaaf. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat sejumlah fakta telah membuktikan bahwa rakyat Indonesia cenderung berubah sifat menjadi bangsa pemarah.
Belakangan ini di berbagai pemberitaan media massa marak mengangkat tentang konflik dan kekerasan. Dalam sudut pandang ini, fenomena pemberitaan konflik yang banyak terjadi di dalam masyarakat merupakan sebuah indikator bahwa masyarakat kita memang sangat akrab dengan konflik dan juga kekerasan. Dalam konteks pemberitaan konflik dan kekerasan, media massa di Indonesia berperan membentuk setting tertentu dalam melihat fakta konflik di lapangan. Dengan mengangkat fakta dari realitas di dalam masyarakat, media berperan mengangkatnya agar menjadi perhatian publik secara luas. Hal ini membuat konflik dan kekerasan menjadi diskursus publik melalui berbagai pemberitaan. Agenda media tentang peristiwa konflik pun menjadi agenda pembicaraan bagi masyarakat luas (http://yearrypanji.wordpress.com/2011/03/10/).
Maraknya konflik dan kekerasan juga dipahami sebagai salah satu akibat dari semakin berjaraknya antara elit politik dengan masyarakat. Sistem politik yang ada tidak menjadikan saluran-saluran komunikasi politik berjalan secara sehat. Masyarakat kehilangan saluran untuk berkomunikasi dan menyampaikan suara dan aspirasi politiknya, hingga akhirnya konflik dan kekerasan dijadikan semacam saluran komunikasi masyarakat. Hal ini barangkali dapat dihindari jika ternyata masyarakat merasa dapat berpartisipasi dalam sistem politik yang ada (http://yearrypanji.wordpress.com/2011/03/10/).
Contohkanlah satu kisah, dimana kekerasan di sekolah sudah tidak lagi menjadi masalah baru. Akar penyebab kekerasan di sekolah adalah kemiskinan yang pada akhirnya mampu menimbulkan kejahatan. Para ahli percaya bahwa masyarakat perkotaan memiliki jumlah kemiskinan yang lebih besar. Kemiskinan sangat memungkinkan terjadinya kejahatan merajalela dan penyalahgunaan narkoba. Dalam hal ini, masyarakat perkotaan memiliki faktor tingkat pengangguran yang tinggi. Anak-anak dari masyarakat ini cenderung memilih perilaku yang tidak diinginkan, seperti agresivitas, perilaku intimidasi, frustrasi dengan penyalahgunaan narkoba, hingga belajar menggunakan dan memperoleh senjata. Anak-anak berkenalan dengan kejahatan begitu banyak sehingga mereka menjadikan penjahat dalam masyarakat sebagai pahlawan yang harus dicontoh (http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.nssc1. org/root-causes-of-school-violence-another-perspective.html). Sungguh ironi fakta krisis idola.
Di sekolah, mereka berperilaku sebagai jagoan kandang dalam kekerasan, agresi dan intimidasi. Mereka tidak takut untuk melepaskan teror kepada sesama siswa maupun guru mereka. Dalam hal ini, lingkungan perkotaan memiliki kecenderungan resiko, yaitu mencakup faktor resiko individu, keluarga, masyarakat dan sekolah. Faktor resiko individu antara lain meliputi agresivitas dari penyalahgunaan obat oleh individu atau interaksi dengan teman sebaya yang nakal. Faktor resiko keluarga yang potensial misalnya latar belakang kriminal dan kekerasan keluarga, kurangnya kedisiplinan di dalam rumah dan kemiskinan akibat penyalahgunaan keuangan oleh orang tua. Faktor resiko masyarakat mengkondisikan individu untuk mendapatkan akses pada senjata dan obat-obatan dengan mudah, potret kekerasan yang merajalela, perusakan fasilitas umum dan kriminalitas. Faktor resiko sekolah mencakup hal-hal seperti buruknya kemampuan akademik, hilangnya minat dan konsentrasi dalam belajar serta ketergabungan dalam geng sekolah (The School Violence Resource Center 2002).
Atau fakta terbaru mengenai aksi bakar diri seorang pria di depan Istana Negara, Rabu (07/12/2011) lalu. Meski bukan sebagai korban langsung akan aksi tindak kekerasan, aksi ini menunjukkan bahwa keberanian pelakunya melakukan tindakan tertentu, yang membuktikan kemudahan jiwanya membuat sebuah sensasi ekstrim. Ketua DPN Repdem, Masinton Pasaribu menyatakan kepada Tribun News (tribunnews.com, Kamis, 08/12/2011), bahwa terjadinya aksi bakar diri di depan Istana negara adalah peringatan serius kepada presiden SBY-Boediono dan jajaran pemerintahannya, bahwa kemiskinan yang semakin meluas telah berada pada tahap mengkhawatirkan di level masyarakat, seperti bertindak nekad karena kehilangan harapan hidup. Masinton juga menandaskan bahwa laporan pemerintah tentang menurunnya kemiskinan berbanding terbalik dengan kenyataan dan harapannya rakyat. Hal ini disebabkan oleh pemerintahan SBY-Boediono dengan menteri-menterinya yang terlalu mementingkan pencitraan semu, kerap mengedepankan kebohongan kepada rakyat ketimbang melakukan kerja-kerja konkrit dan nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta meluasnya kemiskinan dan mengguritanya praktek korupsi di tubuh pemerintahan SBY-Boediono. Disamping itu, pemberantasan korupsi tebang pilih yang tidak menyentuh kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan lingkar kekuasaan seperti kasus bail out Bank Century, kasus pengadaan gerbong kereta api, kasus Hambalang dan suap Sesmenpora yang melibatkan pengurus partainya SBY, belum lagi kasus mafia pajak, dan lain-lain yang melahirkan frustrasi dan ketidak percayaan rakyat kepada pemerintahan SBY-Boediono.
Berkaca dari kelumit fakta di atas, dapat ditarik suatu simpulan awal bahwa kondisi generasi dan masyarakat yang akrab dengan konflik dan kekerasan sangat labil, mudah goncang dan digoncangkan, tidak tahan konflik serta berdaya juang rendah. Hal ini terbukti dari segala perilaku yang menjadi wujud respon terhadap suatu masalah yang hanya bisa ditunjukkan secara reaktif dan emosional. Dengan demikian, perlu ditilik secara detil dalam rangka mencari solusi bagi manusia sebagai aktor kehidupan, agar manusia tidak mudah terbangkitkan dari sisi perasaan, melainkan pemikiran. Dengan demikian, diperlukan penggambaran objektif mengenai diri manusia itu sendiri beserta tatacara kehidupannya, khususnya sebagai warga sebuah negara.
Bicara tentang manusia, hal ini harus berawal dari posisi manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt, yaitu pihak yang senantiasa teratur mengikuti perintah dan kehendak Khaliq. Perlu diyakini bahwa bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Agar manusia mampu bangkit harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain. Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap segala sesuatu. Disamping itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan ini sesuai dengan mafahim-nya terhadap kehidupan (Kitab Peraturan Hidup dalam Islam).
Hal ini selanjutnya terkait dengan potensi kehidupan manusia yang terdiri dari dua hal, yaitu kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) dan naluri (ghorizah). Dalam menjalankan kehidupannya, manusia memerlukan sistem yang mengatur kebutuhan jasmani dan naluri tersebut (Kitab Peraturan Hidup dalam Islam). Disamping keduanya, manusia juga memiliki akal sebagai keistimewaan yang diberikan oleh Allah Swt atas makhluk-Nya yang lain. Akal merupakan kekuatan manusia untuk melahirkan keputusan atau kesimpulan tentang sesuatu, sehingga proses menuju keputusan atau kesimpulan ini disebut sebagai proses berpikir. Jika potensi akal ini digunakan untuk memahami hubungannya dengan Allah Swt, maka kualitas tingkah laku (suluk) seseorang akan meningkat, sehingga kualitas hidupnya juga meningkat (Buku Islam, Politik dan Spiritual).
Akibat sekulerisme, hedonisme, masalah ekonomi maupun ketidakpuasan terhadap sistem yang tengah berlaku, fakta di publik telah menjelaskan bahwa masyarakat saat ini masih menanggapi berbagai kasus kehidupan dengan cara dan bentuk ketidakpuasan yang salah. Hal ini juga menunjukkan bahwa sistem kapitalisme tidak memberikan perlindungan dan kesejahteraan sebagaimana fitrah manusia untuk mendapatkan kebahagiaan. Dengan demikian, keistimewaan akal manusia belum dioptimalkan sebagaimana mestinya. Buktinya, manusia masih sangat mudah terbangkitkan hanya dari sisi perasaan, bukan pemikirannya.
Dalam Islam terdapat penyelesaian permasalahan kehidupan berdasarkan penanganan potensi manusia, yaitu kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) dan naluri (ghorizah). Penyimpangan humanistik itu tidak diselesaikan sebatas landasan eksistensi, perasaan dan standar manusia. Akan tetapi harus dikembalikan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang harus memiliki kesadaran hubungan dengan Allah Swt, sehingga segala perbuatannya harus terikat dengan hukum Islam baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Hal ini sebagaimana dari Abû Hurairah ra. ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah di bawah naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu Pemimpin yang adil; Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah semasa hidupnya; Orang yang hatinya senantiasa terpaut dengan Masjid; Dua orang yang saling mencintai kerena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah kerena Allah; Seorang lelaki yang diajak seorang perempuan cantik dan berkedudukan untuk berzina tetapi dia berkata, “Aku takut kepada Allah!”; Orang yang memberi sedekah tetapi dia merahasiakannya seolah-olah tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya; dan seorang yang mengingat Allah di waktu sunyi sehingga bercucuran air matanya.” (Mutafaq ‘alaih). Dan dari Usamah bin Syarik, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Apa-apa yang tidak disukai Allah darimu, maka janglah engkau kerjakan, (meskipun) sedang sendirian.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya) (Kitab Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah).
Jadi jelas, standarnya adalah halal dan haram. Disamping itu, konflik dan kekerasan yang maknanya dekat dengan kemarahan harus diselesaikan dengan terminologi bahwa marah dan bencinya seorang muslim itu hanya karena Allah Swt. Hal ini sebagaimana dari Abû Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang kuat bukanlah yang kuat karena berkelahi. Tapi orang yang kuat adalah orang yang bisa menguasai dirinya ketika akan marah.” (Mutafaq ‘alaih) (Kitab Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah).
Ketika tidak puas dengan sistem kapitalisme-sekuler saat ini, bukan diatasi dengan kekerasan dan aksi ekstrim, bukan pula dengan kesabaran yang tanpa berbuat apa-apa. Melainkan dengan sabar yang dibarengi dengan berbaik sangka kepada Allah, yaitu mengharapkan rahmat, jalan keluar, ampunan, dan pertolongan dari-Nya. Allah telah mewajibkan berbaik sangka kepada-Nya, sebagaimana Allah mewajibkan takut kepadanya. Karena itu, seorang hamba hendaknya senantiasa takut kepada Allah dan mengharapkan rahmat dari-Nya. Firman Allah Swt:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (TQS. al-Baqarah [2]: 214).
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji`ûn” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (TQS. al-Baqarah [2]: 155-157). Serta dari Abû Sa'id al-Khudri ra., sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang berusaha untuk sabar, maka Allah akan menjadikannya mampu bersabar. Tidak ada pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Mutafaq ‘alaih).
Dan dari Anas ra. ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Allah berfirman, “Wahai anak Adam!, sesungguhnya engkau selama berdoa dan berharap kepada-Ku, maka Aku pasti akan memberikan ampunan kepadamu atas segala dosa-dosamu dan Aku tidak akan peduli. Wahai anak Adam, andaikata dosa-dosamu sampai ke langit kemudian engkau memohon ampunan kepada-Ku, maka pasti Aku akan memberikan ampunan kepadamu. Wahai Anak Adam, jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku, tapi engkau tidak menyekutukan-Ku sedikit pun, maka pasti Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan sepenuh bumi.” (HR. at-Tirmidzi. Ia berkata, “Hadits ini hasan”).
Dengan demikian, keyakinan seorang hamba terhadap pertolongan Allah adalah mutlak sebagai bentuk ketaqwaannya kepada Allah. Ketaqwaan ini sendiri merupakan pilar pertama bagi tegaknya suatu negara. Dimana dua pilar yang lain adalah kontrol dari masyarakat dan negara sebagai penegak aturan. Masyarakat sebagai pengontrol harus memiliki perasaan, pemikiran, peraturan yang sama, yaitu atas landasan Islam agar segala bentuk ketaqwaan individu dalam formasi tingkah lakunya itu senantiasa terjaga kualitasnya pada sekup mikro. Selanjutnya, negara sebagai penegak aturan adalah negara yang menegakkan aturan Allah dalam pemeliharaan urusan rakyatnya. Hal ini agar rakyat tetap terjaga dalam kesempurnaan ketaatan kepada Allah Swt pada sekup makro dengan pensuasanaan kebijakan yang sesuai syariat Islam dalam bingkai Khilafah.
Keberadaan ketiga pilar ini secara ideal akan membuat rakyat tidak hanya makin bertaqwa, tapi juga makin bijak dalam pemenuhan potensi kehidupan, baik dari sisi kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) maupun naluri (ghorizah). Tidak ada lagi ketidakpuasan mereka pada rahmat Allah, karena ketaqwaannya membuatnya senantiasa bersyukur kepada Allah. Disamping itu, ada masyarakat yang akan kondusif dengan suasana ‘amar ma’ruf nahyi mungkar. Selanjutnya, ada negara sebagai pengambil kebijakan yang tetap berlandaskan syariat Islam, sehingga rakyat pun bebas melaksanakan ketaatannya kepada Allah tanpa beban dan pembinasaan sebagaimana kehidupan kaum muslimin di negeri-negeri muslim kapitalis-sekular saat ini. Rakyat tidak harus merasa tidak aman dalam kehidupan sehari-hari. Ketaqwaan akan membuat mereka menjadi sosok tidak mudah marah kepada orang lain tanpa alasan syar’iy. Hal ini tentu mengkondusifkan suasana kehidupan di masyarakat dalam rangka tidak mudah terjebak konflik, apalagi kekerasan. Rakyat juga tidak harus mengemis-ngemis belas kasihan penguasa akibat terzholimi oleh sistem yang ditegakkan, apalagi hingga melakukan aksi bakar diri. Hal ini karena kebijakan dalam negara Islam tidak memberikan alasan ketidakpuasan bagi rakyatnya.
Dengan demikian, jika dalam negara kapitalis-sekular, maka mengemis belas kasihan penguasa itu omong kosong karena negara hanya berpihak pada kepentingan penguasa dan segelintir kroninya, sehingga wajar jika tidak ada keberpihakan atau belas kasihan atas kebijakan kepada rakyat. Sementara dalam negara Islam, mengemis belas kasihan penguasa itu omong kosong karena negara telah menjamin kehidupan manusia seutuhnya, yaitu sebagai makhluk yang harus ber-hablum minallaah, hamblum binafsihi dan hablum minannas, sehingga rakyat justru tidak perlu sampai mengemis karena negara sudah memenuhi segala kebutuhannya. Subhanallaah, betapa ridho Allah pun akan berlimpah pada negara Islam, aamiin.
Wallahu a'lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar