Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Perempuan,
makhluk cantik ciptaan Allah Swt ini bukanlah selebriti di antara makhluk-Nya
yang lain. Bukan pula makhluk yang Rasulullaah saw ibaratkan layak untuk
disembah. Akan tetapi, profilnya selalu menarik untuk disisir laksana mencari
mutiara di kedalaman samudra berkarang terjal. Terbukti, dalam sejumlah
peradaban manusia, antara lain Yunani, Romawi, India, Yahudi dan Arab Jahiliah,
perempuan hanya dipandang sebagai bakteri yang tidak layak untuk sekedar hidup.
Bahkan dalam peradaban Barat yang dikatakan modern, perempuan hanya menjadi
komoditas permainan dan kesenangan ketika masih muda, menarik dan cantik. Akan
tetapi saat lanjut usia, bukan tidak mungkin jika nasibnya berakhir di tengah
lingkungan panti jompo, na’udzubillah.
Maka ingatlah bahwa sepanjang sejarah, perempuan tidak pernah mendapatkan
kedudukan yang terhormat, kecuali dalam ajaran Islam (Buku Siroh Shohabiyah Jilid 2). Islam telah jelas memuliakan perempuan
tanpa limit satuan, karena kemuliaan perempuan tertuang di dalam Al-Qur’an yang
kebenarannya dijaga oleh Allah Swt hingga akhir zaman.
Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan
Berkaca
dari pemuliaan Islam terhadap perempuan, berikut ini diulas potret perempuan
dalam sistem tanpa Islam, hingga kaum perempuan harus mengemis pengakuan melalui
sebuah momentum eksistensi. Faktanya, para
aktivis perempuan di dunia telah menandai tanggal 25 November sebagai hari
untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan sejak tahun 1981. Sejalan dengan
itu, tahun 1993, Kongres Feminis lnternasional mencanangkan bahwa setiap
tahunnya selama 16 hari mulai 25 November-10 Desember sebagai masa kampanye penghapusan kekerasan
terhadap perempuan. Di
Indonesia, kampanye ini
dilakukan oleh lembaga masyarakat yang bergerak di sektor advokasi bagi
perempuan. Pada tanggal 17 Desember 1999, Majelis Umum PBB menetapkan tanggal
25 November sebagai "Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan (Resolusi 54/134)" (antaranews.com, 25/11/2011).
Risa Amrikasari, pemerhati masalah sosial dan perempuan, dalam memperingati Hari Internasional Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan (Jumat, 25/11/2011) di Jakarta, menyatakan bahwa pemerintah
hendaknya lebih peduli terhadap kasus-kasus kekerasan yang kerap
terjadi pada perempuan. Menurut
Risa, saat ini Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Convention
on the Elimination All Form of Against Women (CEDAW). Selanjutnya, sosialisasi
perundang-undangan yang
mengatur anti kekerasan terhadap perempuan harus semakin dipacu. Hal ini karena kasus-kasus yang terjadi di masyarakat adakalanya tidak terselesaikan secara hukum karena belum
dipandang sebagai prioritas oleh lingkungan dan aparatur negara. Keberhasilan
kampanye dan sosialisasi oleh
pemerintah dianggap masih
harus diukur ulang. Meski
negara
sudah memberi perhatian, akan tetapi masih
banyak hal yang perlu dilakukan dan dipercepat (antaranews.com,
25/11/2011).
Perempuan dan Kekerasan
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap
tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada
perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik
yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. Seringkali kekerasan pada perempuan
terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan jender. Ketimpangan
jender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat
yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki. “Hak
istimewa” yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah menjadikan perempuan sebagai
“barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena, termasuk
dengan cara kekerasan (kesrepro.info,
24/12/2007).
Kekerasan rumah tangga adalah jenis kekerasan jender yang paling
umum. Korbannya adalah perempuan di
negara-negara berkembang dan negara-negara Barat lainnya. Kekerasan adalah salah satu penyebab
kematian dan cacat yang umum di kalangan perempuan usia produktif, dan merupakan penyebab yang lebih besar
daripada sakit, kecelakaan lalu lintas dan malaria.
Data
secara internasional telah membuktikannya. Beberapa studi yang
dilakukan di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa setiap tahun sekitar 4 juta
perempuan diserang secara fisik oleh suami atau pasangan mereka. Di setiap negara, dimana telah dilakukan
penelitian yang dapat diandalkan, statistik menunjukkan bahwa antara 10-50 % perempuan melaporkan bahwa mereka
telah disiksa secara fisik oleh pasangan intim selama masa hidup mereka.
Di
Meksiko, menurut Kementerian Kesehatan Meksiko, sekitar satu dari
tiga wanita menderita kekerasan rumah tangga, dan akibatnya diperkirakan lebih
dari 6.000 perempuan meninggal di Meksiko setiap tahun. Menurut studi 2006 di Meksiko, 43,2% perempuan dengan usia lebih dari 15
tahun telah menjadi korban dari beberapa bentuk kekerasan di dalam keluarga
selama hubungan terakhir mereka.
Kekerasan dalam rumah tangga juga tersebar
luas di banyak negara Afrika. Di Zimbabwe, menurut laporan PBB, jumlahnya menyumbang lebih dari enam
dalam sepuluh kasus pembunuhan di pengadilan. Menurut survei, 42% perempuan di
Kenya dan 41% di Uganda melaporkan telah dipukuli oleh pasangan mereka.
Di China, kekerasan rumah tangga terjadi pada
1/3 dari negara dengan 270 juta rumah tangga. Sebuah survei yang dilakukan oleh
China Law Institute di Gansu, Hunan,
dan provinsi Zhejiang menemukan bahwa 1/3 dari keluarga yang disurvei telah
menyaksikan kekerasan dalam keluarga, dan bahwa 85% korban adalah perempuan.
Di Rusia, diperkirakan kematian akibat
kekerasan rumah tangga tahunan adalah lebih dari 14.000 perempuan. Natalya Abubikirova,
Direktur Eksekutif Russian Association of Crisis Center, menyatakan bahwa jumlah
kematian perempuan setiap tahun di tangan suami dan mitra mereka di Federasi
Rusia kurang lebih sama dengan jumlah total prajurit Soviet yang tewas dalam 10
tahun perang di Afghanistan. Dalam
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dewan Perempuan di Moscow State University, 70% perempuan yang disurvei mengatakan
bahwa mereka telah mengalami beberapa bentuk kekerasan fisik, psikologis,
seksual, atau ekonomi oleh suami mereka.
Penelitian
yang dilakukan di beberapa negara-negara Arab menunjukkan bahwa setidaknya satu
dari tiga perempuan dipukuli oleh suaminya. Di
banyak negeri Islam atau negara-negara dengan
mayoritas Muslim, ayat-ayat Al Qur'an terkadang digunakan untuk
membenarkan kekerasan terhadap perempuan. Dalam
banyak kasus, kekerasan terhadap perempuan (termasuk pembunuhan) lebih didasarkan pada budaya daripada
alasan keagamaan dan dibenarkan oleh kebutuhan untuk melindungi kehormatan
keluarga (Cesar
Chelala di dalam erabaru.net, 25/03/2010).
Khatimah
Ulasan di atas telah memperjelas
bahwa sejatinya peringatan Hari
Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan seolah tidak dapat
berperan lebih sebagai momentum eksistensi perempuan, selain hanya sebatas
formalitas. Pencanangannya sejak kurang lebih 30 tahun yang lalu nampak tiada
guna. Terlebih dengan kampanye yang akan berakhir tanggal 10 Desember, seolah
kemuliaan perempuan hanya layak didengungkan selama 16 hari. Ternyata hanya
sampai di situ kemampuan sistem kapitalistik-sekular menghargai perempuan.
Padahal di sisi lain, kaum feminis seringkali menuduh Islam sebagai agama yang
sarat ketidakadilan pada perempuan. Jika faktanya telah nampak di atas, maka
sebenarnya siapa yang tidak adil.
Dalam Islam terdapat penyelesaian
permasalahan kehidupan berdasarkan penanganan potensi manusia, yaitu kebutuhan
jasmani (hajatul udhowiyah) dan
naluri (ghorizah).
Penyimpangan humanistik berupa
kekerasan terhadap perempuan tidak cukup diselesaikan sebatas landasan
eksistensi, perasaan dan standar manusia. Akan tetapi harus dikembalikan bahwa
manusia adalah makhluk Allah yang harus memiliki kesadaran hubungan dengan
Allah Swt, sehingga segala perbuatannya harus terikat dengan hukum Islam baik
dalam keadaan lapang maupun sempit. Hal ini sebagaimana dari Usamah bin Syarik, ia berkata;
Rasulullah saw. bersabda: “Apa-apa yang
tidak disukai Allah darimu, maka janganlah
engkau kerjakan, (meskipun) sedang sendirian.”
(HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya). Jadi
jelas, standarnya adalah halal dan haram.
Kekerasan
terhadap perempuan terjadi karena pelakunya tidak mengerti sama sekali tentang
cara memuliakan perempuan. Jika di banyak negeri Islam atau negara-negara dengan
mayoritas Muslim, dimana ayat-ayat
Al Qur'an terkadang digunakan untuk membenarkan kekerasan terhadap
perempuan, maka sejatinya
mereka tidak memiliki pemahaman terhadap Al-Qur’an itu sendiri. Ayat berikut
seringkali menjadi kambing hitam atas pembenaran bahwa Islam memerintahkan
kekerasan terhadap perempuan:
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka)[290]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya[291], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar.” (TQS. An-Nisaa [4]: 34).
(Keterangan:
[289].
Maksudnya: Tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya; [290].
Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli istrinya
dengan baik; [291]. Nusyuz yaitu
meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyuz dari
pihak istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya; [292].
Maksudnya: untuk memberi pelajaran
kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi
nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur
mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan
pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya
janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya).
Berdasarkan
hal ini maka jelas bahwa tudingan dan pandangan sempit mengenai posisi perempuan
dalam Islam adalah kesalahan penafsiran terhadap ayat di atas. Lebih dari itu,
Islam adalah aqidah aqliyyah yang terpancar darinya aturan. Islam telah dengan
sangat jeli mengatur kemuliaan perempuan sebagai bagian dari perintah Allah
Swt. Kemuliaan perempuan tidak akan pernah terwujud dalam sistem
kapitalistik-sekular meski negara yang menganutnya berpenduduk mayoritas muslim.
Formalisasi pemuliaan perempuan memerlukan peran negara sebagai penegak aturan,
yaitu aturan Allah Swt dalam pemeliharaan urusan rakyatnya secara paripurna dalam
bingkai Khilafah. Kaum perempuan tidak perlu meragukan kemuliaan yang dapat
diraih dalam kehidupan di bawah naungan Islam. Kaum perempuan juga tidak harus
mengemis sebuah eksistensi. Karena dalam Khilafah Islam, kemuliaan itu bukan
fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar