Sabtu, 07 April 2012

Merenda Optimis Menghadang Isu Krisis Pangan

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
“Pangan, sandang, papan” sebagai slogan kebutuhan primer nampaknya terancam direvisi. Hal ini disebabkan oleh mimpi buruk yang di tahun 2011 ini menjadi kenyataan, yaitu krisis pangan. Kondisi ini memunculkan sejumlah pernyataan kekhawatiran dan spekulasi, antara lain dari Josette Sheeran, Kepala Program Pangan Dunia (World Food Programme). Sheeran mengungkapkan bahwa bersamaan dengan krisis minyak, saat ini dunia juga dilanda krisis pangan yang terutama menjadi lebih nyata sejak Januari 2008. Sama halnya dengan harga minyak yang akhir-akhir ini terus meninggi, krisis pangan juga diperkirakan menandakan telah lewatnya masa harga pangan yang rendah yang telah berlangsung selama tiga dasawarsa yang lalu. Dilain pihak, berbeda dengan krisis minyak yang memang telah diketahui akan secara cepat atau lambat muncul mengingat telah tuanya sumur-sumur minyak dunia dan tidak ditemukannya ladang-ladang minyak baru, krisis pangan datangnya hampir secara tak terduga. Ada yang menganalogkan kejadian krisis pangan ini sebagai suatu “silent tsunami.
Terkait dengan prediksi Menteri Pertanian AS dan Lembaga Pangan dunia (FAO) bahwa Indonesia tahun 2011 memang akan mengalami big crisis di bidang pangan, masyarakat dan para pengambil kebijakan harus mewaspadai adanya korporasi global yang akan memanfaatkan isu ini untuk mengeruk keuntungan. Hal ini dibuktikan oleh pernyataan Bambang Heriyanto, Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (Disperta) Sumenep, bahwa wilayahnya bukan rawan pangan, tapi rawan ketersediaan pangan. Bambang mengatakan, disebut rawan ketersediaan pangan karena struktur tanah di wilayah kepulauan yang tidak produktif untuk ditanami padi dan bahan pangan lainnya. Kalau pun ada, berupa sawah tadah hujan yang hanya dapat ditanami saat musim hujan (tempointeraktif.com, 23 Maret 2011).
Indonesia pun bersiaga menghadang krisis pangan dunia mengingat Indonesia disebut berada di jurang krisis pangan jika masyarakat tak mampu mengakses harga pangan. Fakta tentang kondisi pangan Indonesia mengungkap data dari Kementrian Pertanian bahwa Indonesia surplus beras 5,347 juta ton pada tahun 2011, namun anehnya Kementerian Perdagangan mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor beras sekitar 1,5 juta ton. Di dunia, beberapa negara surplus dan beberapa kekurangan, distribusinya menjadi masalah.
Disamping itu, sumber daya tanaman, genetik, dan lahan Indonesia masih cukup luas untuk memenuhi kebutuhan pangan, masalahnya adalah distribusi dan harga. Yang memprihatinkan adalah kondisi masyarakat miskin yang tak memiliki daya beli terhadap pangan. Fakta lain yang harus diwaspadai adanya indikasi kebijakan impor beras transgenik. Varietas transgenik memiliki produktivitas lebih tinggi. Siapa yang menyedikan produk transgenik. Siapa yang menguasainya? Duppon, Monsanto dari Amerika. Sudah terdeteksi ada upaya untuk mengarahkan penggunaan produk transgenik mereka.
Kajian kritis terhadap kondisi riil yang ada di masyarakat dan sistem pengelolaan yang sesuai dengan syari’at Islam menjadi poin kunci dalam menghadapi persoalan ini. Faktanya, negara saat ini tidak mengambil posisi untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan rakyat. Dalam sistem kapitalisme, negara tidak bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, yaitu pangan, sandang dan papan. Padahal seharusnya negara bertanggung jawab memprioritaskan kesejahteraan petani dan rakyatnya. Negara hanya berupaya agar pendapatan perkapita rakyat secara agregat mengalami peningkatan tanpa melihat apakah masing-masing individu rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Hal ini tampak dari kebijakan yang pro kepada pemilik modal. Bulog melalui sistem tender kepada 24 perusahaan, 16 diantaranya perusahaan asing. Hal ini menjadi mekanisme distribusi memberikan peluang pada pemilik modal besar mendapat keuntungan. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan lagi-lagi menjadi tanggungjawab rakyatnya sendiri. Pangan tetap dipandang sebagai komoditas yang memliki harga yang harus dibayar oleh siapapun yang ingin mengkonsumsinya.
Belum lagi kebijakan luar negeri yang terikat dengan aturan internasional semacam WTO. Ada kesepakatan yg harus diadopsi mengikuti mekanisme perdagangan global. Pembatasan kuota, tarif otomatis berpengaruh terhadap kebijakan ekspor dan impor. Sekalipun Indonesia adalah Negara peringkat ke-3 penghasil beras dan tidak kekurangan pangan (data FAO), tapi masih dihantui krisis pangan. Saat ini terjadi kondisi yang ironis di dunia, banyak kemiskinan, kelaparan dan gizi buruk di negara dunia ketiga, sementara fenomena obesitas dan pesta kuliner menjadi trend di Negara maju.
Jadi sebenarnya Indonesia tidak krisis pangan, tapi yang bermasalah adalah kebijakan sistem dalam distribusi pangan. Sistem kapitalisme-lah yang menjadi biang kerok tidak terdistribusinya pangan di dunia yang menghantarkan seolah-olah dunia mengalami krisis pangan. Permasalahan yang ada termasuk masalah pangan bisa diselesaikan dengan Islam. Umat membutuhkan satu sistem dan kepemimpinan yang menjamin kesejahteraan umat manusia, yaitu Khilafah Islamiyah.  Islam juga mengatur sistem politik ekonomi, juga sistem politik pertanian. Islam memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan, kemanan, dan kesehatan.
Khilafah Islamiyah dalam kebijakan pangan berkonsentrasi pada tercapainya peningkatan produksi, menyuburkan lahan, menghasilkan kualitas yang baik digunakan rakyatnya, menjamin suplai benih untuk petani dan upaya efisiensi dan efektifitas teknologi. Garis tegas yang membedakan Kebijakan Khilafah Islamiyah adalah politik pelayanan untuk rakyat, bukan kapitalisisasi kepentingan atau keberpihakan pada korporasi.
Kebijakan pengelolaan tanah bukan dengan pembebasan tanah untuk investasi asing, tapi memberikan jalan kepada siapa saja muslim dan non muslim untuk menghidupkan tanah mati. Soal distribusi, Khilafah bisa melakukan impor pada konsidi insidtental darurat, namun tidak sembarang membeli kepada negara mana saja, tergantung pada hubungan politik luar negeri yang dijalin dengan Khilafah Islamiyah. Jadi lagi-lagi, hanya syari’at Islam-lah yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan umat dan mendatangkan kesejahteraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar