Sabtu, 07 Maret 2015

Harga Beras Mengganas, Rakyat Makin Memelas

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Komentar berita menanggapi pernyataan Elvira Devinamira tentang kenaikan harga beras.

TEMPO.CO, Jakarta - Elvira Devinamira tidak bisa menyalahkan pemerintah sekarang dengan melambungnya harga beras yang kini melonjak tinggi. Menurut Puteri Indonesia 2014 ini, kenaikan harga beras yang dikeluhkan sekarang bukan kesalahan pemerintah semata. Wanita kelahiran Surabaya, 28 Juni 1993 ini justru mengajak masyarakat berpikir positif dalam menyikapi kenaikan harga beras. Menurutnya, kenaikan harga beras bisa membantu petani.

"Kalau kenaikan ini ada dampak baiknya, misalnya membantu kesejahteraan petani Indonesia karena hasil panennya bisa dibeli dengan harga mahal, maka seharusnya ini bisa disikapi positif," tutur dia. Bila hal ini yang terjadi, Elvira justru melihatnya berdampak baik untuk petani dan pertanian di Indonesia.

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/03/02/219646489/Putri-Indonesia-Beras-Mahal-Bisa-Bikin-Petani-Kaya

Komentar:

Tidak ada yang meragukan jika Mbak Elvira ini orang pandai. Terbukti, dengan gelarnya sebagai Putri Indonesia, ia telah memenuhi salah satu slogannya, yaitu ‘brain’. Hanya saja, barangkali Mbak Elvira perlu sedikit berpikir secara holistik dan dengan paradigma yang berbeda. Bukan lagi demokrasi, tapi dengan paradigma Islam. Harga beras mahal, jelas membuatnya tak aman. Tak aman artinya tak mampu diakses oleh rakyat. Jelas, jika harga beras mengganas, rakyat pun makin memelas.

Sedikit menilik ke belakang, beberapa waktu lalu, Indonesia ditunjuk menjadi mitra strategis World Economic Forum (WEF) untuk mendukung keamanan pangan. Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki Partnership for Indonesia Agriculture Sustainable (PISAgro) di bawah WEF New Vision for Agriculture (NVA). WEF New Vision for Agriculture (NVA) merupakan lembaga yang menggelar Jakarta Food Security Summit (JFSS) 12-13 Februari 2015 lalu. Dimana, ada delapan komoditas strategis yang akan dibahas pada JFSS, yaitu beras, gula, jagung, singkong, sagu, cabe dan bawang, serta kedelai, dan daging sapi.

Selain itu, juga didiskusikan komoditas unggulan ekspor seperti kelapa sawit, kopi, kakao, teh, tuna, dan udang, serta komoditas perbaikan gizi seperti susu, buah tropis (manggis, salak, mangga), daging sapi, dan daging ayam. JFSS diharapkan mampu menghasilkan solusi dari isu utama di bidang pertanian yang terkait dengan pembiayaan, ketersediaan lahan/tata ruang wilayah, infrastruktur, pascapanen, diiversifikasi pangan, dan pemasaran.

Agenda internasional ini tentunya tak ujug-ujug terjadi. Sudah ada sejarah panjang yang mendahului hingga akhirnya liberalisasi pangan di Indonesia makin mulus. Kondisi saat ini tak lain adalah derivat dari liberalisasi perdagangan. Terlebih sejak Indonesia menjadi anggota WTO (World Trade Organization). WTO adalah organisasi yang mengatur perdagangan dunia dengan menuntut negara-negara anggotanya membuka pasar secara luas melalui penghapusan berbagai hambatan dalam perdagangan. Indonesia resmi menjadi anggota WTO melalui ratifikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Pembentukan WTO.

Keikutsertaan Indonesia dalam WTO juga berdampak langsung terhadap meningkatnya impor pangan, seperti gandum, beras, kedelai, ikan, garam, hingga daging sapi. Rezim perdagangan bebas WTO telah mengancam hak bangsa dan negara Indonesia untuk menentukan kebijakan pangan dan pertanian untuk kepentingan bangsa. Dengan bergabung ke WTO, perlindungan ke petani justru hilang. Ini jelas semakin membunuh sektor pertanian.

Tak hanya itu, sejumlah asosiasi bisnis dan perusahaan multinasional yang notabene merupakan korporasi raksasa, selanjutnya akan berperan besar dalam menentukan aturan yang menjamin lemahnya regulasi di negara pengimpor, sehingga mereka bisa meningkatkan dan mengamankan pasar di masa depan.

Hal ini harus dikritisi. Bagaimana mungkin pemerintah sebagai pemegang kebijakan tertinggi di negeri ini malah menyengsarakan rakyat sendiri? Rasulullah Saw telah mengingatkan dalam haditsnya agar dapat menjaga amanah kepemimpinan, sebab hal itu akan dimintai pertanggungjawaban baik di dunia maupun dihadapan Allah SWT. Hal itu dijelaskan dalam hadits berikut: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhori).

Pemimpin yang bertaqwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Pemimpin seperti ini cenderung untuk tidak menyimpang dari aturan Allah Swt. Ia selalu berjalan lurus sesuai dengan syari’at Islam. Semua itu tak lain hanya terwujud dalam naungan Khilafah. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa ‘Aisyah ra berkata, ”Saya mendengar Rasulullah Saw berdoa di rumah ini, ‘Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia memberatkannya, maka beratkanlah dirinya, dan barangsiapa yang diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah kepada dirinya.” (HR. Muslim). Juga sabda Rasul Saw: “Sesungguhnya seorang pemimpin merupakan perisai. Rakyat akan berperang di belakang serta berlindung dengannya.” (HR. Muslim).

Dengan demikian, dalam sistem Islam (Khilafah), konsep politik ekonomi dan kesejahteraan sebuah negara terkait dengan keamanan pangan akan memiliki paradigma tentang aman dari sisi jumlah, ketersediaan, daya beli, hingga termasuk daya jangkau/akses konsumen terhadap produk yang bersangkutan. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar