Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Arus perubahan akan
senantiasa bergulir dalam setiap periode kehidupan. Manusia, makhluk berakal
aktor utama kehidupan, harus makin kreatif menghadapinya di setiap zaman.
Demikian halnya dengan perguliran dakwah, tantangan dan kendala akan terus
mewarnainya. Tak hanya sebagai aktor, peran manusia dalam dakwah harus meluas
sebagai arsitek atau fotografer mumpuni, meski tidak pernah memiliki pendidikan formal
di bidang tersebut.
Atas nama ideologi Islam, profesi arsitek dan
fotografer itu dapat terwujud sedemikian rupa dalam diri manusia, tanpa
iming-iming sejumlah nominal kapital. Bagaimana tidak? Bukankah tugas utama
seorang arsitek itu merancang sebuah gambar yang akan diwujudkan dalam bentuk
nyata? Dan bukankah tugas utama seorang
fotografer itu memotret sebuah fakta untuk diolah dalam rangka menghasilkan
gambar yang berseni dalam kancah teknologi? Selanjutnya, bagaimana jika yang
objek yang dihadapi itu diganti? Sehingga, seorang arsitek tidak hanya
menghadapi sekumpulan gambar yang akan menjadi bangunan, dan seorang fotografer
tidak hanya menghadapi sekumpulan pemandangan atau peristiwa untuk dituangkan
dalam sejumlah format software.
Paduan indah antara seorang arsitek dan
fotografer akan nampak justru ketika yang menjadi objek adalah manusia
seutuhnya. Manusia yang dipandang memiliki
fitrah dan potensinya. Manusia yang harus diurusi, manusia yang harus dilayani
oleh orang-orang yang akan menjadi arsitek dan fotografernya. Ia didesain tidak
hanya untuk mengisi kekosongan kertas gambar.
Ia juga tidak akan bergaya hanya untuk aktivitas editing. Ia akan didesain
dan di-“edit” sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki perasaan, pemikiran
dan peraturan yang sama, serta terjadi interaksi di dalamnya. Alat desainnya pun bukan pensil dan meja
gambar, dan media editing-nya juga
bukan sebuah software canggih. Alat desain mutakhirnya justru pemikiran,
dan media editing-nya adalah proses berpikir. Jangan lupa, pemikiran dan
proses berpikir adalah letak kekuatan utama bagi manusia. Mengingat, kapasitas
kekuatan fisik tiap manusia tentu berbeda.
Jadi standar fisik tentu akan membuat manusia terkategori hanya pada dua
hal, yaitu menang atau kalah. Oleh
karena itu, tentu bukan sesuatu yang remeh tatkala ada orang yang justru
memilih aktivitas untuk membangkitkan kekuatan utama pada manusia itu. Ya, itulah aktivitas seorang pengemban
dakwah.
Kekuatan pemikiran telah membuktikan
potensinya. Peradaban gemilang bangunan
Rasulullaah saw dan para shahabatnya di Madinah, adalah bukti bahwa kekuatan
pemikiran dan proses berpikir yang menjadi pondasinya. Pemikiran dan proses berpikir tentang sebelum
kehidupan dunia, saat kehidupan di dunia dan setelah kehidupan dunia, dan
segala sesuatu yang terkait di dalamnya.
Tentang sebuah kesadaran, akan dibawa ke mana aliran makna hidup ini
jika tidak disandarkan sepenuh daya dan upaya hanya kepada Yang Maha Mengatur
manusia, kehidupan dan alam semesta.
Sebuah pemikiran yang akan bermuara hanya pada hakikat penciptaan oleh
Sang Khaliq. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Adz-Dzariyat
ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Maka aktivitas seorang
muslim adalah terikat dengan hukum Allah Swt. Ingat pula standar kesuksesan
bagi seorang muslim dalam QS. Al-Ashr ayat 1-3: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya
menetapi kesabaran.” Dengan mindset
sukses seperti ini, maka setiap pengemban dakwah siap untuk membuat arus baru
perubahan sebagai the agent of change.
Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11: ”…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan
suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Muatan dan arah
perubahan harus senantiasa dipenuhi dengan langkah mendekatkan diri kepada
Allah Swt. Membuat arus
perubahan pun tidak bisa sendiri atau gerak individu. Faktanya, Rasulullaah saw
ketika menegakkan Daulah Khilafah Islamiyyah di Madinah, diawali dengan
membentuk pergerakan bersama para shahabat untuk menentang segala kekufuran di
kalangan kaum kafir Quraisy dan kabilah-kabilah di jazirah Arab. Maka dalam
bergerak, hendaknya kita memiliki prinsip yang terdiri dari dasar pemikiran
yang benar dengan batasan yang jelas, metode gerak organisasi atau pergerakan
yang lurus, bertumpu pada orang-orang yang berkesadaran sempurna terhadap
perubahan, serta memiliki ikatan yang benar dengan sesama individu dalam sebuah
pergerakan di mana ia terlibat di dalamnya.
Prinsip-prinsip ini
kemudian menjadi penting. Bukan hal aneh jika setiap pengemban dakwah harus memahami
karakternya sebagai the agent of change,
di mana ia akan selalu menjadi pihak yang berada di garda terdepan dalam
mengawal perubahan hakiki. Demikian pula di masa kini, para pengemban dakwah harus tergabung dalam
tim yang solid untuk memulai perubahan yang dicita-citakan. Bercermin dari kisah
Rasulullaah saw, maka jelas bahwa perubahan hakiki hanyalah dengan syariat
Islam.
Wallaahu a'lam bish showab [].
bismillaah...innallaaha ma'anaa...
BalasHapus