Kamis, 18 Februari 2016

LGBT Menggerus Kampus

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Muqodimah
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir menegaskan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) semestinya tidak boleh masuk kampus. "Masa kampus untuk itu? Ada standar nilai dan standar susila yang harus dijaga. Kampus adalah penjaga moral," katanya, sebagaimana diliput oleh Antaranews.com (23/01/2016). Pun tegasnya saat dihubungi detik.com lewat telepon, Minggu (24/1/2015) pagi, "Saya melarang di semua perguruan tinggi di Indonesia yang berada di bawah Kemenristek Dikti." (detik.com, 24/01/2016). Sayangnya, pernyataan tersebut hanya bertahan satu hari.

Dikutip oleh CNN Indonesia, Poedjiati Tan asal Surabaya, Jawa Timur, menginisiasi petisi online via Change.org terhadap Nasir. Sang Menristekdikti dipetisi lantaran ucapannya yang dianggap mendiskreditkan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

“Menurut dia (Nasir), kelompok LGBT bisa merusak moral bangsa, dan kampus sebagai penjaga moral mestinya harus bisa menjaga betul nilai-nilai susila dan nilai luhur bangsa Indonesia,” kata Poedjiati dalam petisi yang hingga Senin (25/01/2016) siang, telah ditandatangani oleh 1.296 pendukung.

Dalam petisi berjudul “Menristek M. Nasir Cabut Pernyataan LGBT Merusak Moral Bangsa & Pelarangan Masuk Kampus” itu, Poedjiati menulis berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, diatur bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.”

Nasir sendiri hari ini (Senin, 25/01/2016) mengklarifikasi pernyataannya soal LGBT. Menurut mantan Rektor Universitas Diponegoro itu, ia bukannya melarang LGBT masuk kampus atau melarang semua kegiatan terkait LGBT, sebab kampus terbuka lebar untuk mengkaji berbagai kerangka keilmuan, termasuk LGBT.

"Larangan saya terhadap LGBT masuk kampus apabila mereka melakukan tindakan yang kurang terpuji seperti bercinta atau pamer kemesraan di kampus," kata Nasir melalui akun Twitter resmi miliknya, Senin (25/1). Sebagai warga negara Indonesia, ujar Nasir, kaum LGBT perlu mendapat perlakuan yang sama di mata undang-undang. "Namun ini tidak lantas diartikan negara melegitimasi status LGBT. Hanya hak-haknya sebagai warga negara yang harus dijamin oleh negara," kata Nasir (cnnindonesia.com, 25/01/2016).

Dikuatkan dalam detik.com (25/01/2016), Nasir menyatakan, "Mau menjadi lesbian atau gay itu menjadi hak masing-masing individu. Asal tidak menganggu kondusifitas akademik," jelas Nasir dalam akun twitter @menristekdikti, Senin (25/01/2016).

Dia meminta agar seluruh perguruan tinggi memberi pendampingan kepada mahasiswanya. Lingkungan kampus mesti dijaga.

"Imbauan saya kepada seluruh pihak perguruan tinggi untuk selalu melakukan pendampingan secara intensif kepada mahasiswanya. Karena lingkungan kampus akan sangat berpengaruh terhadap psikologi mahasiswa," jelasnya.

"Memang sebagai bagian dari warga negara Indonesia, kaum LGBT perlu mendapat perlakuan yang sama di mata UU. Namun ini tidak lantas diartikan negara melegitimasi status LGBT," ujarnya (detik.com, 25/01/2016).

Ralat Tak Berdasar, Pejabat Terkesan Plin Plan
Perbedaan makna dalam pernyataan Menristekdikti sebenarnya cukup nyata, khususnya bagi yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap bahasa. Pernyataan bermakna tegas menjadi pernyataan kurang tegas, tak ayal membuat publik untuk ke sekian kalinya menyimpulkan, bertambah satu lagi pejabat era Jokowi yang plin plan, setelah berita MUI mengharamkan BPJS dan pembatalan pencabutan izin operasi Go-Jek beberapa waktu lalu.

Plin plan dalam membuat pernyataan. Sikap yang mana tidak selayaknya ditunjukkan oleh seorang petinggi negara. Terlebih jika alasannya dikembalikan kepada ide hak asasi manusia (HAM). Rasa-rasanya semua manusia juga jadi punya kepentingan masing-masing. Dan beginilah ciri kebebasan penganut ide demokrasi. Semua serba boleh. Kalaupun ada sedikit alasan ketidakbolehan, maka itu takkan bersifat kontra dengan kebolehan yang ada.

Bagi masyarakat muslim, LGBT tak layak menjadi fenomena. Dalam Islam, hukum LGBT sudah jelas dan tegas. Adzab yang pernah terjadi pada kaum Nabi Luth as, seharusnya menjadi kaca benggala, cerminan.

Merujuk pernyataan Juru Bicara Muslimah HTI, Iffah Ainur Rochmah, sebagaimana dikutip dari laman resmi hizbut-tahrir.or.id (25/01/2016), bahwa hendaklah seluruh komponen masyarakat mewaspadai ekspor sistematis penyakit kaum Luth ke negeri-negeri muslim. “Tujuan LGBT tidak lain adalah merusak identitas generasi muslim, menghancurkan jatidirinya dan bahkan bias menjadi politik depopulasi,” jelasnya.

Iffah melihat, perkawinan sejenis di AS yang telah disahkan tahun lalu kian membawa arus keberanian dalam mengkampanyekan LGBT. Dukungan dana dan opini dari lembaga-lembaga dunia dan media-media Barat yang liberal ikut ambil bagian untuk menyebarkan kerusakan di negeri-negeri muslim.

Iffah juga menilai, semakin besarnya ruang gerak kerusakan LGBT di Indonesia tak lain akibat dukungan kondisi sosial dan politiknya. Karenanya, tidak cukup hanya dengan penolakan (resistensi) dari masyarakat dan pelakunya tidak bisa dihentikan dengan dialog ilmiah.

“Penolakan terhadap LGBT semestinya diikuti dengan pemberantasan penyakit LGBT hingga ke akarnya, yakni meninggalkan sistem demokrasi, menghapus paham kebebasan-HAM dan menggiatkan budaya amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat. Tanpa itu undang-undang yang saat ini masih melarang perkawinan sesama jenis akan segera berganti dengan legalisasi perkawinan sejenis karena besarnya arus global yang mendukung usaha kaum LGBT. Na’udzubillahi,” bebernya.

Kampus, Pencetak Agen Perubahan
Memang bukan tidak mungkin, ada motif untuk mengubah karakter asli kampus sebagai pencetak agen perubahan, menjadi pencetak agen pelangi yang tak lain adalah simbol LGBT. Bagaimanapun, mahasiswa yang sebelumnya cuek dengan LGBT sangat mungkin jadi tergerus dan teraruskan atas nama proses pergaulan. Perubahan melalui pergaulan ini sejalan dengan misi LGBT. Dalam arti, sesuai dengan arah pandang kaum LGBT itu sendiri. Minimal, dalam kepala mereka hanya berisi perjuangan HAM bagi nasib kaum mereka, yang merupakan wujud pembenaran atas kondisi mereka sebagai kaum LGBT. Bahkan, bagi yang bukan LGBT akan menjadi pembela LGBT, meski mereka muslim. Tak pelak, ini adalah jalan untuk menjauhkan mahasiswa yang muslim dari ke-Islam-annya.

Belum lagi dengan tingkah laku “alay”, “melambai”, kemayu, dan menyukai sesama jenis, yang jelas-jelas jauh dari karakter agen perubahan hakiki. Sebagaimana firman Allah dalam QS Ar-Ra’du [13] ayat 11: “...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” Maksud Allah tidak mengubah suatu kaum di sini adalah Allah tidak akan mengubah keadaan mereka, selama mereka tidak mengubah sebab-sebab kemunduran mereka.

Jika keberadaan kaum LGBT ini ditumbuhsuburkan, tunggu saja masa kehancuran masyarakat kampus. Yang meski dari sisi akademik boleh jadi mereka berprestasi, tapi dari sisi sikap menyelesaikan permasalahan kehidupan mereka nol besar. Pola ini pula yang menjadi jati diri demokrasi, anak kandung ideologi kapitalisme. Lihatlah generasi pembela demokrasi-kapitalisme-liberal, mereka tak lain adalah generasi permisif, hanya mengerti hidup secara sekular, liberal, dan hedonis. Masa depan semu sajalah yang akan berada di hadapan mereka.

Keberadaan kaum LGBT itu memang bersifat merusak. Bagaimana mungkin perubahan dunia menuju kebaikan dan kebenaran yang diridhoi Allah Swt itu terwujud, jika identitas para mahasiswa sebagai pengemban perubahan dari kampus sendiri ternyata adalah sosok-sosok yang dilaknat Allah Swt, sebagaimana Allah telah firmankan dalam Al-Quran tentang kehancuran kaum Nabi Luth as berikut ini. Na’udzubillaahi.

Salah satu adzab Allah paling dahsyat yang dikisahkan dalam Al-Quran adalah tentang pemusnahan kaum Nabi Luth as. Mereka diadzab Allah karena melakukan praktek homoseksual. Kaum Nabi Luth ini tinggal di sebuah kota bernama Sodom. Karena itu praktik homoseksual kerap disebut juga sodomi.

Penelitian arkeologis menerangkan, kota Sodom semula berada di tepi Laut Mati (Danau Luth) yang terbentang memanjang di antara perbatasan Israel-Yordania. Dengan sebuah gempa vulkanis yang diikuti letusan lava, kota tersebut Allah runtuhkan, lalu jungkir-balik masuk ke dalam Laut Mati. Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al-Quran: “Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu (terjungkir-balik sehingga) yang di atas ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (TQS Huud [11]: 82).

Kaum Luth yang disebutkan Al-Quran memang pernah hidup di masa lalu, kemudian mereka punah diadzab Allah akibat kebejatan moral mereka. Bahwa hubungan kelamin sesama jenis sedemikian merajalela di kalangan mereka hingga belum pernah dijumpai hal serupa sebelumnya. Semua bukti terjadinya bencana itu kini telah terungkap dan sesuai benar dengan pemaparan Al-Quran.

Tragedi di balik Laut Mati kaum Luth akibat mereka telah mendustakan peringatan Nabinya. Ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertakwa?" Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (TQS. Asy Syu’araa’ [26]: 161-166).

Ketika Nabi Luth menyuruh mereka meninggalkan perilaku maksiat dan menyampaikan perintah Allah, mereka ingkar, dan menolaknya sebagai seorang Nabi dan melanjutkan perilaku menyimpang mereka. Sebagai balasannya, mereka dihancurkan dengan bencana mengenaskan. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka)… (TQS. Al-Qamar [54]: 33-34).

Malaikat datang kepada Nabi Luth dan memperingatkan hal ini di malam sebelum terjadinya bencana. “Para utusan-utusan (malaikat) berkata: ‘Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa adzab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?’ Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi; yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (TQS. Huud [11]: 81-83).

Khatimah


Peringatan Allah Swt melalui syariat Islam telah lebih dari jelas untuk menegaskan laknat Allah kepada kaum LGBT. Dan Islam melalui pelaksanaan syariat Islam dengan Khilafah memiliki serangkaian aturan untuk memberantas tuntas penyimpangan perilaku LGBT.

Islam menetapkan lima cara untuk menghentikan penyebaran perilaku tersebut. Pertama, Islam mewajibkan negara berperan besar dalam memupuk ketakwaan individu rakyat agar memiliki benteng dari penyimpangan perilaku semisal LGBT yang terkategori dosa besar.

Kedua, melalui pola asuh di keluarga maupun kurikulum pendidikan, Islam memerintahkan untuk menguatkan identitas diri sebagai laki-laki dan perempuan. Laki-laki dilarang berperilaku menyerupai perempuan, juga sebaliknya.

Ketiga, Islam mencegah tumbuh dan berkembangnya benih perilaku menyimpang dengan memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan serta memberikan aturan pergaulan sesama dan antar jenis.

Keempat, secara sistemis, islam memerintahkan negara menghilangkan rangsangan seksual dari publik termasuk pornografi dan pornoaksi. Begitu pula segala bentuk tayangan dan sejenisnya yang menampilkan perilaku LGBT atau mendekati ke arah itu juga akan dihilangkan.

Kelima, Islam juga menetapkan hukuman yang bersifat kuratif (menyembuhkan), menghilangkan LGBT dan memutus siklusnya dari masyarakat dengan menerapkan pidana mati bagi pelaku sodomi (LGBT) baik subyek maupun obyeknya.

Siapapun yang menghendaki masyarakat yang bersih, dipenuhi kesopanan, keluhuran, kehormatan, martabat dan ketenteraman, akan menuntut penerapan syariat di negeri ini hingga terwujud kehidupan manusia dalam peradaban yang gemilang di bawah naungan Khilafah.

Karenanya, kalangan kampus, civitas, jajaran, para alumni hingga masyarakat umum yang bermukim di sekitar wilayah kampus, harus tegas mengkritisi maraknya LGBT di kampus. Meski secara khusus keberadaan kaum LGBT adalah merusak pelestarian keturunan manusia, namun identitas mahasiswa sebagai agen perubahan sangat terancam jika dunia intelektualitas dan pergerakan mereka didekatkan dengan dunia kaum LGBT. Ini sangat memprihatinkan, bahkan mengerikan. Ini bukan sesuatu yang boleh dibiarkan. Ini adalah sesuatu yang harus dihentikan penyebarannya.

Wallaahu a’lam bish showab. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar