Kamis, 18 Februari 2016

Kongres Ibu Nusantara ke-3, Momen Kolosal Persembahan MHTI

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Penghujung 2015 menjadi saksi perhelatan tahunan yang diselenggarakan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia. Kongres Ibu Nusantara (KIN) ini adalah kongres di tahun ketiga pelaksanaannya, sebelumnya KIN 2013 dan KIN-2 2014.

Gempita KIN-3 telah terasa sejak tanggal 19 Desember 2015 lalu. Berbagai kalangan hadir menyuarakan urgensitas peran Negara Sebagai Perisai Hakiki Bagi Ibu dan Anak, tema besar KIN-3. Tak kurang 59 kota menjadi tempat berhelatnya momen kolosal ini. Tiga puluh ribu kaum ibu dan tokoh perempuan dari seluruh Indonesia pun dikalkulasikan hadir dalam KIN.

Jakarta, ibukota negeri muslim terbesar di dunia, menjadi tempat berhelatnya puncak agenda marathon akbar KIN-3. Gema opini KIN-3 mengudara sejak pagi di langit ibukota. Balai Soedirman, Jakarta, 26 Desember 2015, menjadi saksi tercatatnya kehadiran sekira 3000 ibu se-Jabodetabek dengan berbagai latar belakang. Mereka diantaranya muballighah, akademisi, peneliti, mahasiswi, aktivis dan tokoh perempuan. Tak terkecuali kalangan jurnalis dan media massa.

Registrasi peserta dimulai pukul 08.00 wib. Pelaksanaan acara yang tepat waktu membuat peserta makin antusias. Pukul 08.15 wib, para peserta mulai memasuki ruangan dan mengisi kursi-kursi yang tersedia. Pukul 08.30 wib, kongres pun dimulai. Sebagai host pada acara ini adalah Ibu Firda Muthmainah.

Ustadzah Ratu Erma Rahmayanti selaku Mas’ulah Ammah MHTI mengawali kongres dengan membacakan kalimat iftitah. Pada kongres kali ini, dibincangkan penyebab utama penderitan pada ibu, perempuan dan anak-anak serta solusinya yang benar dan tuntas.

“Pertanyaan penting yang harus dijawab dengan tuntas adalah, mengapa keburukan itu tak kunjung berhenti bahkan sudah menjadi monster jahat yang mencengkeram dunia ini? Siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab untuk menjaga dan melindungi Ibu, perempuan dan anak-anak? Apakah mereka sendiri? Ataukah keluarga, atau masyarakat ataukah negara?,” ujar Erma retoris.

Para ibu dan anak hari ini hidup dalam negara sekuler. Negara demokrasi-sekuler bertugas sebagai wasit saja, bukan sebagai pelaku langsung pengaturan dan pemenuhan seluruh kebutuhan hidup rakyat. Rakyat dibiarkan menyelesaikan persoalannya sendiri.

“Fakta membuktikan, saat ini, keluarga pun tak lagi mampu menjaga para perempuan. Karena ternyata pelaku kejahatan itu adalah suami, ayah, paman atau saudara para perempuan itu sendiri. Berharap pada masyarakat yang akan melindungi mereka? Faktanya, masyarakat telah menjadi tempat yang ganas bagi para Ibu, perempuan dan anak-anak. Ibu-Ibu dan perempuan yang terpaksa bekerja di luar rumah, banyak dari mereka yang merasa tidak aman dan tenang. Mereka bersaing sangat keras dengan laki-laki dalam atmosfir dunia publik yang jahanam sehingga membuat mereka sengsara. Sementara, anak-anak dieksploitasi oleh orang dewasa,” papar Erma memanaskan suasana.

“Fakta pun membuktikan, pemerintah tidak sanggup menghentikan penyiaran materi kekerasan dan kepornoan di tengah masyarakat. Sarana edukasi publik berupa media massa, dibiarkan menyebarkan nilai-nilai rusak dan merusak tersebut. Di sisi lain, pemerintah juga tidak sanggup menghilangkan narkoba dan minuman keras. Tak heran, kita dapati orang-orang yang lemah imannya, tidak punya pemahaman dan pengetahuan agama, dengan rangsangan media porno dan benda haram itu, melakukan kejahatan kekerasan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak,” tegas Erma.

“Pemerintah muslim di negeri lain juga tidak mampu melindungi para Ibu dan anak. Di Palestina, alih-alih menjaga dan membebaskan mereka dari kejahatan Yahudi La’natullahu ‘alaihim, justru mereka malah membiarkan kekerasan itu terjadi. Begitu juga dengan pemerintahan di Suriah, anak-anak dibiarkan dibunuh,” urai Erma.

“Hanya negara yang menerapkan aturan buatan Allah Swt, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah, yang punya visi untuk menjaga dan melindungi rakyatnya, termasuk para ibu dan anak. Khilafah tidak akan membiarkan tersebarnya nilai-nilai dan materi kepornoan dan kekerasan sama sekali. Khilafah akan mengarahkan isi media massa baik cetak, audio dan audiovisual untuk penanaman tsaqofah Islam (pendidikan dan peradaban Islam) terhadap rakyat. Sistem media publik ini akan digunakan sebagai dakwah dan propaganda ke luar negara agar publik di luar negara Islam menyaksikan keagungan, keluhuran dan kesejahteraan umat dalam naungan Khilafah Islam,” pungkas Erma.

Sementara tiga orator kongres, adalah Ustadzah Asma Amnina, Ustadzah Iffah Ainur Rochmah, dan Ustadzah Dedeh Wahidah Achmad.

Orator pertama, Ustadzah Asma Amnina, anggota DPP MHTI, menyampaikan tentang ketiadaan jaminan perlindungan bagi ibu dan anak dalam kapitalisme.

“Berbagai konvensi internasional tentang perempuan dan anak diratifikasi oleh pemerintah menjadi UU. Dengan mengatasnamakan pembelaan terhadap hak perempuan dan anak, kesetaraan gender, pengentasan kemiskinan dan kebodohan, muncullah berbagai program yang tampaknya berpihak kepada kebaikan perempuan,” cetus Asma.

“Namun semua program itu sesungguhnya adalah racun berbalut madu. Padahal tanpa sadar, semuanya berupa eksploitasi perempuan, perempuan sebagai tumbal pemiskinan yang ditimbulkan oleh penerapan sistem ekonomi liberal, perempuan dicabut dari fitrah keibuannya dan menyetop jumlah generasi Islam hingga melumpuhkan negeri ini agar tidak bangkit dengan generasi mudanya yang berkualitas,” tegasnya.

“Jauh panggang dari api, itulah ungkapan yang tepat, untuk solusi yang diberikan oleh Kapitalisme dalam mengangkat nasib kaum perempuan dan anak. Hal ini karena memang di dalam sistem kapitalisme liberal, hakikatnya Negara telah berlepas diri untuk mengurusi rakyatnya. Para perempuan dibiarkan berusaha untuk mengurusi dirinya sendiri dengan bekerja. Namun bagi yg tidak mampu bekerja, tak ada satu solusi pun yang bisa diberikan oleh Negara untuk menjamin kebutuhan hidupnya,” getir Asma.

“Oleh sebab itu, umat sangat membutuhkan Khilafah dan seorang Khalifah sebagai pelindung sejati. Saatnya umat mencampakkan sistem kapitalisme-liberal yang rusak dan merusak serta menggantikannya dengan sistem Islam dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah,” pungkas Asma.

“Media massa telah menjadi alat perang efektif bagi penjajahan Barat atas kaum muslimin. Karena media secara sengaja bahkan sistematis diarahkan dan difungsikan untuk melemahkan umat Islam, menghancurkan identitasnya, dan mengokohkan penjajahan politik-ekonomi dan budaya mereka,” ungkap Ustadzah Iffah Ainur Rochmah, orator kedua yang tak lain adalah Juru Bicara Muslimah HTI, dalam orasi yang berjudul Media dalam Khilafah Melindungi Ibu dan Anak.

“Dalam kapitalisme, media berorientasi hiburan dan bisnis. Sementara, dalam Islam media mewujudkan fungsinya sebagai sarana edukasi dan informasi. Negara khilafah tidak akan mengadopsi prinsip kebebasan pers. Khilafah melindungi perempuan agar tidak menjadi korban media, karena perempuan adalah kehormatan. Perempuan bukan barang dagangan dan bukan gula-gula penarik perhatian pembeli,” urai Iffah panjang lebar.

“Khilafah juga melindungi anak-anak dari tayangan–tayangan sampah yang membuat kecanduan atau mengajarkan kekerasan dan kepornoan. Media bagi anak-anak generasi didominasi dorongan berperilaku positif sebagaimana dicontohkan generasi-generasi sukses dalam peradaban Islam, bukan karakter-karakter khayalan dengan kekuatan super,” tambahnya.

“Khilafah akan mewujudkan media yang sehat, mencerdaskan, dan melindungi umat. Negara akan tegas menghapus semua media yang menghantarkan pada keharaman baik dalam bentuk buku, majalah, tayangan TV atau konten-konten virtual. Khalifah akan menetapkan media ditangani khusus oleh Departemen Penerangan (daairat i’lamy) yang bertanggung jawab langsung pada khalifah, tidak menjadi bagian dari mashalihun naas,” tandas Iffah.

Tak lama berselang, Iffah memimpin jalannya konferensi pers, yang dihadiri oleh sejumlah jurnalis dari berbagai media massa. Didampingi oleh Tim Media MHTI, Iffah membacakan Press Release.

Orator ketiga, Ustadzah Dedeh Wahidah Achmad, menyampaikan urgensitas khilafah sebagai perisai hakiki kehormatan perempuan dan anak.

“Sudah nampak jelas bahwa kapitalis sekuler telah mengeksploitasi para perempuan, menempatkan mereka layaknya komoditas-dianggap berharga ketika mampu menambah pundi-pundi dan akan dicampakkan manakala tidak berdaya lagi untuk mendatangkan uang. Para perempuan dipaksa untuk terjun dalam kerasnya dunia kerja dengan diiming-imingi gelar penyelamat ekonomi keluarga atau sebagai pahlawan devisa, sementara di sisi lain mereka kehilangan kesempatan untuk mengoptimalkan peran utama nan mulia sebagai ibu pendidik generasi, istri sholihah pendamping suami, serta pengelola keluarga yang amanah. Inilah realita di depan mata!” papar Dedeh.

“Berbeda dengan kapitalis sekuler yang telah membuat perempuan, anak, keluarga, serta segenap manusia menderita, Islam justru datang untuk memberikan kesejahteraan pada kehidupan di dunia dan jaminan keselamatan di akhirat kelak. Ini merupakan janji Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam Qs.Al Anbiya:107, bahwa jaminan itu akan dicapai melalui penerapan syariah secara kaffah dalam institusi Khilafah,” sambungnya.

“Islam telah memberikan status terhormat bagi kaum perempuan yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Berkaitan dengan status ini berlaku kaidah, “al-Ashlu fi al-mar’ah annaha umm[un] wa rabbatu bayt[in] wa hiya ’irdh[un] yajibu an yushana. Bahwa, hukum asal perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dan ia adalah kehormatan yang harus dijaga,” ungkapnya.

Tak lupa, Khilafah juga memastikan peran utama ibu terlaksana dengan baik dan optimal. Dalam sistem Islam, negara-lah benteng hakiki, pertama dan utama, sebagai pengemban sistem besar yang akan melindungi masyarakat, keluarga, juga individu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

– عن عبد اللَّهِ بْنِ عُمَرَ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤول عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا...

“Setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir (kepala pemerintahan) adalah pemimpin bagi rakyatnya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang laki-laki adalah pemimpin rumahtangga, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (HR al-Bukhari Muslim).
Perlindungan Khilafah terhadap kehormatan perempuan dan ibu akan terealisasi melalui mekanisme berikut: Pertama, berupa penerapan sistem sosial di rumah: hukum meminta izin ketika akan memasuki area khusus.

Kedua, penerapan sistem pendidikan: materi Tsaqofah tentang fiqih, hukum aplikatif hak dan kewajiban suami-istri, dan hubungan orangtua dan anak adalah pengetahuan yang wajib diberikan. Sementara di jenjang sekolah tinggi, ada jurusan kerumah tanggaan khusus siswi perempuan. Pendidikan yang diselenggarakan Khilafah akan memberikan ilmu dan keterampilan bagi para calon ibu sehingga mereka memiliki bekal untuk menunaikan peran dan tanggung jawabnya dengan baik dan optimal.

Ketiga, penerapan sistem ekonomi: Negara bertanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki sehingga mereka mampu melindungi dan memenuhi kebutuhan keluarganya secara layak.

“Kondisi tersebut sangat berbeda dengan kehidupan yang sedang menimpa kita sekarang. Kapitalisme menyebabkan Negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya mengatur dan memenuhi urusan rakyat. Alih-alih mensejahterakan, yang terjadi justru mengorbankan nasib rakyat demi segelintir orang , baik pemilik modal maupun penguasa jabatan,” tegas Dedeh.

“Perjuangan mulia ini tidak hanya diserukan oleh segelintir orang. Sudah sekian puluh tahun kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan, tua, muda, intelektual, pakar, muballighah juga ibu rumah tangga, dari Barat sampai ke Timur, di kota hingga ke desa semua sama berdakwah di tengah umat dan menyeru penguasa untuk menerapkan syariah serta menegakkan Khilafah rasyidah ’ala minhaj an Nubuwwah. Siapapun kita marilah bersama-sama membulatkan tekad, satukan tujuan, hadapi segala rintangan, demi keridloan Allah, demi penerapan hukum-hukum Allah, demi tegaknya Khilafah Islamiyyah. Saatnya Ibu berjuang bersama wujudkan peradaban mulia dalam institusi Khilafah Islamiyyah. Allahu Akbar..!!” pungkasnya.

Gelora peserta setelah sesi orasi tak disia-siakan oleh panitia. Dibukalah sesi sharing dengan Mas’ulah Ammah MHTI dan para orator. Kemudian acara berlanjut pada sesi testimoni tokoh.

Beberapa tokoh muslimah yang hadir, memberikan testimoninya. Di hadapan ribuan ibu dan perempuan, Ibu Hj. dr. Atifah Thaha, Ketua Umum Wanita Islam mengatakan bahwa sangat berterimakasih pada Muslimah HTI yang telah mengundang beliau untuk hadir di acara KIN Ke-3 ini, menurut beliau acara ini sangat luar biasa.

Beliau menyatakan dukungannya terhadap perjuangan Muslimah HTI untuk melindungi ibu dan anak dengan tegaknya Khilafah. “Kita menyalahkan Negara ini adalah karena Negara ini tidak mampu melindungi ibu dan anak. Kita harus berjuang untuk membela dan melindungi jutaan ibu dan anak diluar sana. Allahu Akbar!” serunya.

Testimoni kedua dari Ibu Nani Zakaria, Ketua Alisha (Asosiasi Muslimah Pengusaha) Khadijah, dengan bersemangat menyeru pada paserta, untuk bisa bersama-sama memperjuangkan apa yang diperjuangkan Muslimah HTI. Beliau juga menyeru agar masuk ke dalam Islam kaffah di setiap peran yang mampu kita mainkan. “Satu kata yang bisa saya sampaikan, bahwa acara ini sangat luar biasa! Apa yang dibawakan oleh Muslimah HTI, marilah kita sama-sama perjuangkan, kembali kepada Islam,” tegasnya.

Beranjak tengah hari, KIN-3 Jakarta pun sampai di penghujung acara. Pembacaan doa yang penuh makna dan penghayatan, membuat tak sedikit peserta yang menitikkan air mata.

Tepat pukul 12.00 wib, seluruh rangkaian acara KIN-3 Jakarta telah terlaksana. Acara ditutup oleh host. []

*dimuat di Al-Waie bulan Februari 2016 (edited)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar