Kamis, 08 September 2016

Tax Amnesty, ‘Karpet Merah’ Menguatkan Neoliberalisasi Ekonomi

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Tinta sejarah belum lagi kering menuliskan gempita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada 2016, terhitung 71 tahun sudah negeri ini berstatus merdeka. Ironisnya, momen tersebut nampaknya hanya akan berujung euforia. Setelah gagal mengatasi gejolak melambannya perekonomian nasional yang memburuk namun tegar menghadapi vonis Pansus Pelindo II pada Desember 2015, Presiden Joko Widodo melakukan perombakan kabinetnya. Terbukti berbuntut lanjut, reshuffle tak berhenti pada daur ulang personil di beberapa kursi menteri. Jokowi memang ingin gebrakan. Namun satu hal yang begitu menonjol dari semua itu, yaitu mulusnya realisasi kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Hingga seorang Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang telah mapan berkarir di Bank Dunia, rela pulang memenuhi panggilan Jokowi.

Tak ayal, reshuffle kabinet pun dianggap menjadi penguatan hegemoni penjajahan gaya baru (neoimperialisme) di kala resesi ekonomi tengah melanda dunia Barat dan Timur. Maka sungguh reshuffle ini begitu omong kosong andai rakyat ingin sedikit saja beroleh kado indah di usia tanah air yang tak lagi muda.

Reshuffle justru mengindikasikan bahwa kiblat kebijakan ekonomi kembali ke Barat. Dalam situasi ekonomi AS dan Uni Eropa menuju resesi, juga situasi ekonomi RRC yang melamban, sementara Jepang memberlakukan suku bunga negatif, maka model kebijakan ekonomi diyakini berpijak pada neoliberal sejati. Artinya, liberalisasi perekonomian akan berjalan tanpa hambatan dan meningkat sebagaimana kebijakan yang telah diterbitkan, peran swasta yang makin kukuh dalam penyediaan hajat hidup orang banyak, dan kebijakan membatasi belanja anggaran untuk penyediaan kebutuhan sosial pun akan makin menjadi pedoman sakral [3].

Memang, kehadiran personil hasil reshuffle akan menginjeksi semangat baru pergerakan ekonomi nasional. Namun, ini mengindikasikan bahwa jalur kebijakan keuangan tetap dikendalikan Barat sementara jalur perdagangan dan infrastruktur akan didominasi RRC. Dan guna mencapai target, maka yang terpenting adalah kinerja pertumbuhan ekonomi bertengger 5,2 persen, tanpa peduli bagaimana kualitas dan siapa pemilik pertumbuhan ekonomi itu [3].

Tax Amnesty
Pajak menjadi pilar utama penerimaan negara yang menganut paham kapitalisme, tak terkecuali Indonesia. Pendapatan perpajakan terhadap APBN mencapai sekitar 82% dari total penerimaan negara. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa negara sangat mengandalkan pajak dari rakyat. Kendati demikian, nilainya masih dianggap kurang oleh pemerintah karena rasionya terhadap PDB masih di kisaran 12%. Di sisi lain, porsi pendapatan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), seperti royalti pertambangan dan pendapatan BUMN, terus turun. Tak heran, negara terus mencari jalan agar bisa ‘memalak’ rakyat dengan memperluas basis dan obyek kena pajak di samping mengutak-atik tarif pajak untuk meningkatkan penerimaan [6].

Tarif pajak penghasilan orang pribadi misalnya, ditetapkan secara progresif. Artinya, semakin tinggi pendapatan seseorang maka tarif pajaknya semakin tinggi. Hal ini jelas membuat banyak orang terutama yang kaya merasa keberatan meski pendapatannya diperoleh secara legal. Pasalnya, semakin produktif mereka dalam menghasilkan kekayaan, maka persentase kekayaan yang ditarik oleh negara juga akan semakin besar. Oleh karena itu, banyak wajib pajak yang melakukan berbagai cara untuk mengurangi kewajibannya seperti memanipulasi laporan keuangan, menyuap petugas pajak, hingga menyembunyikan kekayaan mereka di negara-negara tax heaven, negara yang memiliki tarif pajak yang rendah dan kerahasiaan informasi keuangan seseorang dijaga secara hukum, seperti Singapura, Swiss, Hongkong, Mauritius, dan Panama. Perilaku ‘menghindar’ dari pajak ini terjadi hampir di semua negara. Tak heran, begitu beredar bocoran Panama Papers, hampir semua orang kaya di dunia terdaftar di sana [6].

Pemerintah Indonesia turut menanggapi dokumen tersebut. Menteri Keuangan saat itu, Bambang Brodjonegoro telah meminta Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi untuk mempelajari data-data dalam Panama Papers. Bocoran dokumen Panama atau Panama Papers menyebut nama-nama pengusaha asal Indonesia. Menkeu menyebut dana pengusaha, politisi dan pejabat Indonesia yang terparkir di luar negeri lebih dari 14.100 T (akumulasi sejak tahun 70-an). Sandiaga Uno salah satu pengusaha yang namanya disebut dalam dokumen menyatakan siap diperiksa oleh pemerintah. Uno sebelumnya mengakui perusahaannya ada di dalam dokumen offshore leak tersebut. Selain Uno, nama-nama beken seperti Sudwikatmono, Anthony Salim, Erick Tohir, Gita Wirjawan, Budi Sampoerna, Chairul Tanjung, Mochtar Riady, Sinar Mas Group, Rahmat Gobel, Rusdi Kirana dan sederet nama beken lainnya ikut mejeng dalam dokumen [7].

Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyayangkan ratusan nama orang Indonesia ada dalam Panama Papers yang mengungkap penyimpanan uang triliunan di luar negeri tersebut. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty diakuinya makin diperlukan. “Kita memang dilematis. Kita ingin mereka yang mempunyai dana cukup besar disimpan di negara lain seharusnya atas nama kepentingan bangsa, mereka repatriasi dananya dalam negeri. Saya rasa itu salah satu niat baik tax amnesty,” kata Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (5/4). Di balik upaya DPR menyiapkan regulasi tax amnesty, pemerintah, kata Fadli, juga perlu menyiapkan pengelolaan atas uang tersebut [7].

Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mempelajari nama-nama orang Indonesia yang disebut dalam dokumen hasil investigasi tentang kejahatan keuangan dunia terkait Panama Papers. Pasalnya, nama-nama yang disebut dalam dokumen itu diduga menyimpan uang atas kejahatan keuangan, seperti pengemplangan pajak dan pencucian uang [7].

Oktober 2015 lalu, tepat setahun pemerintahan Jokowi-JK, DPR mencuatkan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Nasional atau dikenal dengan pengampunan pajak alias tax amnesty. Kontroversi muncul ketika ada wacana koruptor diperbolehkan mengikuti tax amnesty dengan penghapusan pidana umum dan lainnya. Kontroversi tersebut sudah tegas dibantah pemerintah melalui Menkeu saat itu, Bambang Brodjonegoro dan DPR RI yang mengusulkan ide tax amnesty tersebut. Bahwa korupsi dicoret dari daftar pengampunan pajak, karena program ini hanya menawarkan pembebasan sanksi pidana pajak [8].

Pengamat Perpajakan Universitas Indonesia, Ruston Tambunan menilai penegasan ini sangat penting karena tidak lazim bagi sebuah negara untuk memberikan pengampunan pajak kepada pelaku kejahatan, termasuk koruptor. Menurutnya, di negara lain yang menerapkan tax amnesty, hanya diberikan pengampunan saksi pidana pajak, bukan pidana lain. Ruston juga mengatakan, tax amnesty biasanya diterapkan saat negara kekurangan duit. Itu alasannya. Italia, India dan Brazil pernah menerapkan tax amnesty dan berhasil. Sementara Indonesia pernah melakukannya tapi gagal karena tidak ada penegakkan hukum yang tegas [8].

Seperti diketahui, Menkeu Bambang Brodjonegoro mengakui adanya perkiraan melebarnya kekurangan target penerimaan pajak dari Rp 120 triliun menjadi Rp 130 triliun sampai dengan Rp 140 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Ruston menjelaskan, dalam keadaan shortfall penerimaan pajak, dimana realisasinya tidak bisa memenuhi target atau selalu di bawah Rp 1.000 triliun, tax amnesty adalah cara paling cepat mendatangkan uang. Dengan program pengampunan pajak tarif rendah, Ruston optimistis pengusaha asing maupun orang Indonesia yang selama ini menyimpan dananya di luar negeri, bisa ditarik ke negara ini dengan potensi penerimaan cukup besar. “Kalau dari Rp 3.000 triliun, sebesar 40%-nya atau Rp 1.200 triliun saja masuk ke Indonesia dan dipungut tarif pajak 3%, maka Rp 36 triliun akan masuk ke penerimaan negara,” tandas Ruston [8].

Tax Amnesty, ‘Karpet Merah’ Menguatkan Neoliberalisasi Ekonomi
Terhitung Juli 2016, Undang-undang tentang Tax Amnesty berlaku. Pemerintah berdalih ini adalah cara untuk menambah pendapatan dari sektor perpajakan dengan alasan banyak para pengemplang pajak yang masih bergentayangan dan tak mau melaporkan kekayaannya [6].

Bagaimana negara tidak fokus cari uang, pasalnya rezim Jokowi sudah kadung terbebani oleh janji-janjinya sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, minimal lebih baik dari penguasa sebelumnya. Sementara faktanya, negara sendiri sedang dalam kondisi ekonomi yang sulit. Padahal target penerimaan sangat ambisius. Dalam APBN 2016, pemerintah menargetkan pendapatan sebesar Rp 1.822,5 triliun. Target ini bersumber dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.546,7 triliun dan PNBP sebesar Rp 273,8 triliun. Pengalaman tahun lalu, penerimaan dari pajak meleset. Dari target Rp 1.294,25 triliun, hanya tercapai Rp 1.055 triliun (81,5% dari target). Karena itu, salah satu jalan mendapatkan pundi-pundi uang adalah menggaet para konglomerat hitam yang sering memarkir hartanya di luar negeri, agar hartanya ditarik ke dalam negeri [6].

Dalam acara Sosialisasi Amnesti Pajak di JIExpo, Kemayoran, Senin (1/8), Jokowi menyatakan bahwa berdasarkan data Kementerian Keuangan, ada 11 ribu triliun (bahkan lebih banyak lagi) uang orang Indonesia yang disimpan di luar negeri. Hal yang paling penting, menurutnya, dana-dana tersebut bisa dibawa pulang ke Indonesia untuk membantu pembangunan di dalam negeri. Negara sangat butuh arus uang masuk dan juga investasi. Sementara, dana repatriasi akan sangat bermanfaat bagi negara. Jokowi menjelaskan, pemerintah sudah menyiapkan berbagai instrumen investasi mulai dari surat berharga negara hingga proyek-proyek industri dan infrastruktur, agar dapat menambah lapangan pekerjaan [4].

Karenanya, masuknya SMI ke dalam Kabinet Kerja ditanggapi positif oleh banyak pihak. Pasalnya, sepak terjang mantan Managing Director World Bank ini tidak lagi diragukan. Kepala Riset MNC Securities Edwin Sebayang meyakini, SMI mampu menjaga aliran dana tax amnesty. Hal ini tentu sesuai dengan harapan Jokowi. Menjaga aliran dana tax amnesty adalah salah satu harapan market. Bahkan, adanya SMI sebagai Menteri Keuangan diharapkan mampu menarik dana repatriasi hingga sebesar Rp 2.000 triliun [5]. Rekam jejak SMI sebagai seorang kader militan Berkeley Mafia, jelas menjadi angin segar bagi para investor [9]. Terbukti, dilantiknya SMI sebagai Menkeu yang baru, langsung menghijaukan IHSG di pasar saham [10].

Sepekan jadi menteri, gebrakan pertama SMI untuk mengantisipasi melesetnya target dana hasil tax amnesty, adalah pemangkasan anggaran. SMI mengevaluasi APBN Perubahan 2016 dan memangkas belanja hingga Rp 133,3 triliun. Menurutnya, penyesuaian perlu dilakukan agar APBN menjadi lebih kredibel. Keputusan ini telah disampaikan dan disepakati dalam sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Rabu (3/8) [14].

SMI menyampaikan, pemerintah akan mengurangi belanja kementerian dan lembaga Rp 65 triliun. Kemudian transfer ke daerah Rp 68,8 triliun. Kata SMI, pemangkasan ini ditujukan hanya untuk belanja yang dianggap tidak menunjang program-program prioritas. Yang dikurangi berkaitan dengan perjalanan dinas, kegiatan konsinyering, dan juga pembangunan gedung. Pemangkasan anggaran dilakukan untuk mencegah pelebaran defisit anggaran. Ini karena penerimaan negara tahun ini akan mengalami penurunan yang cukup besar dari tahun-tahun sebelumnya. Dia mengungkapkan, penerimaan perpajakan masih akan mengalami tekanan yang sangat berat karena penerimaan negara dari sisi pajak akan kurang sekitar Rp 219 triliun. Penyesuaian dari sisi belanja perlu dilakukan agar defisit tetap terjaga sehingga tidak menimbulkan krisis kepercayaan terhadap APBN. SMI juga menambahkan, bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dan Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro akan terus menyisir belanja K/L yang bisa dikurangi [14].

Dalam UU Tax Amnesty, pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Tujuannya, mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui pengalihan harta, yang antara lain akan berdampak pada likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi. Selain itu, untuk mendorong reformasi perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan meningkatkan penerimaan pajak. Tak heran, jika benak rezim Jokowi membayangkan bahwa tax amnesty ini sangat menarik sehingga para konglomerat akan menarik uangnya yang kebanyakan berada di Singapura, masuk ke Indonesia. [6].

Namun, ekonom senior yang juga guru besar FE UI, Anwar Nasution membuyarkan angan-angan itu. Mantan Deputi Gubernur BI ini menyatakan tax amnesty tidak akan dapat mendorong pengembalian kembali kekayaan maupun dana milik orang Indonesia yang diparkir di luar negeri. Menurutnya, penyebab utama diaspora (pelarian) modal ke luar negeri bukan karena tingginya pajak penghasilan di Indonesia. Diaspora itu terjadi terutama karena dua hal, yakni buruknya sistem politik dan hukum di Indonesia yang tidak kondusif untuk menyimpan kekayaan serta buruknya produk maupun pelayanan lembaga keuangan nasional [6].

Lahirnya UU Tax Amnesty tergolong sangat cepat. Hanya membutuhkan waktu tiga bulan. Pembahasannya pun berlangsung secara tertutup di DPR. Ini bisa terjadi karena ‘lobi’ tingkat tinggi. Presiden Jokowi turun langsung untuk mengawal RUU Tax Amnesty. Pada 15 April Jokowi bertemu pimpinan DPR. Ia meminta DPR segera menyelesaikan UU itu secepatnya, hingga akhirnya UU itu pun disahkan akhir Juni. Pengamat kebijakan publik yang juga mantan aktivis, Syahganda Nainggolan menilai ada pemufakatan tidak bermoral dalam lahirnya UU Tax Amnesty ini. Ia juga menyebutkan, tax amnesty merupakan langkah pemerintah untuk melegalkan cukong-cukong kelas kakap. Dengan kata lain, UU Tax Amnesty mengukuhkan dominasi konglomerat hitam Cina di Indonesia [6].

Disamping itu, tax amnesty juga semakin memperlihatkan ketidakadilan dalam perpajakan. Rakyat dikenakan kenaikan pajak sangat tinggi, tapi pembangunan tidak menyentuh mereka. Padahal uang pajak sebenarnya habis untuk membayar utang luar negeri. Sementara di sisi lain, ada orang-orang kaya atau perusahaan-perusahaan besar yang selama ini justru mempunyai kesempatan bernegosiasi dengan pemerintah, agar mereka sebagai wajib pajak (WP) kebal hukum [6].

Secara nyata SMI menyatakan, bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan akan menghentikan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana bagi yang mengikuti program ini sesuai dengan amanat UU Tax Amnesty. SMI juga mengingatkan jika WP akan mendapatkan manfaat dari amnesti pajak, diantaranya penghapusan pajak terutang baik Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Manfaat lainnya, penghapusan sanksi administrasi dan penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan [11].

Rezim Jokowi memang baru mencanangkan target Rp 165 triliun dari kebijakan tax amnesty. Target penerimaan awal itu kelihatannya besar. Padahal, jika mau mengelola sumberdaya alam secara benar oleh negara, pendapatannya bisa jauh lebih besar lagi. Abraham Samad ketika masih menjadi Ketua KPK pernah mengungkap data, ada Rp 7.200 triliun potensi pendapatan negara yang hilang setiap tahun. Menurutnya, dari 45 blok minyak dan gas saat ini, sebanyak 70% dikuasai oleh asing. Parahnya, banyak pengusaha tambang di Indonesia yang tak membayar pajak dan royalti kepada negara. Ia juga mengatakan, jika ditotal, maka pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batu bara, dan nikel pada setiap tahunnya dapat mencapai Rp 20.000 triliun. Jika pendapatan tersebut dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp 20 juta [6].

Karenanya, melalui tax amnesty, para konglomerat hitam akan mendapatkan legalitas terhadap harta yang dulu mereka ambil secara tidak sah dari bumi Indonesia. Mereka yang dulu dianggap sebagai penjahat karena telah melarikan uang dari Indonesia, terselamatkan oleh tax amnesty (dengan sedikit membayar kepada negara), bahkan menjadi pahlawan yang ikut menyumbangkan dananya bagi pembangunan di Indonesia. Harta mereka pun menjadi harta legal setelah sekian lama menjadi harta ilegal. Terlebih dengan penghentian pemeriksaan tindak pidana, berbagai kejahatan yang pernah mereka lakukan terkait dengan asal hartanya, dapat menguap begitu saja [6].

Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara di bidang ekonomi. Menurut paham neoliberalisme, negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu, swasta atau korporat (perusahaan). Neoliberalisme merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state atau negara korporat (korporatokrasi). Artinya, pengelolaan negara dikendalikan oleh korporat (perusahaan swasta/asing). Dalam negara korporat, negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Akibatnya, keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan perusahaan swasta baik domestik maupun asing. Hubungan negara dengan rakyat dikelola layaknya hubungan perusahaan dengan konsumen, antara penjual dan pembeli. Rakyat pun diposisikan layaknya pembeli yang harus membeli kepada negara dan perusahaan yang menyediakan berbagai pelayanan kepada masyarakat [13].

Di sisi lain, gelombang demokratisasi di segala bidang pasca Reformasi, khususnya di bidang politik, telah memberikan kesempatan kepada kekuatan kapitalis global untuk makin menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Dengan kekuatan dana besarnya, mereka masuk dalam kontestasi politik di Indonesia. Harapannya, melalui orang-orang yang didukung, mereka bisa turut menentukan pemilihan pejabat publik dan memberikan arah kebijakan ke depan. Bagi politikus pragmatis, tak jadi soal menggadaikan kewenangan politik. Karena itu pasca Reformasi banyak sekali lahir kebijakan dan peraturan perundangan yang sangat liberal dan kental dipengaruhi oleh kepentingan asing [13].

Neoimperialisme adalah penjajahan model baru yang ditempuh oleh negara-negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain. Dalam penjajahan model lama dikenal semangat gold (kepentingan penguasaan sumberdaya ekonomi), glory(kepentingan kekuasaan politik) dan gospel (kepentingan misi Kristiani). Dalam penjajahan model baru saat ini, kepentingan ketiga (gospel) tidak begitu menonjol dan bergeser menjadi misi penyebaran ideologi sekularisme, demokrasi, kapitalisme dan liberalisme. Adapun kepentingan pertama dan kedua (gold dan glory) saat ini nyata sekali masih berjalan [13].

Neoliberalisme dan neoimperialisme ini berdampak sangat buruk bagi kita semua. Di antaranya: tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral, korupsi yang makin menjadi-jadi dan kriminalitas yang kian merajalela. Banyaknya pejabat dan anggota legislatif yang menjadi tersangka korupsi menjadi bukti sangat nyata perilaku mereka yang menghalalkan segala cara guna mengembalikan investasi politiknya. Eksploitasi sumberdaya alam di negeri ini secara brutal juga menunjukkan bagaimana para pemimpin negeri ini telah gelap mata dalam memperdagangkan kewenangannya. Mereka membiarkan kekayaan alam yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat itu dihisap oleh perusahaan swasta maupun asing. Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan yang zalim seperti kenaikan harga BBM, elpiji, tarif listrik, dan lain-lain [13], tak terkecuali UU Tax Amnesty.

Demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka. Lahirnya UU-UU liberal, juga lembeknya Pemerintah di hadapan perusahaan-perusahaan swasta/asing adalah bukti nyata bahwa aspirasi rakyat diabaikan dan Pemerintah tunduk pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat. Yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal [13].

Maka dari itu, sebagai seorang kader neoliberal yang militan, tak berlebihan jika disebut bahwa SMI pulang kampung dengan misi neoliberalisasi ekonomi, dimana gebrakannya bertopeng tax amnesty. Mereka harus militan mengkerdilkan pemerintah untuk kepentingan korporatokrasi. Bahkan mereka membiarkan kekayaan alam negara kita dihisap habis oleh para majikannya yang kaum korporatokrat dengan dukungan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF [12].

Pengelolaan Harta Negara Khilafah
Dalam negara Khilafah, Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum-hukum syariah, dimana melalui baiat terjadilah akad pengangkatannya. Mengenai peran Khalifah, diriwayatkan Ahmad dan al-Bukhari dari Abdullah bin Umar, bahwa ia mendengar Nabi saw. pernah bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Artinya, semua hal yang berhubungan dengan pemeliharaan berbagai urusan rakyat dalam semua hal, wewenangnya hanya milik Khalifah. Khalifah boleh mewakilkannya kepada orang yang ia kehendaki untuk menangani apa saja yang ia kehendaki dan kapan saja ia kehendaki. Diantara hukum-hukum syariah yang merupakan wewenang Khalifah untuk mengadopsinya, terdapat hukum-hukum yang menjadi pegangan dalam menyusun APBN. Khalifah memiliki wewenang menetapkan rincian APBN, besaran anggaran untuk masing-masing pos baik berkaitan dengan pemasukan maupun pengeluaran. Anggaran negara, yaitu pos-pos pemasukan dan pengeluaran, telah dibatasi oleh hukum syariah; bahwa tidak boleh dipungut satu dinar pun kecuali harus sesuai dengan hukum syariah, juga tidak boleh dibelanjakan satu dinar pun kecuali harus sesuai dengan hukum syariah. Tidak ada seorang pun selain Khalifah yang boleh memungut harta, meski hanya satu dinar, juga tidak seorang pun selain Khalifah yang boleh membelanjakan harta kecuali telah diizinkan oleh Khalifah [1].

Penetapan rincian belanja atau apa yang disebut dengan pos-pos anggaran, maka hal itu diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Khalifah. Demikian juga pos-pos pemasukan beserta pasal-pasal pendapatan. Hal ini sebagaimana Rasulullah saw. dulu pun mengambil pemasukan dari para amil. Beliau pula yang menangani pembelanjaannya [1].

Baitul Mal digunakan untuk menyebut tempat penyimpanan berbagai pemasukan negara dan sekaligus menjadi tempat pengeluarannya. Baitul Mal juga digunakan untuk menyebut lembaga yang bertugas memungut dan membelanjakan harta yang menjadi milik kaum Muslim. Dalam struktur negara Khilafah, Baitul Mal dikoordinir secara terpusat langsung di bawah wewenang Khalifah, bukan penguasa setempat (wali/amil) [1].

Dimungkinkan untuk membagi Baitul Mal menjadi dua bagian: Pertama: Bagian Pemasukan yang meliputi tiga dîwân: (1) Pos Fa’i dan Kharaj: meliputi ghanîmah, kharaj, tanah-tanah, jizyah, fa’i dan pajak; (2) Pos Kepemilikan Umum: meliputi minyak bumi, gas, listrik, barang tambang, laut, sungai, selat, mata air, hutan, padang gembalaan, hima, dan sebagainya; (3) Pos Zakat: meliputi zakat uang, komoditas perdagangan, pertanian dan buah-buahan, unta, sapi dan domba [1].

Kedua: Bagian Pembelanjaan yang meliputi delapan dîwân: (1) Pos Dâr al-Khilâfah, (2) Pos Kemaslahatan Negara, (3) Pos Subsidi, (4) Pos Jihad, (5) Pos Pengelolaan Zakat, (6) Pos Pengelolaan Kepemilikan Umum, (7) Pos Keperluan Darurat, dan (8) Pos Anggaran, Pengontrolan, dan Pengawasan Umum [1].

Kedudukan Pajak dalam Islam
Dlaribah (pajak) adalah harta yang diwajibkan Allah Swt kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi di baitul mal kaum Muslim tidak ada uang/harta. Pada dasarnya, terdapat pemasukan rutin bagi baitul mal. Dan Allah Swt menjadikan (pos-pos pemasukan) tersebut hak atas kaum Muslim. Yang nota benenya juga hak baitul mal. Seperti dari fai, kharaj, ‘usyur, dan dari milik umum yang dialihkan menjadi milik negara. Semua itu cukup untuk membiayai apa yang diwajibkan atas baitul mal pembiayaannya, baik dalam kondisi ada uang/harta maupun tidak, yang berhubungan dengan pemeliharaan urusan umat dan mewujudkan kemaslahatannya. Pada kondisi itu, negara tidak memerlukan pungutan pajak atas kaum Muslim [2].

Selain itu, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) telah menetapkan pembiayaan atas berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran, harus dipenuhi oleh baitul mal, baik dalam kondisi ada uang/harta didalamnya maupun tidak. Jika tidak ada uang/harta di baitul mal, maka kewajibannya (beralih) kepada kaum Muslim untuk membiayainya. Jika berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudharatan atas kaum Muslim. Padahal Allah juga telah mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum Muslim, yaitu jika tidak ada harta sama sekali, dan kaum Muslim tidak ada yang mendermakan. Sabda Rasulullah saw: “Tidak boleh ada bahaya (dlarar) dan (saling) membahayakan.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad) [2].

Allah Swt memberikan hak kepada negara untuk mendapatkan harta dalam rangka menutupi berbagai kebutuhan dan kemaslahatan tersebut dari kaum Muslim. Jika terjadi kondisi tersebut, negara mewajibkan kaum Muslim untuk membayar pajak hanya untuk menutupi (kekurangan biaya terhadap) berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan, tanpa berlebih (sebatas kekurangannya saja hingga terpenuhi). Kewajiban membayar pajak tersebut hanya dibebankan atas mereka yang mempunyai kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan pelengkap dengan cara yang ma’ruf. Dalam hal ini, negara dapat mewajibkan pajak kepada kaum Muslim sebatas besarnya nilai pembiayaan tersebut, tidak boleh mewajibkan (pajak) lebih dari (nilai) yang seharusnya [2].

Pajak tersebut diwajibkan dengan anggaran sebagai berikut [2]:

(1) Pembiayaan jihad dan segala hal yang harus dipenuhi yang terkait dengan jihad, serta segala aktivitas yang memungkinkan penyebarluasan dakwah Islam ke seluruh dunia.

(2) Pembiayaan industri militer dan industri serta pabrik-pabrik penunjangnya, yang memungkinkan negara memiliki industri senjata.

(3) Pembiayaan para fuqara, orang-orang miskin, ibnu sabil. Pembiayaan terhadap mereka telah diwajibkan Allah Swt kepada kaum Muslim dengan zakat, shadaqah dan lainnya.

(4) Pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru, dan lain-lain yang melaksanakan pekerjaan (pelayanan masyarakat) untuk kemaslahatan kaum Muslim.

(5) Pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umat, yang keberadaannya sangat dibutuhkan, dan jika tidak dibiayai maka bahaya (dlarar) akan menimpa umat. Misalnya untuk (pembiayaan) jalan-jalan umum, sekolah-sekolah, universitas, rumah sakit, masjid-masjid, pengadaan saluran air minum, dan lain-lain. Perkara-perkara seperti ini boleh dibangun oleh negara, tetapi pada saat di baitul mal terdapat uang/ harta berlebih. Jadi, hal itu dilakukan setelah membiayai lebih dahulu pengeluaran untuk pos-pos yang dapat mengakibatkan bahaya bagi umat (jika sarana/fasilitas tersebut tidak ada). Apabila di baitul mal tidak ada uang/harta berlebih, maka negara tidak boleh (memaksakan) membangunnya, dan tidak boleh mewajibkan pajak untuk pembiayaannya.

(6) Pembiayaan untuk keadaan darurat (bencana), seperti tanah longsor, gempa bumi dan angin topan, atau mengusir musuh. Pembiayaan untuk urusan-urusan ini tetap dilakukan walaupun peristiwanya tidak ada, bahkan termasuk pembiayaan yang bersifat tetap, harus dipenuhi baik ada uang/harta maupun tidak ada di baitul mal. Apabila di baitul mal ada uang, maka harus segera dialokasikan untuk bencana tersebut. Jika di baitul mal tidak ada uang, maka kaum Muslim wajib membiayainya, dan harus segera dikumpulkan dari mereka tanpa ada paksaan. Jika timbul kekhawatiran bahaya terus berlangsung, negara boleh meminjam (berhutang) untuk mencukupi pembiayaan bencana alam ini. Pinjaman tersebut dilunasi dari harta kaum Muslim yang dikumpulkan.

Inilah pos-pos yang wajib dibiayai oleh kaum Muslim, pada saat tidak uang/harta di baitul mal. Negara mewajibkan pajak atas kaum Muslim untuk pembiayaannya, tatkala pemasukan tetap baitul mal tidak lagi mencukupi. Begitu pula pemasukan dari pertambangan-pertambangan yang menjadi milik negara (al-huma) tidak cukup. Pajak diambil dari kaum Muslim yang memiliki kelebihan harta setelah mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar dan pelengkapnya secara sempurna, sesuai dengan standar hidup tempat mereka tinggal. Siapa saja di antara kaum Muslim yang memiliki kelebihan harta, setelah mampu memenuhi kebutuhan dasar dan pelengkapnya, maka atas mereka diambil pajak. Dan siapa saja yang tidak memiliki kelebihan harta, maka pajak tidak diambil dari yang bersangkutan. Dan pintu terakhir yang wajib pembiayaannya setelah diri mereka sendiri (dan seterusnya) adalah pajak. Pajak serupa dengan nafkah. Juga serupa dengan shadaqah. Allah Swt berfirman: “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan’.” (TQS. al-Baqarah [2]: 219) [2].

Pajak diwajibkan berdasarkan pada besarnya kebutuhan dan kemampuan memenuhi pembelanjaan rutin atas hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya. Pajak tidak boleh dipaksakan pengambilannya melebihi kesanggupan, atau melebihi kadar harta orang-orang kaya, atau berusaha untuk menambah pemasukan baitul mal. Dengan kata lain pajak tidak boleh diwajibkan, kecuali sekedar untuk memenuhi pembiayaan rutin pos-pos tersebut. Pajak tidak boleh diambil lebih dari itu. Sebab pengambilan yang lebih berarti dzalim. Dan hal ini bukan kewajiban kaum Muslim untuk membayarnya. Orang yang dzalim akan tertindas pada hari kiamat [2].

Negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan yang mendadak (mendesak). Demikian juga negara tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan, atau untuk pungutan biaya dimuka (dalam urusan administrasi) negara. Negara juga tidak boleh mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-suratnya, gedung-gedung, timbangan (atas barangbarang dagangan), atau lainnya yang bukan bagian dari bentuk-bentuk pajak yang telah dibahas. Dengan mewajibkannya berarti telah berlaku dzalim, dan ini dilarang. Bahkan termasuk ke dalam tindakan memungut cukai (al-maksu), seperti sabda Rasulullah saw: “Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai.” (HR. Ahmad, ad-Darami dan Abu Ubaid) [2].

Khatimah
Indonesia kita jelas sekali harus segera diselamatkan. Ini adalah tanggung jawab kita, umat Islam, tanpa kecuali. Untuk menyelamatkan negeri ini umat Islam harus memiliki setidaknya dua macam kesadaran.

Pertama: kesadaran atas akar persoalan yang terjadi; yakni bahwa penyebab utama semua persoalan di atas adalah penerapan ideologi Kapitalisme sekular beserta turunannya: demokrasi, liberalisme, dsb. Dengan kata lain, semua problem di atas adalah akibat penerapan sistem dan hukum yang menyimpang dari sistem dan hukum Islam. Allah SWT berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya bagi dia penghidupan yang sempit. (TQS Thaha [20]: 124).

Kedua: Kesadaran atas solusi yang hakiki, yaitu bahwa solusi yang benar untuk menyelesaikan berbagai problem yang melanda negeri ini adalah dengan kembali pada al-Quran. Allah SWT berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (TQS ar-Rum [30]: 41).

Bangsa ini harus segera bertobat dari kemaksiatan ideologis, sistemik dan hukum sekular itu; lalu kembali pada ideologi, sistem dan hukum Islam, yakni dengan menerapkan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Inilah proyek dan agenda utama dan vital untuk menyelamatkan negeri ini. Proyek ini sudah sangat mendesak untuk segera diwujudkan. Ini menjadi tanggung jawab keimanan dan tanggung jawab sejarah kita, umat Islam. Alhasil, Selamatkan Indonesia dengan Syariah dan Khilafah.

Wallaahu a’lam bish showab. []

Pustaka:

[1] Kitab Struktur Negara Khilafah

[2] Kitab Sistem Keuangan Negara Khilafah

[3] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/07/28/ob191c385-menjadi-neoliberal-sejati

[4] http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/08/01/ob849e382-jokowi-sebut-uang-orang-indonesia-di-luar-negeri-rp-11-ribu-triliun

[5] http://economy.okezone.com/read/2016/07/28/20/1449181/sri-mulyani-diyakini-mampu-sedot-dana-tax-amnesty-rp2-000-t

[6] Tabloid Media Umat edisi 177, 24 Syawal-8 Dzulqaidah 1437 H/ 29 Juli-11 Agustus 2016

[7] http://hizbut-tahrir.or.id/2016/04/09/skandal-panama-papers-bukti-kejahatan-penguasa-kapitalis-dan-para-anteknya/

[8] http://m.liputan6.com/bisnis/read/2344526/pengampunan-pajak-jalan-cepat-buat-negara-yang-kekurangan-duit

[9] http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/sri-mulyani-indrawati-smi-berkeley-mafia-organisasi-tanpa-bentuk-otb-imf-dan-world-bank-wb/

[10] http://bisnis.liputan6.com/read/2563156/euforia-sri-mulyani-jadi-menkeu-bikin-ihsg-menguat

[11] http://bisnis.liputan6.com/read/2566671/demi-tax-amnesty-sri-mulyani-stop-pemeriksaan-pajak

[12] http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/apa-neo-liberalisme-neolib-itu-bagian-1/

[13] http://hizbut-tahrir.or.id/2015/05/12/indonesia-dalam-cengkeraman-neoimperialisme-dan-neoliberalisme/

[14] http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/08/03/obc3on335-seminggu-jadi-menkeu-sri-mulyani-pangkas-anggaran-rp-133-triliun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar