Sabtu, 08 Februari 2014

Angkringan Al-Islam 692: Cinta dan Benci karena Allah Swt

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si

Persoalan Masyarakat

Menelisik dan memperhatikan persoalan masyarakat detik ini seperti tak ada habisnya. Wajar memang, karena masyarakat ‘dipaksa‘ hidup dalam habitat yang tak sesuai fitrahnya. Lihat saja, manusia hidup dalam keterpurukan, tekanan ekonomi, beban sosial, hingga tak jarang harus bergulat dengan kriminalitas. Yang jelas, manusia hidup jauh dari taraf yang baik.

Bagaimana tidak, lha wong semua hal di sekitarnya meningkatkan tekanan dalam kehidupan. Semua hal menjadikan orang hidup dalam kondisi tidak kondusif. Masyarakat permisif ternyata tak siap dengan konsekuensi sensitif. Permisivisme yang ada justru meningkatkan sensitivitas sesamanya. Orang mudah tersinggung, mudah marah, mudah menjustifikasi, mudah mendendam, pelit memaafkan, tapi selalu lupa introspeksi.

Inikah potret umat terbaik (khoyru ummah) sebagaimana firman Allah Swt: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.“ (TQS ‘Ali Imron [03]: 110). Jauh panggang dari api nampaknya.

Dalam ayat tersebut dijelaskan standarisasi menjadi umat terbaik. Yaitu golongan yang selalu mengajak pada kebaikan (ma‘ruf), mencegah dari kemungkaran dan beriman kepada Allah Swt. Dan gelar ‘khoyru ummah‘ itu takkan bisa diraih oleh orang yang fasik, apalagi yang tidak beriman.

Al-Islam Edisi 692

Demi berlomba dalam kebaikan, maka hari ini, Jumat 07 Februari 2014, alhamdulillaah sebuah program ‘terjun ke masyarakat‘ telah diluncurkan. Angkringan Al-Islam, adalah program penyegaran dari sebatas kumpul bersama untuk membedah isi Al-Islam secara mingguan. Kumpul bersama ‘model baru‘ ini mencoba membedah buletin mingguan Hizbut Tahrir ini dengan penarikan sudut pandang yang berbeda dan kemasan yang insya Allah lebih mendewasa.

Jadi, apakah sudah baca Al-Islam minggu ini? Berikut ini link-nya: http://hizbut-tahrir.or.id/2014/02/05/kehormatan-dan-nyawa-makin-tak-terlindungi/.

Mungkin bedah Al-Islam mingguan yang selama ini telah ditempuh dapat dikatakan agak monoton, sehingga memang tepat jika dilakukan penyegaran. Kedalaman rincian fakta dan analisis politik yang senantiasa mengisi kolom-kolom buletin ini di setiap minggunya, mungkin saja kurang menarik bagi yang kurang suka baca, apalagi yang ‘ogah‘ bicara politik atau buta politik. Akibatnya, ringannya lembaran fisik Al-Islam akan dipandang ‘berat‘ atau ‘sangat berat‘ jika menilik isinya. Ya, wajar memang.

Nah, oleh karena itu, mari kita coba memahami isi Al-Islam dengan sudut pandang baru, yang insya Allah lebih segar. Judul minggu ini adalah ‘Kehormatan dan Nyawa Makin Tak Terlindungi‘. Baru membaca judul dan pembukaannya, pembaca seperti diberi sajian yang sulit dipahami. Maka dari Angkringan Al-Islam hari ini, penarikan pembahasannya dimulai dari konsep ‘Cinta dan Benci karena Allah Swt‘. Karena fakta yang telah disajikan berikut analisisnya, dapat dibaca sendiri. Namun, ekstraksi maknanya yang seringkali masih sulit dimengerti.

Cinta dan Benci karena Allah Swt

Konsep ini sejatinya adalah salah satu judul bab dalam kitab Pilar-Pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyyah. Dalam kitab tersebut disampaikan bahwa ketika seorang muslim punya rasa cinta dan benci itu harus senantiasa dilandaskan pada hukum syara’. Artinya, keridhoan Allah Swt atas munculnya rasa cinta ataupun benci itu harus menjadi pertimbangan utama. Di dalamnya dinyatakan bahwa cinta karena Allah adalah mencintai hamba Allah karena keimanannya dan ketaatan kepada-Nya. Benci karena Allah adalah membenci hamba Allah disebabkan kekufuran dan perbuatan maksiatnya.

Hadits dari Umar bin Khaththab ra, diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid, Rasulullaah saw bersabda: ”Allah mempunyai hamba-hamba yang bukan nabi dan bukan syuhada, tapi para nabi dan syuhada tertarik oleh kedudukan mereka di sisi Allah. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, siapa mereka dan bagaimana amal mereka? Semoga saja kami bisa mencintai mereka.” Rasulullah saw. bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan karunia dari Allah. Mereka tidak memiliki hubungan nasab dan tidak memiliki harta yang mereka kelola bersama. Demi Allah keberadaan mereka adalah cahaya dan mereka kelak akan ada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak merasa takut ketika banyak manusia merasa takut. Mereka tidak bersedih ketika banyak manusia bersedih.” Kemudian Rasulullah saw. membacakan firman Allah: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (TQS Yunus [10]: 62)”.

Hal ini juga ditegaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya: ”...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (TQS Al-Baqoroh [02]: 216).

Bagaimana Mempraktikkan Cinta dan Benci karena Allah Swt?

Praktik selalu tak semudah retorika. Bicara memang lebih mudah. Barangkali demikian respon yang akan ditemukan saat menyampaikan konsep cinta dan benci karena Allah Swt ini kepada orang lain. Ya, mungkin praktiknya akan jauh lebih sulit. Tapi jangan pernah lupa bahwa Allah Swt itu Maha Memudahkan. Goncangan bertubi-tubi senantiasa mengepung kehidupan manusia. Jika kita tidak bersama Allah di tengah malam dan di ujung-ujung waktu siang hari, maka bagaimana mungkin kita bisa membuka jalan di tengah berbagai kesulitan.

Terkait hal ini, ada sebuah hadits: “Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, “Barangsiapa menghinakan wali (kekasih)-Ku, ia telah terang-terangan memusuhi-Ku. Wahai Anak Adam, engkau tidak akan mendapatkan apa saja yang ada pada-Ku kecuali dengan melaksanakan perkara yang telah Aku fardhukan kepadamu. Hamba-Ku yang terus-menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan melaksanakan ibadah sunah, maka pasti Aku akan mencintainya. Maka (jika Aku telah mencintainya) Aku akan menjadi hatinya yang ia berpikir dengannya; Aku akan menjadi lisannya yang ia berbicara dengannya; dan Aku akan menjadi matanya yang ia melihat dengannya. Jika ia berdoa kepada-Ku, maka pasti Aku akan mengabulkannya. Jika ia meminta kepada-Ku, maka pasti Aku akan memberinya. Jika ia meminta pertolongan kepada-Ku, maka pasti Aku akan menolongnya. Ibadah hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah memberikan nasihat.” (Dikeluarkan oleh ath-ThabrĂ¢ni dalam kitab al-Kabir).

Hadits ini berisi penjelasan mengenai jalan untuk meraih pertolongan dan bantuan Allah, serta dukungan dari sisi-Nya dengan mendekatkan diri kepada-Nya, dan memohon pertolongan kepada-Nya. Dialah Dzat yang Maha Kuat dan Perkasa. Siapa saja yang membela Allah, dia tidak akan pernah dihinakan. Sebaliknya, siapa saja yang menghina-Nya, maka dia tidak akan pernah diberi pertolongan. Dia sangat dekat dengan hamba-Nya, ketika dia berdoa kepada-Nya. Dia Maha mengabulkan doa hamba-Nya, ketika dia memohon untuk dikabulkan. Dialah Dzat yang Maha Perkasa di atas hamba-Nya. Dialah Dzat yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui.

Maka, mekanisme praktiknya adalah sebagaimana sabda Rasul saw: “Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sedih, gembira, takut, khawatir, lupa, marah merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah dari Allah Swt. Penting untuk kita ingat bahwa kita tidak diperintahkan untuk menghapus sifat yang merupakan sunnatullah pada diri manusia ini, melainkan kita diperintahkan untuk bisa mengendalikannya sehingga saat sesuatu yang menyebabkan kemarahan itu datang kita bisa untuk tidak menuruti keinginan untuk melampiaskannya.

Sebagaimana yang diajarkan Rasulullaah saw dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa seseorang berkata kepada Nabi Saw: ”Berwasiatlah kepadaku.” Beliau bersabda: “Jangan menjadi seorang pemarah”. Kemudian diulang-ulang beberapa kali. Dan beliau bersabda: “Janganlah menjadi orang pemarah.” (HR. Bukhari). Juga sabda beliau: ”Apabila salah seorang di antara kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk, dan kemarahan itu akan hilang. Jika kemarahan itu tidak juga hilang dengan duduk, maka hendaklah ia berbaring.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Hibban).

Khatimah: Konsep Mengendalikan Amarah

Berdasarkan uraian di dalam Al-Islam dan juga di atas, maka setidaknya ada tiga pilar yang akan berperan dalam pengendalian amarah manusia. Pertama, ketaqwaan individu. Pemahaman tentang cinta dan benci karena Allah Swt hendaknya segera dilaksanakan, termasuk di dalamnya adalah kemudahan kita untuk memaafkan kesalahan orang lain. Jadi konsep tersebut jangan hanya menjadi pengetahuan. Ingatlah, jaminan Allah terhadap orang yang meyakini bahwa Allah Swt itu Maha Memudahkan, adalah suatu keniscayaan. Karena Allah Swt tidak akan pernah mengingkari janji-Nya.

Kedua, proses pengingatan (‘amar ma’ruf nahyi mungkar) yang senantiasa dibiasakan di tengah-tengah masyakarat. Dengan demikian, terbentuk masyarakat yang selalu mengkondisikan interaksi yang sehat dan tidak berpotensi menyinggung perasaan antar-individu di dalamnya.

Ketiga, kebijakan negara yang berlandaskan syariat Islam. Yaitu Negara Khilafah yang berperan untuk menjaga aqidah agar umat tidak mudah marah dan tidak menjadi kaum pemarah. Karena kemarahan itu hanya layak ditujukan pada kemungkaran dan kemaksiatan. Sebagai contoh, negara dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menjamin terpenuhinya kebahagiaan dan kesejahteraan umat hingga ke tingkat kebutuhan individu.

Wallaahu a’lam bish showab []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar